• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Prestasi Akademik

A.1. Pengertian Prestasi Akademik

Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kemampuan yang disebabkan karena proses belajar. Bentuk hasil proses belajar dapat berupa pemecahan tulisan atau lisan, keterampilan dan pemecahan masalah yang dapat diukur dan dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar (Sobur, 2003). Hal ini didukung oleh pernyataan Soemantri (dalam Nurani, 2004) yang menyatakan prestasi akademik adalah hasil yang dicapai siswa dalam kurun waktu tertentu pada mata pelajaran tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka dan dirumuskan dalam rapor. Menurut Setiawan (2000) prestasi akademik adalah tingkat pencapaian keberhasilan terhadap suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan secara optimal. Sementara prestasi akademik menurut Opit ( dalam Hawadi, 2001) adalah output sekolah yang merupakan alat untuk mengukur kemampuan kognitif siswa.

Maka dapat disimpulkan bahwa prestasi akademik adalah hasil belajar berupa pemecahan masalah lisan atau tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah secara langsung yang diwujudkan dalam bentuk angka yaitu melalui rapor.

(2)

A.2. Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik

Menurut Sobur (2003) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi akademik, yaitu:

1) Faktor Endogen

Merupakan faktor yang berasal dari individu itu sendiri atau personal, meliputi :

a. Fisik

Faktor fisik dikelompokkan menjadi beberapa kelompok antara lain faktor kesehatan dan anak yang mengalami kebutuhan khusus. Anak yang kurang sehat memiliki daya tangkap yang kurang dalam belajar dibandingkan dengan anak yang sehat. Pada anak yang mengalami kebutuhan khusus, misalnya mengalami bisu, tuli dan menderita epilepsi menjadi hambatan dalam perkembangan anak untuk berinteraksi terhadap lingkungan dan menerima mata pelajaran, terutama pada anak yang duduk di bangku sekolah dasar. b. Psikis

Terdapat beberapa faktor psikis, yaitu: 1. Intelegensi atau Kemampuan

Anak yang memiliki intelegensi yang rendah mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran dan dapat tertinggal dari teman-temannya yang lain. Karena anak ini membutuhkan proses belajar yang lebih lambat dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk belajar. Sebaliknya anak yang

(3)

memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih mudah untuk menangkap dan memahami pelajaran, lebih mudah untuk mengambil keputusan dan kreatif. 2. Perhatian atau minat

Bagi seorang anak, mempelajari sesuatu hal yang menarik bagi dirinya akan lebih mudah untuk diterima dan dipahami. Dalam hal minat, seseorang yang menaruh minat pada suatu bidang akan mudah dalam mempelajari bidang tersebut.

3. Bakat

Bakat adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam bidang tertentu. Misalnya anak yang memiliki bakat dalam bidang studi matematika akan lebih mudah dalam memahami bidang studi tersebut. Kendalanya terkadang orang tua kurang memperhatikan bakat yang dimiliki anak, sehingga orang tua memaksakan anak untuk masuk pada keahlian atau bidang tertentu tanpa mengetahui bakat yang dimiliki anak.

4. Motivasi

Faktor motivasi memiliki peranan dalam proses belajar. Ketiadaan motivasi baik internal maupun eksternal akan menyebabkan kurang semangatnya anak dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah. Jika orang tua atau guru memberikan motivasi kepada anak, maka timbul dorongan pada diri anak untuk belajar dan anak akan mengetahui manfaat belajar dan tujuan yang hendak dicapai.

(4)

5. Kematangan

Kematangan adalah tingkat perkembangan yang dialami oleh individu sehingga sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam belajar, kematangan sangat menentukan. Oleh karena itu setiap usaha belajar akan lebih berhasil bila dilakukan bersamaan dengan tingkat kematangan individu.

6. Kepribadian

Kepribadian mempengaruhi keadaan anak dalam belajar. Dalam proses pembentukan kepribadian, terdapat beberapa fase yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangan anak. Seorang anak yang belum mencapai fase tertentu akan mengalami kesulitan jika orang tua menagajarkan sesuatu yang belum sesuai dengan fase tersebut kepribadinnya.

2) Faktor Eksogen

Merupakan faktor yang berasal dari luar individu atau lingkungan, meliputi :

a. Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi anak dan juga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan anak karena keluarga merupakan tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungannya dengan interaksi sosial. Dalam hubungan dengan belajar, faktor keluarga memiliki hubungan yang sangat penting. Keadaan keluarga dapat menentukan berhasil atau tidaknya anak dalam belajar dan juga kondisi

(5)

atau suasana keluarga menentukan bagaimana anak dalam belajar dan usaha yang dicapai oleh anak. Faktor keluarga dapat dibagi menjadi 3 faktor, yaitu : 1. Kondisi ekonomi keluarga

Keluarga yang memiliki kondisi ekonomi yang kurang baik menjadi salah satu penyebab kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi. Selain itu, faktor ekonomi membuat suasana rumah menjadi kurang nyaman yang menyebabkan anak malas untuk belajar. Tetapi terkadang masalah ekonomi menjadi dorongan anak untuk berhasil.

2. Hubungan emosional orang tua dan anak

Hubungan emosional antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi terhadap keberhasilan anak dalam belajar. Suasana rumah yang selalu ribut dalam pertengkaran dapat mengakibatkan terganggunya konsentrasi anak dalam belajar, sehingga anak tidak dapat belajar dengan baik. Orang tua yang terlalu keras kepada anak dapat menyebabkan jauhnya hubungan antara keduanya yang dapat menghambat proses belajar anak.

3. Cara mendidik anak

Setiap keluarga memiliki caranya tersendiri dalam mendidik anak. Ada keluarga yang mendidik anak secara diktator militer, demokratis, pendapat anak diterima oleh orang tua tetapi ada keluarga yang kurang perduli dengan anggota keluarganya yang lain. Cara mendidik ini baik secara langsung atau tidak dapat mempengaruhi belajar anak.

(6)

b. Faktor Sekolah

Faktor lingkungan sekolah seperti guru dan kualitas hubungan antara guru dan murid mempengaruhi semangat anak dalam belajar. Pada faktor guru, guru yang menunjukkan sikap dan perilaku yang rajin dapat mendorong anak untuk melakukan hal yang sama. Selain itu juga cara mengajar guru seperti sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki, bagaimana cara guru mengajarkan pengetahuan dapat menentukan keberhasilan anak dalam belajar. Disisi lain, hubungan antara guru dan murid juga dapat menentukan keberhasilan dalam belajar. Seorang anak yang dekat dan mengagumi guru akan lebih mudah untuk menangkap pelajaran dan memahaminya.

c. Faktor Lingkungan Lain

Faktor lingkungan lain seperti kondisi keluarga, guru dan fasilitas sekolah. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang baik, bersekolah di sekolah yang memiliki guru dan fasilitas pelajaran yang baik belum tentu menjamin anak untuk dapat belajar dengan baik. Masih ada faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar anak di sekolah. Selain itu juga, teman-teman anak di sekolah dan aktivitas yang dilakukan anak dapat mempengaruhi kegiatan belajarnya. Aktivitas di luar sekolah dapat membantu perkembangan anak akan tetapi tidak semua aktivitas tersebut bisa membantu. Apabila anak banyak menghabiskan waktu pada aktivitas di luar sekolah dan diluar rumah, sementara anak kurang mampu dalam membagi waktu belajar, dengan sendirinya aktivitas tersebut dapat menghambat anak dalam belajar.

(7)

Ditambah dengan pendapatnya Jimerson, Egeland & Teo (dalam papalia, 2008) bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi akademik, yaitu:

a) Keyakinan akan kecakapan diri dan motivasi akademik.

Anak yang memiliki kecakapan diri yang tinggi yakin bahwa mereka menguasai materi akademik dan mampu mengatur pembelajaran mereka sendiri yang cenderung berprestasi lebih besar dan sukses. Anak mampu menentukan target yang menantang dan menggunakan strategi yang tepat untuk mencapainya, berusaha keras, bertahan dihadapan kesulitan, dan mencari bantuan. Sebaliknya, anak yang tidak yakin untuk sukses cenderung frustasi dan tertekan.

Terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi yaitu keyakinan, pengasuhan orang tua, status sosioekonomi dan teman sebaya dapat mempengaruhi prestasi anak. Orang tua yang secara ekonomi baik dan memiliki aspirasi yang tinggi untuk anak cenderung memiliki anak dengan prestasi yang tinggi

b) Penggunaan waktu.

Motivasi akademik dan keyakinan akan kecakapan diri mempengaruhi anak menggunakan waktu mereka. Anak yang berprestasi di sekolah memiliki rencana untuk pendidikan dikemudian hari, pernikahan, pekerjaan, dibandingkan dengan anak yang kurang berprestasi. Anak yang kurang aktif dan kurang terlibat dalam aktifitas kegiatan sekolah cenderung memiliki pendidikan dan rencana pekerjaan yang kurang baik dan kurang optimis.

(8)

c) Status sosioekonomis dan lingkungan keluarga.

Status sosioekonomi menjadi faktor yang kuat dalam prestasi akademik melalui pengaruhnya terhadap iklim keluarga, lingkungan keluarga, dan cara membesarkan anak (National Council dalam Papalia, 2008). Status sosioekonomi mempengaruhi kemampuan orang tua untuk menyediakan lingkungan yang mendukukung pembelajaran. Selain itu juga faktor orang tua yang selalu memberikan dorongan kepada anak memiliki motivasi intrinsik yang lebih baik dibandingan dengan anak yang kurang diberikan dorongan oleh orang tua.

d) Keterlibatan orang tua dan gaya pengasuhan.

Orang tua dapat mempengaruhi prestasi pendidikan anak dengan melibatkan diri dalam pendidikan anak: bertindak sebagai penasehat bagi anak dan memberi kesan pada guru dengan keseriusan terget pendidikan keluarga (Bandura dalam Papalia, 2008). Anak dengan orang tua yang amat terlibat biasanya menjadi siswa yang terbaik.

e) Faktor sekolah.

Faktor sekolah seperti kepala sekolah dan guru. Guru yang memiliki harapan yang tinggi kepada siswa, lebih menekankan akan kegiatan akademik dibandingkan dengan aktivitas kurikuler (Linney & Seidman dalam Papalia, 2008). Siswa yang menyukai lingkungan sekolah memiliki prestasi akademik lebih baik dan sekolah yang mampu menyesuaikan pengajaran sesuai kemampuan siswa akan mendapatkan hasil yang lebih baik

(9)

dibandingkan dengan sekolah yang mencoba mengajar seluruh siswa dengan cara yang sama.

f) Harapan Guru

Harapan guru menjadi suatu hal yang penting ketika anak mendekati dan memasuki masa remaja. Harapan guru yang tinggi memprediksi secara signifikan motivasi, tujuan, dan minat siswa. Persepsi siswa terhadap umpan balik yang negatif dan kurangnya dorongan memprediksi secara konsisten masalah akademik dan sosial.

g) Sistem Pendidikan

Sistem pendidikan berpusat pada anak, artinya berfokus kepada minat anak. Sejumlah pendidikan dan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan, dimulai dengan memperbanyak pekerjaan rumah hingga organisasi dan kurikulum. Pendidikan pengajaran pada tingkat awal berfokus terhadap bidang berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki oleh anak.

A.3. Ciri-ciri Individu yang berprestasi

Sobur (dalam Sahputra, 2006) menyatakan bahwa ciri individu yang memiliki keinginan untuk memperoleh prestasi yang tinggi dihubungkan dengan seperangkat standar. Seperangkat standart tersebut dihubungkan dengan prestasi orang lain, prestasi yang lampau, serta tugas yang harus dilakukan. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan yang dilakukan. Adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk. Menghindari tugas

(10)

yang terlalu sulit atau terlalu mudah,akan tetapi memilih tugas yang tingkat kesulitannya sedang. Inovatif, yaitu dalam melakukan pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari pada sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapatkan cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam pencapaian tujuan. Tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan atau kegagalan disebabkan oleh individu itu sendiri.

Dengan demikian individu yang memiliki keinginan untuk berprestasi tinggi adalah individu yang memiliki standar berprestasi, memiliki tanggung jawab pribadi atas apa yang dilakukannya, individu tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau tindakan orang lain, individu suka bekerja pada tingkat kesulitan menengah dan realistis dalam pencapaian tujuannya, individu bersifat inovatif, dimana dalam melakukan tugas selalu dengan cara yang berbeda, efisien dan lebih baik dari sebelumnya, dengan demikian individu merasa lebih dapat menerima kegagalan atas apa yang dilakukannya.

B. Pola Asuh

B.1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga

(11)

meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam pendidikan karakter anak (Latifah, 2008).

Pola asuh menurut Handayani (2008) adalah konsep dasar tentang cara memperlakukan anak. Perbedaan dalam konsep ini adalah ketika anak dilihat sebagai sosok yang sedang berkembang, maka konsep pengasuhan yang diberikan adalah konsep psikologi perkembangan. Ketika konsep pengasuhan mempertahankan cara-cara yang tertanam di dalam masyarakat maka konsep yang digunakan adalah tradisional.

Menurut Nurani (2004) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak dan memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Sementara pola asuh menurut Baumrind (dalam Papalia, 2008) orang tua tidak boleh menghukum anak, tetapi sebagai gantinya orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Orang tua melakukan penyesuaian perilaku mereka terhadap anak, yang didasarkan atas perkembangan anak karena setiap anak memiliki kebutuhan dan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.

Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dengan anak meliputi cara orang tua memberikan aturan, hukuman, kasih sayang serta memberikan perhatian kepada anak.

(12)

B.2 Dimensi pola asuh

Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola asuh terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu:

1. Parental responsiveness

Orang tua bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak. Orang tua dan anak terlibat secara emosi dan menghabiskan waktu bersama dengan anak.

2. Parental demanding

Orangtua memberikan kontrol terhadap anak mereka. Orang tua menggunakan hukuman untuk dengan tujuan untuk mengontrol anak mereka. Orang tua bersikap menuntut dan memaksa anak dan orang tua akan memberikan aturan kepada anak ketika anak tidak memenuhi tuntutan dari orang tua.

B.3 Aspek-aspek Pola Asuh

Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola asuh terbagi beberapa aspek, yaitu:

a. Warmth

Orang tua menunjukkan kasih sayang kepada anak, adanya keterlibatan emosi antara orang tua dan anak serta menyediakan waktu bersama anak. Orang tua membantu anak untuk mengidentifikasi dan membedakan situasi ketika memberikan atau mengajarkan perilaku yang tepat

(13)

b. Control

Orang tua menerapkan cara berdisiplin kepada anak, memberikan beberapa tuntutan atau aturan serta mengontrol aktifitas anak, menyediakan beberapa standar yang dijalankan atau dilakukan secara konsisten, berkomunikasi satu arah dan percaya bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh kedisiplinan.

c. Communication

Orang tua menjelaskan kepada anak mengenai standar atau aturan serta pemberian reward atau punish yang dilakukan kepada anak. Orang tua juga mendorong anak untuk bertanya jika anak tidak memahami atau setuju dengan standar atau aturan tersebut

B.4. Jenis – jenis Pola Asuh

Jenis-jenis pola asuh terdiri dari authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved (Baumrind, Maccoby & Martin dalam Papalia, 2008). Kategorisasi setiap jenis pola asuh berdasarkan tinggi atau rendahnya aspek pola asuh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel berikut :

Tabel 1. Kategorisasi jenis pola asuh Aspek Pola Asuh Warm Tinggi Rendah Control Tinggi Rendah Communication Tinggi Rendah Authoritative √ √ √ Authoritarian √ √ √ Permissive √ √ √ Uninvolved √ √ √

(14)

Menurut Baumrind (dalam Papalia, 2008) terdapat 3 jenis pola asuh, yaitu: a. Pola asuh authoritharian

Gaya yang membatasi, menghukum, memandang pentingnya kontrol dan kepatuhan tanpa syarat. Orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Menerapkan batas dan kendali yang tegas kepada anak dan meminimalisir perdebatan verbal serta memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukkan amarah kepada anak (Santrock, 2003). Cenderung tidak bersikap hangat kepada anak. Anak dari orang tua otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, memiliki kemampuan komunikasi yang lemah (Papalia, 2008).

b. Pola asuh authorithative

Pola asuh authorithative adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Mendorong anak untuk mandiri namun menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka (Santrock, 2003). Orang tua memiliki keyakinan diri akan kemampuan membimbing anak-anak mereka, tetapi juga orang tua menghormati independensi keputusan, pendapat, dan kepribadian anak. Mereka mencintai dan menerima, tetapi juga menuntut

(15)

perilaku yang baik, dan memiliki keinginan untuk menjatuhkan hukuman yang bijaksana dan terbatas ketika hal tersebut dibutuhkan. Tindakan verbal memberi dan menerima, orang tua bersikap hangat dan penyayang kepada anak. Menunjukkan dukungan dan kesenangan kepada anak. Anak-anak merasa aman ketika mengetahui bahwa mereka dicintai dan dibimbing secara hangat (Papalia, 2008). Serta orang tua mengajarkan disiplin kepada anak agar anak dapat mengeksplorasi lingkungan dan memperoleh kemampuan interpersonal. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif bersifat ceria, bisa mengendalikan diri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dapat mengatasi stres dengan baik (Parke & Gauvain, 2009).

c. Pola asuh permissive

Gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol. Membiarkan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Anak menerima sedikit bimbingan dari orang tua, sehingga anak sulit dalam membedakan perilaku yang benar atau tidak. Serta orang tua menerapkan disiplin yang tidak konsisten sehingga menyebabkan anak berperilaku agresif. Anak yang memiliki orang tua permissive kesulitan untuk mengendalikan perilakunya, kesulitan berhubungan dengan teman sebaya, kurang mandiri dan kurang eksplorasi ( Parke & Gauvain, 2009).

(16)

Kemudian Aleanor dan John Martin (dalam papalia, 2008) menambahkan satu jenis pola pengasuhan yaitu:

d. Pola asuh Uninvolved

Gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak mereka. Lebih mementingkan akan kebutuhan mereka sendiri dibandingkan dengan kebutuhan anak. Anak dari orang tua yang mengasuh dengan cara uninvolved maka memiliki keterampilan sosial yang rendah, kemandirian yang kurang baik, dan tidak termotivasi untuk berprestasi (Parke & Gauvain, 2009). C.Kanak-kanak Akhir

Masa kanak-kanak akhir dikenal dengan anak usia sekolah yang berada pada rentang usia 6 hingga 12 tahun. Masa ini ditandai dengan kondisi untuk menyesuaikan diri maupun sosial terhadap lingkungan (Hurlock, 1980). Terdapat beberapa label yang biasa digunakan untuk anak usia sekolah. Label yang sering dipergunakan orangtua, yaitu usia yang menyulitkan, usia tidak rapi, dan usia bertengkar. Label yang dipergunakan para pendidik, yaitu usia sekolah dasar dimana anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang penting untuk kehidupannya kelak. Sedangkan, para ahli psikologi menyebut masa ini dengan sebutan usia berkelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif, dan usia bermain (Hurlock, 1980). Anak usia sekolah memiliki beberapa fase perkembangan yaitu perkembangan intelektual, bahasa, sosial, emosi, moral, dan motorik (Yusuf, 2004).

(17)

C.1 . Fase Perkembangan Kanak-kanak Akhir a. Perkembangan Intelektual

Anak sudah mampu dalam menanggapi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual dan kognitif seperti membaca, menulis, dan menghitung. Kemampuan intelektual ditandai dengan adanya perkembangan pola pikir dan daya nalar. Daya nalar anak dapat dikembangkan dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapatnya baik yang dialaminya atau yang terjadi pada lingkungan (Yusuf, 2004).

Pada masa ini daya pikir anak kearah konkrit operasional, yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan baru, yaitu kemampuan mengklasifikasi, menyusun dan mengasosiasikan dan anak sudah mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang sederhana (Yusuf, 2004).

b. Perkembangan Bahasa

Usia sekolah dasar ini merupakan masa berkembangnya kemampuan untuk mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Pada awal masa ini , anak sudah menguasai 2.500 kata, dan pada masa kanak-kanak akhir anak mampu menguasai 50.000 kata. Pada kemampuan berpikir anak sudah mengalami perkembangan, dimana anak sudah memahami mengenai sebab akibat dan waktu (Yusuf, 2004).

c. Perkembangan Sosial

Perkembangan pada anak usia sekolah dasar ditandai dengan berkembangnya hubungan, disamping dengan keluarga juga memulai dengan adanya ikatan baru

(18)

dengan teman sebaya. Pada masa ini anak bersikap egosentris. Memiliki keinginan yang kuat untuk bergabung dalam sebuah kelompok (Yusuf, 2004).

Kemampuan sosial ini membuat anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan dalam kemampuan sosial ini dapat digunakan dalam memberikan tugas-tugas kelompok. Tugas-tugas kelompok ini memberikan kesempatan kepada anak untuk menunjukkan prestasinya (Yusuf, 2004).

d. Perkembangan Emosi

Pada masa ini, anak sudah menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidak dapat diterima oleh masyarakat. Oleh sebab itu, anak mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosi. Kemampuan mengontrol diperoleh anak melalui latihan. Emosi merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku individu, termasuk dalam perilaku belajar. Emosi yang positif akan mengarahkan anak untuk berkonsentrasi terhadap aktifitas belajarnya (Yusuf, 2004).

e. Perkembangan Moral

Anak mulai mempelajari konsep moral pertama kali pada lingkungan keluarga. Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mematuhi tuntutan dari orang tua atau lingkungannya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan dan juga anak sudah mampu mengasosiasikan bentuk perilaku dengan konsep benar dan salah atau baik dan buruk (Yusuf, 2004).

(19)

f. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak sudah dapat berkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak. Oleh sebab itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis, main bola, menggambar, dan melukis (Yusuf, 2004).

Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dibidang pengetahuan maupun keterampilan. Oleh sebab itu, perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar. Pada masa ini, anak sudah menerima beberapa pelajaran keterampilan (Yusuf, 2004).

D.Tionghoa dan Non-Tionghoa D.1. Tionghoa

a. Praktik Pengasuhan Orang tua Tionghoa

Orang tua Tionghoa memberikan beberapa tanggung jawab terhadap anaknya. Di mana dalam hal ini orang tua meminta anak untuk terus mengembangkan diri dan introspektif diri. Untuk mencapai karakter yang terintegrasi moral, seseorang harus bersikap sederhana. Untuk mengetahui tujuan, maka seseorang terus mencari pengetahuan, dengan cara memupuk rasa keuletan untuk mencapai tujuan yang dilaksanakan. Anak dari keluarga Tionghoa dituntut untuk memiliki harapan atau cita-cita yang tinggi ( Xu Xin, 2010 ).

Orang tua Tionghoa mengajarkan cara agar anak disiplin, moral, serta kebajikan. Orang tua merasa bahwa tanpa ada disiplin yang ketat dan standar

(20)

moral, seorang anak tidak akan menjadi apa-apa. Tanpa mengetahui apa artinya menghormati kepada kedua orang tua, seorang anak akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak menghormati siapapun. Seperti seorang anak yang tumbuh dalam kebajikan ( Xu Xin, 2010 ).

Pendidikan dinilai penting pada keluarga Tionghoa sehingga anak Tionghoa dituntut untuk memahami potensi yang ia miliki. Orang tua membiasakan anak untuk menjadi pribadi yang cerdas, ulet dan mendukung serta mengarahkan anak dalam pendidikannya. Ditambah lagi dengan orang tua yang mendidik anaknya untuk bekerja keras dalam pendidikan, dengan hal ini anak mampu untuk mengembangkan diri dan memperoleh prestasi akademik yang baik di sekolah (Maloedyn, 2010).

D.2. Non Tionghoa

a. Praktik Pengasuhan Orang tua Non-Tionghoa

Orang tua Non-Tionghoa cenderung mempercayakan pengasuhan anak kepada orang lain dan orang tua tidak terlibat sepenuhnya dalam mengasuh anak oleh sebab itu anak akan lebih dekat dengan pengasuhnya dibandingkan dengan orang tuanya. Selain itu juga orang tua juga mengajarkan hal-hal yang tidak rasional atau masuk akal yang mendorong anak untuk memunculkan sikap egosentris, misalnya ketika anak terjatuh dilantai orang tua mengatakan kepada anak bahwa lantainya yang salah dan orang tua memukul lantai (Anita, 2008).

Orang tua Non-Tionghoa juga cenderung untuk memasukkan anak dalam les atau bimbingan yang dapat mendukung prestasi akademik anak di sekolah. Akan tetapi orang tua Non-Tionghoa cenderung mempercayakan kemajuan atau

(21)

kelemahan anak dalam belajar kepada guru yang bersangkutan tanpa terlibat dalam aktifitas belajar anak dan kurangnya disiplin terhadap waktu. Rata-rata anak Non-Tionghoa menghabiskan waktu luangnya untuk membaca dan bermain komputer. Ditambah lagi dengan beberapa sikap orang tua Non-Tionghoa yang cenderung kurang dalam memberikan dorongan kepada anak sehingga anak kurang tertarik untuk melakukan aktifitas belajar (Sugito, 2007).

b.Prestasi Akademik ditinjau dari Pola Asuh dan Etnis

Keluarga merupakan sumber pendidikan yang utama karena melalui keluarga anak memperoleh pengetahuan dan kecerdasan intelektual (Gunarsa, 2003). Setiap keluarga menerapkan caranya tersendiri dalam mendidik, mengasuh dan membimbing anak yang dapat mempengaruhi keberhasilan belajar anak di sekolah yang dapat mendukung prestasi akademik yang baik (Syah, 1999). Cara mengasuh dan mendidik ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, budaya yang berbeda akan menggunakan cara mendidik dan mengasuh yang berbeda yang akan menghasilkan prestasi akademik yang berbeda, yaitu pada Tionghoa dan Non-Tionghoa (Chao dalam Darling & Stenberg, 1993).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shek & Chan (dalam Huang & Larry, 2004) menyatakan bahwa ada beberapa atribut yang penting oleh orang tua Tionghoa terhadap anak yaitu hubungan dengan keluarga, prestasi akademik, perilaku yang baik dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Prestasi akademik merupakan hal yang penting pada orang tua Tionghoa sehingga anak dituntut bekarja keras agar memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini didukung oleh hasil Guan Report (Xie dalam Huang & Larry, 2004) yang menyatakan

(22)

bahwa 70% orang tua Tionghoa lebih fokus terhadap prestasi akademik anak. Selaras dengan penelitian selanjutnya yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi akademik 83% orang tua Tionghoa menyediakan cara yang berbeda dalam mendidik anak yaitu dengan menyewa tutor atau mengawasi anak ketika sedang belajar.

Sebaliknya pada Non-Tionghoa, beberapa orang tua Non-Tionghoa berpikir bahwa anak memulai belajar ketika anak memasuki sekolah oleh sebab itu orang tua menyerahkan pendidikan seutuhnya kepada para pendidik sekolah. Hal ini menyebabkan orang tua kurang memahami perkembangan anak (Derry, 2008). Ditambah lagi dengan rata-rata orang tua Non-Tionghoa yang jarang terlibat dalam aktifitas belajar anak dan mengawasi anak ketika sedang belajar sehingga orang tua kurang memahami kelebihan dan kelemahan anak dalam belajar (Chairinniza, 2007). Orang tua juga banyak memberikan les atau bimbingan kepada anaknya, banyaknya les dan bimbingan yang diberikan oleh orang tua dapat menurunkan keberhasilan anak di sekolah (Anita, 2008).

Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademik adalah pola asuh orang tua. Pola asuh atau cara mendidik anak dapat mempengaruhi pencapaian prestasi akademik yang baik di sekolah (Sobur, 2003). Orang tua yang terlibat secara aktif dalam proses belajar dapat mendukung prestasi akademik anak di sekolah. Peran orang tua yang aktif ini dapat membuat anak memahami akan pentingnya arti belajar. Sebaliknya jika orang tua kurang terlibat dalam aktifitas belajar anak maka anak kurang mendapatkan prestasi akademik yang memuaskan di sekolah (Chairinniza, 2007). Hal ini didukung penelitian yang hasilnya

(23)

menunjukkan bahwa rata-rata yang melatarbelakangi anak berprestasi di sekolah adalah dukungan atau keterlibatan orang tua dalam aktifitas belajar anak (Marjohan dalam Fitriyah, 2008). Selain itu, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua juga mempengaruhi pola asuh. Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative, authoritarian, permissive dan uninvolved akan memberikan dampak yang berbeda terhadap prestasi akademik (Papalia, 2008).

Pada pola asuh authoritarian orang tua menuntut anak untuk menuruti aturan yang dibuat oleh orang tua dan orang tua menyediakan lingkungan dengan aturan-aturan yang jelas. Hasilnya anak memiliki prestasi akademik yang rendah. Pada pola asuh authoritaritative orang tua memonitor dan menerapkan standar perilaku yang jelas kepada anak, menggunakan disiplin sebagai bentuk dukungan kepada anak. Hasilnya anak memiliki prestasi akademik yang baik. Pola asuh permissive orang tua bersikap toleransi terhadap anak akan tetapi orang tua tidak memperhatikan anak sesuai dengan masa perkembangannya. Hasilnya anak memiliki prestasi akademik yang rendah. Pola asuh uninvolved merupakan tipe orang tua yang menolak dan mengabaikan anak. Hasilnya anak memiliki prestasi akademik yang rendah (Baumrind dalam Darling & Steinberg, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Baumrind tahun 1991 (dalam Papalia, 2008) menunjukkan bahwa pola asuh authoritative lebih efektif dalam menghasilkan prestasi akademik yang baik dibandingkan dengan pola asuh authoritarian dan Permissive. Pola asuh authoritarian dan Permissive cenderung menghasilkan performansi akademik yang rendah dan rendahnya

(24)

kemampuan kognitif dan sosial. Sebaliknya, para peneliti menemukan bahwa gaya pengasuhan authoritarian diasosiasikan dengan hasil yang lebih positif (Santrock, 2003).

Setiap orang tua memiliki gaya atau pola asuh tersendiri dalam melakukan tugasnya sebagai orang tua. Dalam hal ini adalah Tionghoa dan Non-Tionghoa. Pada Tionghoa, umumnya orang tua menggunakan pola asuh authoritarian dan sedikit menerapkan pola asuh authoritative, dalam hal ini orang tua menggunakan nilai-nilai tradisional dalam mendidik anak dan menerapkan beberapa aturan atau kontrol kepada anak. Konsep pola asuh yang diterapkan oleh orang tua Tionghoa adalah pelatihan yaitu melatih anak untuk disiplin terhadap dirinya sendiri, bekerja keras dan menyediakan dorongan dan perhatian kepada anak untuk mendukung keberhasilan anak di sekolah (Chao dalam Huang & Larry, 2004).

Sebaliknya pada Non-Tionghoa, umumnya orang tua menerapkan pola asuh permissive, dalam hal ini rata-rata orang tua Non-Tionghoa memasukkan anak ke dalam les atau bimbingan belajar guna meningkatkan prestasi akademik anak tetapi anak menghabiskan waktu yang banyak untuk mengikuti jadwal bimbingan dan les sehingga anak memiliki waktu yang kurang untuk bermain. Hal ini bisa menjadi beban anak sehingga dapat menurunkan prestasi akademiknya di sekolah akan tetapi orang tua menyerahkan sepenuhnya kemajuan dan kelemahan anak kepada guru privat atau guru sekolahnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Drost (dalam Anita, 2008) seorang pendidik dan pengamat pendidikan yang menyatakan bahwa orang tua Non-Tionghoa umumnya memaksakan anak untuk

(25)

mengikuti les atau bimbingan diluar rumah untuk mendukung keberhasilan di sekolah dan anak dipaksa untuk memahami suatu pelajaran. Hal ini dapat merugikan diri anak sendiri. Ditambah lagi dengan kurangnya sikap orang tua dalam memberikan dukungan, semangat dan menciptakan suasana belajar yang nyaman di rumah.

c. Hipotesa

Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah :

1. Ada perbedaan prestasi akademik ditinjau dari pola asuh authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved. Di mana pola asuh authoritative diasosiasikan dengan hasil prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan dengan pola asuh authoritarian, permissive, dan uninvolved

2. Ada perbedaan prestasi akademik ditinjau dari etnis, yaitu Tionghoa dan Non-Tionghoa. Di mana etnis Tionghoa lebih baik dalam prestasi akademik dibandingkan dengan etnis Non-Tionghoa

3. Ada interaksi antara pola asuh dan etnis terhadap prestasi akademik. Di mana ada pengaruh pola asuh dan etnis terhadap prestasi akademik

Gambar

Tabel 1. Kategorisasi jenis pola asuh  Aspek  Pola Asuh  Warm  Tinggi    Rendah  Control  Tinggi    Rendah  Communication  Tinggi      Rendah  Authoritative     √         √  √  Authoritarian                      √     √                                  √

Referensi

Dokumen terkait

Untuk orang-orang yang saat ini sedang duduk dan kesakitan di luar sana, jika saya ingin meringkas hidup saya dan meringkas apa yang dapat mereka lakukan dalam

Demikian eratnya truth (kebenaran) dan Spirit (Roh Kudus) sehingga di dalam Yoh.16:13 Tuhan Yesus mengatakan, bahwa Roh yang dijanjikan tersebut adadah Roh Kebenaran. Spirit

Kebijakan frekuensi optimal untuk produk oli castrol berjenis 5W-30 adalah sebanyak 10 kali pemesanan, Titik pemesanan ulang optimal untuk oli castrol 5W-30 yaitu pada

Komputerisasi mesin uji kekcrasan ini dil ak ukan dengan beberapa tahap kegiatan yai lu pembualan adaptor kamera , insta lasi kamera pada mikroskop dan komputcr

Titik kesamaan hotel Aryuka dengan pesaing adalah menyediakan jasa perhotelan dan konsep hotel budget, sedangkan titik perbedaan yaitu pelayanan dengan menyampaikan nilai

[r]

Sebagai tenaga profesional kedudukan guru adalah agen pembelajaran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, dalam hal ini guru dituntut memiliki

Remediasi tanah sulfat masam untuk tambak dapat meningkatkan produktivitas tanah yang lebih baik untuk budidaya udang sistem monokultur dan polikultur.. Penelitian