• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

Lailatul Mufidah

C022103035

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

tani tambak berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya”. Rumusan masalahnya: Pertama, bagaimana prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya. Kedua, bagaimana tinjuan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

Data penelitian ini dihimpun melalui observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai upah

mengupah dan ‘urf yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan

mengenai pelaksanaan praktik kegiatan upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.

Hasil penelitian diperbolehkan dalam Islam, karena upah buruh tani tambak yang dilakukan di desa ini telah dipenuhi segala tanggung jawab, hak dan kewajiban baik para pemilik tambak maupun pekerja/buruh tani tambak tersebut. Namun hal tersebut menjadi perhatian ketika perjanjian yang dilakukan secara lisan tanpa ada bukti tertulis, dan pemeberian upah pekerja/buruh tidak sesuai dengan pejanjian diawal melainkan harus menunggu sampai ikan hasil panen yang dititipkan di pengepul terjual.

Selanjutnya, berdasarkan ‘urf dari praktik kegiatan upah yang dilakukan adalah

merupakan tindakan persuasif yang tepat karena membujuk secara halus agar mereka yakin

dengan menggunakan cara pendekatan. karena dampak positif yang ditimbulkan lebih luas

dari pada dampak negatifnya. Maka menerapkan kaidah fikih mengenai ‘urf bahwa adat kebiasaan lebih diutamakan untuk pencapaian kemaslahatan. Dengan begitu praktik kegiatan

upah buruh tani tambak hukumnya boleh. Serta shari>‘ah Islam sangat menganjurkan kaum

muslimin untuk melakukan pekerjaan halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakkal (bersandar/ berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah dalam semua usaha yang mereka lakukan.

(7)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan dan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 20

(8)

x

5. Kedudukan ‘Urf Dalam Penetepan Hukum ... 23

B. KONSEP UPAH (UJRAH) ... 33

1. Pengertian Upah ... 33

2. Dasar Hukum Upah ... 36

3. Rukun dan Syarat Upah ... 37

4. Macam-macam Upah ... 39

5. Berakhirnya dan Pembatalan Upah ... 41

6. Pendapat Para Fuqaha’ Terhadap Upah ... 42

7. Hikmah atau Manfaat Upah ... 44

C. UPAH BERDASARKAN PP NO. 78 TAHUN 2015... 44

BAB III PRAKTIK KEGIATAN UPAH BURUH TANI TAMBAK DI DESA GUNUNG ANYAR TAMBAK SURABAYA. A. Gambaran Umum Desa Gunung Anyar Tambak 49

1. Letak Geografis ... 49

2. Keadaan Demografis ... 50

3. Mata pencaharian penduduk ... 50

4. Tingkat pendidikan ... 50

5. Keadaan sosial budaya ... 51

6. Kehidupan beragama ... 51

(9)

xi

Profesi ini di Desa Gunung Anyar Tambak RW.1 Surabaya .. 54

3. Praktik kegiatan Upah Buruh Tani Tambak di Desa Gunung

Anyar Tambak RW.1 Surabaya ... 55

4. Pendapat masyarakat tentang praktik kegiatan upah buruh tani

tambak di Desa Gunung Anyar Tambak RW.1 Surabaya ... 62

BAB IV ANALISIS ‘URF TERHADAP UPAH BURUH TANI TAMBAK

BERDASARKAN PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN

STUDI KASUS DI DESA GUNUNG ANYAR TAMBAK SURABAYA.

A. Analisis Terhadap Praktik Kegiatan ‘Urf Upah Buruh Tani Tambak

di Desa Gunung Anyar Tambak RW. 1 Surabaya 65

B. Analisis ‘Urf Terhadap Upah Buruh Tani Tambak Berdasarkan PP

No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar

Tambak RW. 1 Surabaya 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 78

B. Saran 79

DAFTAR PUSTAKA

(10)

xii

[image:10.595.133.481.247.551.2]

Gambar 3.2. Pengepul Menerima dan Menjual Ikan ... 60

(11)

xiii

A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. ا ’ ط t{

2. ب B ظ z{

3. ت T ع

4. ث Th غ Gh

5. ج J ف F

6. ح h{ ق Q

7. خ Kh ك K

8. د D ل L

9. ذ Dh م M

10. ر R ن N

11. ز Z و W

12. س S ه H

13. ش Sh ء

14. ص s{ ي Y

15. ض d{

Sumber : Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers,

Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press,1987).

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

َ fath{ah A

َ kasrah I

ُُ - d{ammah U

Catatan : Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika

apostrof hanya berlaku jika hamzah berh{arakat sukun atau didahului oleh huruf

(12)

xiv

ْ وى fath{ah dan wawu aw a dan w

Contoh: bayna (نيب)

: mawd{u>' ( عوضوم )

3. Vokal Panjang

Tanda dan Huruf Arab

Nama Indonesia Ket.

ْ اى fath{ah dan a< a dan garis di atas

يى kasrah dan ya’ i< i dan garis di atas

وى d{ammah dan wawu u< u dan garis di atas

Contoh : al-jama>'ah (ةع امجلا)

: takhy>ir (رييخت)

: yadu>ru (رودي) C. Ta>’ Marbu>t{ah

Transliterasi untuk ta’ marbu@t}ah ada dua :

1. Jika hidup (menjadi mud}a@f) transliterasinya adalah t.

2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>'at al-Isla>m (م اساا ةعيرش) shari>'at isla>mi>yah (ةيم اسا ةعيرش)

D. Penulisan Huruf Kapital

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk individu juga disebut sebagai makhluk sosial

yang mana kehidupan mereka tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa

bantuan orang lain, karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing yang mampu melengkapi kekurangan manusia lainnya. Akan

tetapi dalam kehidupan sosial tidak sedikit sering kita jumpai masalah-masalah

sosial di dalamnya. Sehingga kita sering temui banyak aturan yang telah dibuat

untuk mengimbangi setiap masalah yang terjadi dalam kehidupan sosial, baik

dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah, agama maupun hukum adat yang

sering dianuti oleh suatu kaum masyarakat tertentu.

Dalam menjalankan kehidupan mereka, manusia tidak pernah luput dari

ekonomi untuk menunjang kehidupan mereka, seperti halnya yang telah

dijelaskan dalam fikih muamalah, yang merupakan suata aturan yang

membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah

masyarakat, berbagai kegiatan muamalah dalam masalah keduniaan misalnya

dalam persoalan jual-beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja

sama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.1

Harta merupakan sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika

dibutuhkan. Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam

1

(14)

menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama fikih memasukkan harta

dalam salah satu al-dharuriyyat al-khamsah yakni lima keperluan pokok

diantaranya: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Allah memerintahkan

manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya dengan cara yang

halal. Banyak al-Quran dan Hadist yang memerintahkan hal tersebut, antara

lain dalam firman Allah surah al-jum’ah ayat 10 yang berbunyi:

َف ِإ َذ

ُق ا

ِض

َي

ِت

َصلا

َا

ُة َف

ْ ِا َت

ِش

ُر ْو

ِف ا

َْاا ي

ْر

ِض

َو ْ با

َ ت ُغ ْ

و ِما

ْن

َف

ْض

ِل

ِهللا

...

“apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah...”2

Islam tidak pernah membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan

memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum

yang berlaku, yaitu halal dan haram. Karena bagaimanapun juga yang

menuntukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah sendiri. Di

samping itu, dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan tetapi,

merupakan alat untuk menyempurnakan kehidupan dan untuk mencapai

keridhaan Allah.

Demikian halnya juga dengan tenaga kerja merupakan salah satu factor

produksi yang paling penting, keberadaan tenaga kerja tidak boleh begitu saja

dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya. Hal

yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja adalah Upah. Pada dasarnya

upah bukan merupakan persoalan yang hanya berhubungan dengan uang,

2Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro

(15)

melainkan merupakan persoalan yang lebih berkaitan dengan penghargaan

manusia terhadap sesamanya, tentang bagaimana ia memandang dan

menghargai orang lain yang ada disekitarnya.

Upah sendiri merupakan hak pekerja atau buruh yang diterima dan

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi

kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu

perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk

tunjangan dari pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan

dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan, seperti yang telah dijelaskan

dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undangn No. 13 Tahun 2003. Dan setiap

pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88

ayat 1)3

Pemberian upah (Ujrah) adalah berdasarkan perjanjian kerja, karena

perjanjian kerja akan menimbulkan hubungan kerja antara buruh dan majikan

yang berisi hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak bagi pihak yang

satu menjadi kewajiban bagi pihak yang lainnya, dan kewajiban sebagai

majikan adalah memberikan upah yang layak dan sesuai dengan perjanjian.

Karena dengan menggunakan cara ini dapat memperkuat persaudaraan antara

umat muslim, dan bisa menanamkan sikap saling menghargai yang pada

akhirnya akan tercipta rasa saling tolong menolong dan bahu membahu, yang

mampu membangun semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.4

3Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 102.

4

(16)

Sedangkan penetapan upah bagi para buruh harus mencerminkan keadilan,

yang mempertimbangkan aspek kehidupan sehingga pandangan Islam tentang

hak buruh dalam menerima upah bisa terwujud. Berkaitan dengan masalah ini

dilakukanlah penelitian di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, dimana

mayoritas penduduknya berpenghasilan dari petani dan buruh tambak. Usaha

pertanian merupakan usaha yang banyak ditekuni di desa tersebut, dengan

memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan. Adat

kebiasaan pengupahan yang terjadi di Desa Gunung Anyar Tambak ini tidaklah

jauh berbeda dengan sistem pengupahan yang terjadi pada umumnya, akan

tetapi seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi,

semakin banyak yang menunjukkan pada kecenderungan yang cukup

memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi. Tidak sedikit

masyarakat di kalangan menengah ke bawah di desa ini banyak yang memilih

untuk menjadi buruh tani tambak.

Sistem upah yang diberikan oleh pemilik tambak kepada buruhnya, yang

bekerja untuk memberi makan ikan setiap pagi dan sore, menjaga setiap keluar

dan masuk air saat pasang surut air laut, dan menjaga tambak sewaktu terjadi

tingginya air laut dengan didampingi pemilik tambak tersebut. Karena suatu

kebiasaan yang terjadi pada desa ini adalah tingginya rasa saling percaya dan

tolong menolong yang terjadi. Sistem penentuan upah para buruh tani tambak

dilakukan setiap kali panen ikan dengan menggunakan imbalan bagi hasil 2:1,

sehingga para buruh tidak mengetahui secara jelas berapa upah mereka

(17)

tergantung dengan cuaca dan pasaran penjualan ikan, sedangkan upah mereka

diberikan setelah ikan hasil panen yang dititipkan kepada pengepul terjual

semua.

Karena sedikitnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan di desa ini tak

sedikit dari mereka melakukan perjanjian ini dengan tidak menggunakan sistem

perjanjian hitam diatas putih atau perjanjian tertulis, mereka melakukan

perjanjian dengan dasar rasa percaya, sehingga tidak sedikit pula sering terjadi

wanprestasi di dalamnya. Dalam ajaran Islam seseorang disyaratkan bila

mempekerjakan seseorang itu harus memberi tahu secara jelas berapa upah yang

akan mereka terima, sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW yang

diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri:

َع ْن

َأ ِب

َس ي

ِع ْي

َِ

َق

َلا

ِإ

َذ

ْسا ا

َت ْأ

َج ْر

َت

َأ

ِج

ْ ي ًر

َ ف ا

ْعَ يْل

َِ

ْل

َأ ْج

َر ُه

“dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: barang siapa yang mencari seseorang untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah menyatakan kepadanya berapa upahnya” (HR. An-Nasa’i) 5

َع ْن

َع ْب

َِ

ِهللا

ْب

ِن

ُع ََ

ِر

َق

َلا

َر

ُس ْو

ُل

ِهللا

ََ َل

ى

ُهللا

َع َل

ْي ِه

َو َس

َل ِم

َأ

ْع

ُط ْو

َْاا ا

ِج

ْ ي َر

َأ

ْج َر

ُه َ ق

ْب َل

َأ

ْن

ُي ِج

َف

َع َر َق

ُه

“Dari Abdullah Ibn Umar ra ia berkata: Rasullah SAW bersabda berikanlah

upah orang upahan sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majjah)6

Sesuai dari perjanjian upah hasil panen tersebut adalah 2:1 dari sekali hasil

panen, akan tetapi sering terjadi penangguhan gaji tidak sesuai waktu yang

(18)

telah disepakati, karena hasil pertanian ikan tersebut tidak bisa lansung dijual

melainkan melalui perantara pengempul, sehingga hasil panen tersebut tidak

bisa terlihat hasilnya secara lansung. Akibatnya para buruh tani tidak bisa

lansung menerima upah mereka dikarenakan menunggu hasil panen tersebut

terjual agar bisa terlihat berapa hasil yang didapatkan, setiap pemilik usaha

pertanian tambak ini memiliki pengempul masing-masing, terkadang satu

pengempul bisa memiliki 3, 4 bahkan lebih pemilik usaha pertanian ikan,

sehingga terkadang ikan yang ditampung oleh pengempul terlalu banyak

tersimpan sehingga sampai terjadi penurunan harga ikan.

Di tinjau dari segi hukum Islam, menurut Imam Syafi’i upah mengupah

merupakan memberi ganti atas pengambilan manfaat tenaga dari orang lain

sesuai dengan syarat-syarat tertentu,7 sehingga praktik upah mengupah yang

terjadi pada buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak ini sah dan halal

untuk dikerjakan jika sesuai dan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Namun

ketika terdapat unsur yang tidak sesuai dalam upah mengupah maka bisa

menggeser konsep kehalalannya, karena dalam kitab fikih madzhab Imam

Syafi’i menjelaskan cara memberikan upah pada buruh atau pegawai,

hendaknya memenuhi dua unsur didalamnya yang dalam al-Qur’an sendiri

sering dijelaskan yakni : yang pertama adalah memberikan upah kepada buruh

atau pegawai sesegera mungkin sebelum kering keringat mereka seperti dalam

hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah beliau

bersabda: “Berilah upah orang yang bekerja sebelum kering peluhnya”, dan

(19)

yang kedua adalah sebelum memulai suatu pekerjaan tersebut hendaklah

memberitahukan secara jelas dan rinci berapa upah yang akan ia terima seperti

yang telah disebut dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazak beliau

bersabda: “Barang siapa mencari seseorang untuk mengerjakan sesuatu,

hendaklah menyatakan kepadanya berapa upahnya.8

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, penulis merasa bahwa masalah

ini perlu adanya penelitian. Dari beberapa permasalahan untuk mengakaji lebih

lanjut terkait sistem upah mengupah yang terjadi dalam judul “Tinjauan ‘Urf

Terhadap Upah Buruh Tani Tambak Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2015

Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan yang ada pada latar belakang masalah

di atas, penulis mengidentifikasikan beberapa masalah yang muncul

dari kegiatan upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak

adalah sebagai berikut:

a. Lokasi kegiatan tambak ikan di Desa Gunung Anyar Tambak

Surabaya.

b. Pemilik dan buruh tani tambak yang terlibat dalam kegiatan

pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

(20)

c. Pengepul ikan yang membantu pemilik tambak menjualkan hasil

tambaknya.

d. Hasil dari panen tambak serta prosedur upah buruh tani tambak di

Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

e. Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa Gunung

Anyar Tambak Surabaya.

f. Upah buruh tani tambak dalam perspektif peraturan pemerintah no.

78 tahun 2015 tentang pengupahan.

2. Batasan Masalah

Agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan

yang sebenarnya, maka penulis memberi pembatasan masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis memberikan

batasan yaitu:

1. Prosedur upah mengupah yang terjadi antara pemilik pertanian

tambak dengan buruh tani di Desa Gunung Anyar Tambak

Surabaya.

2. Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di desa Gunung

Anyar Tambak Surabaya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa

(21)

1. Bagaimana prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar

Tambak Surabaya?

2. Bagaimana tinjauan‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa

Gunung Anyar Tambak Surabaya?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang

memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian

terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak ada

pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat

ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait dengan kegiatan upah

mengupah. Diantaranya:

Pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ade Taufiq Ibrahim,

Muamalah 2012. Yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Upah Catanon di Desa Cieurih Kecamatan Maja

Kabupaten Majalengka” dalam kajian penelitian ini membahas tentang

proses upah catanon tanpa adanya akad tertulis dan hanya satu kali akad

ketika menyuruh menanam padi saja, mekanisme pemberian upah menunggu

waktu panen tiba dengan perbandingan 1:6, masa kerja dalam upah catanon

ada 2 kali yaitu ketika menanam dan panen.9

9Ade Taufiq Ibrahim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upah Catanon di Desa Cieurih

(22)

Kedua penelitian yang dilakukan oleh saudari Eva Sastri Rahayu,

Muamalah 2014. Yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Analisis Urf

dan UU No. 13 tahun 2003 Terhadap Upah Giling Padi yang Tidak

Berbentuk Uang di Desa Tanon Kecamatan Papar Kabupaten Kediri” dalam

kajian penelitian ini membahas kegiatan penggiling padi antara pihak

pengguna jasa giling padi (petani) dan pihak pemberi jasa giling padi tersebut

tidak hanya berjalan ketika musim panen padi saja dan upah mereka

diperoleh bukan dalam bentuk uang sebagaimana mestinya, melainkan

berupa hasil dari pengelohan padi yaitu beras. Keseluruhan padi yang telah

digiling ditimbang dan diambil 2 kilogram per 50 kilogram hasil

penggilingan padi tersebut. 10

Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Fathur Rizqi, Muamalah

2013, yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Sistem Pengupahan

Buruh Jahit di Konveksi Jazza Wayang kecamatan Bojong Kabupaten

Pekalongan dalam Perspektif Hukum Islam” dalam kajian penelitian ini

membahas pengupahan dengan menggunakan sistem pocokan yaitu bila

mendesak maka sebagian kecil dari upah akan ditangguhkan untuk menutupi

biaya produksi selanjutnya. Penelitian lapangan dengan perbedaan gaji yang

10 Eva Sastri Rahayu, “Analisis Urf dan UU No 13 Tahun 2003 Terhadap Upah Giling Padi yang

(23)

diperoleh para buruh didasarkan pada penilaian kinerja/prestasi kerja yang

diukur berdasarkan kwalitas yang dicapai.11

Dengan adanya kajian pustaka di atas, penulis melakukan penelitian ini

dengan variabel yang berbeda. Penelitian dengan judul “Tinjauan ‘Urf

Terhadap Upah Buruh tani Tambak Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2015

Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya” ini lebih

memfokuskan pada upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak

Surabaya kemudian penulis meninjau dari metode ‘Urf.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan

penelitian ini penulis memiliki tujuan:

1. Untuk Mengetahui prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung

Anyar Tambak Surabaya.

2. Untuk mengetahui tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di

Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

F. Kegunaan dan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunanaan, baik secara

teoritis maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang

dilakukan penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:

11 Ahmad Fathur Rizqi, “Sistem Pengupahan Buruh Jahit di Konveksi Jazza Desa Jajar Wayang

(24)

1. Dari Tinjauan Teoritis – Akademis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas

wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam dengan metode ‘Urf

terutama pada bidang muamalah terkait dengan upah mengupah dalam

pengambilan hukum Islam dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78

Tahun 2015 tentang pengupahan.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan dalam bermuamalah

seperti pengupahan terhadap buruh tani.

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa istilah

yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan atau

definisi dari beberapa istilah sebagai berikut:

1. ‘Urf

Merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan

kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun

perbuatan.12‘Urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku

dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan

pengalaman.13 Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada

perbedaan pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh

12

(25)

masyarakat di kalangan mereka, seakan layaknya hukum tertulis,

sehinngga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.

2. Upah

Menurut Imam Syafi’i upah mengupah merupakan memberi ganti atas

pengambilan manfaat tenaga dari orang lain sesuatu dengan

syarat-syarat tertentu yang berdasarkan perjanjian kerja, karena perjanjian kerja

tersebut yang akan menimbulkan hubungan kerja antara buruh dan

majikan yang berisi hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.14

3. Buruh Tani Tambak

Merupakan seorang pekerja yang bekerja di bidang pertanian tambak

(ikan) dengan memelihara tambak tersebut dengan harapan untuk

memperoleh hasil dan keuntungan dari tambak tersebut untuk dijual

kepada orang lain, dan mendapat upah dari pemilik tambak tersebut.

4. PP No. 78 Tahun 2015

Sebuah Peraturan Pemerintah yang merupaka penjabaran dari

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang mana di

dalamnya menjelaskan tentang pengupahan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kualitatif. Adapun dalam metode penelitian yang

digunakan yaitu:

(26)

1. Data yang dikumpulkan

Data adalah bahan keterangan tentang seuatu objek uraian-uraian,

bahkan dapat berupa cerita pendek.15 Penelitian ini dilakukan dengan

metode, yakni tentang tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015. Data yang dapat

dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:

a. Data primer

Sumber data melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang

tepat berupa interview, observasi, menggunakan instrumen pengukuran

yang kusus dirancang sesuai dengan tujuannya. Antara lain:

1) Lokasi tambak yang digunakan untuk usaha ternak ikan di Desa

Gunung Anyar Tambak Surabaya.

2) Kegiatan pemilik tambak, buruh dan penghasilannya.

3) Perhitungan upah dari menjadi buruh tani tambak.

4) Dampak dan manfaat dari sistem upah yang terjadi seperti di Desa

Gunung Anyar Tambak.

5) Pendapat masyarakat dengan sistem upah yang terjadi di Desa

Gunung Anyar Tambak.

b. Data Sekunder

1) Profil wilayah pertanian tambak Desa Gunung Anyar Tambak yang

(27)

terletak pada kelurahan Gunung Anyar Tambak Surabaya meliputi

keadaan sosial, pendidikan dan perekonomian masyarakat.

2) Teori tentang fiqih upah mengupah (Ujrah)

3) Konsep ‘Urf.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara lain

sebagai berikut:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah sumber data yang dibutuhkan untuk

memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan objek

penelitian, data primer disini diambil dari beberapa informan kunci,

sedangkan yang dimaksud informan kunci adalah partisipan yang

karena kedudukannya dalam komunitas memiliki pengetahuan khusus

mengenai orang lain, poses, maupun peristiwa secara lebih luas dan

terinci dibandingkan orang lain.16 Ada tiga pihak yang terlibat dalam

penelitian ini antara lain:

1) Pemilik usaha selaku pihak yang memiliki usaha tani tambak

(pemilik tambak).

2) Buruh tani tambak selaku pihak yang membantu pemilik tambak

untuk menjaga dan mengelolah tambak.

3) Pengepul yang membantu pemilik tambak menjualkan hasil

tambaknya.

(28)

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud

selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat

ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber

data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di internet

yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.17 Buku yang

digunakan, antara lain:

1. Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Jakarta: Al-Huda, 2007.

2. Ibnu Mas’ud, Fikih Madzhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia,

2000.

3. Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.

4. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema

Insani, 2011.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah

penelitian. Subjek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki kredibilitas

untuk menjawab dan memberikan informasi dan data kepada peneliti yang

sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun

subjek penelitian ini adalah pemilik tambak dan buruhnya yang bekerja

bersama di tambak ikan tersebut di Desa Gunung Anyar Tambak.

4. Teknik Pengumpulan Data

17Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009 Cet

(29)

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka

penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Metode observasi data pengamatan ini merupakan strategi

pengumpulan data mengenai apa yang mereka lakukan dan

benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan

mereka.18 Mengamati bagaimana keadaan lingkungan hidup

masyarakat Desa Gunung Anyar Tambak, mengamati kegiatan yang

terjadi di tambak ikan dan bagaimana sistem pengupahan yang ada di

Desa Gunung Anyar Tambak surabaya.

b. Wawancara

Wawancara adalah percakapan antara dua orang di mana salah

satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk

suatu tujuan tertentu.19 Wawancara akan dilakukan dengan narasumber

para pekerja (buruh) tani tambak dengan pemilik tambak, dengan

pengepul yang biasa membantu pemilik tambak menjual hasil

panennya.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan proses melihat kembali data-data dari

dokumentasi berupa segala macam bentuk informasi yang berhubungan

18Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 58.

19

(30)

dengan penelitian yang dimaksud dalam bentuk tertulis atau rekaman

suara. Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan

peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah fakta yang

berbetuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data penelitian, data

sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi. Dalam teknik

ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa dokumentasi seperti

foto, video, rekaman hasil wawancara dan dokumen-dokumen yang ada

sebagai kelengkapan penelitian ini.

Dokumentasi ini akan diambil pada saat mengunjungi desa pada

setiap kegiatan warga dan tambak yang merupakan sumber penghasilan

masyarakat yang penting untuk didokumentasikan baik berupa foto,

video atau rekaman hasil wawancara dengan para pihak yang

bersangkutan.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun untuk menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis

melakukan hal-hal berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data yang

diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang jelas atau

meragukan.20 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran intelektual

(intelectual honestly) dari penulis agar nantinya hasil data konsisten

dengan rencana penelitian. Di sini penulis akan memeriksa kembali

secara berulang-ulang untuk mengantisipasi adanya data-data yang

(31)

mungkin terlewat dan memperbaikinya bila ditemukan adanya data

yang kurang jelas atau meragukan.

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai

dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.21

Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran

tentang upah buruh tani tambak yang akadnya tidak tertulis, serta

bentuk pengupahan yang terjadi tidak sesuai dengan perjanjian.

c. Analyzing, yaitu upaya mencari dan menyusun secara sistemasis hasil

wawancara juga dokumentasi yang disusun secara sistematis dan

dianalisis secara kualitatif untuk memberikan kejelasan pada masalah

yang dibahas dalam skripsi ini.22 Tahap ini bermaksud untuk meninjau

dan perumusan praktik dan prosedur upah buruh tani tambak di Desa

Gunung Anyar Tambak Surabaya.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyususn data

secara sistematis dengan cara mengorganisasikannya ke dalam beberapa

kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyususn

ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan terakhir

memuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh sendiri maupun orang

lain.

21 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.

22 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalisti,

(32)

Penulis dalam menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan

metode pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan untuk

menggambarkan masalah yang ada pada praktik prosedur pengupahan pada

buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, yang didapat

dengan mencatat, menganalisis dan menginterprestasikannya. Selanjutnya

dianalisis dengan pola pikir deduktif untuk mengemukakan kenyataan dari

hasil penelitian yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang

bersifat umum.

Setelah itu praktik praktik prosedur pengupahan terhadap buruh

tani tambak tersebut ditinjau dengan teori ‘urf dan Peraturan Pemerintah

No. 78 Tahun 2015 yang akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan

yang terjadi di lapangan.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih mempermudah dan dapat memberikan gambaran yang

jelas mengenai isi skripsi ini, pembahasan dilakukan secara komprehansif

dan sistematik meliputi:

Bab pertama, berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang

masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional,

serta metode penelitian yang digunakan dalam memperoleh data yang

(33)

Bab kedua membahas tentang landasan teori yaitu pengertian tentang

‘Urf, macam-macam ‘Urf, dasar hukum ‘Urf, syarat-syarat ‘Urf, kedudukan

‘Urf dalam penetapan hukum, pengertian upah (Ujrah), dasar hukum upah

(ujrah), rukun dan syarat-syarat upah (ujrah), macam-macam upah (ujrah),

pendapat para fuqaha’ terhadap upah (ujrah), dan berakhir atau gugurnya

upah (ujrah), hikmah atau manfaat upah (ujrah), sistem pengupahan yang

sesuai berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015.

Bab ketiga, memaparkan gambaran mengenai hasil penelitian

terhadap lokasi tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya,

kegiatan yang dilakukan oleh pemilik tambak dan buruhnya, hasil panen

dari tambak, pengepul yang membantu pemilik tambak menjualkan ikan

hasil tambak, praktik upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar

tambak surabaya.

Bab keempat, penulis akan membahas mengenai tinjauan ‘urf dan

Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 terhadap upah buruh tani tambak

di desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.

Bab kelima, merupakan bagian akhir dari skripsi yang berisikan

tentang kesimpulan dan saran-saran yang diberikan peneliti terhadap

(34)

22

1. KONSEP ‘URF (ADAT KEBIASAAN)

A. Pengertian ‘Urf

Dari segi bahasa al-‘urf berasal dari kata فرع yang berarti kenal.

Dari kata ini muncul kata ةفرعم (yang dikenal), في رعت (definisi), kata فرعم

(yang dikenal sebagai kebaikan, dan kata فرع bermakna kebiasaan yang

baik.1 Dalam kamus ushul fiqh ‘urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh

manusia dan mereka patuhi, berupa perkataan, perbuatan atau perihal

meninggalkan.2 ‘Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh

masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka. Dalam bahasa

arab ‘urf memiliki beberapa arti, yaitu sesuatu yang disukai dan dianggap

baik, bagian atas sesuatu, berturut-turut, dan pengakuan. Adapun dalam

pembahasan usul fiqih, ‘urf adalah sesuatu yang sudah dibiasakan

manusia dalam pergaulan dan kehidupannya.3 Istilah lain yang digunakan

dengan makna yang sama adalah ‘a>dah yang berarti kebiasaan atau

adat-istiadat.

Adapun dari segi terminologi, kata ‘Urf mengandung makna:

11Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 209

2Jaenal Aripin, kamus ushul fiqh dalam dua bingkai ijtihad, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), 405.

3Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja Jilid 2, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

(35)

ُهَ ْ يَ ب َعاَش ٍلْعِف ِلُك ْنِم ِهْيَلَع اْوُراَسَو ُساَلا ُهَداَتْعا اَم

اْوُ فَراَعَ ت ٌظْفَل ْوَأ ,ْم

ُرَداَبَتَ ي َاَو ُةَغللا ُهَفَلَأَت َا ٍصاَخ ىَْعَم ىَلَع ُهَقَاْطِإ

ِهِعاََِس ََِْع ُهَرْ يََ

“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya

dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak

memahaminya dalam pengertian lain”.4

kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah

al-‘A>dah (kebiasaan), yaitu:

لا ُعاَبَطلا ُهْتَقَلَ تَو ِلْوُقُعْلا ِةَهِج ْنِم ِسْوُف لا يِف َرَقَ تْسااَم

ِلْوُ بَقْلاِب ُةََْيِلَس

“Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar”.5

Abdul Karim Zaidan mengemukakan seperti yang dikutip oleh

Satria Effendi, kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang

dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara

terminologi:6

ِف ْوَأ ٍلْوَ ق ْنِم ِهِتاَيَح ْيِف ِهْيَلَع َراَسَو ُهَداَتْعِاَو ُعَََتْجَُْلا ُهَفَلَأ اَم

ٍلْع

Kata al-‘A>dah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan

secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Dari

penjelasan tersebut dapat dipahami, al-‘urf atau al-‘a>dah terdiri atas dua

bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan

al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).‘Urf dalam bentuk

4Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 208.

5Ibid, 209.

(36)

perbuatan misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di

pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan kabul.

Sebagian Ulama’ ushul fikih,‘urf disebut adat (adat kebiasaan),

sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara ‘urf

dengan adat (adat kebiasaan), karena adat kebiasaan telah dikenal

masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan

telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap

orang yang melanggarnya.7 Bila diperhatikan kedua kata itu dari asal segi

penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata

ةداع

akar

katanya adalah

دوعي

-

داع

mengandung arti pengulangan. Karena itu,

sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Tentang

berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut adat,

tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang

dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Suyuthi

dalam kitabnya al-Ashba>b wa al-Nadha>ir. Sedangkan kata ‘urf

pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya sesuatu perbuatan

dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama

dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda

ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan

timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada

perbedaan prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu

(37)

perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan

diakui orang banyak, maka perbuatan ini dilakukan orang secara berulang

kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi

perbedaannya tidak berarti.8

B. Dasar Hukum ‘Urf

Para Ulama’ sepakat bahwa ‘urf s}ahih dapat dijadikan hujjah

selama tidak bertentangan dengan syara’. Ulama’ Malikiyah terkenal

dengan pernyataan mereka bahwa Ulama’ Madinah dapat dijadikan

hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat

ulama kuffah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan

qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau

menetapkan hukum yang berbeda di Mesir (qaul jadid). Hal ini

menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Akan

tetapi, tentu saja ‘urf fa>sid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.9

Di antara para ulama’ fikih yang menggunakan ‘urf secara luas

adalah pengikut Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, mereka

menggunakan ‘urf dalam menetapkan hukum-hukum amaliah, memahami

nash, mengkhususkan keumuman cakupan nash, dan untuk menjelaskan

berbagai hukum fikih pada wilayah ibadah, muamalah, serta

8Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 389.

(38)

persoalan perdata. Oleh karena itu, para ulama mengajukan beberapa dalil

yang mendukung kehujjahan ‘urf.10

C. Syarat-syarat ‘Urf

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah ‘urf dapat

diterima sebagai hujjah, antara lain:11

1. ‘Urf tersebut dipraktikkan secara ajek pada hampir semua kasus dalam

masyarakat.

2. ‘Urf sudah mapan pada saat kemunculan suatu perbuatan yang hendak

ditetapkan hukumnya, jika suatu perbuatan sudah muncul sebelum suatu

‘urf mapan dan diterima masyarakat, maka ‘urf tidak dapat dijadikan

sandaran dalam menetapkan perbuatan tersebut.

3. ‘Urf tidak bertentangan dengan sesuatu yang ditegaskan secara jelas.

Misalnya, menurut kebiasaan yang berlaku, barang yang telah dibeli tidak

diantarkan oleh penjual ke rumah pembeli, maka ‘urf diabaikan dan yang

berlaku adalah syarat yang ditegaskan tadi.

4. ‘Urf tidak menyalahi nash syara’ atau menyalahi suatu prinsip yang tegas

dalam syariat.

Seperti yang dikutip oleh Satria Effendi dari Abdul Karim Zaidan

menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan

hukum yaitu:12

10Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja Jilid 2, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008). 282

11Ibid, 283

(39)

1. ‘Urf harus termasuk ‘urf yang s}ahih dalam arti tidak bertentangan

dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di

suatu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau

anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah.

2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan

mayoritas penduduk negeri itu.

3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan

dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil

kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama pada waktu itu

hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada

persyaratan memiliki ijazah.

4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak yang terkait yang berlainan dengan

kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah

sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka

yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.

D. Macam-Macam ‘Urf

‘Urf dibagi menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya

‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘Urf Qauli dan ‘Urf ‘Amali13

1. ‘Urf Qauli

Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan walad, menurut

bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak

(40)

perempuan, tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan

anak laki-laki saja.

2. ‘Urf ‘Amali

Ialah ‘urf yang berupa perbuatan, seperti jual beli dalam masyarakat

tanpa mengucapkan s}ighat akad jual beli, padahal menurut syara’ s}ighat

jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah

menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa s}ighat

jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’

membolehkannya.

Ditinjau dari segi keabsahan diterima atau tidaknya ‘urf, maka

‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘Urf S}ahih dan ‘Urf Fa>sid

1. ‘Urf S}ahih

Ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak

bertentangan dengan syara’. Dengan kata lain,‘urf yang tidak

mengubah ketentuan yang haram menjadi yang halal, atau bahkan

sebaliknya. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melansungkan

akad nikah, dipandang baik telah menjadi kebiasaan dalam

masyarakatdan tidak bertentangan dengan syara’.

2. ‘Urf Fa>sid

Ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena

bertentangan dengan syara’. Dan para ulama pun sepakat bahwa ‘urf

Fa>sid tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut

(41)

sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat, hal ini

tidak dapat diterima karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang

dianjurkan agama Islam.

Ditinjau dari segi jangkauan ruang lingkupnya ‘urf dapat dibagi

menjadi dua yaitu: ‘Urf a>mm dan ‘Urf Kha>s}14

1. ‘Urf a>mm

Ialah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan.

Yang kebiasaan tersebut bersifat umum dan berlaku bagi sebagian

besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya,

membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa

perincian jauh atau dekatnya jarang yang ditempuh, dan hanya

dibatasi oleh jarak tempuh maksimum.

2. ‘Urf Kha>s}

Ialah ‘urf atau adat kebiasaan yang berlaku secara khusus

pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya,

mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh masyarakat

indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah

puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak

dibiasakan dengan kegiatan tersebut.

E. Kedudukan ‘Urf Dalam Penetapan Hukum

Pada dasarnya, semua ulama’ menyepakati kedudukan ‘urf as-s}ahihah

sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat

(42)

perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam

hal ini, ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak

menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama’ Syafi’iyah

dan Hanabillah.

Adapun kehujjahan‘urf sebagai dalil syara’,15 didasarkan atas

argumen-argumen sebagai berikut ini:

1. Firman Allah pada surah al-A’raf (7): 199:

َنْيِلِهَجْلا ِنَع ْضِرْعَأَو ِفْرُعْلاِب ْرُمْأَو َوْفَعْلا ِذُخ

“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,

serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”16

Melalui ayat ini Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan

yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah,

yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan

berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan

yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

2. Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:

َف

َراََ

َأ

ٌنَسَح ِهّللاََِْع َوُهَ ف اًَسَح َنْوَُِلْسَُْلا ُه

ْوَُِلْسَُْلا ُهآَراَمَو

ِيَس َن

ٌءْيَس ِهّللاََِْع َوُهَ ف اًئ

“sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,

dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”17

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun

maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku

di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat

15Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 212

16Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro

Grafindo Semarang, 1994), 159.

(43)

Islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya,

hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh

masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan

sehari-hari. Padahal dalam hal ini Allah berfirman pada surah al-Maidah

(5); 6:

ُرِهَطُيِل َُْيِرُي ْنِكَلَو ٍجَرَح ْنِم ْمُكْيَلَع َلَعْجْيِل ُهّللا َُْيِرُي اَم

َعَل ْمُكْيَلَع ,ُهُتََْعِِ َمِتُيِلَو ْمُك

ْمُكَل

َنْوُرُكْشَت

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan

kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu

bersyukur”.18

Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf di atas sebagai dalil hukum, maka

ulama’ terutama ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah

hukum yang berkaitan dengan al-‘urf, antara lain: 19

ٌةَََكَحُم ُةَداَعْلا

“Adatkebiasaan dapat menjadi hukum”

يِعْرَش ٍلْيِلََِب ٌتِباَث ِفْرُعْلاِب ُتِباَثلا

“yang berlaku berdasarkan ‘urf, berlaku berdasarkan berdasarkan dalil syara’”

ِصَلاِب ِتِباَثلاَك ِفْرُعْلاِب ُتِباَثلا

“yang berlaku berdasarkan ‘urf seperti berlaku berdasarkan nash”

َغللا يِفَاَو ِهْيِف ُهَل طِباَض َاَو اًقَلْطُم عْرَشلا ِهِب َدَرَو اَم لُك

ِفْرُعْلا ىَلِإ ِهْيِف ُع ِجْرَ ي ِة

18Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro

Grafindo Semarang, 1994), 99.

(44)

“semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak, dan tidak ada pembatasan

di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan,

maka pemberlakuannya dirujukkan kepada ‘urf”20

Apilkasi dari kaidah ‘urf seperti yang dijelaskan sebelumnya,

bahwa al-‘urf ada yang berlaku secara umum (al-‘urf al-a>mm) dan ada

pula yang khusus (al-‘urf al-kha>s}) dalam suatu komunitas tertentu saja.

Demikian pula, ada al-‘urf s}ahih (‘urf yang benar) dan ada pula al-‘urf al

-fa>sid (‘urf yang salah). Dalam kaitan ini perlu ditegaskan, bahwa ‘urf

yang disepakati seluruh ulama keberlakuannya adalah ‘urf s}ahih al-‘a>mm

al-mut}t}arid (‘urf yang benar berlaku umum (sejak masa sahabat dan

seterusnya) dan bersifat konstan), tidak bertentangan dengan nash syara’

yang bersifat qat}’i, dan tidak pula bertentangan kaidah-kaidah syara’

yang bersifat prinsip. Apabila suatu ‘urf memenuhi kriteria-kriteria

tersebut, maka menurut ulama Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan saja

menjadi dalil syara’ tetapi juga dapat mengenyampingkan hukum yang

didasarkan atas qiyas dan dapat pula men-takhs}is} dalil syara’ lainnya.

Adapun‘urf yang bersifat khusus, maka ia hanya dapat

mengenyampingkan pendapat-pendapat madzhab yang didasarkan atas

hasil ijtihad terhadap nash yang z}anni saja. Dengan demikian, berbeda

dengan al-‘urf al-‘a>mm yang berlaku bagi semua masyarakat secara

umum dan dapat mengenyampingkan qiyas dan dalil syara’. Maka al-‘urf

al-kha>s}, selain hanya berlaku pada suatu komunitas tertentu, ia juga tidak

dapat mengenyampingkan nash syara’ dan ketentuan qiyas, serta tidak

pula dapat menjadi pen-takhs}is} terhadap athar (yang berlaku dikalangan

(45)

sahabat). Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan, al-‘urf al-fa>sid

(‘urf yang salah) sama sekali tidak diakui keberadaannya dalam hukum

dan selalu ditolak.

2. KONSEP UPAH (UJRAH)

A. Pengertian Upah (Ujrah)

Al-Ija>rah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad atau upah,

sewa, jasa atau imbalan. Secara syara’ sebagaimana yang dikemukakan

oleh sayyid sabiq:

ُهَلْوُصُح نُظَي ِةَعَفْ َم ىَلَع َُْقَع

“sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”21

Dalam kitab yang ditulis oleh Abdul Rahman Ghazaly yang

berjudul Fikih Muamalat, istilah upah dalam kehidupan sehari-hari

diartikan oleh fuqaha’ yaitu memberi upah kepada orang lain atas setiap

pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.22 Pada zaman

Rasulullah upah biasa disebut Ji‘alah yang dapat dibaca Ja‘alah.23

Al-Ija>rah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam

memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak,

menjual jasa dan sebagainya. Menurut Idris ahmad dalam bukunya yang

berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa ija>rah berarti upah mengupah.

21Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 931.

22Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), 141.

23Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Terj, KH.

(46)

Sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah kitab Fiqh

Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ija>rah dengan sewa

menyewa, dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ija>rah

dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga

ada perbedaan makna oprasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,

sedangkan upah digunakan untuk tenaga. Dalam bahasa Arab upah dan

sewa disebut ija>rah.24

Secara terminologi perlu dikemukakan beberapa pendapat para

ulama’ antara lain:

1. Menurut Ali al-Khafif, al-Ija>rah adalah transaksi terhadap sesuatu

yang bermanfaat dengan imbalan. 25

2. Menurut ulama Syafi’iyah,

ِةَدْوُصْقَم ِةَعَفْ َم ىَلَع َُْقَع

ٌةَلِباَق ٌةَحاَبُم ِةَمْوُلْعَم

ِلْذَبْلِل

َوِعِب ِةَحاَبِْااَو

ٍمْوُلْعَم ٍض

“Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu

dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan

pengganti tertentu”.26

al-Ija>rah adalah transaksi terhadap sesuatu manfaat yang dimaksud,

tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan

tertentu.

3. Menurut Ulama’ malikiyah, Ija>rah adalah pemilikan suatu manfaat

yang diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan imbalan.

ْقَع .... ُةَراَجِْْا

ِعِب ًةَمْوُلْعَم ًةََُم ٍحاَبُم ٍئَش ِعِفاََم َكْيِلََْت َُْيِفُي َُ

ِةَعَفْ ََْلا ِنَع ٍئِشاَِ ِرْيََ ٍضَو

24Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 113. 25Ibid, 114.

(47)

“Ija>rah.... adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat”27

4. Menurt Ulama’ Hanabilah

َو ِءاَرَكْلَاَو ِةَراَجِْا ِظْفَلِب َُِقَعْ َ ت ِعِفاَََْلا ىَلَع ٌَْقَع َيَِو

اََُاَْعَم ْيِف اَم

“Ija>rah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ija>rah, kara’ dan semacamnya” 28

5. Menurut Ulama’ Hanafiyah

ٍلاَم َوُ ٍضَوِعِب ِةَعَفْ ََْلا ىَلَع ٌَْقَع ُةَراَجِْْا

“Ija>rah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta”29

6. Menurut Sayyid Sabiq, ija>rah ialah suatu jenis akad untuk mengambil

manfaat dengan jalan penggantian.

ُباَوَ ثلا َيَُِس ُهِْمَو ُضاَوِعْلا َوَُو ِرْجَْْا َنِم ٌةَقَ تْشُم ُةَراَجِْْا

اًرْجَأ

“Ija>rah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘Iwad} (imbalan), dari pengertian ini pahala (thawab) dinamakan ajr (upah/pahala)”30

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka Ija>rah tidak boleh

dibatasi dengan syarat. Akad Ija>rah tidak boleh dipalingkan, kecuali ada

unsur manfaat, dan akad Ija>rah tidak boleh berlaku pada pepohonan untuk

diambil buahnya.31 Secara Etimologi, ija>rah adalah upah mengupah dari

sebab itulah ath-Thawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-’Ajru /

27Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 87.

28Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, As-Syarh Al-Kabir, Dar Al-Fikr, t.t, Juz III, 301.

29Muhammad bin Abu Bakar As-Sarakhsi Al- Mabsuth, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah,

(Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H) Juz 6, 319.

30Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 198.

31Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),

(48)

upah. Adapun secara terminologi, para ulama fiqih berbeda pendapat,

menurut Sayyid Sabiq, al-ija>rah adalah

َع ْق

َُ

َع َل

ْي ْا

ََل

َا ِف

ِع

ِب ِع

َو

ِض

“suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan

memberi penggantian”

Sementara, menurut ulama Syafi’iyah, ija>rah adalah suatu jenis akad atau

transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah

dan boleh dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu. (Abdul

Rahman Ghazaly: 2010), 277.

B. Dasar Hukum Upah (Ujrah)

Dasar hukum ija>rah dalam firman Allah

... َنَُرْوُجُأ َنُْوُ تَأَف ْمُكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ...

“jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah

mereka upahnya”. (QS. At-Talaq: 6) 32

Rasulullah Saw, juga bersabda:

َم ِن

ْسا َت

ْأ

َج َر

َا

ِج

ْ ي ًر

َ ف ا

ْل َ ي ْع

ََ ْل

َا

ْج َر

ُه

َةرير يبا نع قازرلا َبع هاورُ

“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah

upahnya”33

Hadis Ibnu Umar:

ِعَس ُنْب ُبَْو اََ ثَََح يِقْشَمََلا َِْيِلَوْلا ُنْب ُساَبَعْلا اََ ثَََح

اََ ثَََح يََِلَسلا َةَيِطَع ِنْب َِْي

َُْبَع

ِنْب ِهّللاَِْبَع ْنَع ِهْيِبَأ ْنَع َمَلْسَا ِنْب َِْيَز ُنْب ِنََْحَرلا

َق َرََُع

ُهّللا ىَلََ ِهّللا ُلْوُسَر َلاَق َلا

ُهَقَرَع َفِجُي ْنَأ َلْبَ ق ُهَرْجَأ َرْ يِجَْْا اْوُطْعَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع

ا هاورُ

َهجام نب

32Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro

Grafindo Semarang, 1994), 504.

(49)

“telah menceritakan kepada kami al Abbas bin al Walid ad Dimasyqi

berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa’id bin Athiah As

Salami berkata, telah menceritakan kepada kami ’Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah

Saw bersabda: Berianlah upah kepada pekerja sebelum kering

keringatnya”.34

Pada prinsipnya dasar hukum di atas memberi gambaran setiap

muslim untuk melakukan hal yang terbaik dalam ija>rah, baik dengan

pengertian sewa maupun upah. Sewa berarti memberi kesempatan kepada

pihak penyewa dan yang menyewakan, saling tanggung jawab sesuai

dengan hak dan kewajiban masing-masing, demikian halnya memberi

upah kepada pekerja seharusnya disesuaikan kesepakatan bersama dan

jangan sampai merugikan kedua belah pihak.

Landasan Ijm‘anya ialah semua umat bersepakat, tidak ada

seorang ulama’ pun yang membantah kesepakatan ini, sekalipun ada

beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu

tidak dianggap.35

C. Rukun dan Syarat Upah (Ujrah)

Menurut ulama Hanfiyah, rukun ija>rah adalah ijab dan kabul

antara lain dengan menggunakan kalimat al-ija>rah, al-isti‘jar, al-iktira’

dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama, rukun ija>rah ada empat yaitu:

‘a>qid (orang yang akad), s}ighat akad (ijab dan kabul), ujrah (upah) dan

manfaat. Menurut jumhur ulama’ bahwa rukun ija>rah ada empat yaitu:36

1. S}ighat al-‘Aqad (ijab dan kabul)

34Ibid, 81.

35Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 117.

36Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),

(50)

2. Al-‘Aqidayn (kedua orang yang bertransaksi)

3. Al-Ija>rah (upah/sewa)

4. Al-Manfa‘ah (manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa

atau jasa dan tenaga dari orang yang bekerja).

Sebagai bentuk transaksi, Ija>rah dianggap sah harus memenuhi

rukun di atas, di samping rukun juga harus memenuhi syarat-syaratnya.

Adapun syarat-syarat ija>rah yang dimaksud adalah:

1. Kedua belah pihak yang berakad (penjual dan pembeli) harus

menyatakan kerelaannya dalam melakukan transaksi ija>rah, bila di

antara salah seorang diantara keduanya dengan cara terpaksa dalam

melakukan transaksi, maka akad ija>rah semacam ini tidak sah.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisa (4) : 29

ْمُكَلاَوْمَأ اْوُلُكْأَت َا اْوُ َمَا َنْيِذَلا اَه يَأَي

َاِإ ِلِطَبْلاِب ْمُكَْ يَ ب

ْمُكِْم ٍضاَرَ ت ْنَع ًةَرَجِت َنْوُكَت ْنَأ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”37

2. Bagi kedua orang yang melakukan transaksi (akad), menurut ulama

Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh

karena itu, bagi orang yang belum baligh dan tidak berakal, seperti

anak kecil dan orang gila transaksinya menjadi tidak sah. Beda dengan

ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa kedua orang yang bertansaksi

itu tidak harus berusia baligh, namun anak yang mumayyiz (yang bisa

37Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro

(51)

membedakan) boleh melakukan transaksi ija>rah dengan syarat adanya

persetujuan dari walinya.

3. Upah atau sewa dalam transaksi i\ja>rah harus jelas, memiliki sifat

tertentu dan mempunyai nilai yang bersifat manfaat.

4. Manfaat sewa harus diketahui secara sempurna, sehingga di kemudian

hari tidak memunculkan perselisihan di antara keduanya. Apabila

manfaat yang menjadi objek ija>rah tidak jelas, maka transaksinya

tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat disampaikan dengan rinci

beberapa manfaat yang menjadi objek ija>rah.

D. Macam-Macam Upah (Ujrah)

Akad ija>rah dilihat dari segi objeknya menurut ulama fiqih dibagi

menjadi dua macam, yaitu:38

a. Ija>rah yang bersifat manfaat, pada ija>rah ini benda atau barang yang

disewakan harus memiliki manfaat, misalnya sewa menyewa rumah,

tanah pertanian, kendaraan, pakaian, perhiasan, lahan kosong yang

dibangun pertokoan dan sebagainya.

b. Ija>rah yang bersifat pekerjaan, pada ija>rah ini seseorang

mempekerjakan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan hukumnya

boleh apabila jenis pekerjaannya jelas dan tidak mengandung unsur

tipuan. Seperti tukang jahit, tukang dan kuli bangunan, buruh pabrik

dan sebagainya. Ija>rah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti

menjadi guru mengaji Qur’an, pembantu rumah tangga, dan ada yang

38Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),

(52)

bersifat kerjasama, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang

menjualkan jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti buruh

pabrik, tukang sepatu dan tukang jahit.

Ija>rah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu akad

Ija>rah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya membangun

rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, dan

sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga

kerja. Sedangkan ‘ajir atau tenaga kerja ada

Gambar

Gambar 3.3. Kolam Ikan yang Dibuat Pemancingan  ................................ 61
Profesi warga sebagai nelayanGambar 3.1 4
Pengepul menerima dan menjual ikanGambar 3.2 10
Kolam ikan yang dibuat tempat pemancinganGambar 3.3 12

Referensi

Dokumen terkait

Gubernur Sulawesi Tengah dalam proses perumusan Kebijakan Upah Minimum Provinsi (UMP) diawali dengan pembentuk Dewan Pengupahan Provinsi (DPP) yang fungsi dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar kelas eksperimen yang diberikan pembelajaran menggunakan model problem solving fisika lebih tinggi dibandingkan

Penelitian ini bertujuan Menilai pengaruh pemberian ekstrak minyak Jintan Hitam dosis 0,1ml/20grBB, 0,2ml/20grBB, dan 0,3ml/20grBB yang diberikan selama 4 dan 7 hari

dengan menggunakan strategi The Power Of Two motivasi siswa lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, yaitu 77,16% &gt; 66,89%. Adapun penelitian yang

10) Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas. Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi

Dimana variabel independen pada penelitian ini adalah Return on Assets (X1), Return on Equity (X2), Net Profit Margin (X3), Tangible Assets (X4) dengan variabel

COSO membangun konsep fundamental berdasarkan definisi manajemen risiko bahwa Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu proses yang berjalan dan mengalir

Kesan-kesan buruk lain : Tiada kesan yang penting atau bahaya kritikal yang diketahui.