SKRIPSI
Oleh
Lailatul Mufidah
C022103035
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
tani tambak berdasarkan PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya”. Rumusan masalahnya: Pertama, bagaimana prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya. Kedua, bagaimana tinjuan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.
Data penelitian ini dihimpun melalui observasi, wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan pola pikir deduktif, yang diawali dengan mengemukakan pengertian-pengertian, teori-teori atau fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai upah
mengupah dan ‘urf yang selanjutnya dipaparkan dari kenyataan yang ada di lapangan
mengenai pelaksanaan praktik kegiatan upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.
Hasil penelitian diperbolehkan dalam Islam, karena upah buruh tani tambak yang dilakukan di desa ini telah dipenuhi segala tanggung jawab, hak dan kewajiban baik para pemilik tambak maupun pekerja/buruh tani tambak tersebut. Namun hal tersebut menjadi perhatian ketika perjanjian yang dilakukan secara lisan tanpa ada bukti tertulis, dan pemeberian upah pekerja/buruh tidak sesuai dengan pejanjian diawal melainkan harus menunggu sampai ikan hasil panen yang dititipkan di pengepul terjual.
Selanjutnya, berdasarkan ‘urf dari praktik kegiatan upah yang dilakukan adalah
merupakan tindakan persuasif yang tepat karena membujuk secara halus agar mereka yakin
dengan menggunakan cara pendekatan. karena dampak positif yang ditimbulkan lebih luas
dari pada dampak negatifnya. Maka menerapkan kaidah fikih mengenai ‘urf bahwa adat kebiasaan lebih diutamakan untuk pencapaian kemaslahatan. Dengan begitu praktik kegiatan
upah buruh tani tambak hukumnya boleh. Serta shari>‘ah Islam sangat menganjurkan kaum
muslimin untuk melakukan pekerjaan halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan menekankan kewajiban utama untuk selalu bertawakkal (bersandar/ berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah dalam semua usaha yang mereka lakukan.
ix
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan dan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 20
x
5. Kedudukan ‘Urf Dalam Penetepan Hukum ... 23
B. KONSEP UPAH (UJRAH) ... 33
1. Pengertian Upah ... 33
2. Dasar Hukum Upah ... 36
3. Rukun dan Syarat Upah ... 37
4. Macam-macam Upah ... 39
5. Berakhirnya dan Pembatalan Upah ... 41
6. Pendapat Para Fuqaha’ Terhadap Upah ... 42
7. Hikmah atau Manfaat Upah ... 44
C. UPAH BERDASARKAN PP NO. 78 TAHUN 2015... 44
BAB III PRAKTIK KEGIATAN UPAH BURUH TANI TAMBAK DI DESA GUNUNG ANYAR TAMBAK SURABAYA. A. Gambaran Umum Desa Gunung Anyar Tambak 49
1. Letak Geografis ... 49
2. Keadaan Demografis ... 50
3. Mata pencaharian penduduk ... 50
4. Tingkat pendidikan ... 50
5. Keadaan sosial budaya ... 51
6. Kehidupan beragama ... 51
xi
Profesi ini di Desa Gunung Anyar Tambak RW.1 Surabaya .. 54
3. Praktik kegiatan Upah Buruh Tani Tambak di Desa Gunung
Anyar Tambak RW.1 Surabaya ... 55
4. Pendapat masyarakat tentang praktik kegiatan upah buruh tani
tambak di Desa Gunung Anyar Tambak RW.1 Surabaya ... 62
BAB IV ANALISIS ‘URF TERHADAP UPAH BURUH TANI TAMBAK
BERDASARKAN PP NO. 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN
STUDI KASUS DI DESA GUNUNG ANYAR TAMBAK SURABAYA.
A. Analisis Terhadap Praktik Kegiatan ‘Urf Upah Buruh Tani Tambak
di Desa Gunung Anyar Tambak RW. 1 Surabaya 65
B. Analisis ‘Urf Terhadap Upah Buruh Tani Tambak Berdasarkan PP
No. 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar
Tambak RW. 1 Surabaya 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 78
B. Saran 79
DAFTAR PUSTAKA
xii
[image:10.595.133.481.247.551.2]Gambar 3.2. Pengepul Menerima dan Menjual Ikan ... 60
xiii
A. Konsonan
No Arab Indonesia Arab Indonesia
1. ا ’ ط t{
2. ب B ظ z{
3. ت T ع ‘
4. ث Th غ Gh
5. ج J ف F
6. ح h{ ق Q
7. خ Kh ك K
8. د D ل L
9. ذ Dh م M
10. ر R ن N
11. ز Z و W
12. س S ه H
13. ش Sh ء ’
14. ص s{ ي Y
15. ض d{
Sumber : Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers,
Disertations (Chicago and London: The University of Chicago Press,1987).
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
َ fath{ah A
َ kasrah I
ُُ - d{ammah U
Catatan : Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika
apostrof hanya berlaku jika hamzah berh{arakat sukun atau didahului oleh huruf
xiv
ْ وى fath{ah dan wawu aw a dan w
Contoh: bayna (نيب)
: mawd{u>' ( عوضوم )
3. Vokal Panjang
Tanda dan Huruf Arab
Nama Indonesia Ket.
ْ اى fath{ah dan a< a dan garis di atas
يى kasrah dan ya’ i< i dan garis di atas
وى d{ammah dan wawu u< u dan garis di atas
Contoh : al-jama>'ah (ةع امجلا)
: takhy>ir (رييخت)
: yadu>ru (رودي) C. Ta>’ Marbu>t{ah
Transliterasi untuk ta’ marbu@t}ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud}a@f) transliterasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
Contoh : shari>'at al-Isla>m (م اساا ةعيرش) shari>'at isla>mi>yah (ةيم اسا ةعيرش)
D. Penulisan Huruf Kapital
1
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk individu juga disebut sebagai makhluk sosial
yang mana kehidupan mereka tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa
bantuan orang lain, karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing yang mampu melengkapi kekurangan manusia lainnya. Akan
tetapi dalam kehidupan sosial tidak sedikit sering kita jumpai masalah-masalah
sosial di dalamnya. Sehingga kita sering temui banyak aturan yang telah dibuat
untuk mengimbangi setiap masalah yang terjadi dalam kehidupan sosial, baik
dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah, agama maupun hukum adat yang
sering dianuti oleh suatu kaum masyarakat tertentu.
Dalam menjalankan kehidupan mereka, manusia tidak pernah luput dari
ekonomi untuk menunjang kehidupan mereka, seperti halnya yang telah
dijelaskan dalam fikih muamalah, yang merupakan suata aturan yang
membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah
masyarakat, berbagai kegiatan muamalah dalam masalah keduniaan misalnya
dalam persoalan jual-beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja
sama dalam penggarapan tanah, dan sewa menyewa.1
Harta merupakan sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika
dibutuhkan. Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam
1
menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga para ulama fikih memasukkan harta
dalam salah satu al-dharuriyyat al-khamsah yakni lima keperluan pokok
diantaranya: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Allah memerintahkan
manusia supaya berusaha mencari harta dan memilikinya dengan cara yang
halal. Banyak al-Quran dan Hadist yang memerintahkan hal tersebut, antara
lain dalam firman Allah surah al-jum’ah ayat 10 yang berbunyi:
َف ِإ َذ
ُق ا
ِض
َي
ِت
َصلا
َا
ُة َف
ْ ِا َت
ِش
ُر ْو
ِف ا
َْاا ي
ْر
ِض
َو ْ با
َ ت ُغ ْ
و ِما
ْن
َف
ْض
ِل
ِهللا
...
“apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah...”2
Islam tidak pernah membatasi kehendak seseorang dalam mencari dan
memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum
yang berlaku, yaitu halal dan haram. Karena bagaimanapun juga yang
menuntukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah sendiri. Di
samping itu, dalam pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan tetapi,
merupakan alat untuk menyempurnakan kehidupan dan untuk mencapai
keridhaan Allah.
Demikian halnya juga dengan tenaga kerja merupakan salah satu factor
produksi yang paling penting, keberadaan tenaga kerja tidak boleh begitu saja
dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya. Hal
yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja adalah Upah. Pada dasarnya
upah bukan merupakan persoalan yang hanya berhubungan dengan uang,
2Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro
melainkan merupakan persoalan yang lebih berkaitan dengan penghargaan
manusia terhadap sesamanya, tentang bagaimana ia memandang dan
menghargai orang lain yang ada disekitarnya.
Upah sendiri merupakan hak pekerja atau buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk
tunjangan dari pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan, seperti yang telah dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undangn No. 13 Tahun 2003. Dan setiap
pekerja berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88
ayat 1)3
Pemberian upah (Ujrah) adalah berdasarkan perjanjian kerja, karena
perjanjian kerja akan menimbulkan hubungan kerja antara buruh dan majikan
yang berisi hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak bagi pihak yang
satu menjadi kewajiban bagi pihak yang lainnya, dan kewajiban sebagai
majikan adalah memberikan upah yang layak dan sesuai dengan perjanjian.
Karena dengan menggunakan cara ini dapat memperkuat persaudaraan antara
umat muslim, dan bisa menanamkan sikap saling menghargai yang pada
akhirnya akan tercipta rasa saling tolong menolong dan bahu membahu, yang
mampu membangun semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.4
3Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 102.
4
Sedangkan penetapan upah bagi para buruh harus mencerminkan keadilan,
yang mempertimbangkan aspek kehidupan sehingga pandangan Islam tentang
hak buruh dalam menerima upah bisa terwujud. Berkaitan dengan masalah ini
dilakukanlah penelitian di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, dimana
mayoritas penduduknya berpenghasilan dari petani dan buruh tambak. Usaha
pertanian merupakan usaha yang banyak ditekuni di desa tersebut, dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan. Adat
kebiasaan pengupahan yang terjadi di Desa Gunung Anyar Tambak ini tidaklah
jauh berbeda dengan sistem pengupahan yang terjadi pada umumnya, akan
tetapi seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi,
semakin banyak yang menunjukkan pada kecenderungan yang cukup
memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi. Tidak sedikit
masyarakat di kalangan menengah ke bawah di desa ini banyak yang memilih
untuk menjadi buruh tani tambak.
Sistem upah yang diberikan oleh pemilik tambak kepada buruhnya, yang
bekerja untuk memberi makan ikan setiap pagi dan sore, menjaga setiap keluar
dan masuk air saat pasang surut air laut, dan menjaga tambak sewaktu terjadi
tingginya air laut dengan didampingi pemilik tambak tersebut. Karena suatu
kebiasaan yang terjadi pada desa ini adalah tingginya rasa saling percaya dan
tolong menolong yang terjadi. Sistem penentuan upah para buruh tani tambak
dilakukan setiap kali panen ikan dengan menggunakan imbalan bagi hasil 2:1,
sehingga para buruh tidak mengetahui secara jelas berapa upah mereka
tergantung dengan cuaca dan pasaran penjualan ikan, sedangkan upah mereka
diberikan setelah ikan hasil panen yang dititipkan kepada pengepul terjual
semua.
Karena sedikitnya pengetahuan dan rendahnya pendidikan di desa ini tak
sedikit dari mereka melakukan perjanjian ini dengan tidak menggunakan sistem
perjanjian hitam diatas putih atau perjanjian tertulis, mereka melakukan
perjanjian dengan dasar rasa percaya, sehingga tidak sedikit pula sering terjadi
wanprestasi di dalamnya. Dalam ajaran Islam seseorang disyaratkan bila
mempekerjakan seseorang itu harus memberi tahu secara jelas berapa upah yang
akan mereka terima, sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri:
َع ْن
َأ ِب
َس ي
ِع ْي
َِ
َق
َلا
ِإ
َذ
ْسا ا
َت ْأ
َج ْر
َت
َأ
ِج
ْ ي ًر
َ ف ا
ْعَ يْل
َِ
ْل
َأ ْج
َر ُه
“dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: barang siapa yang mencari seseorang untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah menyatakan kepadanya berapa upahnya” (HR. An-Nasa’i) 5
َع ْن
َع ْب
َِ
ِهللا
ْب
ِن
ُع ََ
ِر
َق
َلا
َر
ُس ْو
ُل
ِهللا
ََ َل
ى
ُهللا
َع َل
ْي ِه
َو َس
َل ِم
َأ
ْع
ُط ْو
َْاا ا
ِج
ْ ي َر
َأ
ْج َر
ُه َ ق
ْب َل
َأ
ْن
ُي ِج
َف
َع َر َق
ُه
“Dari Abdullah Ibn Umar ra ia berkata: Rasullah SAW bersabda berikanlah
upah orang upahan sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majjah)6
Sesuai dari perjanjian upah hasil panen tersebut adalah 2:1 dari sekali hasil
panen, akan tetapi sering terjadi penangguhan gaji tidak sesuai waktu yang
telah disepakati, karena hasil pertanian ikan tersebut tidak bisa lansung dijual
melainkan melalui perantara pengempul, sehingga hasil panen tersebut tidak
bisa terlihat hasilnya secara lansung. Akibatnya para buruh tani tidak bisa
lansung menerima upah mereka dikarenakan menunggu hasil panen tersebut
terjual agar bisa terlihat berapa hasil yang didapatkan, setiap pemilik usaha
pertanian tambak ini memiliki pengempul masing-masing, terkadang satu
pengempul bisa memiliki 3, 4 bahkan lebih pemilik usaha pertanian ikan,
sehingga terkadang ikan yang ditampung oleh pengempul terlalu banyak
tersimpan sehingga sampai terjadi penurunan harga ikan.
Di tinjau dari segi hukum Islam, menurut Imam Syafi’i upah mengupah
merupakan memberi ganti atas pengambilan manfaat tenaga dari orang lain
sesuai dengan syarat-syarat tertentu,7 sehingga praktik upah mengupah yang
terjadi pada buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak ini sah dan halal
untuk dikerjakan jika sesuai dan memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Namun
ketika terdapat unsur yang tidak sesuai dalam upah mengupah maka bisa
menggeser konsep kehalalannya, karena dalam kitab fikih madzhab Imam
Syafi’i menjelaskan cara memberikan upah pada buruh atau pegawai,
hendaknya memenuhi dua unsur didalamnya yang dalam al-Qur’an sendiri
sering dijelaskan yakni : yang pertama adalah memberikan upah kepada buruh
atau pegawai sesegera mungkin sebelum kering keringat mereka seperti dalam
hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah beliau
bersabda: “Berilah upah orang yang bekerja sebelum kering peluhnya”, dan
yang kedua adalah sebelum memulai suatu pekerjaan tersebut hendaklah
memberitahukan secara jelas dan rinci berapa upah yang akan ia terima seperti
yang telah disebut dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazak beliau
bersabda: “Barang siapa mencari seseorang untuk mengerjakan sesuatu,
hendaklah menyatakan kepadanya berapa upahnya.8
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, penulis merasa bahwa masalah
ini perlu adanya penelitian. Dari beberapa permasalahan untuk mengakaji lebih
lanjut terkait sistem upah mengupah yang terjadi dalam judul “Tinjauan ‘Urf
Terhadap Upah Buruh Tani Tambak Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan yang ada pada latar belakang masalah
di atas, penulis mengidentifikasikan beberapa masalah yang muncul
dari kegiatan upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak
adalah sebagai berikut:
a. Lokasi kegiatan tambak ikan di Desa Gunung Anyar Tambak
Surabaya.
b. Pemilik dan buruh tani tambak yang terlibat dalam kegiatan
pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.
c. Pengepul ikan yang membantu pemilik tambak menjualkan hasil
tambaknya.
d. Hasil dari panen tambak serta prosedur upah buruh tani tambak di
Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.
e. Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa Gunung
Anyar Tambak Surabaya.
f. Upah buruh tani tambak dalam perspektif peraturan pemerintah no.
78 tahun 2015 tentang pengupahan.
2. Batasan Masalah
Agar pembahasan tidak menyimpang dari pokok permasalahan
yang sebenarnya, maka penulis memberi pembatasan masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis memberikan
batasan yaitu:
1. Prosedur upah mengupah yang terjadi antara pemilik pertanian
tambak dengan buruh tani di Desa Gunung Anyar Tambak
Surabaya.
2. Tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di desa Gunung
Anyar Tambak Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa
1. Bagaimana prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar
Tambak Surabaya?
2. Bagaimana tinjauan‘urf terhadap upah buruh tani tambak di Desa
Gunung Anyar Tambak Surabaya?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang
memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian
terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak ada
pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat
ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait dengan kegiatan upah
mengupah. Diantaranya:
Pertama penelitian yang dilakukan oleh saudara Ade Taufiq Ibrahim,
Muamalah 2012. Yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Upah Catanon di Desa Cieurih Kecamatan Maja
Kabupaten Majalengka” dalam kajian penelitian ini membahas tentang
proses upah catanon tanpa adanya akad tertulis dan hanya satu kali akad
ketika menyuruh menanam padi saja, mekanisme pemberian upah menunggu
waktu panen tiba dengan perbandingan 1:6, masa kerja dalam upah catanon
ada 2 kali yaitu ketika menanam dan panen.9
9Ade Taufiq Ibrahim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Upah Catanon di Desa Cieurih
Kedua penelitian yang dilakukan oleh saudari Eva Sastri Rahayu,
Muamalah 2014. Yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Analisis Urf
dan UU No. 13 tahun 2003 Terhadap Upah Giling Padi yang Tidak
Berbentuk Uang di Desa Tanon Kecamatan Papar Kabupaten Kediri” dalam
kajian penelitian ini membahas kegiatan penggiling padi antara pihak
pengguna jasa giling padi (petani) dan pihak pemberi jasa giling padi tersebut
tidak hanya berjalan ketika musim panen padi saja dan upah mereka
diperoleh bukan dalam bentuk uang sebagaimana mestinya, melainkan
berupa hasil dari pengelohan padi yaitu beras. Keseluruhan padi yang telah
digiling ditimbang dan diambil 2 kilogram per 50 kilogram hasil
penggilingan padi tersebut. 10
Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Fathur Rizqi, Muamalah
2013, yang menuliskan penelitiannya dengan judul, “Sistem Pengupahan
Buruh Jahit di Konveksi Jazza Wayang kecamatan Bojong Kabupaten
Pekalongan dalam Perspektif Hukum Islam” dalam kajian penelitian ini
membahas pengupahan dengan menggunakan sistem pocokan yaitu bila
mendesak maka sebagian kecil dari upah akan ditangguhkan untuk menutupi
biaya produksi selanjutnya. Penelitian lapangan dengan perbedaan gaji yang
10 Eva Sastri Rahayu, “Analisis Urf dan UU No 13 Tahun 2003 Terhadap Upah Giling Padi yang
diperoleh para buruh didasarkan pada penilaian kinerja/prestasi kerja yang
diukur berdasarkan kwalitas yang dicapai.11
Dengan adanya kajian pustaka di atas, penulis melakukan penelitian ini
dengan variabel yang berbeda. Penelitian dengan judul “Tinjauan ‘Urf
Terhadap Upah Buruh tani Tambak Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2015
Tentang Pengupahan di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya” ini lebih
memfokuskan pada upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak
Surabaya kemudian penulis meninjau dari metode ‘Urf.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan
penelitian ini penulis memiliki tujuan:
1. Untuk Mengetahui prosedur upah buruh tani tambak di Desa Gunung
Anyar Tambak Surabaya.
2. Untuk mengetahui tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak di
Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.
F. Kegunaan dan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunanaan, baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang
dilakukan penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
11 Ahmad Fathur Rizqi, “Sistem Pengupahan Buruh Jahit di Konveksi Jazza Desa Jajar Wayang
1. Dari Tinjauan Teoritis – Akademis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas
wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam dengan metode ‘Urf
terutama pada bidang muamalah terkait dengan upah mengupah dalam
pengambilan hukum Islam dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78
Tahun 2015 tentang pengupahan.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan dalam bermuamalah
seperti pengupahan terhadap buruh tani.
G. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa istilah
yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan atau
definisi dari beberapa istilah sebagai berikut:
1. ‘Urf
Merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan
kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun
perbuatan.12‘Urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku
dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman.13 Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh
12
masyarakat di kalangan mereka, seakan layaknya hukum tertulis,
sehinngga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
2. Upah
Menurut Imam Syafi’i upah mengupah merupakan memberi ganti atas
pengambilan manfaat tenaga dari orang lain sesuatu dengan
syarat-syarat tertentu yang berdasarkan perjanjian kerja, karena perjanjian kerja
tersebut yang akan menimbulkan hubungan kerja antara buruh dan
majikan yang berisi hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.14
3. Buruh Tani Tambak
Merupakan seorang pekerja yang bekerja di bidang pertanian tambak
(ikan) dengan memelihara tambak tersebut dengan harapan untuk
memperoleh hasil dan keuntungan dari tambak tersebut untuk dijual
kepada orang lain, dan mendapat upah dari pemilik tambak tersebut.
4. PP No. 78 Tahun 2015
Sebuah Peraturan Pemerintah yang merupaka penjabaran dari
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang mana di
dalamnya menjelaskan tentang pengupahan.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif. Adapun dalam metode penelitian yang
digunakan yaitu:
1. Data yang dikumpulkan
Data adalah bahan keterangan tentang seuatu objek uraian-uraian,
bahkan dapat berupa cerita pendek.15 Penelitian ini dilakukan dengan
metode, yakni tentang tinjauan ‘urf terhadap upah buruh tani tambak
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015. Data yang dapat
dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini, diantaranya adalah:
a. Data primer
Sumber data melalui prosedur dan teknik pengambilan data yang
tepat berupa interview, observasi, menggunakan instrumen pengukuran
yang kusus dirancang sesuai dengan tujuannya. Antara lain:
1) Lokasi tambak yang digunakan untuk usaha ternak ikan di Desa
Gunung Anyar Tambak Surabaya.
2) Kegiatan pemilik tambak, buruh dan penghasilannya.
3) Perhitungan upah dari menjadi buruh tani tambak.
4) Dampak dan manfaat dari sistem upah yang terjadi seperti di Desa
Gunung Anyar Tambak.
5) Pendapat masyarakat dengan sistem upah yang terjadi di Desa
Gunung Anyar Tambak.
b. Data Sekunder
1) Profil wilayah pertanian tambak Desa Gunung Anyar Tambak yang
terletak pada kelurahan Gunung Anyar Tambak Surabaya meliputi
keadaan sosial, pendidikan dan perekonomian masyarakat.
2) Teori tentang fiqih upah mengupah (Ujrah)
3) Konsep ‘Urf.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, antara lain
sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data yang dibutuhkan untuk
memperoleh data-data yang berkaitan langsung dengan objek
penelitian, data primer disini diambil dari beberapa informan kunci,
sedangkan yang dimaksud informan kunci adalah partisipan yang
karena kedudukannya dalam komunitas memiliki pengetahuan khusus
mengenai orang lain, poses, maupun peristiwa secara lebih luas dan
terinci dibandingkan orang lain.16 Ada tiga pihak yang terlibat dalam
penelitian ini antara lain:
1) Pemilik usaha selaku pihak yang memiliki usaha tani tambak
(pemilik tambak).
2) Buruh tani tambak selaku pihak yang membantu pemilik tambak
untuk menjaga dan mengelolah tambak.
3) Pengepul yang membantu pemilik tambak menjualkan hasil
tambaknya.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud
selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat
ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber
data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di internet
yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.17 Buku yang
digunakan, antara lain:
1. Baqir Sharief Qorashi, Keringat Buruh, Jakarta: Al-Huda, 2007.
2. Ibnu Mas’ud, Fikih Madzhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia,
2000.
3. Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
4. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema
Insani, 2011.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah
penelitian. Subjek dipilih oleh peneliti dan dianggap memiliki kredibilitas
untuk menjawab dan memberikan informasi dan data kepada peneliti yang
sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun
subjek penelitian ini adalah pemilik tambak dan buruhnya yang bekerja
bersama di tambak ikan tersebut di Desa Gunung Anyar Tambak.
4. Teknik Pengumpulan Data
17Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009 Cet
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka
penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Metode observasi data pengamatan ini merupakan strategi
pengumpulan data mengenai apa yang mereka lakukan dan
benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan
mereka.18 Mengamati bagaimana keadaan lingkungan hidup
masyarakat Desa Gunung Anyar Tambak, mengamati kegiatan yang
terjadi di tambak ikan dan bagaimana sistem pengupahan yang ada di
Desa Gunung Anyar Tambak surabaya.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan antara dua orang di mana salah
satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk
suatu tujuan tertentu.19 Wawancara akan dilakukan dengan narasumber
para pekerja (buruh) tani tambak dengan pemilik tambak, dengan
pengepul yang biasa membantu pemilik tambak menjual hasil
panennya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan proses melihat kembali data-data dari
dokumentasi berupa segala macam bentuk informasi yang berhubungan
18Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 58.
19
dengan penelitian yang dimaksud dalam bentuk tertulis atau rekaman
suara. Pengumpulan data dokumen merupakan metode yang digunakan
peneliti untuk menelusuri data historis yang berisi sejumlah fakta yang
berbetuk dokumen, hal ini sebagai pelengkap data penelitian, data
sebagai penunjang dari hasil wawancara dan observasi. Dalam teknik
ini, peneliti mendapatkan data-data yang berupa dokumentasi seperti
foto, video, rekaman hasil wawancara dan dokumen-dokumen yang ada
sebagai kelengkapan penelitian ini.
Dokumentasi ini akan diambil pada saat mengunjungi desa pada
setiap kegiatan warga dan tambak yang merupakan sumber penghasilan
masyarakat yang penting untuk didokumentasikan baik berupa foto,
video atau rekaman hasil wawancara dengan para pihak yang
bersangkutan.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun untuk menganalisa data-data dalam penelitian ini, penulis
melakukan hal-hal berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data yang
diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang jelas atau
meragukan.20 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran intelektual
(intelectual honestly) dari penulis agar nantinya hasil data konsisten
dengan rencana penelitian. Di sini penulis akan memeriksa kembali
secara berulang-ulang untuk mengantisipasi adanya data-data yang
mungkin terlewat dan memperbaikinya bila ditemukan adanya data
yang kurang jelas atau meragukan.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai
dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang diperoleh.21
Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran
tentang upah buruh tani tambak yang akadnya tidak tertulis, serta
bentuk pengupahan yang terjadi tidak sesuai dengan perjanjian.
c. Analyzing, yaitu upaya mencari dan menyusun secara sistemasis hasil
wawancara juga dokumentasi yang disusun secara sistematis dan
dianalisis secara kualitatif untuk memberikan kejelasan pada masalah
yang dibahas dalam skripsi ini.22 Tahap ini bermaksud untuk meninjau
dan perumusan praktik dan prosedur upah buruh tani tambak di Desa
Gunung Anyar Tambak Surabaya.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyususn data
secara sistematis dengan cara mengorganisasikannya ke dalam beberapa
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyususn
ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan terakhir
memuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh sendiri maupun orang
lain.
21 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.
22 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif Telaah Positivistik, Rasionalisti,
Penulis dalam menganalisis data yang telah diperoleh menggunakan
metode pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu bertujuan untuk
menggambarkan masalah yang ada pada praktik prosedur pengupahan pada
buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya, yang didapat
dengan mencatat, menganalisis dan menginterprestasikannya. Selanjutnya
dianalisis dengan pola pikir deduktif untuk mengemukakan kenyataan dari
hasil penelitian yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang
bersifat umum.
Setelah itu praktik praktik prosedur pengupahan terhadap buruh
tani tambak tersebut ditinjau dengan teori ‘urf dan Peraturan Pemerintah
No. 78 Tahun 2015 yang akan dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan
yang terjadi di lapangan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mempermudah dan dapat memberikan gambaran yang
jelas mengenai isi skripsi ini, pembahasan dilakukan secara komprehansif
dan sistematik meliputi:
Bab pertama, berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional,
serta metode penelitian yang digunakan dalam memperoleh data yang
Bab kedua membahas tentang landasan teori yaitu pengertian tentang
‘Urf, macam-macam ‘Urf, dasar hukum ‘Urf, syarat-syarat ‘Urf, kedudukan
‘Urf dalam penetapan hukum, pengertian upah (Ujrah), dasar hukum upah
(ujrah), rukun dan syarat-syarat upah (ujrah), macam-macam upah (ujrah),
pendapat para fuqaha’ terhadap upah (ujrah), dan berakhir atau gugurnya
upah (ujrah), hikmah atau manfaat upah (ujrah), sistem pengupahan yang
sesuai berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015.
Bab ketiga, memaparkan gambaran mengenai hasil penelitian
terhadap lokasi tambak di Desa Gunung Anyar Tambak Surabaya,
kegiatan yang dilakukan oleh pemilik tambak dan buruhnya, hasil panen
dari tambak, pengepul yang membantu pemilik tambak menjualkan ikan
hasil tambak, praktik upah buruh tani tambak di Desa Gunung Anyar
tambak surabaya.
Bab keempat, penulis akan membahas mengenai tinjauan ‘urf dan
Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 terhadap upah buruh tani tambak
di desa Gunung Anyar Tambak Surabaya.
Bab kelima, merupakan bagian akhir dari skripsi yang berisikan
tentang kesimpulan dan saran-saran yang diberikan peneliti terhadap
22
1. KONSEP ‘URF (ADAT KEBIASAAN)
A. Pengertian ‘Urf
Dari segi bahasa al-‘urf berasal dari kata فرع yang berarti kenal.
Dari kata ini muncul kata ةفرعم (yang dikenal), في رعت (definisi), kata فرعم
(yang dikenal sebagai kebaikan, dan kata فرع bermakna kebiasaan yang
baik.1 Dalam kamus ushul fiqh ‘urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh
manusia dan mereka patuhi, berupa perkataan, perbuatan atau perihal
meninggalkan.2 ‘Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka. Dalam bahasa
arab ‘urf memiliki beberapa arti, yaitu sesuatu yang disukai dan dianggap
baik, bagian atas sesuatu, berturut-turut, dan pengakuan. Adapun dalam
pembahasan usul fiqih, ‘urf adalah sesuatu yang sudah dibiasakan
manusia dalam pergaulan dan kehidupannya.3 Istilah lain yang digunakan
dengan makna yang sama adalah ‘a>dah yang berarti kebiasaan atau
adat-istiadat.
Adapun dari segi terminologi, kata ‘Urf mengandung makna:
11Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 209
2Jaenal Aripin, kamus ushul fiqh dalam dua bingkai ijtihad, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 405.
3Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja Jilid 2, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
ُهَ ْ يَ ب َعاَش ٍلْعِف ِلُك ْنِم ِهْيَلَع اْوُراَسَو ُساَلا ُهَداَتْعا اَم
اْوُ فَراَعَ ت ٌظْفَل ْوَأ ,ْم
ُرَداَبَتَ ي َاَو ُةَغللا ُهَفَلَأَت َا ٍصاَخ ىَْعَم ىَلَع ُهَقَاْطِإ
ِهِعاََِس ََِْع ُهَرْ يََ
“Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain”.4
kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah
al-‘A>dah (kebiasaan), yaitu:
لا ُعاَبَطلا ُهْتَقَلَ تَو ِلْوُقُعْلا ِةَهِج ْنِم ِسْوُف لا يِف َرَقَ تْسااَم
ِلْوُ بَقْلاِب ُةََْيِلَس
“Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar”.5
Abdul Karim Zaidan mengemukakan seperti yang dikutip oleh
Satria Effendi, kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara
terminologi:6
ِف ْوَأ ٍلْوَ ق ْنِم ِهِتاَيَح ْيِف ِهْيَلَع َراَسَو ُهَداَتْعِاَو ُعَََتْجَُْلا ُهَفَلَأ اَم
ٍلْع
Kata al-‘A>dah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan
secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Dari
penjelasan tersebut dapat dipahami, al-‘urf atau al-‘a>dah terdiri atas dua
bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan
al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).‘Urf dalam bentuk
4Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 208.
5Ibid, 209.
perbuatan misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di
pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan kabul.
Sebagian Ulama’ ushul fikih,‘urf disebut adat (adat kebiasaan),
sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara ‘urf
dengan adat (adat kebiasaan), karena adat kebiasaan telah dikenal
masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap
orang yang melanggarnya.7 Bila diperhatikan kedua kata itu dari asal segi
penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata
ةداع
akarkatanya adalah
دوعي
-
داع
mengandung arti pengulangan. Karena itu,sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Tentang
berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut adat,
tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang
dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Suyuthi
dalam kitabnya al-Ashba>b wa al-Nadha>ir. Sedangkan kata ‘urf
pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya sesuatu perbuatan
dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda
ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan
timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada
perbedaan prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu
perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan
diakui orang banyak, maka perbuatan ini dilakukan orang secara berulang
kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi
perbedaannya tidak berarti.8
B. Dasar Hukum ‘Urf
Para Ulama’ sepakat bahwa ‘urf s}ahih dapat dijadikan hujjah
selama tidak bertentangan dengan syara’. Ulama’ Malikiyah terkenal
dengan pernyataan mereka bahwa Ulama’ Madinah dapat dijadikan
hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat
ulama kuffah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan
qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda di Mesir (qaul jadid). Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Akan
tetapi, tentu saja ‘urf fa>sid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.9
Di antara para ulama’ fikih yang menggunakan ‘urf secara luas
adalah pengikut Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, mereka
menggunakan ‘urf dalam menetapkan hukum-hukum amaliah, memahami
nash, mengkhususkan keumuman cakupan nash, dan untuk menjelaskan
berbagai hukum fikih pada wilayah ibadah, muamalah, serta
8Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 389.
persoalan perdata. Oleh karena itu, para ulama mengajukan beberapa dalil
yang mendukung kehujjahan ‘urf.10
C. Syarat-syarat ‘Urf
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sebuah ‘urf dapat
diterima sebagai hujjah, antara lain:11
1. ‘Urf tersebut dipraktikkan secara ajek pada hampir semua kasus dalam
masyarakat.
2. ‘Urf sudah mapan pada saat kemunculan suatu perbuatan yang hendak
ditetapkan hukumnya, jika suatu perbuatan sudah muncul sebelum suatu
‘urf mapan dan diterima masyarakat, maka ‘urf tidak dapat dijadikan
sandaran dalam menetapkan perbuatan tersebut.
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan sesuatu yang ditegaskan secara jelas.
Misalnya, menurut kebiasaan yang berlaku, barang yang telah dibeli tidak
diantarkan oleh penjual ke rumah pembeli, maka ‘urf diabaikan dan yang
berlaku adalah syarat yang ditegaskan tadi.
4. ‘Urf tidak menyalahi nash syara’ atau menyalahi suatu prinsip yang tegas
dalam syariat.
Seperti yang dikutip oleh Satria Effendi dari Abdul Karim Zaidan
menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang bisa dijadikan landasan
hukum yaitu:12
10Indi Aunullah, Ensiklopedi Fikih untuk Remaja Jilid 2, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008). 282
11Ibid, 283
1. ‘Urf harus termasuk ‘urf yang s}ahih dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di
suatu negeri bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau
anak dari pihak pemberi atau pemilik amanah.
2. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu.
3. ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil
kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama pada waktu itu
hanyalah orang yang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada
persyaratan memiliki ijazah.
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak yang terkait yang berlainan dengan
kehendak ‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah
sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka
yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
D. Macam-Macam ‘Urf
‘Urf dibagi menjadi beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya
‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘Urf Qauli dan ‘Urf ‘Amali13
1. ‘Urf Qauli
Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan walad, menurut
bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak
perempuan, tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan
anak laki-laki saja.
2. ‘Urf ‘Amali
Ialah ‘urf yang berupa perbuatan, seperti jual beli dalam masyarakat
tanpa mengucapkan s}ighat akad jual beli, padahal menurut syara’ s}ighat
jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa s}ighat
jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’
membolehkannya.
Ditinjau dari segi keabsahan diterima atau tidaknya ‘urf, maka
‘urf dapat dibagi menjadi dua yaitu: ‘Urf S}ahih dan ‘Urf Fa>sid
1. ‘Urf S}ahih
Ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara’. Dengan kata lain,‘urf yang tidak
mengubah ketentuan yang haram menjadi yang halal, atau bahkan
sebaliknya. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melansungkan
akad nikah, dipandang baik telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakatdan tidak bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf Fa>sid
Ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
bertentangan dengan syara’. Dan para ulama pun sepakat bahwa ‘urf
Fa>sid tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut
sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat, hal ini
tidak dapat diterima karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang
dianjurkan agama Islam.
Ditinjau dari segi jangkauan ruang lingkupnya ‘urf dapat dibagi
menjadi dua yaitu: ‘Urf a>mm dan ‘Urf Kha>s}14
1. ‘Urf a>mm
Ialah ‘urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan.
Yang kebiasaan tersebut bersifat umum dan berlaku bagi sebagian
besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya,
membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa
perincian jauh atau dekatnya jarang yang ditempuh, dan hanya
dibatasi oleh jarak tempuh maksimum.
2. ‘Urf Kha>s}
Ialah ‘urf atau adat kebiasaan yang berlaku secara khusus
pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya,
mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh masyarakat
indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah
puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak
dibiasakan dengan kegiatan tersebut.
E. Kedudukan ‘Urf Dalam Penetapan Hukum
Pada dasarnya, semua ulama’ menyepakati kedudukan ‘urf as-s}ahihah
sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat
perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam
hal ini, ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah adalah yang paling banyak
menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama’ Syafi’iyah
dan Hanabillah.
Adapun kehujjahan‘urf sebagai dalil syara’,15 didasarkan atas
argumen-argumen sebagai berikut ini:
1. Firman Allah pada surah al-A’raf (7): 199:
َنْيِلِهَجْلا ِنَع ْضِرْعَأَو ِفْرُعْلاِب ْرُمْأَو َوْفَعْلا ِذُخ
“jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”16
Melalui ayat ini Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan
yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah,
yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan
yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
2. Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:
َف
َراََ
َأ
ٌنَسَح ِهّللاََِْع َوُهَ ف اًَسَح َنْوَُِلْسَُْلا ُه
ْوَُِلْسَُْلا ُهآَراَمَو
ِيَس َن
ٌءْيَس ِهّللاََِْع َوُهَ ف اًئ
“sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”17
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun
maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku
di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat
15Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014). 212
16Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro
Grafindo Semarang, 1994), 159.
Islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya,
hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh
masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan
sehari-hari. Padahal dalam hal ini Allah berfirman pada surah al-Maidah
(5); 6:
ُرِهَطُيِل َُْيِرُي ْنِكَلَو ٍجَرَح ْنِم ْمُكْيَلَع َلَعْجْيِل ُهّللا َُْيِرُي اَم
َعَل ْمُكْيَلَع ,ُهُتََْعِِ َمِتُيِلَو ْمُك
ْمُكَل
َنْوُرُكْشَت
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”.18
Berdasarkan dalil-dalil kehujjahan ‘urf di atas sebagai dalil hukum, maka
ulama’ terutama ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah merumuskan kaidah
hukum yang berkaitan dengan al-‘urf, antara lain: 19
ٌةَََكَحُم ُةَداَعْلا
“Adatkebiasaan dapat menjadi hukum”
يِعْرَش ٍلْيِلََِب ٌتِباَث ِفْرُعْلاِب ُتِباَثلا
“yang berlaku berdasarkan ‘urf, berlaku berdasarkan berdasarkan dalil syara’”
ِصَلاِب ِتِباَثلاَك ِفْرُعْلاِب ُتِباَثلا
“yang berlaku berdasarkan ‘urf seperti berlaku berdasarkan nash”
َغللا يِفَاَو ِهْيِف ُهَل طِباَض َاَو اًقَلْطُم عْرَشلا ِهِب َدَرَو اَم لُك
ِفْرُعْلا ىَلِإ ِهْيِف ُع ِجْرَ ي ِة
18Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro
Grafindo Semarang, 1994), 99.
“semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak, dan tidak ada pembatasan
di dalamnya, bahkan juga tidak ada pembatasan dari segi kebahasaan,
maka pemberlakuannya dirujukkan kepada ‘urf”20
Apilkasi dari kaidah ‘urf seperti yang dijelaskan sebelumnya,
bahwa al-‘urf ada yang berlaku secara umum (al-‘urf al-a>mm) dan ada
pula yang khusus (al-‘urf al-kha>s}) dalam suatu komunitas tertentu saja.
Demikian pula, ada al-‘urf s}ahih (‘urf yang benar) dan ada pula al-‘urf al
-fa>sid (‘urf yang salah). Dalam kaitan ini perlu ditegaskan, bahwa ‘urf
yang disepakati seluruh ulama keberlakuannya adalah ‘urf s}ahih al-‘a>mm
al-mut}t}arid (‘urf yang benar berlaku umum (sejak masa sahabat dan
seterusnya) dan bersifat konstan), tidak bertentangan dengan nash syara’
yang bersifat qat}’i, dan tidak pula bertentangan kaidah-kaidah syara’
yang bersifat prinsip. Apabila suatu ‘urf memenuhi kriteria-kriteria
tersebut, maka menurut ulama Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan saja
menjadi dalil syara’ tetapi juga dapat mengenyampingkan hukum yang
didasarkan atas qiyas dan dapat pula men-takhs}is} dalil syara’ lainnya.
Adapun‘urf yang bersifat khusus, maka ia hanya dapat
mengenyampingkan pendapat-pendapat madzhab yang didasarkan atas
hasil ijtihad terhadap nash yang z}anni saja. Dengan demikian, berbeda
dengan al-‘urf al-‘a>mm yang berlaku bagi semua masyarakat secara
umum dan dapat mengenyampingkan qiyas dan dalil syara’. Maka al-‘urf
al-kha>s}, selain hanya berlaku pada suatu komunitas tertentu, ia juga tidak
dapat mengenyampingkan nash syara’ dan ketentuan qiyas, serta tidak
pula dapat menjadi pen-takhs}is} terhadap athar (yang berlaku dikalangan
sahabat). Sementara itu, sebagaimana telah disebutkan, al-‘urf al-fa>sid
(‘urf yang salah) sama sekali tidak diakui keberadaannya dalam hukum
dan selalu ditolak.
2. KONSEP UPAH (UJRAH)
A. Pengertian Upah (Ujrah)
Al-Ija>rah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad atau upah,
sewa, jasa atau imbalan. Secara syara’ sebagaimana yang dikemukakan
oleh sayyid sabiq:
ُهَلْوُصُح نُظَي ِةَعَفْ َم ىَلَع َُْقَع
“sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”21
Dalam kitab yang ditulis oleh Abdul Rahman Ghazaly yang
berjudul Fikih Muamalat, istilah upah dalam kehidupan sehari-hari
diartikan oleh fuqaha’ yaitu memberi upah kepada orang lain atas setiap
pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.22 Pada zaman
Rasulullah upah biasa disebut Ji‘alah yang dapat dibaca Ja‘alah.23
Al-Ija>rah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam
memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak,
menjual jasa dan sebagainya. Menurut Idris ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa ija>rah berarti upah mengupah.
21Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 931.
22Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), 141.
23Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Terj, KH.
Sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah kitab Fiqh
Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ija>rah dengan sewa
menyewa, dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ija>rah
dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga
ada perbedaan makna oprasional, sewa biasanya digunakan untuk benda,
sedangkan upah digunakan untuk tenaga. Dalam bahasa Arab upah dan
sewa disebut ija>rah.24
Secara terminologi perlu dikemukakan beberapa pendapat para
ulama’ antara lain:
1. Menurut Ali al-Khafif, al-Ija>rah adalah transaksi terhadap sesuatu
yang bermanfaat dengan imbalan. 25
2. Menurut ulama Syafi’iyah,
ِةَدْوُصْقَم ِةَعَفْ َم ىَلَع َُْقَع
ٌةَلِباَق ٌةَحاَبُم ِةَمْوُلْعَم
ِلْذَبْلِل
َوِعِب ِةَحاَبِْااَو
ٍمْوُلْعَم ٍض
“Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu
dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu”.26
al-Ija>rah adalah transaksi terhadap sesuatu manfaat yang dimaksud,
tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu.
3. Menurut Ulama’ malikiyah, Ija>rah adalah pemilikan suatu manfaat
yang diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan imbalan.
ْقَع .... ُةَراَجِْْا
ِعِب ًةَمْوُلْعَم ًةََُم ٍحاَبُم ٍئَش ِعِفاََم َكْيِلََْت َُْيِفُي َُ
ِةَعَفْ ََْلا ِنَع ٍئِشاَِ ِرْيََ ٍضَو
24Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 113. 25Ibid, 114.
“Ija>rah.... adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat”27
4. Menurt Ulama’ Hanabilah
َو ِءاَرَكْلَاَو ِةَراَجِْا ِظْفَلِب َُِقَعْ َ ت ِعِفاَََْلا ىَلَع ٌَْقَع َيَِو
اََُاَْعَم ْيِف اَم
“Ija>rah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ija>rah, kara’ dan semacamnya” 28
5. Menurut Ulama’ Hanafiyah
ٍلاَم َوُ ٍضَوِعِب ِةَعَفْ ََْلا ىَلَع ٌَْقَع ُةَراَجِْْا
“Ija>rah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta”29
6. Menurut Sayyid Sabiq, ija>rah ialah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
ُباَوَ ثلا َيَُِس ُهِْمَو ُضاَوِعْلا َوَُو ِرْجَْْا َنِم ٌةَقَ تْشُم ُةَراَجِْْا
اًرْجَأ
“Ija>rah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘Iwad} (imbalan), dari pengertian ini pahala (thawab) dinamakan ajr (upah/pahala)”30
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka Ija>rah tidak boleh
dibatasi dengan syarat. Akad Ija>rah tidak boleh dipalingkan, kecuali ada
unsur manfaat, dan akad Ija>rah tidak boleh berlaku pada pepohonan untuk
diambil buahnya.31 Secara Etimologi, ija>rah adalah upah mengupah dari
sebab itulah ath-Thawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-’Ajru /
27Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 87.
28Syamsuddin bin Qudamah Al-Maqdisi, As-Syarh Al-Kabir, Dar Al-Fikr, t.t, Juz III, 301.
29Muhammad bin Abu Bakar As-Sarakhsi Al- Mabsuth, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah,
(Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H) Juz 6, 319.
30Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz III, 198.
31Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),
upah. Adapun secara terminologi, para ulama fiqih berbeda pendapat,
menurut Sayyid Sabiq, al-ija>rah adalah
َع ْق
َُ
َع َل
ْي ْا
ََل
َا ِف
ِع
ِب ِع
َو
ِض
“suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan
memberi penggantian”
Sementara, menurut ulama Syafi’iyah, ija>rah adalah suatu jenis akad atau
transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah
dan boleh dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu. (Abdul
Rahman Ghazaly: 2010), 277.
B. Dasar Hukum Upah (Ujrah)
Dasar hukum ija>rah dalam firman Allah
... َنَُرْوُجُأ َنُْوُ تَأَف ْمُكَل َنْعَضْرَأ ْنِإَف ...
“jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah
mereka upahnya”. (QS. At-Talaq: 6) 32
Rasulullah Saw, juga bersabda:
َم ِن
ْسا َت
ْأ
َج َر
َا
ِج
ْ ي ًر
َ ف ا
ْل َ ي ْع
ََ ْل
َا
ْج َر
ُه
َةرير يبا نع قازرلا َبع هاورُ
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah
upahnya”33
Hadis Ibnu Umar:
ِعَس ُنْب ُبَْو اََ ثَََح يِقْشَمََلا َِْيِلَوْلا ُنْب ُساَبَعْلا اََ ثَََح
اََ ثَََح يََِلَسلا َةَيِطَع ِنْب َِْي
َُْبَع
ِنْب ِهّللاَِْبَع ْنَع ِهْيِبَأ ْنَع َمَلْسَا ِنْب َِْيَز ُنْب ِنََْحَرلا
َق َرََُع
ُهّللا ىَلََ ِهّللا ُلْوُسَر َلاَق َلا
ُهَقَرَع َفِجُي ْنَأ َلْبَ ق ُهَرْجَأ َرْ يِجَْْا اْوُطْعَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع
ا هاورُ
َهجام نب
32Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro
Grafindo Semarang, 1994), 504.
“telah menceritakan kepada kami al Abbas bin al Walid ad Dimasyqi
berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa’id bin Athiah As
Salami berkata, telah menceritakan kepada kami ’Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah
Saw bersabda: Berianlah upah kepada pekerja sebelum kering
keringatnya”.34
Pada prinsipnya dasar hukum di atas memberi gambaran setiap
muslim untuk melakukan hal yang terbaik dalam ija>rah, baik dengan
pengertian sewa maupun upah. Sewa berarti memberi kesempatan kepada
pihak penyewa dan yang menyewakan, saling tanggung jawab sesuai
dengan hak dan kewajiban masing-masing, demikian halnya memberi
upah kepada pekerja seharusnya disesuaikan kesepakatan bersama dan
jangan sampai merugikan kedua belah pihak.
Landasan Ijm‘anya ialah semua umat bersepakat, tidak ada
seorang ulama’ pun yang membantah kesepakatan ini, sekalipun ada
beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu
tidak dianggap.35
C. Rukun dan Syarat Upah (Ujrah)
Menurut ulama Hanfiyah, rukun ija>rah adalah ijab dan kabul
antara lain dengan menggunakan kalimat al-ija>rah, al-isti‘jar, al-iktira’
dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama, rukun ija>rah ada empat yaitu:
‘a>qid (orang yang akad), s}ighat akad (ijab dan kabul), ujrah (upah) dan
manfaat. Menurut jumhur ulama’ bahwa rukun ija>rah ada empat yaitu:36
1. S}ighat al-‘Aqad (ijab dan kabul)
34Ibid, 81.
35Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 117.
36Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),
2. Al-‘Aqidayn (kedua orang yang bertransaksi)
3. Al-Ija>rah (upah/sewa)
4. Al-Manfa‘ah (manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa
atau jasa dan tenaga dari orang yang bekerja).
Sebagai bentuk transaksi, Ija>rah dianggap sah harus memenuhi
rukun di atas, di samping rukun juga harus memenuhi syarat-syaratnya.
Adapun syarat-syarat ija>rah yang dimaksud adalah:
1. Kedua belah pihak yang berakad (penjual dan pembeli) harus
menyatakan kerelaannya dalam melakukan transaksi ija>rah, bila di
antara salah seorang diantara keduanya dengan cara terpaksa dalam
melakukan transaksi, maka akad ija>rah semacam ini tidak sah.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisa (4) : 29
ْمُكَلاَوْمَأ اْوُلُكْأَت َا اْوُ َمَا َنْيِذَلا اَه يَأَي
َاِإ ِلِطَبْلاِب ْمُكَْ يَ ب
ْمُكِْم ٍضاَرَ ت ْنَع ًةَرَجِت َنْوُكَت ْنَأ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”37
2. Bagi kedua orang yang melakukan transaksi (akad), menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh
karena itu, bagi orang yang belum baligh dan tidak berakal, seperti
anak kecil dan orang gila transaksinya menjadi tidak sah. Beda dengan
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa kedua orang yang bertansaksi
itu tidak harus berusia baligh, namun anak yang mumayyiz (yang bisa
37Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ed Revisi, (Semarang: Kumudasmoro
membedakan) boleh melakukan transaksi ija>rah dengan syarat adanya
persetujuan dari walinya.
3. Upah atau sewa dalam transaksi i\ja>rah harus jelas, memiliki sifat
tertentu dan mempunyai nilai yang bersifat manfaat.
4. Manfaat sewa harus diketahui secara sempurna, sehingga di kemudian
hari tidak memunculkan perselisihan di antara keduanya. Apabila
manfaat yang menjadi objek ija>rah tidak jelas, maka transaksinya
tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat disampaikan dengan rinci
beberapa manfaat yang menjadi objek ija>rah.
D. Macam-Macam Upah (Ujrah)
Akad ija>rah dilihat dari segi objeknya menurut ulama fiqih dibagi
menjadi dua macam, yaitu:38
a. Ija>rah yang bersifat manfaat, pada ija>rah ini benda atau barang yang
disewakan harus memiliki manfaat, misalnya sewa menyewa rumah,
tanah pertanian, kendaraan, pakaian, perhiasan, lahan kosong yang
dibangun pertokoan dan sebagainya.
b. Ija>rah yang bersifat pekerjaan, pada ija>rah ini seseorang
mempekerjakan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan hukumnya
boleh apabila jenis pekerjaannya jelas dan tidak mengandung unsur
tipuan. Seperti tukang jahit, tukang dan kuli bangunan, buruh pabrik
dan sebagainya. Ija>rah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti
menjadi guru mengaji Qur’an, pembantu rumah tangga, dan ada yang
38Abu Azam al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014),
bersifat kerjasama, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang
menjualkan jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti buruh
pabrik, tukang sepatu dan tukang jahit.
Ija>rah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu akad
Ija>rah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya membangun
rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ke tempat tertentu, dan
sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga
kerja. Sedangkan ‘ajir atau tenaga kerja ada