• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU DENGAN KECERDASAN EMOSI REMAJA AWAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA ATTACHMENT IBU DENGAN KECERDASAN EMOSI REMAJA AWAL."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Sebagai Bagian Dari Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Siti Mabruroh B07212078

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI ISLAM SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Antara Attachment Ibu dengan kecerdasan emosi remaja awal. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode analisis data Product Moment, dengan perhitungan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 16.00. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala attachment ibu dan skala Kecerdasan emosi. Subjek penelitian ini adalah Siswi Mts Akselerasi Pondok Pesantren Hasanah yang berusia antara 12-15 tahun, dengan lama tinggal di Pondok minimum 2 tahun, sampel yang diambil secara populatif berjumlah 70 siswi.

Hasil penelitan menunjukkan signifikansi sebesar 0,009 dengan korelasi 0,312 yang artinya terdapat Hubungan Attachment Ibu dengan kecerdasan emosi remaja awal.

(11)

ABSTRACK

The purpose of this research is to determine the Relationship between Maternal Attachment with Adolescent Emotional Intelligence. This research is a quantitative research with data analysis Product Moment, with the calculation of statistical product and service solution (SPSS)program for windows 16.00 versionm. This study uses data collection techniques such as maternal attachment scale and the scale of emotional intelligence. This research subject is students of Acceleration student at Islamic Boarding School Hasanah aged between 12-15 years old, with a minimum length of stay in the dorm two years. Populatif samples taken were 70 students.

The results showed significant correlation of 0.009 to 0.312, which means there is a relationship between maternal attachment with emotional intelligence adolescent.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 19

A. Remaja ... 19

1. Pengertian Remaja ... 19

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 20

3. Ciri-ciri Masa Remaja ... 20

4. Perubahan Masa Remaja ... 22

B. Kecerdasan Emosi ... 23

1. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 23

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi ... 26

3. Faktor-faltor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosi ... 29

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi Tinggi dan Rendah ... 32

C. Attachment ... 33

1. Pengertian Attachment ... 33

2. Proses Terbentuknya Attachment ... 35

3. Attachment Terhadap Ibu ... 36

4. Dimensi Attachment ... 37

5. Pola Attachment ... 40

6. Manfaat Attachment ... 41

7. Perkembangan Attachment pada Remaja ... 44

D. Hubungan Tingkat Attachment Ibu dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja Awal ... 46

E. Kerangka Teori ... 50

F. Hipotesis ... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 53

A. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 53

1. Identifikasi Variabel ... 53

(13)

B. Populasi dan Sampel ... 54

1. Populasi ... 54

2. Sampel ... 57

C. Teknik Pengumpulan Data ... 58

1. Skala Attachment Ibu ... 59

2. Skala Kecerdasan Emosi ... 61

D. Validitas dan Reliabilitas ... 62

1. Validitas ... 62

2. Reliabilitas ... 63

E. Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Deskripsi Subjek ... 66

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 68

1. Deskripsi Data ... 68

2. Reliabilitas Data ... 72

C. Hasil ... 73

1. Uji Normalitas Data ... 73

2. Pengujian Hipotesis ... 74

D. Pembahasan ... 75

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Item favorable dan unfavorable ... 58

Tabel 2 Blueprint Skala Attachment Ibu ... 60

Tabel 3 Blueprint Skala Kecerdasan emosi ... 62

Tabel 4 Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba ... 64

Tabel 5 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 66

Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Pondok . 66 Tabel 7 Karakteristik Responden Berdasarkan Asal Daerahnya ... 67

Tabel 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Sebelum Masuk Madrasah Tsanawiyah ... 67

Tabel 9 Deskriptif Data Responden terhadap skala ukur ... 68

Tabel 10 Deskripsi Data Berdasarkan Usia Responden ... 69

Tabel 11 Deskripsi Data Berdasarkan Lama Tinggal di Pondok ... 70

Tabel 12 Deskripsi Data Berdasarkan Asal Daerah Responden ... 71

Tabel 13 Deskripsi Data Berdasarkan Pendidikan Sebelum Masuk Madrasah Tsanawiyah ... 72

Tabel 14 Hasil Uji Estimasi Reliabilitas ... 73

Tabel 15 Hasil Uji Normalitas ... 74

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN UJI COBA ... 85

A. Skala Uji Coba ... 85

B. Hasil SPSS Uji Coba ... 92

C. Data Item Valid dan Gugur ... 96

D. Hasil Input Data Uji Coba Skala Kecerdasan emosi dan Attachment Ibu ... 98

E. Hasil Skoring Uji Coba Skala Kecerdasan emosi dan Attachment Ibu ... 100

LAMPIRAN PENELITIAN ... 106

A. Skala Penelitian ... 106

B. Hasil SPSS Penelitian ...111

C. Hasil Input Data Penelitian Skala Kecerdasan Emosi dan Attachment Ibu ... 114

(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana remaja tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Interaksi dalam masyarakat mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. ( Hurlock,1980)

Desmita (2009), batasan usia remaja dibedakan atas tiga, yaitu masa remaja awal antara usia 12-15 tahun, masa remaja tengah antara usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir antara usia 18-21 tahun. Sedangkan Hurlock (1999), hanya membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13-16 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 17-18 tahun.

(18)

emosi remaja seringkali sangat kuat dan tidak terkendali tetapi pada umumnya dari tahun ketahun terjadi perbaikan perilaku emosional. Hal yang sama dikemukakan Gessel (1969; dalam Monks, dkk., 2001), bahwa masa usia sebelas tahun lebih tegang dibandingkan dengan usia enam belas tahunan, dimana pada usia enam belas ini remaja sudah mulai bebas dari rasa keprihatinan.

Periode masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Monks (2001), menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan, ini lebih dirasakan pada masa awal remaja. Masa awal remaja juga dirasakan sebagai masa perubahan, Hurlock (1999), mengemukakan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini antara lain meningginya emosi yang biasanya terjadi lebih cepat.

Meskipun masa remaja dianggap sebagai masa yang penuh kesukaran, Anderson (1990; dalam Fajarini & khaerani, 2014), mengatakan bahwa remaja diharapakan dapat memahami serta menguasai emosinya. Remaja yang dapat memahami emosinya akan mampu mencapai kondisi emosional yang adaptif. Remaja yang menunjukkan kontrol emosi yang baik, memiliki kapasitas perilaku yang dapat menangani kemarahannya. Dalam hal ini remaja awal cenderung memiliki kemarahan yang lebih besar, sedangkan remaja akhir lebih mampu mengendalikan kemarahannya.

(19)

ketegangan dan masalah yang ada pada remaja berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah, tekanan ekonomi dan tragedi dalam kehidupan, misalnya kematian, perceraian dan penyakit yang dideritanya atau anggota keluarganya.

Serangkaian kasus remaja, dilihat dari Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2007) menunjukkan jumlah remaja di Indonesia mencapai 30% dari jumlah penduduk atau sekitar 1,2 juta jiwa (www.bkkbn.go.id). Gambaran pelanggaran norma sosial, norma hukum dan norma agama di Indonesia meliputi sex pra nikah dan kehamilan tidak diinginkan, 700-800 ribu remaja melakukan aborsi, MMR 343/100.000 (17.000/th, 1417/bln, 47/hr perempuan meninggal) karena komplikasi kehamilan dan persalinan, 1283 kasus HIV/AIDS dan diperkirakan 52.000 terinfeksi atau 70% adalah remaja, miras dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang (www.bkkbn.go.id).

(20)

Sebuah survei juga pernah dilakukan terhadap orang tua dan guru-guru di hampir seluruh belahan dunia memperlihatkan adanya kecenderungan yang sama, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosi daripada generasi sebelumnya, seperti : lebih kesepian, pemurung, kurang menghargai sopan santun, lebih gugup, mudah cemas, lebih impulsif, dan agresif (Goleman, 2000). Kemerosotan emosi pada remaja tampak pada semakin banyaknya masalah di sekolah maupun dengan keluarga.

Munculnya bentuk-bentuk perilaku yang negatif tersebut, menurut Goleman (2000) merupakan gambaran adanya emosi-emosi yang tidak terkendali, mencerminkan semakin meningkatnya ketidakseimbangan emosi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa individu gagal dalam memahami, mengelola, dan mengendalikan emosinya. Berdasarkan hal itu, dapat menunjukkan adanya gambaran bahwa kondisi emosi pada remaja yang kurang memiliki kecerdasan emosi.

(21)

dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Disamping itu kemampuan mengendalikan emosi dalam diri individu akan mempengaruhi proses berpikir. Kecerdasan emosi sesungguhnya merupakan bagian dari kemampuan nalar atau kognitif seseorang (Satiadarma & Waruwu, 2003). Kecerdasan emosi akan membantu seseorang dalam memahami situasi dan mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungan di sekitarnya.

(22)

tua. Bagaimana bentuk hubungan yang terjalin antara orang tua dan remaja akan menentukan bagaimana kecerdasan emosi pada remaja terbentuk.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Gardner (1983), bahwa interaksi antar anggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu hubungan yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja (Ali & Asrori, 2006). Hal ini memperlihatkan bahwa adanya keterkaitan hubungan antara remaja dengan orang tua. Karena attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja, seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Penyesuaian emosi dibutuhkan remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Dimana penyesuaian emosional dikaitkan dengan kecerdasan emosi. Hubungan antara remaja dengan orang tua yang terjalin dengan baik akan memberikan kesempatan untuk mengekplorasi kemampuannya. Remaja yang kebutuhan fisik, rasa aman serta kasih sayang terpenuhi akan lebih mampu untuk memotivasi dirinya untuk mencapai kebutuhan harga diri atau aktualisasi diri.

(23)

peranan yang sangat penting dan dibutuhkan anak. Orang tua juga merupakan sistem dukungan dan tokoh attachment yang penting dalam keluarga (Santrock, 2003).

Kasih sayang orang tua yang diberikan kepada anak menimbulkan adanya kedekatan atau kelekatan secara emosional. Anak yang mendapat kasih sayang dari orang tua dan orang tua menjadi kepercayaan hingga mereka remaja, saat mereka ada pada suatu lingkungan biasanya cenderung menjadi conformer sehingga mereka memiliki kestabilan emosi, kepatuhan sosial, ciri-ciri pribadi yang disenangi dan kepatuhan di sekolah. (Sulaeman,1995)

Ainsworth (1969) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang terus menerus ditandai dengan kecenderungan untuk mencari dan memantapkan kedekatan terhadap tokoh tertentu, khususnya ketika sedang berada dalam kondisi yang menekan. Sedangkan menurut Bartholomew (1990; dalam Baron & Byrne, 2003) Attachment style merupakan kecenderungan perilaku lekat individu yang terdiri dari dimensi positif dan negative pada dua sikap dasar, yaitu sikap dasar mengenai self dan sikap dasar mengenai orang lain.

(24)

adalah menarik diri, tidak nyaman dalam sebuah kedekatan, memiliki emosi yang berlebihan, dan sebisa mungkin mengurangi ketergantungan terhadap orang lain.

Menurut Bowlby (1982; dalam Santrock, 2003), Ibu menjadi sosok yang cukup sentral dalam relasi antara remaja putri dan orang tua. Bowlby juga memaparkan bahwa dalam sebuah keluarga seringkali yang dipersepsikan sebagai keluarga oleh anak-anak adalah tokoh ibu. Kebanyakan orang mengasosiasikan ibu memiliki kualitas seperti tidak mementingkan diri sendiri, hangat, dan toleran. oleh karena itu, kebutuhan akan kelekatan (Attachment) pada ibu menjadi hal yang penting dalam kehidupan remaja

Selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Papilia (2008) pada dasarnya ibu akan memberi rasa aman, nyaman terhadap remaja karena seorang anak menaruh kepercayaan yang besar terhadap ibu. Hal ini tentu saja menimbulkan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Kelekatan (Attachment) pada ibu merupakan suatu langkah awal dalam proses perkembangan dan sosialisasi, yang akhirnya dialihkan pada lingkungan sosialnya.

Attachment aman menurut Ainswort (1982) adalah keterikatan secara

(25)

2009). Attachment aman dengan orang tua selama masa remaja dapat berfungsi adaptif, yang menyediakan landasan yang kokoh bagi remaja.

Seperti yang dikemukakan juga oleh Monks, dkk (2004), bahwa kualitas hubungan antara orang tua terutama ibu dengan anak memegang peranan penting. Adanya dukungan dan interaksi yang kooperatif antara orang tua dengan anak pada masa remaja akan menimbulkan kelekatan. Seorang ibu biasanya memiliki sikap yang lebih menerima, lebih mengerti dan lebih kooperatif terhadap anak remaja dibandingkan ayah. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Memasuki usia remaja, attachment yang terbentuk tidak lagi berwujud kelekatan (fisik) melainkan lebih kepada ikatan emosional (Greenberg, dalam O’koon, 1997)

Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di Pondok pesantren “Hasanah” (disamarkan) Gresik selama 2 hari (15-16 Mei 2016 ), Remaja

(26)

santri yang reguler, meskipun beberapa diantara mereka mampu mengatasinya. Proses pengelompokan mulai dari kamar, kelas dan mata pelajaran yang berbeda, membuat intensitas sesama santri kurang.

Kemampuan membina hubungan dengan orang lain yang dikemukakan oleh Goleman (2000) merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi yang meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi, kemampuan tersebut tidak membatasi hubungan dengan satu kelompok saja namun untuk semua orang. Kecerdasan Intelektual pun tidak mampu menjamin kesuksesan dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain Di jelaskan Dalam artikel “On The Road on Chairman Lou” (The New York Times 26/6/1994), menyebutkan bahwa IQ ternyata sesungguhnya

(27)

sehingga dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang (Goleman, 2000)

Penelitian yang dilakukan Arisandi dan lathifah (2007) menjelaskan bahwa semakin tinggi hubungan dengan orang tua maka semakin baik kecerdasan emosi yang dimiliki remaja.

Diperkuat dengan Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan puspitosari (2010) mengenai Pengaruh Adatability (Adaptasi), Partnership (Kemitraan), Growth (Pertumbuhan), Affection (Kasih sayang), Resolve (kebersamaan) yang di singkat APGAR keluarga terhadap kecerdasan emosi remaja menunjukkan bahwa APGAR Keluarga mempunyai hubungan/ korelasi (r=0,460) yang bermakna (p<0,05) dengan kecerdasan emosi remaja

di keluarga tersebut. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara

APGAR Keluarga dengan Kecerdasan Emosi remaja. Keluarga yang

menyediakan waktu cukup untuk menjalin kebersamaan antar anggota

keluarganya (Resolve) akan sangat membantu bagi perkembangan psikologis

anggota keluarganya. Penelitian yang dilakukan oleh Compan, et al. pada

tahun 2002 menunjukkan bahwa kebersamaan saat makan siang dengan orang

tua yang lengkap dapat mengurangi gangguan atau masalah psikologis

anak-anaknya. Saat makan siang dilaksanakan ritual rutin bersama-sama terjadi

komunikasi antar anggota keluarga.

(28)

tetangga, dari jatuh bangunnya mereka bermain bersama teman sepermainannya, dari lingkungan pembelajaran di sekolah dan dari dukungan sosialnya. Lebih lanjut mereka mengungkapkan bahwa ada beberapa prinsip dalam mendidik dan melatih emosi anak, menentukan batas-batas emosi anak, mendengarkan dengan penuh empati dan membantu akan memecahkan masalah yang dihadapi.

Perkembangan emosi yang terjadi pada remaja terpengaruhi oleh bermacam-macam hal, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk menyesuaikan diri secara efektif. Remaja seringkali melampiaskan gejolak emosinya kearah yang negative apabila aktivitas dalam sekolahnya tidak memenuhi akan gejolak emosinya. Hal ini menunjukkan berapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya. Berdasarkan penelitian Tomlinson-Keasey & Little (1994; dalam Goleman, 2000) menyebutkan bahwa sukses seorang dalam pendidikan dan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh kecenderungan kepribadian yang bersangkutan, Pendidikan orang tua dan variabel lingkungan rumah tangga.

(29)

menjelaskan bahwa atribut yang diberikan orang tua kepada anaknya memberikan pengaruh besar pada pembentukan perilaku anak.

Keluarga adalah tempat tempat anak mengalami proses tumbuh kembang secara fisik, emosi, sosial, moral, spiritual dan intelektual. Melalui kehidupan keluarga seorang anak akan belajar mengenai dirinya sendiri maupun orang lain dan kemudian lingkungan sekitarnya. Anak yang berasal dari keluarga dengan “ego” tinggi, tidak mempunyai kepedulian terhadap

anggota keluarga yang lain (Adaptability), akan menghasilkan remaja yang sosial skillnya berkembang jelek. (Dewi dan Puspitosari, 2010)

Walgito (2003) mengungkapkan bahwa sikap demokratis orang tua (Growth) mendorong untuk terbentuknya hubungan yang harmonis dengan anak. Kontrol orang tua terhadap anak tidak berlebihan, ada dialog anak dan orang tua dapat saling bertukar pikiran (Partnership), orang tua menghargai anak, dan anak mempunyai respek terhadap orang tuanya. Anak dekat dengan orang tua sehingga anak tidak segan meminta nasehat kepada orang tua apabila mengahdapi masalah, anak tidak takut untk berinisiatif. Rasa percaya dirinya akan berkembang dengan baik dan anak akan mempunyai rasa tanggung jawab tinggi.

(30)

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan menunjukan bahwa Attachment memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja

terutama dalam perkembangan kecerdasan emosi. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melihat Hubungan antara Attachment Ibu dengan Kecerdasan emosi Remaja awal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah terdapat Hubungan antara Attachment Ibu dengan Kecerdasan emosi Remaja awal? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian, maka tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya Hasil Hubungan antara Attachment Ibu dengan Kecerdasan emosi Remaja awal.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Memberikan sumbangsih keilmuan psikologi, khususnya dibidang psikologi perkembangan remaja.

2. Manfaat praktis

(31)

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Attachment dan kecerdasan emosi cukup banyak dilakukan oleh para peneliti baik di Indonesia maupun di luar negeri. Jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa pengungkapan pengalaman merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

Penelitian yang dilakukan Koohsar dan Bonab di Iran pada tahun 2011 tentang “Relation between emotional intelligence and quality of attachment in high school administrators”. menjelaskan bahwa semakin tinggi kualitas kelekatan dengan orang tua maka semakin tinggi pula kecerdasan emosinya, dan jika semakin rendah kualitas kelekatan dengan orang tua maka rendah pula kecerdasan emosinya.

Senada dengan Penelitian di atas, pada tahun 2012 Gubjan Bhatia melakukan penelitian tentang “A study of relationship in relation to emotional intelligence of the students of secondary level”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Hubungan keluarga yang sehat mempengaruhi Kecerdasan Emosi pada Remaja.

(32)

pemahaman emosi atau mengelola emosi yang merupakan aspek kecerdasan emosi.

Sesuai dengan penelitian Lanciano (2012), Khledian, Reza, Khairkhah, dan Ghalandari pada tahun 2013 meneliti tentang depresi siswa,“The Relationship between Attachment with Depression, Hopefulness and Emotional Intelligence”. Yang menunjukkan Hasil bahwa terdapat Hubungan Negatif antara Attachment orang tua dengan depresi siswa, dan terdapat hubungan positif antara Attachment orang tua dengan Harapan dan Kecerdasan Emosi siswa.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Penelitian yang dilakukan Khoshnazar, Zokaie, Ranjbardar dan Khalili pada 2014 lebih luas menjelaskan tentang Attachment dan kecerdasan emosi “Relationship between attachment and emotional intelligence with problematic internet

use”. Hasil dari penelitian tersebut menjelaskan bahwa attachment aman berhubungan positif dengan semua sub skala kecerdasan emosi kecuali persepsi emosi, sedangkan attachment menolak positif terkait dengan kemampuan untuk memahami emosi, hasil penelitian juga menemukan perbedaan dalam kecerdasan emosi antara usia (19 tahun dan 66 tahun) dan jenis kelamin.

(33)

prosentase yang diperoleh dari kedua faktor, yaitu faktor bawaan dan faktor lingkungan maka yang memiliki prosentase lebih tinggi adalah faktor lingkungan, diantaranya adalah keluarga= 79,73%

Senada dengan Penelitian yang dilakukan Arisandi dan lathifah pada tahun 2007 mengenai Analisis persepsi anak terhadap gaya pengasuhan orang tua, kecerdasan emosional, aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas XI di SMA Negeri 3 Sukabumi, menjelaskan bahwa semakin tinggi hubungan dengan orang tua maka semakin baik kecerdasan emosi yang dimiliki remaja.

Sesuai dengan penelitian arisandi, Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan puspitosari pada tahun 2010 mengenai Pengaruh APGAR keluarga terhadap kecerdasan emosi remaja menunjukkan bahwa APGAR Keluarga mempunyai hubungan/korelasi (r=0,460) yang bermakna

(p<0,05) dengan kecerdasan emosi remaja di keluarga tersebut.

Disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara APGAR

Keluarga dengan Kecerdasan Emosi remaja. Keluarga yang menyediakan

waktu cukup untuk menjalin kebersamaan antar anggota keluarganya

(Resolve) akan sangat membantu bagi perkembangan psikologis anggota

keluarganya.

(34)

anak sebelum mereka mengenal dunia luar seperti lingkungan sekolah dan masyarakat.

Sesuai Penelitian yang dijelaskan di atas, pada tahun 2013 Nasrudin melakukan penelitian tentang Hubungan Fungsi Afektif Keluarga Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja, menunjukkan bahwa nilai yang diperoleh adalah p value 0,018 (taraf signifikan ≤ 0,05) yang artinya ada hubungan antara fungsi afektif keluarga dengan kecerdasan emosional remaja, semakin baik fungsi afektif keluarga maka remaja akan semakin cerdas emosinya.

Melihat beberapa hasil penelitian Internasional dan di Indonesia yang terpublikasi, persamaan yang muncul adalah topik tentang Attachment dan Kecerdasan Emosi, Meskipun demikian penelitian ini

(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Remaja

1 Pengertian Remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Piaget (1980; dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.

Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase yaitu, fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. (Monks, 1999).

(36)

2 Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (1961; dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

3 Ciri-ciri Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

(37)

dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi.

b. Masa remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan.

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :

1. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru 3. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah

lagi

(38)

5. Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum

Berdasarkan ciri-ciri remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang penting, masa peralihan, masa perubahan, dan juga masa pencarian identitas diri dimana pada usia ini menimbulkan ketakutan, keraguan dan keegoisan pada diri remja. Usia remaja terbagi atas tiga tahap yaitu, remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.

4 Perubahan Masa Remaja a. Perubahan fisik

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, sehingga akan terjadi percepatan dalam pertumbuhan anak (Monks, 1999).

b. Perubahan emosional

(39)

c. Perubahan sosial

Terdapat dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya (Monks, 1999).

Berdasarkan beberapa perubahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja akan mengalami perubahan pada kondisi fisik, kemampuan emosional, serta perubahan kemampuan sosial remaja.

B. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan emosi

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun

(40)

Goleman (2000) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan

kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Goleman (2000) menambahkan kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial. Kecerdasan emosional bertujuan untuk mengenali, memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat memanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia.

(41)

Aristoteles menegaskan, kecerdasan emosi adalah suatu keterampilan langka yaitu untuk marah pada orang yang yang tepat dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik (Goleman, 2000). Wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan hubungan antar pribadi . EQ bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial. (Segal,2000)

Bar-On (1992; dalam Goleman, 2000), seorang ahli psikologi Israel, mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntunan dan tekanan lingkungan.

Kecerdasan emosi bukan didasarkan kepada kepandaian seorang anak, melainkan kepada sesuatu yang dahulu disebut “kepribadian” atau

“karakter”. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan memantau perasaan

dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi terkait erat dengan kecerdasan kognitif. Keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. (Sudjiarto,2003)

(42)

diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, memecahkan masalah, berpikir realistis serta menempatkan emosi mereka dalam porsi yang tepat.

Dari kesimpulan tersebut kecerdasan emosional seseorang dapat digolongkan menjadi dua bagian kemampuan yaitu kemampuan interpersonal dan intrapersonal yang mana dari keduanya tersebut dapat menjadikan seseorang tersebut menjadi sukses baik dari dalam dirinya maupun di tengah-tengah orang lain.

2. Aspek- aspek Kecerdasan emosi

Goleman mengutip Salovey (2002) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :

1) Kemampuan mengenali emosi diri

(43)

dan efeknya, penilaian diri secara teliti : mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, percaya diri : keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri. 2) Kemampuan Mengelola Emosi

Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan untuk menangani perasaan sehingga perasaan dapat diungkap dengan tepat ; kemampuan untuk menenangkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, dan kemarahan yang menjadi-jadi. Kemampuan mengelola emosi meliputi : kemampuan penguasaan diri dan kemampuan menenangkan diri kembali. 3) Kemampuan Memotivasi Diri Sendiri

Yaitu kemampuan untuk mengatur emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, menunda kepuasan dan merenggangkan dorongan hati, mampu berada dalam tahap Flow. Orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung

lebih produktif dan efektif dalam pekerjaan. Kemampuan ini memliputi : kemampuan mengendalikan dorongan hati, kekuatan berfikir positif dan optimism.

4) Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lain

(44)

mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dikehendaki orang lain. 5) Kemampuan Membina Hubungan Dengan Orang Lain

Yaitu kemampuan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi. (Valentina, E.S, Setiasih, dan A Magunhardja, 2002)

Sedikit berbeda dengan pendapat Goleman, menurut Tridhonanto (2009) aspek kecerdasan emosi adalah:

1) Kecakapan pribadi, yakni kemampuan mengelola diri sendiri

2) Kecakapan Sosial, yakni kemampuan menangani suatu hubungan

3) keterampilan sosial, yakni kemampuan menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain.

(45)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

Perkembangan dan pertumbuhan manusia dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kecerdasan emosi juga dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut diantaranya :

1. Faktor Otak

EQ bekerja berdasarkan jaringan saraf asosiatif di otak, Para ahli menganggap bahwa bagian otak seperti system limbic, korteks (kadang-kadang disebut neokorteks), dan amigdala (yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak). (Muhyidin, 2003)

Bila amigdala hilang dari tubuh, maka manusia tidak akan mampu menangkap makna emosi dari suatu peristiwa, keadaan ini disebut “kebutuhan efektif” (Goleman, 2002)

2. Faktor Keluarga

(46)

batas-batas emosi dan membantu anak dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

3. Faktor dukungan sosial

Dukungan sosial dapat berupa pelatihan, penghargaan, pengujian, nasihat, yang pada dasarnya memberikan kekuatan psikologis pada seseorang sehingga merasa kuat dan membuatnya mampu menghadapi situasi yang sulit. Dukungan sosial dianggap mampu mengembangkan aspek-aspek kecerdasan emosi sehingga memunculkan perasaan berharga dalam mengembangkan kepribadian dan kontak sosial.

4. Faktor lingkungan sekolah

(47)

Walgito (1993) membagi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menjadi dua yaitu:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi kecerdasan emosinya. Segi psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan, berpikir, dan motivasi. 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung. Faktor eksternal meliputi: stimulus dan lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses terbentuknya kecerdasan emosi.

(48)

4. Ciri-ciri kecerdasan emosi Tinggi dan Rendah

Menurut Goleman (2000) terdapat beberapa ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dan rendah

a) Kecerdasan emosi yang tinggi yaitu

1. memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu

2. sabar dan mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif

3. memikirkan akibat sebelum bertindak

4. berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup

5. sadar akan perasaan diri dan orang lain 6. berempati dengan orang lain

7. dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif 8. membentuk konsep diri yang positif

9. mudah menjalin persahabatan dengan orang lain 10. pintar dalam berkomunikasi

11. menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai b) Kecerdasan emosi rendah yaitu

1. Bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat 2. Pemarah, bertindak agresif

(49)

5.Tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif

6. Terpengaruh oleh perasaan negatif 7. Harga diri negatif

8. Tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain 9. Menyelesaikan konflik dengan kekerasan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya kecerdasan emosi dapat dilihat dari sikap seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah.

C. Attachment

1. Pengertian Attachment

Attachment adalah sebuah hubungan timbal balik yang melibatkan ikatan emosional antara anak dan caregiver atau setiap orang yang berkontribusi atas hubungan berkualitas dengan anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Bowlby (1982) menyebutkan bahwa attachment merupakan ikatan afektif yang digambarkan sebagai sebuah kecenderungan individu yang khususnya sedang mengalami tekanan untuk mencari dan menjaga kedekatan dengan seseorang (figur attachment) yang dianggap lebih kuat dan bijaksana daripada dirinya.

(50)

antar dua orang. Smith (1999), menyebutkan Attachment merupakan suatu hubungan kasih sayang antara satu individu dengan individu yang lainnya.

Monks (2006) mengatakan Attachment adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang yang tertentu saja. Orang pertama yang dipilih anak dalam kelekatan dalah ibu (pengasuh), ayah atau saudara-saudara dekatnya. Sedangkan menurut Santrock (2007), attachment adalah ikatan emosional yang erat diantara dua orang.

Kelekatan ini mengacu pada suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu.

Menurut Bowlby (1982; dalam Wilkinson, 2004), hubungan attachment ini didasari pada sistem tingkah laku evolusioner dimana

individu cenderung mencari keamanan untuk dirinya. Perpisahan dan kehilangan yang tidak diinginkan dengan figur attachmnent dapat menimbulkan berbagai emotional distress serta gangguan psikologis lainnya, seperti kecemasan dan depresi (Bowlby, 1982; dalam Wilkinson, 2004).

(51)

mendengarkan suara caregiver serta sebisa mungkin menarik perhatian caregiver-nya.

Selain itu, Hazan dan Shaver (dalam Ainsworth, 1982) menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria yang menjadikan satu hubungan dapat disebut sebagai attachment. Pertama, hubungan attachment ditandai dengan adanya kecenderungan seseorang untuk menjaga kedekatan dengan figur attachment. Kedua, figur attachment dijadikan sebagai tempat bersandar, berlindung, dan pemberi dukungan saat seseorang sedang dalam situasi yang dianggap mengancam. Ketiga, keberadaan figur attachment dapat meningkatkan perasaan aman dan menimbulkan kepercayaan diri untuk melakukan eksplorasi.

Berdasarkan beberapa definisi attachment diatas dapat disimpulkan bahwa attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

2. Proses Terbentuknya Attachment

Menurut Bowlby (1988), attachment terbentuk karena adanya perkembangan kognitif pada anak-anak berdasarkan pola interaksi dari caregiver utamanya yang dikenal sebagai internal working model. Selama

(52)

membangun working model mengenai apa yang diharapkan dari caregivernya. Working model ini akan tetap bertahan jika caregiver tetap

melakukan hal yang sama. Di sisi lain, anak anak dapat merevisi working model ini jika caregiver mereka secara konsisten merubah tingkah lakunya

(Papalia et al., 2007). Internal working model terbentuk berdasarkan aksesibilitas dan kebertanggungjawaban caregiver serta kemampuan anak-anak untuk memunculkan tingkah laku dari caregiver nya (Love & Murdock, 2004)

Internal working model berhubungan dengan konsep basic trust

yang dikemukakan oleh Erikson dan dilihat sebagai sumber utama dari kesinambungan antara attachment pada saat bayi dan attachment pada masa remaja dan dewasa (Papalia et al., 2007). Pada saat bayi, individu mulai membangun kepercayaan pada orang lain, khususnya caregiver. Ketika individu beranjak remaja, individu akan memperpanjang kepercayaan kepada teman sebaya atau orang lain yang dicintai dalam rangka membangun identitas dirinya (Papalia et al., 2007). Pace, Martini, dan Zavattini (2011) juga menyebutkan bahwa internal working model berisi ekspektasi dan strategi individu untuk mengatur hubungan interpersonal, menggali tingkahlaku, meregulasi emosi, dan mengatasi distress.

3. Attachment terhadap Ibu

(53)

tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Kelekatan yang aman juga menghasilkan hubungan teman sebaya yang cakap, positif dan dekat di luar keluarga. Remaja yang memiliki sejarah kelekatan yang ambigu dengan orang tuanya lebih menunjukkan kecemburuan, konflik dan ketergantungan, bersamaan dengan kepuasan yang kurang dalam hubungan mereka dengan sahabat karibnya dibanding dengan teman-temanya yang terikat aman.

Di jelaskan pula oleh Bowlby (1988; dalam Santrock, 2003) tokoh ibu menjadi sosok yang cukup sentral dalam relasi antara remaja dan orang tua. Bowlby juga memaparkan bahwa dalam sebuah keluarga seringkali yang dipersepsikan sebagai keluarga oleh anak-anak adalah sosok ibu. Kebanyakan orang mengasosiasikan ibu memiliki kualitas seperti hangat, tidak mementingkan diri sendiri, menjalankan kewajibannya dengan setia, dan toleran. Kebutuhan akan kelekatan pada ibu menjadi hal yang penting dalam kehidupan seorang individu, demikian pula pada remaja. Selain itu kelekatan pada ibu merupakan suatu langkah awal dalam proses perkembngan dan sosialisasi.

4. Dimensi Attachment

(54)

insecure-ambevalent attachment, dan insecure-avoidant attachment (Papilia, 2007)

Walaupun telah banyak dilakukan penelitian mengenai attachment yang berdasarkan pada strange situasion, para peneliti masih mempertanyakan validitas peneliti-peneliti tersebut (Paplia, 2007). Oleh karena itu beberapa peneliti mulai mengembangkan metode yang memungkinkan untuk mempelajari attachment dalam situasi alami, yaitu dengan menggunakan kuesioner. Instrument dari Armsdem dan Greenberg yang sering digunakan, dan mengalami beberapa kali direvisi.

Armsdem dan Greenberg (2009) membentuk IPPA terbaru yang bernama Inventory of Parent And Peer Attachment Revisited (IPPA-R) yang membedakan antara Attachment ayah, ibu, dan teman sebaya dalam tiga dimensi Attachment, yaitu:

1. Komunikasi (comunication)

Komunikasi merupakan analogi remaja terhadap pencarian kedekatan seperti yang dilakukan oleh bayi.

2. Kepercayaan (trust)

(55)

3. Keterasingan (Alienation)

Keterasingan yang berkaitan erat dengan penghindaran dan penolakan. Saat remaja merasa bahwa figur attachment tidak hadir, maka attachment menjadi kurang aman.

Sedikit berbeda dengan Armsdem dan Greenberg, Papalia dkk (2008) membagi dimensi Attachment menjadi dua, yaitu :

a. Sensitivitas figur

Sensitivitas figur dapat berupa seberapa besar kepekaan figur terhadap kebutuhan individu atau sejauh mana figur lekat dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan individu.

b. Responsivitas figur

Responsivitas adalah bagaimana figur lekat menanggapi kebutuhan individu.

Menurut Bee (2000) untuk mengembangkan kelekatan yang aman, maka perlu adanya penerimaan figur lekat dan adanya sensitivitas, yang termasuk di dalamnya adalah respon yang berkesinambungan dan konsisten terhadap kebutuhan individu.

(56)

5. Pola Attachment

Menurut Bowlby (1988) terdapat tiga pola kelekatan, yaitu pola secure attachment (aman), anxious resistant attachment (cemas ambivalen), dan anxious avoidant attachment (cemas menghindar).

a) Pola secure attachment

Yakni pola yang terbentuk dari interaksi orang tua dengan remaja. Remaja yang mempunyai pola ini percaya adanya responsivitas dan kesediaan orang tua bagi dirinya. b) Pola anxious resistant attachment

Pada pola ini, remaja mengalami ketidakpastian sebagai akibat dari orang tua yang tidak selalu membantu pada setiap kesempatan dan juga adanya keterpisahan.

c) Pola anxious avoidant attachment

Pada pola ini, konflik lebih tersembunyi sebagai hasil dari perilaku orang tua yang secara konstan menolaknya ketika remaja mendekat untuk mencari kenyamanan atau perlindungan.

Menurut Bartholomew (1990; dalam Baron dan Byrne, 2003) terdapat empat kelekatan yaitu:

a) Secure attachment style (aman)

(57)

b) Fearfull-avoidant attachment style (takut-menghindar) Remaja dengan pola ini mempunyai pandangan yang negatif tentang diri sendiri dan orang lain, mereka menghindari penolakan dengan cara menghindari hubungan dekat dengan orang lain.

c) Pre-occupied attachment style (terpreokupasi)

Remaja dengan pola ini mempunyai pandangan yang negatif tentang diri sendiri tetapi masih mengharap orang lain akan menerima dan mencintai dirinya, sehingga individu dengan tipe ini berusaha membuat hubungan dengan orang lain tetapi mereka takut untuk ditolak.

d) Dismissing attachment style (menolak)

Remaja dengan pola ini mempunyai karakter positif dalam memandang diri sendiri, dan negatif terhadap orang lain. sehingga pola ini digolongkan dalam sisi negatif

6. Manfaat Kelekatan

Rini (2002) berpendapat bahwa kelekatan dapat memberikan pengaruh positif terhadap remaja yang mendapatkannya, antara lain:

a. Rasa percaya diri

(58)

b. Kemampuan membina hubungan yang hangat

Hubungan yang diperoleh remaja dari orang tua, menjadi pelajaran bagi remaja untuk kelak diterapkan dalam kehidupannya setelah dewasa. Kelekatan yang hangat, menjadi tolak ukur dalam membentuk hubungan dengan teman hidup dan sesamanya.

c. Mengasihi sesama dan peduli pada orang lain

Remaja yang tumbuh dalam hubungan kelekatan yang hangat, akan memiliki sensitivitas atau kepekaan yang tinggi terhadap kebutuhan sekitarnya. Dia mempunyai kepedulian yang tinggi dan kebutuhan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan bantuan.

d. Disiplin

Kelekatan membantu orang tua untuk dapat dengan lebih mudah memahami remaja, sehingga lebih mudah memberikan arahan. Remaja juga akan belajar mengembangkan kesadaran diri dari sikap orangtua yang menghargai remaja untuk mematuhi peraturan dengan disiplin karena sikap menghukum akan menyakiti harga diri remaja dan tidak mendorong kesadaran diri.

(59)

Bentuk kelekatan yang terjalin mempengaruhi pertumbuhan fisik, intelektual, dan kognitif, serta perkembangan psikologis individu.

Santrock (2003) menyebutkan beberapa manfaat kelekatan (Attachment), antara lain:

a. Kelekatan pada masa remaja bisa memfasilitasi kecakapan dan kesejahteraan sosial seperti yang dicerminkan dalam beberapa ciri seperti harga diri, penyesuaian emosi, dan kesehatan fisik. b. Membantu remaja menunjukkan kesejahteraan emosi yang lebih

baik atau stabil

c. Sebagai fungsi adaptif untuk menyediakan dasar rasa aman terhadap remaja agar dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi psikologi yang sehat.

d. Membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanakkanak menuju ke masa dewasa.

e. Membantu keberhasilan remaja dalam hubungan intim dan harga diri pada awal masa dewasa.

(60)

7. Perkembangan Attachment pada Remaja

Bowlby (1988) mengatakan bahwa anak masih membutuhkan orang tua sebagai figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja. Remaja tetap memperoleh dukungan dan perlindungan dari orang tua. Namun, pada masa remaja keinginan remaja mencari kedekatan dan mengandalkan figur attachment pada saat mereka merasa tertekan cenderung menurun tetapi untuk perasaan ketersediaan figur attachment tidak mengalami penurunan (Doyle & Moretti, 2000; dalam Santock, 2003).

Papilia (2008) pada dasarnya ibu akan memberi rasa aman, nyaman terhadap remaja karena seorang anak menaruh kepercayaan yang besar terhadap ibu. Hal ini tentu saja menimbulkan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Kelekatan (Attachment) pada ibu merupakan suatu langkah awal dalam proses perkembangan dan sosialisasi, yang akhirnya dialihkan pada lingkungan sosialnya.

(61)

Attachment pada masa remaja merupakan kesinambungan (continuity) dari attachment yang dikembangkan oleh anak dengan pengasuh selama masa awal kehidupan dan akan terus berlanjut sepanjang rentang kehidupan (Cassidy, 2006; dalam Tyas, 2010). Pada masa remaja, figur attachment banyak memainkan peran penting adalah teman sebaya (peer) dan orang tua (Santrock, 2003). Keberadaan peer juga didukung dengan fakta masa remaja awal yang dikarakteristikkan sebagai masa peningkatan terjadinya konflik antara orang tua dan remaja dibandingkan dengan masa anak-anak dan akan menurun dimasa remaja akhir (Montemayor, 1983).

Sullivan (1953; dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa melalui interaksi teman sebayalah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan dan timbal balik dan setara. Anak-anak menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya, mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung, Sullivan menambahkan alasan bahwa remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih.

(62)

teman sebaya atau teman akrab sebagai figur attachment. Perubahan ikatan attachment terjadi ketika remaja mempelajari dan mengembangkan

hubungan dengan selain keluarga. Kebebasan dan hubungan dengan orang lain terjadi semakin penting dan remaja mulai mengidentifikasi dirinya dengan lebih sering mencari dukungan dari kawan sebaya. Mulai usia 9 tahun anak-anak lebih condong ke teman sebaya dan ketika usia 12-13 tahun kebersamaan dengan teman sebaya dilakukan untuk mendapatkan kenyamanan psikologis. Namun, remaja akhir biasanya lebih condong ke orang tua, terutama ibu, dibandingkan pada sahabatnya, dan ini dianggap sebagai manifestasi dari attachment yang aman. (Ofra mayseles dalam Sakdiyah, 2011)

D. Hubungan Antara Attachment Ibu dengan Kecerdasan Emosi Remaja Awal

(63)

Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Attachment memiliki 3 dimensi yakni komunikasi (Comunication), Kepercayaan (Trust), dan Keterasingan (Alienation).

Attachment dengan orang tua terutama Ibu pada masa remaja dapat

membentuk kompetensi sosial, kesejahteraan sosial remaja seperti ciri-ciri harga diri, penyesuaian emosional dan kesejahteraan fisik (Allen, dkk 1994; Kobak & Cole dalam Santrock, 2003). Penyesuaian emosi dibutuhkan remaja dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Dimana dalam penyesuaian emosional tersebut diperlukan adanya kecerdasan emosi dalam diri remaja.

Goleman (2000) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak melumpuhkan

kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa.

(64)

sabar, memikirkan akibat sebelum bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup, sadar akan perasaan diri dan orang lain, berempati dengan orang lain, dapat mengendalikan mood dan perasaan negatif, membentuk konsep diri yang positif sedangkan, anak dengan kecerdasan emosi (EQ) rendah memiliki ciri-ciri antara lain, bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat, pemarah, bertindak agresif, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang negatif, terpengaruh oleh perasaan negatif, menyelesaikan konflik dengan kekerasan (Goleman, 2000)

Kecerdasan emosi tidak terbentuk dengan sendirinya tetapi didapat melalui proses yang berawal dari lingkungan sosial yang terkecil, yaitu hubungan ibu dan anak dalam keluarga. Menurut Goleman (2000) kehidupan dalam keluarga merupakan sekolah yang pertama untuk mempelajari emosi, jadi dapat dikatakan bahwa orang tua terutama ibu memiliki peran dalam membantu terbangunnya kecerdasan emosi remaja. Perkembangan kecerdasan emosi remaja sangat dipengaruhi oleh proses interaksi yang didapat remaja dengan ibunya sejak awal kelahiran hingga mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman-pengalaman emosi yang terjadi setiap saat (Saarni, 1999).

(65)

menerapkan pengalaman emosi yang didapatkan dari orang tuanya. Remaja dengan attachment cemas akan sulit mendapatkan pengalaman emosi dari keluarganya karena orang tuanya tidak memperdulikan bahkan menolak kehadirannya

Stanley Hall (1904; dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa masa remaja adalah peride storm and stress atau badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Pada masa ini emosi sering tampak sangat kuat, tidak terkendali dan berkesan irasional. Hal ini membuat remaja seringkali dihadapkan dalam berbagai masalah interaksi dengan orang lain, untuk itu hendaknya remaja memiliki kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi sangat dibutuhkan oleh seorang remaja, karena dapat dijadikan pondasi untuk mengatasi segala kesulitan yang dihadapi remaja utamanya dalam berhubungan sosial dengan masyarakat.

(66)

mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosi pada remaja. Hal ini berarti bahwa attachment ibu dengan remaja memberikan kontribusi dalam proses terbentuknya kecerdasan emosi remaja.

E. Kerangka Teori

Menurut Goleman (2000) kecerdasan emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, dan mengatur suasana hati.

Remaja yang memiliki kecerdasan emosi dapat memotivasi diri sendiri untuk mengatasi atau menangani tekanan dan kecemasan, sehingga apabila remaja sedang mengalami masalah tidak akan mengalami kehancuran, tetapi mampu bangkit kembali dan dapat mencari jalan keluar. Hal tersebut menjadikan remaja tidak mudah mengeluh dan putus asa karena dapat mencari solusi tepat untuk menyelesaikan permasalahan.

(67)

sesuai porsinya, dan bersosialisasi dengan masyarakat melalui pengalaman-pengalaman emosi yang didapatkan remaja ketika berinteraksi dengan keluarga terutama Ibu. Kelekatan (attachment) yang tepat antara Ibu dengan remaja akan memberikan kesempatan kepada remaja mengalami perkembangan emosi yang optimal, sehingga remaja dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi yang kompleks.

Kelekatan (Attachment) mengacu pada suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu. Menurut Monks (2006) Attachment adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan

orang-orang yang tertentu saja. Orang pertama yang dipilih anak dalam kelekatan dalah ibu (pengasuh), ayah atau saudara-saudara dekatnya.

Bentuk hubungan Attachment antara anak-anak, remaja dan dewasa memiliki penekanan yang berbeda. Pada masa anak-anak hanya memiliki Attachment dengan orang yang istimewa yakni ibu atau orang tua,

sedangkan remaja dan dewasa penekanan hubungan Attachment lebih luas. Bowlby membagi attachment tersebut kedalam dua bentuk yaitu secure attachment dan insecure attachment. Sedangkan, Ainsworth melakukan observasi dan penelitian sehingga membagi attachment kedalam tiga bentuk yakni secure attachment, anxious attachment, dan avoidant attachment.

(68)

Attachment Ibu. Untuk memudahkan pemahaman maka dapat di

[image:68.595.138.510.173.554.2]

gambarkan kerangka teoritik sebagai berikut:

Gambar 1. Bagan Landasan Teoritis F. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada

Hubungan antara Attachment Ibu dengan Kecerdasan emosi Remaja awal”.

(69)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

1 Identifikasi Variabel

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerik dan diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada penelitian inferensial atau dalam rangka pengujian hipotesis, sehingga diperoleh signifikansi antar variabel yang diteliti (Azwar, 2004).

Dalam penelitian ini, korelasi digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Variabel-variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah:

Variabel Bebas (X) : Attachment Ibu Variable Terikat (Y) : Kecerdasan Emosi 2 Definisi Operasional

1. Attachment Ibu

Attachment Ibu adalah Ikatan emosional antara remaja dengan ibu yang terbentuk sejak kecil yang memiliki arti khusus sehingga menimbulkan responsivitas remaja terhadap ibu sebagai figur lekatnya. Variabel ini di ukur dengan skala Attachment Ibu dan dimensi yang akan digunakan adalah:

(70)

c. Keterasingan (alienation) 2. Kecerdasan Emosi

kecerdasan emosi merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial, kemampuan dalam mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan orang lain, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, memecahkan masalah, berpikir realistis serta menempatkan emosi dalam porsi yang tepat. Variabel ini di ukur dengan skala kecerdasan emosi.

B. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Sugiono (2014) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkn oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

(71)

dan sering kehilangan waktu untuk berinteraksi dengan orang lain, yang menjadikan akselerasi kurang akrab dengan anak regular. Meskipun dalam satu lingkungan pondok pesantren, kamar untuk anak akselerasi dengan anak regular dibedakan, ini yang mendukung adanya kesenjangan.

Dari hasil observasi dan wawancara tersebut, pondok pesantren hasanah menjadi lokasi penelitian. Dalam angkatan anak akselerasi di pondok pesantren tersebut ada 7 angkatan, 2 kelas Mts, 3 kelas MA, dan 2 yang Inkafa “Perguruan Tinggi”.

Jumlah populasi anak akselerasi yang duduk dibangku Madrasah Tsanawiyah sebanyak 70 anak, 35 anak di kelas VIII dan 35 anak di kelas IX dimana santri tersebut memiliki karakteristik populasi sebagai berikut:

1. Subjek adalah Perempuan dan menjadi siswi di Mts. Pondok Pesantren Hasanah.

Menurut Kartono (2006), sifat remaja perempuan cenderung mengindefikasikan seseorang atau beberapa pribadi, suka berfantasi, subyektifitas yang besar, introvert, pasif, memiliki intuisi yang tajam dan rela berkorban demi orang yang dicintainya.

(72)

putra hal tersebut tidak terjadi, anak akselerasi terlihat memiliki penyesuaian yang baik dengan anak regular. 2. Subjek berusia antara 12-15 tahun

Monks (1999) menjelaskan bahwa remaja awal berusia antara 12-15 tahun. Menurut Ali (2004), selama periode remaja awal ini perkembangan fisik yang semakin tampak adalah perubahan fungsi alat kelamin. Karena perubahan alat kelamin semakin nyata, remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Akibatnya, tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau memperdulikannya.

3. Subjek tinggal di Pondok Pesantren minimal 2 tahun Kehidupan santri di pesantren menurut Bashori (2003) berada dalam suatu komunitas khas, dengan kyai, ustadz, santri dan pengurus pesantren, berlandaskan nilai-nilai agama islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan tersendiri.

(73)

turunnya produktivitas dalam belajar maupun aktivitas pribadi (Rumiani, 2006)

Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren dapat menimbulkan stress pada masa awal sekolah (Widiastono, 2001). Hal tersebut sesuai dengan ungkapan salah satu pengajar di Pondok Pesantren Hasanah (disamarkan) Gresik:“Kebanyakan santri yang gak betah disini ya kelas satu, kelas dua masih ada sebagian yang masih

ngerasa gak betah, maklumlah karena mungkin tahun-tahun

pertama masih labil lebih-lebih untuk anak usia remaja”

4. Aktif mengikuti kegiatan yang ada di pondok dan sekolah Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristika subjek yang akan diteliti adalah siswi Mts. Ponpes Hasanah, usia minimal 12 tahun, tinggal di pondok minimal 2 tahun dan aktif mengikuti kegiatan di pondok maupun di sekolah.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.

(74)

kurang dari 100. Sampel dalam penelitian ini adalah 70 siswi, maka lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya penelitian populasi.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert. Skala Likert merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan memberikan respons atas daftar pertanyaan tersebut. Daftar pertanyaan dapat bersifat terbuka, yaitu jika jawaban tidak ditentukan sebelumnya oleh peneliti dan dapat bersifat tertutup, yaitu alternatif jawaban telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti. Adapun instrumen daftar pertanyaan dapat berupa pertanyaan (berupa isian yang akan diisi oleh responden), checklist (berupa pilihan dengan cara memberi tanda pada kolom yang disediakan), dan skala (berupa pilihan dengan memberi tanda pada kolom berdasarkan tingkatan tertentu (Noor , 2011).

[image:74.595.184.394.665.752.2]

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Model skala ini yang digunakan pada Skala Attachment Ibu dan Skala Kecerdasan Emosi pada remaja yang memiliki empat kategori jawaban dan item-item dalam skala ini dikelompokkan dalam item favorable serta unfavorable dengan skor:

Tabel 1

Skor item favorable dan unfavorable

SS Sangat Sesuai 4 1

S Sesuai 3 2

TS Tidak Sesuai 2 3

(75)

Skala likert ini meniadakan kategori jawaban di tengah (R) berdasarkan tiga alasan :

1. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep asli bisa diartikan netral, setuju tidak, tidak setujupun tidak, atau bahkan ragu-ragu).

2. Tersedianya jawaban di tengah itu menimbulkan kecenderungan jawaban ke tengah (central tendency effect), terutama bagi mereka yang ragu atas arah jawabannya ke arah setuju ataukah ke arah tidak setuju.

3. Maksud kategori jawaban SS, S, TS, STS adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden ke arah setuju atau ke arah tidak setuju.

Oleh karena itu peneliti menghilangkan jawaban R (ragu-ragu). Dikhawatirkan responden yang belum bisa memutuskan untuk memberikan jawaban netral akan menimbulkan kecenderungan jawaban ke tengah. Selain itu untuk melihat kecenderungan jawaban ke arah setuju dan tidak setuju.

1 Skala Attachment Ibu

(76)

attachment yaitu: komunikasi, kepercayaan, dan keterasingan. Skala ini <

Gambar

Gambar 1. Bagan Landasan Teoritis  .........................................................
Gambar  1. Bagan Landasan Teoritis
Tabel 1 Skor item favorable dan unfavorable
Tabel 2  Blueprint
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usaha yang dapat dilakukan pimpinan agar lebih demokratis lagi yaitu pimpinan harus lebih memberikan banyak kesempatan kepada guru untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui

Yield produk yang dihasilkan merupakan hasil perbandingan dari berat produk terhadap berat bahan baku limbah kemasan plastik multilayer LDPE (low density

I' eta pi mas oh ban yak Ja lan jalan di Indonesia yang rusak sebclum masa pelayanannya atau d1 bawah umur rencananya Sedangkan kegunaan dan pennul..aan

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

3.Kualitas barang lebih baik  Tidak boleh ada tambahan biaya , pembeli berhak menerima maupun menolak... Waktu penyerahan barang pada saat jatuh tempo .. pembeli harus menerimanya

Negara-negara di dunia, dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakatnya dibedakan menjadi negara-negara maju ( Development countries ) dan negara-negara sedang

Berdasarkan kerangka berfikir seperti tersebut diatas, maka dapat diajukan model pembelajaran kooperatif type STAD, dimana kunci dari tipe ini adalah interdepensi (saling

Selanjutnya ditambahkan fungsi administrasi pendidikan dalam buku Ahmad Sabri adalah pengarahan, koordinasi, dan evaluasi. Pengarahan maksudnya member bimbingan dan petunjuk yang