BAB III
TANGGUNG JAWAB POLITIK GPIB DALAM BERTEOLOGI
Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana Teologi Politik GPIB yang
berkaitan dengan keputusan lembaga antara lain; Pemahaman Iman GPIB Yakni
SHubungan Gereja dan Negara dan Kurikulum Katekisasi dan Akta Gereja. Sebelum
kita sampai kepada pembahasan di atas terlebih dahulu penulis akan memaparkan
sejarah singkat GPIB.
1. SEJARAH SINGKAT GPIB1
Pada tanggal 31 Oktober 1948 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(GPIB) diresmikan selaku gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan gereja Protestan
di Indonesia. Selain jemaat-jemaat baru yang timbul dari Pekabaran Injil (PI), ia
memiliki terutama semua jemaat Gereja Protestan di Indonesia di luar lingkungan 3
gereja saudaranya yaitu Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja Protestan Maluku dan
Gereja Masehi Injili di Timor. Sebab itu latar belakang historis GPIB sebenarnya
merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia, yang pada zaman
sebelum perang dunia II dikenal dengan nama “De Protestansche Kerk in Nederlandsch
Indie” atau “De Indische Kerk”.
GPIB selaku pewaris dari Gereja Protestan di Indonesia tidak memiliki latar
belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara
langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etimologis atau
yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu, tetapi merupakan warisan dari
pemerintahan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Dalam artikel 36 dari Nederlandsche
1 Sejarah singkat GPIB ini disusun dengan mendasarkan diri pada buku resmi terbitan GPIB,
Geloofsblijdenis yang ditetapkan oleh Synode di Dordrecht yang berlangsung dari
yahun 1618 sampai dengan 1619. Artikel tersebut berbicara tentang Tugas Pemerintah
(raja-raja, pangeran-pangeran dan penguasa-penguasa) bukan hanya untuk menjamin
ketentraman umum, melainkan juga untuk melindungi ibadat gereja yang kudus, untuk
memberantas agama berhala dan agama-agama palsu, untuk meruntuhkan kerajaan Anti
Kristus, serta memajukan kerajaan Kristus dan memberitakan Injil dimana-mana.
Di dalam oktroi dari VOC tidak termaktub secara khusus kewajiban untuk
membentuk gereja diluar Belanda. Akan tetapi oleh karena kepada VOC diserahkan
kedaulatan pemerintahan atas daerah-daerah seberang, maka kewajiban pemerintah
seperti tersimpul dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofsbelijdenis” tadi, menjadi
kewajiban dari VOC pula.
Bagi “De Indische Kerk” selaku gereja negara tanggung jawab anggota
-anggota jemaat di bidang keuangan tidak merupakan suatu hal yang penting. Gaji para
pendeta di bayar oleh kas negara. Dan hasil-hasil kolekte/uang yang tak seberapa itu
digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Berdasarkan kewajiban VOC yang
tersirat dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofbelijdenis”, maka sikap dan cara
pendekatan orang-orang Peotestan terhadap agama-agama lain adalah antitesis.
Sikap yang tegas berdasarkan otoritas pemerintah yang dilambangkan dengan
pedang, dan cara pendekatan yang tidak dijiwai oleh kasih Injili itu mengakibatkan
reaksi yang tidak positif dari masyarakat sekitar terhadap agama Kristen Protestan dan
berita Injil yang dibawah oleh hamba-hambanya. Di hari-hari kemudian akibat-akibat
itu masih tetap terasa oleh jemaat-jemaat di Indonesia bagian Barat, yang terutama
terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pegawai perusahan yang berasal dari
Di samping adanya pegawai-pegawai sipil dan swasta tersebut juga terdapat
orang-orang Indonesia yang masuk bala tentara Belanda (KNIL). Di antara mereka ini
terdapat juga orang-orang Kristen yang berasal dari Maluku, Minahasa dan Timor. Dan
mereka ini merupakan pula anggota jemaat dari gereja-gereja di Maluku, Minahasa dan
Timor. Sebagai anggota jemaat gereja Protestan mereka ini perlu mendapat pelayanan
dan gereja di tempat mereka bertugas. Untuk melakukan pelayanan itu maka “De
Indische Kerk” merupakan gereja seazaz. Hal ini pula ada sangkut pautnya dengan
kepentingan pemerintah pada saat itu, oleh karena orang-orang Kristen Indonesia ini
sebagian besar adalah pegawai pemerintah (landsdienaren).
Pada mulanya kebaktian di layani dalam bahasa Belanda saja, tetapi kemudian
karena timbulnya kesadaran nasional dalam jiwa bangsa Indonesia dan pula demi
effisiensi pelayanan, maka diadakan pelayanan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena
kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi kebudayaan semuanya berpusat di kota-kota dan juga
di kantor-kantor serta konsentrasi-konsentrasi kemiliteran juga berada di kota-kota
maka dengan sendirinya anggota jemaatnya adalah warga GPIB.
1.1. Sejarah Pembentukan GPIB (Proto Sinode 1948)2
Gereja Protestan di Indinesia (GPI) pada jaman pemerintahan belanda dahulu
adalah gereja negara; pada waktu itu terkenal dengan nama Indische Kerk. Gereja
Protestan di Indonesia itu mempunyai Gereja Induknya di Belanda, yaitu Gereja
Hervomd. Keberadaan GPI sangat behubungan erat dengan lahirnya GPIB. Sebelum
tahun 1948 telah terbentuk organisasi-organisasi gereja yang berdiri sendiri.
Masing-masing dengan Sinodenya serta Tata Gerejanya sendiri.3 Lahirnya Gereja-Gereja
2
Ibid., 179-184.
3 Organisasi-Organisasi Gereja itu ialah: 1.Gereja Masehi Injili Minahasa (1934). 2.Gereja
tersebut dengan mendapatkan pengakuan dari GPI, disebabkan adanya perkembangan
baru yang berlaku dalam tubuh GPI. Perkembangan yang menghendaki adanya
pemisahan antara gereja dan negara; pemisahan yang menyangkut soal administrasi dan
keuangan.
1.2. Perkembangan baru yang lahir dalam tubuh GPI itu, sungguh-sungguh telah
mengalami pergumulan sejak lama. Sejak 1863 hingga 1918 telah ada usaha untuk
mengadakan pemisahan antara gereja dan negara. Maksudnya supaya gereja di
mungkinkan untuk mengurus dirinya sendiri. terutama untuk membuat gereja hidup
kembali, melalui jemaat-jemaat yang bertanggung jawab atas urusan diri sendiri itu.
Pada tahun 1935, baru terwujudlah pemisahan administrasi antara gereja dan negara.
Kemudian pada tanggal 1 Pebruari 1950 diusul dengan pemisahan keuangan, yang
diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia.
1.3. Situasi dunia nampaknya juga berkembang. Para pertengahan tahun 1945
berakhirlah masa pendudukan jepang di Indonesia. Waktu itu juga pada tanggal 17
Agustus 1945, tercetuslah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan
perkembangan baru situasi politik di Indonesia dan sehubungan pula dengan telah
adanya perkembangan baru di tubuh GPI, maka pada tahun 1948 gereja terdesak untuk
berpikir tentang status jemaat-jemaat yang ada dalam tubuh GPI, tapi yang tidak
termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga gereja yang telah berdiri sendiri itu.
1.4. Sidang Sinode Am GPI sesudah perang diadakan pada tanggal 30 Mei-10 Juni
1948; Sidang ini merupakan Sidang Sinode Am ke-III GPI yang membicarakan
beberapa agenda pokok.4
4 Agenda pokok itu antara lain:
1.5. Pembicaraan dalam Sidang Am ke-III di Bogor 30 Mei- 10 Juni 1948 tentang
Jemaat-Jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga Gereja yang berdiri
sendiri, berakhir dengan satu keputusan yaitu: segera dalam tahun 1948 juga,
Jemaat-Jemaat tersebut diorganisir dalam satu organisasi Gereja yang baru. Untuk itu, Sinode
Am ke-III GPI menetapkan:5
a. Memberi hak kepada badan pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk
mensahkan dan melembagakan Gereja baru itu sebagai suatu gereja yang berdiri
sendiri.
b. Membentuk komisi untuk menyiapkan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan
Gereja.
c. Tata Gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh Proto Sinode
secepat mungkin dalam tahun 1948.
Proto Sinode 1948
1. Proto Sinode yang dilaksanakan pada tanggal 25-31 Oktober 1948 di Jakarta,
membahas Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang telah disiapkan oleh
komisi Tata Gereja dan Peraturan Gereja, dibentuk oleh Sinode Am ke-III GPI.
Pembukaan Proto Sinode di pimpin oleh Ds.J.A.de Klerk; beliau adalah ketua panitia
penyelenggara Proto Sinode tahun 1948.
2. Perkembangan yang terjadi dalam tubuh GPI melalui pergumulan kemandirian administrasi dan
keuangan.
3. Jemaat-jemaat yang ada dalam tubuh GPI di luar wilayah pelayanan ketiga gereja, tidak mau melebur diri dalam salah satu Gereja daerah.
2. Pada tanggal 30 Oktober 1948, sesuai dengan keputusan Sinode Am ke-III GPI
mensahkan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) sebagai Gereja yang
berdiri sendiri. 6
Upacara pelembagaan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat atau
peresmiannya dinyatakan oleh Ketua Badan Pekerja Am, Dr.J.H. Geissler, dalam
kebaktian yang berlangsung di gedung Gereja Imanuel (Willemskerk) Jakarta sebagai
berikut:7
“Atas nama Badan Pekerja Am Gereja Protestan di Indonesia, saya sebagai ketua umum, mengakui: Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat akan membentuk dirinya sendiri menurut peraturan Gereja yang telah diadakan olehnya dan yang tidak berlawanan dengan peraturan kerja. Kami tak berkeberatan terhadap penahbisan Gereja itu yang sebentar boleh akan dijalankan oleh ketuanya”.
Mengahiri sejarah singkat lahirnya GPIB di bawah ini akan dikutib pidato
Pendeta B.Supit dalam khotbahnya pada kebaktian pembukaan proto Sinode hari senin
tanggal 25 Oktober 1948 dan khotbahnya dalam kebaktian pengresmian GPIB hari
minggu tanggal 31 Oktober 1948 sebagai berikut:
(1). Saudara-saudara sekalian. Kini saya memusatkan pikiran kita pada Gereja yang ke-4 yang hendak dibentuk dan mudah-mudahan dapat diresmikan pada tanggal 31 Oktober yang akan datang. Tidak ada satu Gereja seperti Gereja ini karena dalamnya termasuk rupa-rupa bangsa dan suku bangsa yang berasal dari Gereja-Gereja yang telah berdiri sendiri. Ada anggota-anggota dari Gereja tua, ada berasal dari Gereja muda dan Gereja Protestan di Indonesia. Masing-masing dengan kebiasaan sendiri-sendiri dan bahasanya masing-masing. Faktor-faktor itu bisa mengakibatkan ketegangan-ketegangan dalam Gereja, namun hal itu jangan membawa kepada perpecahan. Sebab kita harus belajar selaku Gereja
6 Organisasi Gereja menurut Tata Gerejanya berbentuk Presbiterial Sinodal. Dengan terbentuk
Majelis Sinode GPIB sebagai berikut:
Pendeta Bahasa Indonesia : Ds.D.F. Sahulata dan Bahasa Belanda: Ds.J.H. Stegeman
untuk berdiri di atas alasan: satu Tuhan, satu iman dan satu babtisan. (Efesus. 4:5). (2). Pada hari ini, bertepatan dengan hari pembaharuan, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat menyebut dirinya sebagai Gereja yang berdiri sendiri, yang secara resmi diproklamasikan oleh Badan Pekerja Am GPI dalam kebaktian ini. Gereja itu adalah bagaikan sebuah kapal lengkap dengan peralatannyayaitu Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan lainnya. Kapal tersebut ditumpangi kurang lebih 200.000 penumpang dari pelbagai bangsa dan suku bangsa. Dalam pelayanannya kapal itu akan menghadapi rupa-rupa bahaya. Sebab itu kita harus berjaga-jaga dan berhati-hati. Nas kita pada hari ini berkata: “Jikalau tidak Engkau sendiri pergi bersama-sama, maka jangan apalah Engkau membawa kami naik dari sini” (Keluaran 33:15). Jawaban Musa yang
merupakan suatu pengakuan iman itu diberikan atas pertanyaan Tuhan: “Jikalau
kiranya Aku sendiri berangkat bersama-sama bolehkah ia menyenangkan hatimu”. Pengakuan musa tadi semoga menjadi pengakuan iman kita juga, yang kalau tidak Allah sendiri berangkat bersama-sama kita, janganlah Ia membawa kita sebagai GerejaNya bertolak dari sini. Dan pada awalnya pelayanan kapal GPIB ini, doa kita hendaknya: “Ya Tuhan tambahilah iman kami yang kecil ini. Amin”.8
2
.KEPUTUSAN PERSIDANGAN SINODE GPIB XIX 2010
Dalam penjelasan ini penulis akan mengkaji beberapa dokumen dari hasil
ketetapan Persidangan Sinode GPIB XIX tahun 2010 di Jakarta. Dokumen-dokumen
tersebut diangkat sebagai bahan kajian untuk membantu dalam analisa. Pokok-pokok
bahasan tersebut antara lain: 1). Pemahaman Iman (PI) Yakni Hubungan gereja dan
Negara, 2). Kurikulum Katekisasi 3). Akta Gereja,9
2.1.
Pemahaman Iman GPIB
Pemahaman Iman adalah statement atau deklarasi Iman. Bukan Pengakuan
Iman. Pengakuan Iman merupakan jawaban atas pergumulan Gereja secara ekumenis di
8 Ibid. 9
masa lalu. Pemahaman Iman adalah pernyataan dari sudut pandang iman yang
menjawab tantangan yang dihadapi GPIB di masa kini. Maka boleh kita katakana
bahwa Pemahaman Iman merupakan semacam addendum terhadap pengakuan Iman.
sKarenanya sekalipun Pemahaman Iman berbeda dari Pengakuan Iman, namun
keduanya tidak bisa dipisahkan. Pemahaman Iman suatu Gereja sekurang kurangnya
memiliki tiga referensi yakni Allah Tritunggal, Gereja, dan Dunia yang menjadi konteks
Gereja. Pemahaman Iman merupakan respon gereja terhadap penyataan diri Allah yang
diekspresikan lewat tanggung jawab untuk setia mematuhi kehendak Allah. Lewat
Pemahaman Iman warga Gereja menjelaskan bagi diri mereka sendiri tentang siapa diri
mereka, apa yang mereka percayai dan apa yang harus mereka lakukan. Lewat
Pemahaman Iman juga Gereja bukan hanya memuji dan melayani Tuhan atau sekedar
memperjelas jati diri mereka, melainkan juga menjelaskan bagi dunia siapa mereka,
apa yang mereka percayai dan akui. Maka Pemahaman Iman juga memiliki signifikasi
teologis dan ekklesiologis, tetapi juga social politis. 10
Jadi pemahaman iman lebih lokal sifatnya dan lebih temporer juga.
Pemahaman Iman sangat bisa berobah sementara Pengakuan Iman sudah baku.
Persamaan kedua istilah ini adalah bahwa keduanya dirumuskan dari keyakinan Iman
dan berlandaskan pada Alkitab. Pemahaman Iman GPIB telah berproses sejak tahun
1982 dan akan terus berproses seiring perkembangan kebutuhan kontekstual.
Kerangka Isi:11
Kerangka isi Pemahaman Iman GPIB mencakup tujuh pokok, yakni:
1. Keselamatan.
1. Bahwa Allah, sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah
bangsa-bangsa guna mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan meniadakan kekacauan dan
kejahatan.Dengan demikian sebagai hamba Allah, setiap pemerintah
wajib mempertanggung jawabkan kuasa tersebut kepada Allah12.
2. Bahwa pemerintah dan negara menjalankan kuasa dan wewenang di bawah
terang Tuhan Yesus Kristus, yang berfirman: “berilah kepada kaisar apa
yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya13” Dengan
demikian pemerintah dan negara mempunyai otonomi, tetapi otonomi ini
tidak dapat mengatasi otonomi Gereja sebagai tubuh Kristus. Oleh
karena kaisar berada di bawah Allah.
3. Bahwa kuasa yang diberikan kepada pemerintah itu dapat disalahgunakan
karena dijadikan sebagai tujuan, hingga timbul kelaliman, kejahatan dan
keresahan14. Jika terjadi demikian maka sebagai Hakim dan Raja Tuhan
Yesus Kristus yang duduk di sebelah kanan Allahakan menghakimi
pemerintah pemerintah dan penguasa.
11
Majelis Sinode GPIB XIX, Pemahaman Iman Tahun 2007.
4. Bahwa Roh Kudus yang adalah Roh keberanian akan menolong orang percaya
untuk lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia15. Seperti yang
telah disaksikan oleh para Rasul ; oleh karena itu Gereja terpanggil memperdengarkan suara kenabian terhadap masalah negara, bangsa, dan masyarakat.
5. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus
warga negara wajib menaati undang-undang dan penjabarannya yang
telah menjadi ketetapan bersama16, namun ia wajib memberi saran-saran
perbaikan secara kritis dan konstruktif lewat saluran saluran pengawasan
demi keadilan dan kesejahteraan bangsa17.
6. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus
warga negara perlu membina rasa kebersamaan sebagai satu bangsa
yaitu Indonesia, membangun saling pengertian dan toleransi dalam
rangka menghayati kerukunan nasional, dan menggalang kemajuan
bersama18 bagi rakyat Indonesia.
7. Bahwa berdasarkan tuntunan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus
warga negara, di dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan
bermasyarakat, perlu membangun rasa persatuan dan kesatuan yang
tidak merusak kebhinekaan dan kesetaraan19 yang telah menjadi bagian
dari masyarakat warga (civil society), di mana hak – hak asasi manusia
dijunjung tinggi.
B. Penjelasan
Bahwa Allah sebagai sumber kuasa memberikan kuasaNya kepada pemerintah
sebagai hamba Allah untuk mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua
ciptaan. Pada hakekatnya Allah tidak menghendaki adanya pemerintah. Allah yang
memerintah dan Allah juga yang berkuasa atas umatnya. Adanya pemerintah karena
kehendak umat (Israel).Waktu mereka berkata: "Berikanlah kepada kami seorang raja
untuk memerintah kami," perkataan itu mengesalkan Samuel, maka berdoalah Samuel
kepada Tuhan.
Tuhan berfirman kepada Samuel: "Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam
tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. (I
Samuel. 8:6,7). Hal inilah yang dikatakan Pdt.O.E.Ch.Wuwungan20 pada saat
menjelaskan tentang latarbelakang pemikiran sehingga timbul rumusan bahwa Allah,
sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah bangsa-bangsa guna
mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan
meniadakan kekacauan dan kejahatan.
Jadi kuasa yang ada pada pemerintah dalam suatu negara adalah semata-mata
pemberian Allah yang harus dipertanggung-jawabkan. Pemerintah dan negara ada
karena kehendak dan rencana Allah. Demikian pula gereja (baca: orang Kristen) ada di
bumi Indonesia ini karena kehendak dan rencana Allah. GPIB sebagai gereja yang ada
di Indonesia hadir untuk menyampaikan berita keselamatan bagi semua ciptaan. Dengan
demikian maka baik pemerintah atau negara dan juga gereja semuanya berada dalam
kedudukan yang sama sebagai hamba Allah.
Ide tentang hamba Allah ini lahir dari pergumulan panjang GPIB setelah ia
memutuskan untuk mandiri pada tahun 1948. Ada dua persoalan yang terjadi pada saat
itu. Pertama, persoalan untuk melayani tiga gereja saudara (GMIM,GPM, GMIT) dan
kedua, melayani umat Kristen di luar tiga gereja saudara tersebut. Selain itu pula GPIB
menghadapi persoalan bangsa yang baru merdeka 1945 dengan berbagai tantangan
persatuan dan keutuhan bangsa. Apabila Gereja (GPIB) dan Pemerintah/Negara tetap
memahami jati dirinya sebagai hamba Allah maka mau dan tidak mau mereka harus
melakukan tugasnya dengan baik yakni menegakan keadilan, kebenaran dan
kemakmuran bagi masyarakat. Ketika ditanyakan pemerintah yang bagaimana yang
dikehendaki Allah, Pdt.Kaihatu menjelaskan:
20 Wawancara dengan Pdt.O.E.Ch. Wuwungan, Ketua Sinode GPIB (Periode 1990-1995)
Alkitab memberikan gambaran bahwa Negara adalah alat yang dibentuk dan dipelihara oleh Tuhan untuk melindungi dunia terhadap kekalutan. Negara telah
menerima kuasa dan tanggung jawab dari Tuhan untuk mencapai tujuan itu. Empat
kutipan Alkitab menjelaskan hal ini. Kutipan pertama adalah Kejadian 9 : 5 –6.Ini
adalah tuntutan pembalasan terhadap orang yang menumpahkan darah. Dengan
sendirinya pelaksana dari keinginan Tuhan Allah untuk menuntut pembalasan ini
adalah manusia sendiri. Dan ini hanya mungkin terjadi kalau ada struktur dalam
masyarakat dalam bentuk pengaturan dan pemerintahan. Kutipan kedua adalah
Mazmur 72:1. Di sini Allah mengaruniakan wibawa dan kekuasaan kepada raja. Kutipan ketiga adalah Yohanes 19 : 11. Yesus sendiri memastikan bahwa kuasa tidak akan ada pada tangan Pilatus kalau tidak diberikan dari atas. Kutipan keempat adalah
Roma.13:1–2.Paulus memastikan bahwa Pemerintah ditetapkan Allah dan karena itu
harus dipatuhi. Makanya Calvin memastikan bahwa penguasa dan Negara harus menyadari bahwa sumber kekuasaannya adalah dari Allah. Dan karena itu pemerintahan
sipil harus memikirkan rakyat sesuai dengan kehendak Tuhan.21 Catatan Calvin
ini penting, karena kuasa yang diberikan Tuhan bisa disalah gunakan, dan dijadikan
tujuan.Yang terjadi sebagai akibatnya adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Faham bahwa kekuasaan itu berasal dari Tuhan secara ringkas mengingatkan penguasa untuk rendah hati, mengingatkan masyarakat untuk mengkritisi secara positip dan konstruktif sebagai bentuk dukungan. Dengan demikian terbangun kesatuan dan persatuan yang memelihara kebhinekaan dan kesetaraan. Dalam keadaan seperti inilah hak hak asasi manusia dijunjung tinggi. Dan ini hanya akan mungkin terjadi dalam
penyertaan Roh Kudus.22
Persoalannya sekarang adalah bagaimana peranan dan fungsi gereja itu bisa
berjalan tanpa ada benturan kepentingan dengan Pemerintah/Negara. Pdt.S.Th Kaihatu
memberikan penjelasan bahwa:
Antara Gereja dan Pemerintah/Negara punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan gereja atau sebaliknya, gereja juga tidak boleh ikut campur urusan Pemerintah/Negara. Masing-masing berada pada wilayah kekuasaannya sendiri-sendiri. Tetapi, ketika berbicara tentang keadilan dan kebenaran serta peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, Gereja dan Pemerintah harus dapat mewujudkannya. Pokoknya semua yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan hak asasi manusia serta lingkungan hidup gereja dan pemerintah terlibat bersama-sama
sebagai hamba Allah untuk melayani masyarakat.23
21 Pandangan Calvin tentang hal ini bisa dilihat dalam Mc Neill.J.T. : Calvin: Institutes of the
Christian Religion Vol. XX. London, SCM Press 1960.
22 Wawancara dengan S.Th.Kaihatu, M.Th. Ketua Sinode GPIB (2005-2010) tanggal 23 Januari
2014 di Jakarta.
Oleh karena itu topik kedua yang diangkat dalam rumusan Negara dan Bangsa
adalah “berilah kepada kaisar apa yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah
punya”. Tinggal bagaimana peranan dan fungsi masing-masing lembaga dijalankan.
Menurut Pdt.Kaihatu kita harus memahami konteks kita di Indonesia yang berbeda
dengan konteks Tuhan Yesus dan Paulus. Konteks Yesus berhadapan dengan Kaisar
sebagai penguasa pada jaman itu dimana bangsa Yahudi sangat tertekan sedangkan
Paulus yang berkebangsaan Romawi melihat Pemerintah sebagai alat dan hamba Allah
di dunia. Bagaimana wajah Indonesia, itulah wajah tantangan GPIB.24 Dalam kenyataan
hubungan antara Gereja dan Masyarakat masih diwarnai oleh beban sejarah kolonial.
Beban sejarah ini masih tetap dieksploitasi oleh pihak muslim khususnya.
Pihak muslim yang mayoritas masih sangat labil secara politis. Karena itu, kita
masih harus bertanya kedepan, apakah negeri ini akan menjadi negeri nasionalis
sungguh sungguh. Kemungkinan lain adalah negeri ini akan menjadi negeri Islam type
Malaysia, type Turki, atau type Afganistan zaman Taliban. Dalam Islam sendiri ada
banyak aliran. Ada yang keras, ada yang moderat, ada yang moderat. Pihak Islam
moderat masih sangat banyak dan perkembangan theologia dikalangan Islam juga maju
pesat. Namun ada persepsi yang tidak bisa dihindari bahwa negara negara barat berlaku
tidak adil dalam ekonomi global, dengan hasil banyak penderitaan di negara negara
berkembang, termasuk Indonesia.
24 Baca juga dokumen Pokok-Pokok Kebijakan Umum Panggilan Dan Pengutusan Gereja
Belum lagi persepsi bahwa negara negara Barat itu adalah negeri negeri Kristen
membuat persepsi masyarakat Islam terhadap Gereja masih tetap miring. Bukan hal
yang rahasia lagi, bahwa perilaku negara negara barat yang besar dan kaya melahirkan
reaksi di Indonesia berupa tekanan terhadap gereja.
GPIB hadir dalam suatu masyarakat yang yang memiliki begitu banyak sumber
daya alam, akan tetapi masyarakatnya miskin secara akut. Kemiskinan ini sangat
didorong oleh kenyataan korupsi di negeri ini secara keseluruhan. Ada analisis yang
mengatakan bahwa korupsi ini banyak ditentukan oleh budaya setempat. Hal ini harus
dipertimbangkan secara serius, mengingat begitu banyak negeri di Asia yang jauh lebih
muda usianya, telah berkembang, sementara negeri ini makin terpuruk.
Sinyalemen bahwa korupsi dipicu oleh pengusaha non-pri harus berhadapan
dengan kenyataan bahwa di negeri negeri di Asia dimana non-pri nya banyak justru
sudah jauh lebih maju. Analisis lain meletakkan kesalahan pada penjajah dan sikap
mental yang ditinggalkannya. Nyatanya bahkan ketika penjajah berganti rupa menjadi
donator pun, kesulitan makin terasa. Makin terasa kebenaran saran Weber yang
mengatakan bahwa Injil harus mentrasformasi budaya. Penolakan terhadap kehadiran
gereja di Indonesia, khususnya wilayah pelayanan GPIB mungkin harus dimengerti dari
sini.
GPIB hadir dalam suatu situasi dimana masyarakatnya sedang „diserbu‟ oleh
budaya global. Kehadiran budaya global ini ditentukan oleh tekhnologi informasi.
Maka semacam „culture shock‟ tidak bisa dihindarkan, sementara orang tetap berdalih
bahwa „kita beda‟, baik dengan alasan budaya, maupun mayoritas agama. Patut
Kalau ini yang terjadi, maka akan muncul berbagai tindak kekerasan, sebagai reaksi
balik atas „serbuan‟ budaya global itu. Ini akan merupakan merupakan sikap kalap
karena kalah. Karena serbuan budaya global ini sangat kena mengena dengan
masyarakat Barat, maka lagi lagi kehadiran Gereja akan jadi pertanyaan.
Dalam budaya global, orang harus menerima kenyataan pluralitas. Dalam
kenyataan seperti ini orang harus menerima perbedaan sebagai hal yang wajar, tanpa
menjadikan perbedaan itu alasan untuk memusuhi. Perobahan paradigma dalam sikap
mental dan budaya secara keseluruhan dibutuhkan untuk menghadapi semuanya ini.
Mestinya kalau pergeseran paradigma ini berjalan baik, maka perbedaan kemudian
malahan akan dilihat sebagai kekayaan. Ini yang mulai muncul dan sedang
disosialisasikan, termasuk dalam bidang theologia.
Tanpa pretensi bahwa analisis ini sudah lengkap, mau dilihat satu hal lagi yang
merupakan tantangan bagi pelayanan Gereja, yakni kekerasan. Menghadapi kekerasan
yang terjadi kita jadi berpikir, apakah ini akumulasi dari berbagai frustrasi, ataukah ini
merupakan wajah masyarakat yang sesungguhnya. Periode kekerasan yang sudah begitu
panjang, menggoda kita untuk berpikir demikian. Ini ditambah lagi oleh kenyataan
bahwa kekerasan kadang-kadang dengan model yang sama- terjadi di berbagai bagian
dunia. Ada analisis yang mengatakan bahwa dibelakang kekerasan ada protes terhadap
ketidak-adilan. Namun kalau kekerasan terlanjur disistimatisir dan dijadikan metode,
dilakukan oleh pihak yang menteror, yang ternyata menelan banyak sekali korban yang
tidak bersalah, dan tidak tahu apa apa.25
Ketika ditanya bagaimana peranan warga gereja dalam hal politik dalam konteks
Negara Indonesia Pdt.C.Wairata26 memberikan penjelasan bahwa peranan politik itu ada
pada potensi dan profesi masing-masing warga jemaat. Biar warga jemaat secara pribadi
yang terlibat, gereja dalam hal ini hanya dapat membina warganya untuk tetap
mengandalkan Kuasa Roh Kudus sehingga mereka dapat berkarya bagi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa. Baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Banyak
warga GPIB yang menjadi anggota DPR di tingkat pusat maupun daerah, bahkan
sebagai hakim, jaksa, TNI dan Polri. Mereka berkarya dengan tidak mengatasnamakan
lembaga gereja (GPIB) tetapi sebagai anak Tuhan yang dipercayakan
Neraga/Pemerintah. Bersamaan dengan pendapat Pdt.Wairata, Pdt.Kaihatu27
memberikan penjelasan bahwa partisipasi politik warga gereja seperti peran dan fungsi
garam. Ia tidak perlu nampak dan menonjol tetapi bekerja secara diam-diam untuk
untuk memberikan manfaat bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Gereja
tidak perlu mendirikan partai politik atau berdemo dijalanan menentang korupsi dan
tindakan diskriminasi yang bertentangan dengan hukum. Peranan gereja dalam hal ini
membina warganya agar ia menjadi warga negara yang baik dengan mentaati
undang-undang dan hukum yangt berlaku. Pertanyaan selanjutnya bagai mana dengan
pemerintah yang otoriter dan korup tidak memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan
rakyat. Menurut Pdt.Wairata, gereja harus dapat menunjukan suara kenabian
25 S.Th.Kaihatu, Pemahaman Iman Payung Teologi untuk mengejawantahkan Gereja Misioner
(Materi Bina Penatua dan Diaken), Periode 2010-2015.
26 Wawancara dengan Pdt.C.Wairata, Sekretaris Umum Majelis Sinode (Periode 2000-2005)
Tanggal 29 Januari 2014 di Jakarta.
mengoreksi pemerintah yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Seperti gambaran
dalam Wahyu.28 Gereja harus memakai pendekatan secara positif, kritis, kreatif, dan
realistis, dengan berdasarkan kepada Firman Tuhan dan tuntunan Roh Kudus. Menurut
Pdt.C.Wairata berdasarkan pemikiran itulah maka lahir konsep jemaat misioner yang di
gumuli oleh Pdt.D.R.Maitimoe. Dan inilah yang merupakan ciri khas dari GPIB sebagai
jemaat Misioner. 29 Semua potensi dan keberadaan jemaat dikelolah dan diberdayakan
untuk terwujudnya “Damai Sejahtera” bagi semua ciptaan. Oleh karena itu Pemahaman
Iman sekarang ini agak berbeda dengan yang sebelumnya, karena pemahaman iman
yang dibuat sekarang lebih menekankan kepada peranan Roh Kudus dalam kehidupan
gereja di tengah bangsa dan negara.
Dalam poin 4 sampai dengan 7, semua rumusan memberikan tekanan spada
peran dan kuasa Roh Kudus. Ketika ditanyakan mengapa peran Roh Kudus dalam
keempat poin ini sangat menonjol. Pdt.C.Wairata mengatakan bahwa kuasa Roh Kudus
28 Wawancara dengan Pdt.Wairata.
29 Potensi Pembangunan Jemaat Misioner sesuai dengan PKUPPG-GPIB: Potensi
Internal:1.Persekutuan (kebersamaan) warga gereja pada seluruh wilayah pelayanan yang meliputi 25
propinsi di Indonesia. 2.Memiliki jalinan dan hubungan keesaan dengan gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan seluruh dunia (CCA,WCC,WCRC). 3.Harta milik pemberian Allah yang diterima sebagai warisan maupun yang diadakan, menjadi aset dalam mendukung panggilan dan pengutusan GPIB. 4.Memiliki sejumlah perangkat gereja: Pemahaman Iman, Tata Gereja, PKUPPG, Akta Gereja Tata Ibadah, serta ketetapan gereja lainnya. 5.Unit-unit Misioner kerja dan pelayanan terpadu, seperti unit kerja Penerbitan GPIB, Departemen-departemen, Yayasan-yayasan, Pusat pembinaan Warga Gereja dan Crisis Center. 6.Sistem pemerintahan gereja yang ditata berdasarkan asas Presbiterial Sinodal. 7.Pengalaman sejarah yang panjang berawal dari “de Indesche Kerk” serta tradisi gereja asal dari warganya yang beranega ragam yang merupakan suatu persekutuan dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI).
Peluang Eksternal: 1.Warga gereja sebagai warga bangsa telah ikut berjuang merebut, mempertahankan
yang memampukan gereja untuk tetap bertahan dalam situasi dan kondisi apapun.
Gereja tetap hadir untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Sorga.
Salah seorang penulis Pemahman Iman (Hubungan Gereja dan Negara) Pdt.Ari
Ihalauw30 mengatakan bahwa rumusan dalam aline ke-dua (“berikan kepada kaisar apa
yang kaisar punya dan kepada Allah apa yang Allah punya”) janganlah dipahami
sebagai suatu pemisahan antara gereja dan negara, tetapi dari rumusan ini ide yang mau
diangkat adalah menempatkan negara dan gereja pada posisi yang sama sebagai hamba
Allah. Dengan demikian masing-masing (gereja dan negara) punya tugas dan
tanggungjawab yaitu melaksanakan kehendak Allah. Negara tidak bisa menginterfensi
segala urusan dan tugas gereja atau sebaliknya gerejapun demikian. Tetapi keduanya
harus mempunyai tugas yang sama yaitu menciptakan “Damai Sejahtera” bagi semua
ciptaan. Ketika ditanyakan bagaimana peran gereja (orang kristen) Pdt.Ihalauw
mengatakan ikutilah contoh dan teladan Tuhan Yesus. Sifat karakter dan pola pikir.
Ajaran Yesus bukan hanya mengasihi sesama orang kristen tetapi seluruh umat
manusia. Bahkan seluruh ciptaannNya/alam semesta.
Orang kristen juga harus menyadari kehadirannya di bumi Indonesia. Ia
memiliki dua kewargaan negara. Warga negara kerajaan surga dan warga negara
Indonesia sebagai satu bangsa yang Tuhan hadirkan untuk gereja berkarya. Ketika
ditanyakan bagaimana menghadirkan kerajaan sorga di Indonesia yang
pemerintahannya tidak seiman. Pdt Ihalauw mengatakan, yang kita lakukan bukan
kehendak pemerintah tapi kehendak Tuhan. Siapapun pemerintahnya agama apa dia dari
partai mana, tidaklah menjadi soal. Gereja harus berkarya bagi bangsa ini. Persoalannya
30 Wawancara dengan Pdt.Ari Ihalau, Penulis Pemahaman Iman, Pada tanggal 30 Januarai 2014
sering pemerintah yang berkuasa itu menunggangi agama untuk maksud dan tujuan
tertentu. Inilah yang terjadi sekarang ini. Kalau demikian gereja harus berani
menyuarakan suara kenabiannya. Bukan mengatasnamakan lembaga tetapi warga
jemaat dengan potensi dan karunianya.
2.2. Materi Katekisasi
31Uraian:
Gereja dan Negara : Membangun Hubungan yang Kreatif
Republik Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka tanggal 17 Agustus
1945. Kemerdekaan itu diperjuangkan sebagai hak yang direbut dari tangan Belanda
yang menjajah Indonesia. Negara ini didirikan di atas dasar yang disepakati bersama
komponen bangsa saat itu yaitu Pancasila. Dasar ini menjamin kemajemukan bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, budaya dan latarbelakang social yang
tersebar di berbagai pulau dan daerah di Nusantara. Semuanya diikat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk menata kehidupan bersama disusunlah UUD 1945, Undang-Undang,
Peraturan-Peraturan dan Peraturan Daerah, yang semuanya itu mengatur berbagai hal
antara lain kehidupan beragama di dalamnya termasuk gereja sebagai lemaga yang
melayani masyarakat dan bangsa Indonesia.
Secara Alkitabia, kita menelaah Firman Tuhan yang terdapat dalam Roma
13:1-17; Markus 12: 13-13:1-17; Lukas 20: 20-26; Yesaya 45:1-25; Wahyu 13:1-18. Walau
gereja sudah berada dalam berbagai ancaman tetapi Rasul Paulus bersikap menghargai
pemerintah sebagai hamba Tuhan. Sikap seperti ini sesungguhnya berlawanan dengan
31 Majelis Sinode GPIB XIX, Ketetapan Persidangan Sinode XIX tahun 2010, Buku Katekisasi.
sikap orang-orang Yahudi yang berjuang melawan pemerintah dan menebarkan teror
yang meresahkan masyarakat. Orang Kristen diajak untuk menghormati pemerintah.
Dengan cara itu orang-orang Kristen juga menuntut keadilan dari pemerintah, bahkan
mendorong (mengkritik) pemerintah agar melakukan kebenaran dan menghindari
kekejaman dan penindasan.
Orang Krsiten tidak dapat melepaskan diri dari ikatan dengan masyarakat dan
bangsa, demikian pendirian Yesus. Ia sendiri menyatu dengan masyarakat Yahudi,
tetapi juga dengan orang-orang Yunani dan Romawi yang bertemu denganNya.
Orang-orang Kristen menyatakan tanggung jawab dan menjawab panggilan Tuhan tetapi juga
terhadap masyarakat. Ketaatan kepada Tuhan dialami juga sebagai berkat bagi
masyarakat dan bangsa yang dipimpin oleh pemerintah. Orang-orang kristen tidak dapat
menghindari kewajiban-kewajibannya terhadap negara sebagaimana ia mengharapkan
kewajiban-kewajibannya negara terhadap warga terwujud dalam masyarakat. Negara
yang baik membuat warganya merasa berhutang atas berbagai perlindungan yang
diberikannya dengan menjamin keamanan dan kerukunan. Negara yang
bertanggungjawab pasti membuat warganya menghormatinya karena menerapkan
hukum yang adil, menyediakan fasilitas-fasilitas umum (seperti trasportasi, pasar, listrik
dsb,...) yang baik bagi masyarakat. Pemerintah yang baik akan menjaga keutuhan, sebab
jika terjadi perpecahan, ia sendiri kehilangan wibawa dan negara menjadi runtuh, lalu
hilanglah juga pemerintah.
Gereja sebagai persekutuan yang dipanggil Tuhan untuk hadir ditengah dan
bersama masyarakat bekerjasama dengan pemerintah. Walau pemerintah itu kejam
seperti pengalaman gereja perdana (dalam wahyu), gereja tetap melakukan
harus berjuang untuk menyadarkan pemerintah atas kekeliruannya. Ada perlawanan
terhadap pemerintah secara pasif oleh orang-orang kristen perdana melalui pengorbanan
mereka. Pengorbanan itu menunjukan bahwa pemerintah telah menyimpang dan pada
saatnya Tuhan menghukumnya.
Sebab bukan tidak mungkin Tuhan memakai pemerintah untuk membebaskan
umatnya dari penderitaan. Pengakuan negara terhadap gereja (setelah melewati
penganiayaan) pada abad 4 M merupakan bukti Tuhan bekerja. Pembebasan
orang-orang Israel dari Babel yang kejam oleh Persia dan pembebasan untuk kembali
membangun Israel oleh raja Persia (Koresh) merupakan tindakan Tuhan.
Hubungan antara gereja dan negara perlu dibangun secara kreatif. Negara dan
Gereja tetap menjaga kemandirian masing-masing. Tidak boleh saling menguasai
karena keduanya otonom dan bebas melakukan tugasnya. Dalam melaksanakan
fungsinya masing-masing perlu dibangun usaha-usaha untuk saling melengkapi
mencapai tujuan bersama yaitu perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Keduanya
selalu berinteraksi baik melalui kehadiran warga maupun sebagai lembaga, di pusat
maupun di daerah dalam semua aras.
Untuk itu Gereja dan Negara sama-sama berjuang untuk menciptakan
undang-undang dan peraturan yang adil untuk kepentingan bersama sebagai satu masyarakat
yang majemuk. Dengan undang-undang dan peraturan tersebut semua pihak
melaksanakan tugas dalam kebersamaan yang tertata jelas, rapi tersusun dan
membangun masa depan.
Penjelasan.
Butir yang terdapat dalam materi katekisasi yang sangat prinsip adalah rencana
anakNya Tuhan Yesus Kristus. Pernyataan ini disampaikan oleh Pdt.Ari Ihalauw32
sebagai penulis materi katekisasi. Bertitik tolak dari rencana penyelamatan Allah itulah
maka lahir rumusan Pemahaman Iman, Materi Katekisasi, Akta Gereja sampai dengan
Tata gereja dan lain sebagainya. Dengan memahami karya penyelamatan Allah maka
gereja harus sadar akan kehadirannya di bumi Indonesia. Kemerdekaan yang kita miliki
adalah anugerah dan berkat Allah. Bukan pemberian siapa-siapa (Belanda, Jepang dan
Inggris). Tapi pemberian Tuhan. Karena itu adalah pemberian Allah maka gereja harus
menjalaninya dengan rasa syukur dan bertanggung-jawab kepada Allah. Bukan kepada
pemerintah atau negara.
Ketika ditanyakan apa maksudnya kemerdekaan adalah anugerah dan berkat
Allah lalu bagaimana implikasinya bagi keberadaan gereja (GPIB) di Indonesia?. Kalu
orang kristen taat hukum dan aturan-aturan yang berlaku di negara ini, harus dipahami
adalah untuk kemuliaan Tuhan yakni hadirnya damai sejahtera. Hanya persoalannya
hukum dan undang-undang yang berlaku itu apakah mencerminkan kehendak Allah atau
kepentingan kelompok atau agama tertentu. Disnilah yang saya tidak setuju gereja
terlibat dalam politik. Karena ia akan mengklem dirinya sebagai satu-satunya kebenaran
dan menindas yang lain (contoh: seperti perang salib). Kita bisa membunuh dan
menghancurkan orang lain dengan mengatasnamakan demi Tuhan. Apakah Tuhan
mengajarkan kita untuk saling membunuh?. Bukankah Ia mengajarkan kita untuk saling
mengasihi satu dengan yang lain?. Pertanyaan selanjutnya kalau demikian salah siapa?
Manusianya yang salah memahami kehendak Allah. Dan agama juga ikut berperan
mengklem dirinya sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Ketika ditanyakan
bagaiman dengan peran dan fungsi gereja (GPIB) dalam konteks negara kesatuan
Indonesia. Pdt.Ari Ihalauw33 menjelaskan gereja harus membangun hubungan yang
kraetif dengan pemerintah dan negara (baca: materi katekisasi).
Ide tentang hubungan kreatif ini dibangun atas dasar sebagai hambah Allah
untuk menghadirkan “Damai Sejahtera” di Indonesia. Sebab secara teologis, negara
ditempatkan dalam hubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya.
Negara tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi diperkenankan Tuhan untuk menjadi alat
dalam pemeliharaan Tuhan terhadap dunia. Jadi negara tidak diciptakan oleh Tuhan
tetapi merupakan wujud dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Naluri alaminya
mendorong untuk membangun persekutuan. Manusia hidup dalam kebersamaan atau
persekutuan dan sadar akan pentingnya tata aturan dan kebiasaan antara lain dalam hal
membentuk negara. Dapat dikatakan hal tersebut merupakan karunia Tuhan untuk
manusia (bandingkan kejadian 1:28). Dapat dikatakan bahwa keberadaan negera
berhubungan dengan tindakan Tuhan untuk memelihara ciptaanNya dengan cara
melindungi (conservation), berada bersama-sama (concurcus) dan memerintah
(gubernatio).
Dalam rangka itu Tuhan memberi kuasa kepada negara. Kuasa itu dijalankan
oleh pemerintah sebagai hamba Allah. Sebagai hamba, pemerintah bertugas
memberikan perlindungan kepada masyarakat, berada (bekerja dan berjuang)
bersama-sama warganya, serta memerintah dalam arti mengatur dan menata sehingga ada
kesejahteraan bersama serta masyarakat mengabdi dan memuliakan Tuhan. Jadi peran
dan fungsi gereja (orang kristen) adalah menghadirkan keselamatan di Indonesia.
Bagaimana caranya? Jangan berpikir parsial atau pengkotak kotakan. Hanya kristen saja
yang diselamatkan, diluar kristen tidak ada keselamatan. Keselamatan itu sangat
universial bagi semua mahkluk ciptaan tanpa agama. Persoalannya ketika
masing-masing agama mengklem dirinya sebagai satau-satunya sumber keselamatan maka ia
tidak membuka peluang bagi keselamatan Allah ada pada agama lain. Yang membuat
keselamatan ini menjadi berjenis-jenis dan berbeda adalah konsep berpikir idiologi
manusia yang mengimplemenstasikan kehendak Allah yang membebaskan menurut
kepentingan organisasinya.
Jangan kita hanya bicara keselamatan dari pihak kristen saja atau Islam saja tapi
bagaimana keselamatan itu tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat agama
masing-masing. Disinilah peran dan fungsi negara untuk berdiri netral dengan tidak
berpihak kepada agama tertentu. Kalau sampai pemerintan/negara mengelolah bangsa
ini dengan berlandaskan kepada salah satu agama saja, maka akan sulit terciptanya
keselamatan di Indonesia (Damai Sejahtera). Keselamatan Allah kepada bangsa
Indonesia telah nyata dalam kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Perjuangan para
pahlawan merebut kemerdekaan tidak mengatasnamakan agama, tetapi melawan
penjajahan dan penindasan yang telah menghancurkan harkat dan martabat manusia
sebagai ciptaan Allah. Itulah yang harus kita perjuangan bersama sebagai rakyat
Indonesia. Oleh karena itu menurut saya yang terbaik dilakukan gereja (orang kristen)
adalah berani menyampaikan suara kenabian dan bebas dari politik dan gereja (secara
lembaga) harus membina warga jemaat untuk berperan serta dalam sisitem politik
2.3. Akta gereja
34Akta tentang Bangsa dan Negara. Sumpah Jabatan.
1. Masalah:
1.1.Pelayanan Gereja terhadap masyarakat masyarakat termasuk pula partisipasi
gereja dalam upacara kemasyarakatan.
1.2.Dalam hal sumpah jabatan, pihak pemerintah telah mengatur tata Cara dan
mempunyai rumusan-rumusan yang tetap.
1.3. Penggunaan Toga/Pakaian Jabatan Pendeta dalam Upacara pengambilan sumpah
jabatan oleh mereka yang bukan Pendeta tidak dibenarkan.
2. Kesimpulan Pembahasan :
2.1. Majelis Sinode perlu mengemukakan pandangan kepada Departemen Agama
R.I. melalui dan bersama PGI tentang formulasi sumpah / janji jabatan,
maupun mengenai penggunaan pakaian jabatan;
2.2. Sejauh hal diatas belum mendapatkan ketentuan yang jelas, Majelis Sinode
mengatur hal pengambilan sumpah / janji jabatan;
3. Prinsip Penyelesaian :
34
Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai „mendampingi‟ warga gereja yang
diambil sumpah / janji jabatan yang mempunyai makna – memberi dukungan
spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya melihat bidang pekerjaannya
sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di tengah masyarakat.
4. Petunjuk Pelaksanaan35 :
4.1.Diarahkan dan diusahakan agar di dalam pelaksanaannya, yang diucapkan
adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan
sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan kata-kata “Demi Allah”.
4.2.Hendaknya warga GPIB yang diambil sumpah / janjinya didampingi oleh
Pendeta GPIB. Dalam keadaan benar-benar tidak ada tenaga Pendeta dapat
didampingih oleh Presbiter lainnya tanpa menggunakan toga dan Majelis Jemaat
yang menunjukannya segera melaporkan kepada Majelis Sinode.
4.3.Pelaksanaan pengambilan sumpah/janji Jabatan ini wajib menggunakan
pedoman yang telah digariskan oleh Majelis Sinode.
Penjelasan.
Prinsip dasar dari akta ini adalah Kehadiran Pendeta harus dipahami sebagai
„mendampingi‟ warga gereja yang diambil sumpah/janji jabatan yang mempunyai
makna memberi dukungan spiritual bagi yang bersangkutan, untuk mendorongnya
melihat bidang pekerjaannya sebagai suatu panggilan khusus dan tugas pelayanannya di
tengah masyarakat.
Jadi ketika seseorang diambil sumpah atau janji yang didampingi oleh seorang
Pendeta maka hal ini harus dilihat dalam kerangka pertanggungjawaban kepada Allah
atas jabatan yang diterimanya.
Jabatan itu menurut penjelasan Pdt.Kaihatu36 berkaitan dengan kepercayaan
bukan wewenang. Kalau jabatan itu adalah kepercayaan maka suatu ketika jabatan itu
akan berakhir dan tidak kekal. Sang pejabat harus sadar bahwa janji yang diucapkan itu
punya makna ganda secara organisasi ia bertanggungjawab kepada instansi dimana ia
bekerja tetapi sebagai orang beriman (warga GPIB) ia bertanggungjawab kepada Allah,
dalam seluruh tingkah laku dan perbuatannya selama ia bekerja. Jadi kedudukan antara
Pemerintan/Negara dalam hal ini adalah sama dengan, Gereja (yang diwakili oleh Pdt)
yakni memberi pertanggungjawaban kepada Allah. Ketika ditanyakan mengapa
rumusan tersebut tidak menggunakan kata sumpah tetapi kata janji. Pdt.Joel.E Klokke37
mengakatakan bahwa ajaran kristen seperti tertulis dalam Injil Matius 5:34-37 dan
Yakobus 5:12. Memberi pemahaman bahwa orang kristen tidak boleh mengucapkan
sumpah demi sorga atau demi bumi atau kepada siapapun, tetapi ia harus mengatakan
ya, jika ya dan jika tidak ia harus katakan tidak. Dengan demikian maka kita dituntut
untuk lebih takut kepada Tuhan dari pada takut kepada manusia. Oleh karena itu dalam
rumusannya dikatakan bahwa:
dalam pelaksanaannya, yang diucapkan adalah JANJI. Namun bila oleh instansi yang berkepentingan telah dirumuskan sebagai SUMPAH, maka hendaknya tidak diucapkan
kata-kata “Demi Allah”.38
Dijelaskan pula bahwa Akta gereja yang ada sekarang ini merupakan petunjuk
teknis bagi para presbiter atau warga gereja dalam menyikapi persoalan-persoalan
masyarakat yang dihadapi gereja di tengah bangsa dan negara. Oleh karena itu akta
gereja ini sering kali bisa berubah tergantung isu-isu apa yang perlu disikapi gereja
dalam kerangka melaksanakan tugas dan panggilannya.
36
Pdt.S.Th, Kaihatu. Penulis Akta GPIB, Wawancara Tanggal, 25 Januari 2014 di Jakarta.
37 Pdt.J.E. Klokke. Penulis Akta Gereja, Wawancara Tanggal 20 Ferbuarai 2014 di Panggal
Pinang .
2.4. Kesimpulan Rumusan Teologi Politik GPIB
1. Rumusan Teologi Politik GPIB bertitik tolak dari rencana keselamatan
Allah kepada umat manusia melalui kehadiran Tuhan Yesus Kristus ke
dalam dunia. Dan gereja sebagai tubuh Kristus melanjutkan misi tersebut
dengan menghadirkan Shalom “Damai Sejahtera” di tengah dunia dimana
gereja itu berada.
2. Pemerintah atau Negara memperoleh kedudukan yang sama dengan gereja
sebagai hamba Allah. Masing-masing memberikan pertanggungjawaban
kepada Allah sebagai sumber kuasa, yang mempercayakan kuasa tersebut
kepada pemerintah/negara dan gereja untuk melaksanakan kehendak Allah.
3. Dalam melaksanakan kehendak dan rencana Allah, GPIB lebih menekankan
kepada pembinaan spiritual warga jemaat dalam kerangka partisipasi politik,
baik di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif.
4. Latarbelakang sejarah dan sistem “Presbiterial Sinodal” seringkali menjadi
hambatan dalam menyikapi peran dan fungsi gereja menyuarakan suara
kenabian.
5. Ide-ide yang lahir dalam rumusan Teologi Politik bersumber dari kutipan
ayat-ayat Alkitab, yang tidak mencerminkan realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk dan plural. (Misalnya: kemiskinan, korupsi, pelanggaran hak