• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752013008 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752013008 BAB III"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KONFLIK DAN UPAYA PENYELESAIANNYA DI JEMAAT GPM

REHOBOTH

Jemaat GPM Rehoboth didiami oleh berbagai etnis dengan ragam budaya, adat

istiadat, juga hidup berdampingan dengan 14 Organisasi Gereja Dedominasi dan

disekitarnya ada masyarakat yang beragama Islam dan Katolik. Kondisi ini menjadikan

Jemaat GPM Rehoboth heterogen. Heterogenitas itu tentu saja dapat menjadi modal

pembangunan kehidupan jemaat yang terwujud dalam sikap saling menghargai,

menghormati dan membantu dalam lingkup pelayanan Jemaat maupun terhadap

jemaat-jemaat lain (yang bukan warga jemaat-jemaat GPM Rehoboth). Kendati begitu, heterogenitas

masyarakat dari segi-segi diatas bisa saja menjadi ancaman. Hal inilah yang menjadi

bagian dari hasil-hasil temuan dalam penelitian ini.

Secara geografis, kondisi fisik wilayah pelayanan sebagian besar merupakan

daerah berbukit khususnya pada bagian Selatan dan hanya sebagian kecil daerahnya

yang datar yakni pada bagian Utara. Kondisi wilayah pelayanan yang cukup luas dengan

kondisi fisik wilayah yang berbukit, merupakan tantangan pelayanan tersendiri.

A. Gambaran Umum Jemaat Rehoboth a. Kondisi Wilayah Pelayanan

Secara administratif pemerintahan, wilayah pelayanan Jemaat GPM Rehoboth

terletak di Kecamatan Nusaniwe, dan anggota jemaatnya membaur serta menyebar

dengan masyarakat lainnya pada 4 Kelurahan dan 1 Negri (bac:Desa), yakni; (1)

(2)

Waihaong; dan; (5) Negeri Urimessing (Dusun Seri). Sedangkan secara administratif

Gereja, wilayah pelayanan Jemaat GPM Rehoboth terbentang dari pesisir Tanah Lapang

Kecil menuju daerah perbukitan Gunung Nona dengan luas lebih kurang 1,20 Km2, dan

terbagi dalam 19 sektor dengan membawahi 66 unit pelayanan.

Kondisi fisik wilayah sangat variatif, sebagian besar wilayah merupakan daerah

perbukitan khususnya pada daerah sebelah Selatan, sedangkan daerah sebelah Utara

relatif datar, dengan batas-batas wilayah pelayanan sebagai berikut:

 Sebelah Utara : Teluk Ambon

 Sebelah Selatan : Jemaat GPM Kesya, Jemaat GPM Seri.

 Sebelah Barat : Jemaat GPM Imanuel – OSM dan Jemaat

GPM Eden.

 Sebelah Timur : Jemaat GPM Silo, Jemaat Kategorial

GPM Sinar Kasih,

POLRI dan Jemaat GPM Menara Kasih.

B. Potensi Sumberdaya Jemaat dan Tantangan Pelayanan

Perkembangan anggota jemaat (masyarakat) pada periode lima tahun terakhir

nampaknya terus menunjukkan angka kenaikan, baik yang disebabkan oleh kelahiran,

migrasi maupun perpindahan akibat tugas dengan rata-rata pertumbuhan 2,5 persen

pertahun.

a.Demografi.

Sampai dengan tahun 2011, jumlah anggota jemaat GPM Rehoboth tercatat

sebanyak 9.119 jiwa, terdiri dari perempuan sebanyak 4.660 jiwa (51 persen) dan

(3)

adalah usia 16-45 tahun yakni sebanyak 4.503 jiwa, selanjutnya usia 46-59 tahun

sebanyak 1.276 jiwa, usia 60-85 tahun sebanyak 685 jiwa,usia 13-15 tahun sebanyak

585 jiwa, usia 7-9 tahun sebanyak 556 jiwa, usia 10-13 tahun sebanyak 538 jiwa dan

diikuti dengan kelompok uisa lainnya. (lihat tabel I).

Tabel I

Dari jumlah anggota jemaat di atas, yang telah menjadi anggota Baptis sebanyak 8.289

orang, diteguhkan sebagai Sidi Gereja sebanyak 6.607 orang, sedangkan yang telah

(4)

b. Pendidikan.

Keunggulan kompetitif kualitas di setiap jenjang pendidikan menunjukkan

kemajuan yang cukup baik. Itu berarti merupakan potensi yang cukup besar bagi

kemajuan pembinaan pelayanan. Kualitas pelayanan seyogianya juga perlu didukung

dengan sumberdaya manusia yang terampil dan berkualitas.

Dari data yang diperoleh ternyata klasifikasi pendidikan anggota jemaat sangat

bervariasi, antara lain untuk S3 sebanyak 15 orang, S2 sebanyak 78 orang, S1 sebanyak

1.033 orang, Diploma sebanyak 521 orang, SMU/SMK sebanyak 4.298 orang, SLTP

sebanyak 1.301 orang dan SD sederajat sebanyak1.056 orang. Gambaran secara jelas

tentang klasifikasi pendidikan formal anggota jemaat dapat diikuti pada tabel II.

Tabel II.

anggota Jemaat GPM Rehoboth yang memiliki klasifikasi pendidikan terbanyak adalah

pada jenjang pendidikan SLTA yakni 29,14 persen, selanjutnya SLTP sebanyak 8,82

(5)

Di sisi penyediaan prasarana dan sarana (infrastruktur) pendidikan baik oleh

pemerintah maupun lembaga pendidikan Kristen di daerah pelayanan Jemaat GPM

Rehoboth, tersedia 2 Unit Taman Kanak-Kanak, 3 komplek persekolahan Sekolah

Dasar, 2 komplek persekolahan Sekolah Menengah Pertama, 3 komplek persekolahan

Sekolah Menengah Umum/Kejuruan dan 1 lembaga perguruan tinggi (UKIM).

Khusus untuk sarana dan prasarana pendidikan yang dikelola oleh Yayasan

Pendidikan Persekolahan Kristen (YPPK) Dr.J.B. Sitanala yakni, 1 komplek

persekolahan mulai dari jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) sampai dengan

menengah (SMU), melalui pergumulan yang panjang atas kerjasama Sinode Gereja

Protestan Maluku dengan lembaga pendidikan Yayasan Lentera Harapan Jakarta telah

disepakati untuk dikelola oleh Yayasan Lentera Harapan.

Kesepakatan terhadap kerjasama, mulai tahun 2011 persekolahan Rehoboth

milik YPPK disiapkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan terintegrasi

dibawah tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan oleh Yayasan Pendidikan Lentera

Harapan Jakarta. Untuk menunjang proses pembelajaran pada persekolahan Lentera

Harapan, sampai dengan tahun 2011 terdapat 302 siswa SD dengan guru 16 orang, siswa

SMP 150 orang dengan guru 10 orang dan siswa SMA 195 orang dengan guru 11, dan

ini dapat terlihat pada tabel III

Kesepakatan kerjasama antara GPM dengan Yayasan Lentera Harapan

mewajibkan pihak Yayasan Lentera untuk menyediakan sumberdaya tenaga pendidik

dan melatih meningkatkan kapasitas serta mutunya agar dapat memenuhi standar

pendidikan yang berkualitas sehingga dapat bersaing dengan lembaga pendidikan secara

(6)

Tabel III

Jumlah Siswa dan Guru pada kompleks Persekolahan YPPK Rehoboth

No. Kelas

Jumlah Siswa dan Guru pada Setiap Jenjang

SD SMP SMA

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) baru saja mengeluarkan survei

terbarunya mengenai angka pengangguran pada anak yang putus sekolah. Survei

menemukan tingkat pengangguran sangat besar di antara mereka yang putus sekolah

yakni pada kelompok usia 15 – 17 tahun dengan angka pengangguran sebesar 71 persen.

Besaran tersebut berkurang secara berangsur-angsur menjadi sekitar 53 persen untuk

usia 19 - 20 tahun dan 20 persen untuk usia 23 – 24 tahun. Anak yang putus sekolah dan

masuk dunia kerja memang dapat membantu perekonomian keluarga untuk jangka

(7)

berhasil dalam kehidupan bekerjanya ketimbang mereka yang berhasil menamatkan

pendidikannya.

Salah satu penyebab anak putus sekolah adalah karena ekonomi keluarga yang

kurang mampu dan distribusi bantuan pemerintah yang belum merata. Kondisi yang

demikian ditemui pada Jemaat GPM Rehoboth, di mana beberapa tahun terakhir ini

jumlah anak putus sekolah memang tidak terlalu menonjol, namun angka pengangguran

sangat tinggi yakni lebih kurang 28 - 30 persen. Tingginya angka pengangguran

dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya, minimnya perhatian dari orang tua untuk

menyekolahkan anaknya dan juga pengaruh lingkungan masyarakat sekitar yang kurang

―mendukung‖.

Putus Sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik

yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan berikutnya. Masalah putus

sekolah khususnya pada jenjang pendidikan rendah, kemudian tidak bekerja atau

berpenghasilan tetap, dapat merupakan beban masyarakat bahkan sering menjadi

penggangu ketentraman masyarakat. Hal ini ini diakibatkan kurangnya pendidikan atau

pengalaman intelektual, serta tidak memiliki keterampilan, sehingga sulit diterima kerja.

Itupun juga kalau Ia tidak berusaha menyeimbangkannya dengan

pengalaman-pengalaman kerja di bidang informal yang kurang memperhatikan tenaga kerja dari latar

belakang pendidikan tinggi. Orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah bisa

mengalami frustasi dan merasa rendah diri tetapi bersikap over acting, bisa

menimbulkan gangguan-gangguan dalam masyarakat berupa perbuatan yang

(8)

C. Pembinaan Jemaat.

a. Pelayanan Jemaat.

Proses pembinaan dan pendampingan umat dalam konteks pelayanan jemaat

sangat variatif dengan tetap berpedoman pada norma dan etika tata pelayanan jemaat

GPM. Tujuannya adalah untuk memotivasikan umat agar berkarya dan berbuat dengan

tetap mengedepan karya keselamatan Allah dalam ketritunggalan-Nya. Keterpanggilan

umat dalam tanggung jawab pelayanan dilakukan secara teratur dalam berbagai bentuk

ibadah, meliputi:

1) Pelayanan ibadah minggu sebanyak 11 kali dalam seminggu pada

7 rumah gereja, disertai dengan pelayanan rumah kepada orang

sakit, lanjut usia oleh seluruh perangkat pelayan di jemaat.

2) Pelayanan ibadah Unit pada setiap hari jumat.

3) Pelayanan ibadah Sektor pada setiap akhir bulan.

4) Pelayanan HUT pernikahan keluarga yang dilaksanakan oleh para

Pendeta.

5) Pelayanan HUT kelahiran pada unit-unit pelayanan yang

dilaksanakan oleh Majelis Jemaat dan Koordinator Unit.

Selain ibadah-ibadah jemaat, dilaksanakan juga ibadah-ibadah oleh Wadah

Pelayanan laki-laki dan perempuan serta pemuda maupun pada unit tertentu di beberapa

Sektor juga dilaksanakan Ibadah Binakel/Gatris pada setiap hari Sabtu, dengan

pembagian menjadi beberapa kelompok. Hasil evaluasi terhadap kehadiran anggota

jemaat dalam setiap ibadah, khususnya pada ibadah di unit-unit maupun wadah-wadah

(9)

besar untuk digumuli. Pada tabel IV tergambar secara jelas rata-rata kehadiran anggota

jemaat dalam ibadah Unit maupun Wadah Pelayanan selama tahun 2011 hanya sebesar

55,74 persen, terdiri dari laki-laki sebesar 46,57 persen, sedangkan perempuan sebesar

64,91 persen.

Gereja Protestan Maluku menyelenggarakan pendidikan formal gereja pada

jenang pendidikan anak, remaja dan katekisasi. Jenjang pendidikan Anak dan remaja

(10)

serius di dalam mengantisipasi pergerakan dunia di era globalisasi yang dengan sangat

cepat dan transparan menawarkan hal-hal positif maupun negatif. Dengan demikian

pembinaan di jenjang anak, remaja dan katekisasi menjadi hal yang utama di dalam

pembentukan spiritualitas umat yang membumi serta mampu menjawab perkembangan

zaman dengan segala tantangannya. Oleh karena itu penguatan sumberdaya manusia

melalui pendidikan berjenjang beserta tenaga pendidik menjadi penting di dalam proses

pembinaan dimaksud.

Penguatan sumberdaya umat melalui Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil

(SM-TPI) mengacu pada kurikulum sinode GPM yang bertumpu pada 3 pilar utama

yaitu Firman, Gereja dan Konteks. Penguasaan ruang lingkup ketiga pilar tersebut

membutuhkan bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas pengasuh (pendidik), sehingga

pelayanan terhadap seluruh umat khususnya anak dan remaja dapat terjangkau. Di dalam

perjalanannya SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth mampu membuktikan hal ini dalam

beberapa prestasi penting baik di tingkat Klasis maupun Sinode. Pada tahun 2009,

SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth meraih juara I lomba pidato bahasa Inggris Jambore Remaja

tingkat Klasis Pulau-Pulau Ambon. Pada tahun 2010, SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth

meraih juara I lomba cerdas cermat memperingati HUT GPM tingkat Sinode dan pada

tahun 2011, meraih juara harapan III lomba Pesparawi Kota Ambon.

Jemaat GPM Rehoboth merupakan salah satu jemaat dengan karakteristik

geografis dan etnografis sangat beragam (heterogen). Dengan demikian pendekatan

kelompok ajar berdasarkan letak geografis dipraktekan selama ini dan dirasakan cukup

(11)

belajar SM-TPI, dan ini dapat dilihat pada tabel V. Dengan adanya pembagian kelompok

seperti ini maka tantangan karakteristik wilayah dapat diminimalisasi.

Tantangan lain yang sangat berpengaruh didalam meningkatkan efektivitas

pembinaan adalah peran serta orang tua didalam memberi dorongan kepada peserta didik

bahwa keikutsertaannya di sekolah minggu merupakan sarana pembentukan karakter

mereka. Peran serta para pelayan maupun koordinator unit atau sektor selama ini

memang diharapkan untuk meningkatkan kinerja para pengasuh di kelompok-kelompok

tersebut. Oleh karena itu fungsi kontrol terhadap aktivitas SM-TPI menjadi agenda rutin

dari para pelayanan di Unit maupun Sektor pelayanan.

Tabel V

4 Tiberias Tiberias, Via Dolo Rosa

5 Siloam Siloam

6 Behtania Alhairani, Pniel

7 Yarden Eklesia, Kawan Seiman

8 Ora et Labora Dalyer, Orel 3

9 Bethlehem Bethlehem, Bt. Gantung 2, Bethabara Bt. Gantung

10 Calvari Calvari

11 Sion Sion

12 Zaitun Exaudia

13 Via Dolo Rosa Diaspora 1, Diaspora2

14 Imanuel Doulas, Gets Batu Gantung

15 Christi Natalia Christi Natalia

16 Karmel Yerikho

17 Sinai Kumatu,Euaggelion, Nazareth

18 Sumber Kasih Sumber Kasih 1, Sumber Kasih 2

19 Bethabara Bethabara 1, Bethabara 2

Sumber :Sub Komisi Anak dan Remaja GPM Rehoboth

Jemaat GPM Rehoboth memiliki 2.053 orang anak tanggung dan 585 anak

(12)

jenjang dan 12 sub jenjang (komunikasi interpersonal). Dari jumlah keseluruhan

pengasuh jika dikuantifikasi maka, kurang lebih 1 pengasuh mengasuh 6 sampai 7 orang

nara didik. Rasio ini, sebenarnya cukup ideal untuk menunjang peningkatan kualitas

Proses Belajar Mengajar (PBM). Artinya dengan rasio ini diharapkan PBM lebih efektif,

sehingga pengasuh lebih mudah membimbing dan mengenal nara didiknya.

Persoalannya adalah bagaimana mekanisme distribusi tenaga pengasuh tiap jenjang

berdasarkan kemampuannya yang mereka miliki. Nara didik tidak mudah memahami

topik atau materi yang diberikan kalau kemampuan pengasuh tidak mampu menciptakan

suasana pembelajaran yang nyaman serta pandai menggunakan sumberdaya di sekitar.

Sehingga dapat menarik perhatian nara didik terlibat proses pembelajaran.

Penguatan sumberdaya nara didik jenjang anak dan remaja yang selama ini

sudah dilakukan dalam bentuk PBM, bimbingan pengasuh, penataran pengasuh,

pelatihan kepemimpinan anak dan remaja, evaluasi akhir semester dan sebagainya, tentu

tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan fasilitas yang menunjang pembelajaran. Oleh

karena itu fasilitas/alat pembantu mengajar atau alat peraga tersebut juga merupakan hal

penting yang dibutuhkan dalam PBM, sehingga penerapan garis-garis besar pokok

pengajaran sesuai topik ataupun konteks yang akan diajarkan lebih optimal.

c. Katekisasi.

Katekisasi merupakan jenjang pendidikan formal gereja tertinggi bagi anggota

jemaat yang akan diteguhkan menjadi anggota sidi gereja. MJ GPM Rehoboth

melakukan pembinaan katekisasi terhadap anggota jemaat yang berasal dari berbagai

latar belakang dan usia (khususnya yang belum sidi). Jumlah siswa yang terdaftar

(13)

orang tenaga pengajar. Tenaga pengajar katekisasi adalah yang memiliki latar belakang

sebagai Pendeta dan Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK). Materi pembelajaran

yang diberikan kepada siswa adalah yang sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh

Sinode GPM. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum berbasis konteks dan

merupakan kelanjutan dari kurikulum SM-TPI.

Dalam perkembangannya ternyata pembinaan katekisasi juga memiliki beberapa

kendala antara lain:

1) Para orang tua belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya

proses pembinaan secara berkelanjutan terhadap perkembangan

rohani seorang anak dalam keluarga kristen. Kebanyakan masih

memiliki pemahaman bahwa katekisasi hanya merupakan

kebijakan formalitas yang harus diikuti oleh seluruh umat dalam

suatu jemaat. Ketidakseriusan para orang tua tampak terlihat

ketika baru mendaftarkan anaknya setelah katekhisasi berjalan

selama 2-3 bulan.

2) Dari sisi nara didik, sebagai siswa katekisasi juga ternyata ada

yang sangat sulit menerima materi-materi yang disampaikan.

Kesulitan ini lebih diakibatkan karena ternyata nara didik

tersebut tidak mengikuti program pendidikan di tingkat SM-TPI,

sehingga tidak ada keberlanjutan di dalam pembelajaran atau

proses pembinaan terhadap anak.

3) Waktu katekisasi 1 kali seminggu dan kurang dari 2 jam,

(14)

keseluruhan materi dalam kurikulum yang dipakai tersebut,

apalagi dalam perjalanannya diselingi dengan waktu libur.

D. Gambaran Umum Kondisi Kepemudaan Jemaat GPM Rehoboth

Pemuda merupakan penerus perjuangan generasi terdahulu untuk mewujukan

cita-cita bangsa. Pemuda menjadi harapan dalam setiap kemajuan di dalam suatu

bangsa, Pemuda lah yang dapat merubah pandangan orang terhadap suatu bangsa dan

menjadi tumpuan para generasi terdahulu untuk mengembangkan suatu bangsa dengan

ide-ide ataupun gagasan yang berilmu, wawasan yang luas, serta berdasarkan kepada

nilai-nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Baik buruknya suatu masyarakat dilihat dari kualitas pemudanya, karena

generasi muda adalah penerus dan pewaris Bangsa, Negara dan Gereja. Generasi muda

harus mempunyai karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan Gerejanya,

memiliki kepribadian tinggi, semangat nasionalisme, berjiwa saing, mampu memahami

pengetahuan dan teknologi untuk bersaing secara global. Pemuda juga perlu

memperhatikan bahwa mereka mempunyai fungsi sebagai Agent of change, moral force

and sosial kontrol sehingga fungsi tersebut dapat berguna bagi masyarakat.

Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen

perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional. Peran aktif pemuda sebagai

kekuatan moral diwujudkan dengan menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas

dalam bertindak pada setiap dimensi kehidupan kepemudaan, memperkuat iman dan

(15)

kontrol sosial diwujudkan dengan memperkuat wawasan kebangsaan, membangkitkan

kesadaran atas tanggungjawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara,

membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum, meningkatkan

partisipasi dalam perumusan kebijakan publik, menjamin transparansi dan akuntabilitas

publik, dan memberikan kemudahan akses informasi.

Dalam proses pembangunan masyarakat, pemuda merupakan kekuatan moral,

kontrol sosial, dan agen perubahan sebagai perwujudan dari fungsi, peran, karakteristik,

dan kedudukannya yang strategis dalam pembangunan nasional. Untuk itu, tanggung

jawab dan peran strategis pemuda di segala dimensi pembangunan perlu ditingkatkan

dalam kerangka hukum nasional sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam Pancasila

dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan

berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, kebangsaan, kebhinekaan,

demokratis, keadilan, partisipatif, kebersamaan, kesetaraan, dan kemandirian.

Gereja protestan Maluku memiliki organisasi kepemudaan yang dikenal dengan

sebutan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (disingkat AM-GPM). Organisasi

tersebut memiliki cabang dan ranting di semua wilayah GPM. Secara operasional

memiliki tujuan membina Pemuda GPM sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai Injili

agar memiliki ketahanan iman, iptek, sosio ekonomi, sosio budaya dan sosio politik

untuk mewujudkan tanggung jawabnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Sesuai Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga

AM-GPM Bab VIII tentang Keanggotaan, pasal 12 menyebutkan anggota AM-AM-GPM adalah

semua Anggota GPM yang berusia 17-45 tahun. Sedangkan menurut UU Kepemudaan

(16)

Dalam teori perkembangan kognitif Piaget57 usia 11 tahun sampai dewasa

merupakan kategori usia dengan periode operasi berpikir formal. Di dalam proses

periode ini, kekuatan baru kognitif mereka bisa mengarah kepada idealisme dan

utopianisme yang mengejutkan. Pikiran idealistik dan utopis seperti itu membawa di

dalamnya sejenis egosentrime baru. Egosentrisme mengacu pada ketidakmampuan

untuk membedakan perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain. Mereka bermimpi

tentang ―masa depan yang menakjubkan atau mentransformasi dunia lewat ide-ide tanpa

berusaha mengetes pikiran-pikiran mereka di dalam realitas.

Dalam masa-masa pertumbuhan mencari jati diri, tahap perkembangan ini

memperlihatkan masa transisi yang berdampak luar biasa terhadap moralitas pemuda.

Kondisi pemuda yang sementara labil ini sangat rentan terhadap berbagai persoalan,

apalagi jika tidak memiliki pegangan yang kuat, karena harus berhadapan dengan

berbagai pengaruh dari lingkungan di sekitarnya. Kerentanan mereka terhadap berbagai

pengaruh, dapat membawa pada pergaulan yang negatif. Hal inilah yang ditunjukkan

dalam konteks kehidupan pemuda di Kelurahan Batu Gantung, jemaat GPM Rehobot.

Kaum muda yang notabene berada pada usia produktif, terlibat dalam pergaulan

kelompok-kelompok tertentu. Pergaulan kelompok-kelompok ini, dapat menjurus pada

hal-hal yang negatif, walaupun ada potensi-potensi positif yang sesungguhnya dapat

mereka kembangkan. Hal ini tercermin dari kehidupan mereka sehari-hari yang sering

duduk bergerombolan di pingggiran jalan, melakukan perjudian, balapan liar, minuman

keras. Dan terakhir konflik komunitas.

57

(17)

Walaupun tidak semua hal yang dilakukan oleh kelompok pemuda ini negatif,

karena ada kegiatan-kegiatan positif yang juga biasa dilakukan untuk memberikan rasa

persaudaraan tetapi juga menimbulkan rasa bangga bagi tempat tinggal mereka. Peran

positif mereka terlihat dalam proses pembuatan taman Batu Gantung, selain itu mereka

juga terlibat dalam di grup tari (Bagada dance) dan kelompok balap motor resmi dan

juga aktif dalam organisasi-organisasi gerejawi seperti seperti, Gerakan Mahasiswa

Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Anak Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan

Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AM-GPM).

E. Faktor-faktor Terjadinya Konflik

Berikut ini akan di paparkan mengenai kondisi sosial yang berkorelasi dengan

fokus kajian yang diteliti berkaitan dengan konflik dua komunitas Pemuda Batu

Gantung. Seperti telah disebutkan bahwa Jemaat GPM Rehoboth memiliki potensi

konflik cukup besar di beberapa titik pelayanannya. Namun, sejauh yang diketahui,

konflik dua Komunitas pemuda yang terjadi Batu Gantung Dalam dan Batu Gantung

Ganemo merupakan konflik yang tingkat eskalasinya tinggi.58 Oleh karenanya

menimbulkan keresahan bagi masyarakat Ambon.

Di bagian terdahulu, sudah disebutkan kondisi umum Jemaat Rehoboth. Mulai

dari kondisi pendididikan, mata pencaharian, putus sekolah dan kondisi pelayanannya

semuanya memberikan petunjuk bahwa jemaat Rehoboth mengalami ketidakberdayaan

di hampiir semua sisi pelayanan. Kondisi-kondisi sosial yang demikian berpotensi

konflik. Seperti yang akan dipaparkan berikut ini.

58

(18)

Kapan mula terjadinya konflik antara dua kelompok pemuda batu gantung

hampir tidak dapat dipastikan. Tetapi yang pasti kejadian ini sudah berlangsung lama.

Secara ekslusif dibenarkan oleh Bapak N Soumokil.59

a. Heterogenitas.

Gereja Protestan Maluku hidup dan berkembang dalam suatu realitas masyarakat

heterogen, secara etnis, agama, budaya dan ras. Realitas ini merupakan suatu

keniscayaan sosiologis dan bersifat taken for granted. Dan dari sekian banyak ragam

masyarakat tersebut, yang paling dominan adalah kemajemukan masyarakat dari aspek

etnis dan agama (etnoreligius). Enam etnis tersebut terdiri dari etnis Ambon dan Lease

sebanyak 52,37 persen dan tersebar pada 52 unit pelayanan, Maluku Tenggara Barat

sebanyak 19,10 persen dan tersebar pada 47 unit pelayanan, Maluku Tenggara sebanyak

17,18 persen dan tersebar pada 40 unit pelayanan, Seram/Banda sebanyak 5,03 persen

dan tersebar pada 35 unit pelayanan, Buru sebanyak 4,01 persen dan tersebar pada 11

unit pelayanan serta lain-lain (Batak, Papua, Jawa, Sulawesi, dan sebagainya) 2,31

persen dan tersebar pada 25 unit pelayanan (lihat tabel VI).

59

(19)

Tabel VI

Prosentase Jumlah Anggota Jemaat GPM Rehoboth Berdasarkan Daerah Asal (Komunitas)

No Komunitas Jumlah Jiwa Persen Tersebar

1.

Nilai-nilai kultural yang selama ini menjadi benteng perekat hidup orang

basudara (bac: secara kekeluargaan) dengan pendekatan pela gandong60 mulai dirasuki

dengan kepentingan kolonial. Bahasa lokal sebagai identitas perlahan-lahan punah

akhirnya masyarakat seolah-olah kehilangan jati dirinya. Pasca penjajahan sampai masa

orde baru telah mengerus pranata-pranata adat yang selama ini hidup dan berkembang di

masyarakat dimusnahkan secara sistematis dengan diberlakukan kebijakan

penyeragaman.

Selain memiliki keragaman etnis, kedudukan Jemaat GPM Rehoboth juga

bersentuhan langsung dengan 14 komunitas gereja-gereja saudara (dedominasi),

komunitas agama Katolik dan komunitas agama Islam. Untuk komunitas agama Islam,

bersentuhan langsung dengan anggota jemaat pada sektor Bethania, Elim, dan Petra,

sedangkan pada beberapa sektor lainnya bersentuhan dengan masyarakat pemeluk

agama Katolik maupun penganut Gereja Saudara.

60

(20)

Konflik sosial pada tahun 1999-2004 yang memporak-porandakan pondasi hidup

beragama dan persaudara sebagai orang basudara Salam-Sarane (Islam-Kristen)

sebagai kearifan lokal, serta hubungan-hubungan kultural yang selama ini hidup dan

berkembang dalam masyarakat menjadi hancur. Setelah merajut kembali tatanan

kehidupan orang basudara pasca konflik dimaksud, dihancurkan lagi oleh badai konflik

11 September 2011. Daerah permukiman Sektor Elim dan Betahania yang merupakan

permukiman Kristen dan berbatasan langsung dengan kelompok Muslim di Kampung

Beringin dan Telkom sebagian porakporanda dan hancur. Jatuhnya korban jiwa dan

hilangnya harta benda pada kedua komunitas merupakan implikasi dari arogansi

manusia yang terbakar emosi akibat ketahanan diri jemaat yang sangat rentang terhadap

isu provokatif.

Disamping konflik antar komunitas agama, juga sering terjadi konflik antar

komunitas di dalam Jemaat GPM Rehoboth yang melibatkan warga jemaat pada wilayah

Batu Gantung dan Kampung Ganemo, Kudamati (Farmasi) dengan Lorong Rumah

Tingkat, Air Putri dengan Wainitu belakang bengkel Super Star, lorong Merpati dengan

Air Putri. Sementara potret bergereja dalam kaitan hubungan dengan gereja-gereja aliran

sering terjadi konflik interes berkaitan dengan perebutan anggota jemaat akibatnya status

ganda warga jemaat tidak dapat terhindarkan.

Konflik antar warga GPM dan gereja saudara disebabkan aspek dogma, ajaran

maupun klaim-mengklaim kebenaran dalam melaksanakan penginjilan. Dokumen

keesaan gereja yang menjadi payung aspek legalitas dalam praktek bergereja terabaikan

(21)

Karena keberagaman merupakan realitas yang niscaya, dalam bentuk apa pun

dan di mana pun, sikap inklusif pun menjadi suatu keniscayaan. Di sinilah kemudian

muncul satu cara interaksi sosial antar keyakinan, agama kelompok, etnis dan ideologi,

yakni apa yang biasa disebut sebagai ”dialog”. Karena itu, setiap pemeluk agama harus

menyadari kenyataan tentang pluralisme ini, sebab hanya dengan kesadaran inilah

hubungan dialogis antar umat beragama bisa dibangun.

b. Hubungan putra-putri (hungan berdasarkan cinta)

Informasi yang berkembang di masyarakat sejauh ini menyebutkan bahwa

konflik Batu Gantung mulai terjadi ketika saat itu terjadi miskomunikasi dua kelompok

pemuda berbeda dalam hal melihat permasalahan yang sedang dialami oleh dua

pasangan muda-mudi yang saat itu sedang menjalankan hubungan berpacaran yang nota

bene berasal dari dua komunitas Batu Gantung Dalam dan Pemuda Batu Gantung

Ganemo.61 Permasalahan ini tidak ditangani secara baik, terutama keluarga dari dua

belah pihak sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasaan kedua belah pihak.

c. Minuman Keras (Sopi)

Konflik tidak selalu bersifat tunggal. Inilah menjadi dasar mengapa konflik Batu

Gantung hampir terus terjadi dan bereskalasi dalam proses sosial masyarakat disana.

Karena konflik selalu merambat dan melilit masuk ke dalam elemen-elemen masyarakat,

maka faktor penyebab konflik di Batu Gantung tidak hanya di akibatkan gagalnya

hubungan pacaran yang berakhir dengan konflik. Konflik Batu Gantung juga di picu

hal-hal lain, seperti disampaikan oleh Ny L Pattiwael. Menurutnya konflik juga dipengaruhi

oleh faktor peredaran dan penggunan minuman keras.

61

(22)

Sopi adalah salah satu dari jenis minuman keras yang cukup banyak beredar di

tengah masyarakat Kota Ambon. Sopi terbuat dari hasil olahan air enau (tifar mayang).

Kadar alkoholnya sangat tinggi sehingga dengan cepat bisa mempengaruhi kesadaran

pikiran bagi mereka yang menggunakannya.

Di Kota Ambon dan sekitarnya sopi sering digunakan dalam pergelaran adat.

Berkaitan dengan acara nikah adat, acara masuk rumah baru, buka sasi adat bahkan

untuk menjaga stamina tubuh. Namun sering kali orang mengkonsumsinya di luar acara

adat atau digunakan dalam kadar yang tidak terbatas pada moment-moment yang tidak

resmi. Terutama hal itu dilakukan oleh pemuda-pumda Batu Gantung yang di

latarbelakangi oleh tujuan ―senang-senang‖ tetapi juga karena wujud solidaritas di antara

mereka.

d. Tegur Sapa

Masyarakat Ambon dapat dibilang masih kental dengan tata cara hidup

persaudaraan. Hal ini dapat ditunjukan dari pergaulan masyarakat sehari-hari. Mislanya

ketika berpapasan dengan orang lain, mereka bertegur sapa. Walaupun ada diantara

mereka tidak sempat kenal.

Tata krama seperti ini kelihatannya cukup sederhana dan kelihatan tidak ada

artinya. Tetapi dalam tata cara pergaulan masyarakat di Kota Ambon dan sekitarnya hal

itu justru memiliki arti yang cukup penting. Sebab tata cara pergaulan semacam ini

dilakukan dengan kesadaran sebagai bentuk integrasi masyarakat. Jika seorang individu

atau kelompok bertemu baik tidak sengaja disuatu tempat tanpa memberikan ucapan,

dianggap tidak tahu menghargai orang lain. Ganjaran yang diberikan terhadap mereka

(23)

bentuk peringatan untuk menunjukan bahwa perilaku yang bersangkutan sudah

menyinggung perasaan pihak lain. Seperti disampaikan seorang pemuda Batu Gantung

Dalam. ―Dong kalo jalan paling susah kase suara katong‖62

(artinya: mereka paling sulit

menyapa kita). Kondisi ini dapat saja menghasilkan mispersepsi yang memungkinkan

terjadinya konfrontasi fisik. Dan kecenderugan semacam ini selalu nampak dalam

pergaulan pemuda-pemuda Batu Gantung.

e. Kemiskinan

Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan ini bahwa, diawal tahun 1999

Maluku mengalami tragedi kemanusian yang menyebabkan tewasnya ribuan korban

jiwa dan melululantahkan ribuan rumah. Selain itu terjadi pengungsian besar-besaran,

dari dan keluar wilayah Maluku. Menurut beberapa pihak tragedi kemanusian yang

terjadi di Maluku dan Maluku Utara merupakan konflik antara dua komunitas agama

Kristen dan Islam. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa konflik adalah akibat dari

pengaruh kelompok pendukung pro-reformasi versus elit pro-Orde Baru yang

memunculkan segregasi sosial-politik sehingga memicu terjadi konfrontasi fisik yang

pada akhirnya agama dijadikan alat untuk memperluas jangkauan pengaruh di dalam

masyarakat yang destruktif.63

Situasi pasca konflik secara khusus di Kota Ambon saat ini memang tidak

separah beberapa tahun lalu dimana hampir seluruh kantor-kantor pemerintah dan

swasta tidak beroperasi karna vasilitasnya di rusak, di bakar dan dihancurkan.

Rumah-rumah ibadah juga menjadi sasaran empuk amukan massa dari kedua belah pihak yang

62

Johanes, bukan nama sebenarnya. 9 Oktober 2014

63

(24)

sedang bertikai. Akibat lainnya ialah hancurnya sentra-sentra ekonomi dan hilangnya

mata pencaharian ekonomi warga. Tetapi telah terjadi pembenahan di hampir semua

sektor kehidupan. Saat ini pemerintah dan masyarakat rame-rame membangun kembali

kondisi kota yang sempat hancur itu. Mulai dari membangu kembali gedung-gedung

pemerintahan, vasilitas umum seperti jalan-jalan protokol dan sejumlah rumah–rumah

ibadah. Dibangun juga pasar-pasar baru dan revitalisasi pasar-pasar lama. Dibukanya

juga lowongan pekerjaan Pegawai Negri Sipil (PNS), lowongan pekerjaan Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri). Hanya saja, semua

upaya pembangunan infrastruktur pasca konflik belum mampu mengentaskan

kemiskinan.

Menurut data Rencana Strategi (Renstra) Jemaat GPM Rehoboth tahun

2012-2016. Terdapat sekitar 785 kepala keluarga (KK) miskin. Selain itu, terdapat kategori

keluarga penyandang masalah sosial, meliputi; janda 371 orang, cacat fisik 42 orang,

cacat mental 26 orang, anak yatim/piatu 286 orang, serta duda 102 orang.

Dari data tersebut, ternyata kondisi ekonomi jemaat berkorelasi dengan konflik

Batu Gantung. Seperti yang diungkapkan Bapak N Soumokil. ―pemuda-pemuda yang

berasal dari kalangan keluarga miskin cenderung melampiaskan rasa frustrasi mereka

dengan cara mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan sehingga menimbulkan

hilangnya kontrol diri. Ketika kehilangan kontrol diri akibat pengaruh alkohol dapat

dengan muda mendorong perbuatan makar‖.

Akibat lain, hilangnya kontrol diri karena telah dipengaruhi alkohol ialah sering

mengeluarkan kalimat-kalimat tidak senonoh. Situasi ini dengan mudah memprovokasi

(25)

kelompok lain, maka dengan cepat dapat menimbulkan kegaduhan dan

tindakan-tindakan yang mengarah pada suatu tindakan-tindakan kekerasan.

Lebih parahnya lagi, walau sudah mendapat laporan masyarakat namun aparat

keamanan terkesan tidak responsif terjun cepat ke tempat kejadian perkara. Ketika

konflik lamban ditangani maka akan sangat cepat menyebar ke lokasi lainnya. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa ada unsur pembiaraan pemerintah melalui aparat

keamanan dalam memberikan rasa aman.

f. Sentiment Etnis

Ambon menjadi salah satu pusat perjumpaan masyarakat dari berbagai daerah

karena statusnya sebagai Kota Madya. Hal ini mempengaruhi masyarakatnya sangat

heterogenitas secara agama, budaya dan etnis. Kondisi ini juga secara otomatis

menyebabkan terjadinya perubahan struktural yang terjadi terus menerus dalam

masyarakat. Perubahan tersebut meliputi perubahan perilaku, yang dilandasi oleh konsep

pengendalian diri dan kelembagaan, perilaku yang beroryentasi pada rasionalitas dan

fungsi, kebauran dan diversivikasi Kultural.

Masalah utama yang paling sering dihadapi masyarakat semacam ini, ialah

adanya persaingan memperebutkan pengaruh untuk menguasai sumber daya ekonomi

bahkan persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan mendapatkan keuntungan secara

kultural yang dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Dalam masyarakat

heterogen, biasanya menginginkan bermacam-macam hak yang dipertimbangkan demi

mempertahankan identitas kolektif mereka64.

64

(26)

Hal yang paling mungkin terjadi dari kondisi seperti ini ialah adanya persaingan

yang kurang sehat sehingga dapat memicu terjadinya sentiment terhadap yang

berbeda-beda itu dalam hal ini etnis. Parahnya lagi perasaan semacam itu seharusnya tidak hidup

dan berkembang dalam masyarakat yang dikelilingi rumah-rumah ibadah. Tetapi

tampaknya tidak demikian bagi sebagian anggota jemaat Gereja Rehoboth. Akibat yang

ditimbulkan ialah sering terjadi gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang

diungkapkan beberapa anggota masyarakat yang ditemui. ―dong kamari bawa dong pung

kalakuang seng bae tu (artinya: mereka yang datang dari luar Ambon bawa-bawa

mereka punya perilaku busuk )‖65. ―Memangnya dorang sapa la datang kase rusak

katong? (artinya: mereka itu siapa lalu datang merusak—tatanan masyarakat)66. Dong tu

memang kasta biadab. (artinya: mereka dari kasta biadab).67 Katong tau kamong orang

Ambon tapi jang biking katong bagini.68 (artinya: katong tau kalian orang Ambon tapi

jangan perlakukan kita begini). Sapa juga pusing deng kamong. Kamong bikin katong

jua biking. Katong lia sapa yang jago (siapa juga yang mau ambil pusing, kalian bikin

kita juga bikin)69

Tampaknya masing-masing etnis menyatakan keberatan dan cenderung

membenarkan sikap mereka masing-masing. Mereka ingin diakui dan dihargai namun

kelihatannya sangat sulit mempertemukan kesamaan dan ternyata perbedaan yang selalu

dikemukakan. Pada akhirnya menimbulkan konflik.

65

Wawancara dengan sdr. Ongen (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. Pada tanggal 10 Oktober 2014.

66

Wawancancara dengan sdr Welim (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. 11 Oktober 2014

67

Wawancara dengan sdr. Buce (bukan nama sebenarnya), warga etnis Ambon. 12 Oktober 2014

68

(27)

g. Relasi dengan Gereja ber-Aliran Karismatik dan Pentakostal

Gereja adalah persekutuan umat percaya yang dipanggil dan diutus oleh Allah

untuk memberitakan Injil kepada semua mahkluk (Markus 16:15); menampakkan

keesaan mereka seperti keesaan Tubuh Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu

Roh (I Korintus 12:4); menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha menegakkan

keadilan (Markus 10:45, Lukas 4:18, 10:25-37; Yohanes 15:16). Tugas panggilan gereja

ini sama dan tidak berubah. Dalam hubungan ini, maka gereja–gereja berkepentingan

untuk merawat dan memelihara kebersamaannya dalam aksi untuk implementasi misi

yang satu, seperti yang disebutkan di atas. Untuk itu, pada tahun 1950 gereja-gereja di

Indonesia telah merumuskan kehadirannya secara strategis sebagai bagian yang integral

dari masyarakat Indonesia, untuk menyatakan misinya dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara dengan membentuk Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yang kemudian

menjadi Persekutuan Gereje-gereja di Indonesia (PGI) pada Sidang Raya di Ambon.

Sekalipun kesejarahan dan tradisi masing-masing gereja berbeda, namun misi panggilan

dan pengutusannya satu. Dalam semangat dan dinamika itu, gerakan oikumene berada

dalam lintasan sejarahnya untuk membantu gereja-gereja agar terus konsisten menjaga

kebersamaannya dan secara strategis menyatakan misinya di tengah realitas kehidupan

bermasyarakat dan berbangsa.

Upaya merawat dan menjaga kebersamaan tersebut didasarkan pada kesepakatan

bersama gereja-gereja di Indonesia yang dinyatakan dalam Dokumen Keesaan Gereja

yang terdiri dari masing-masing dokumen yaitu:

a. Pokok-pokok Tugas Panggilan

(28)

b. Pemahaman Bersama Iman Kristen

c. Oikumene Gerejawi

d. Tata dasar Persekutuan

Gereja-gereja di Indonesia dan Tata Rumah

Tangga Persekutuan Gereja-gereja

di Indonesia.

Dalam perkembangan gerakan Oikumene di Indonesia, GPM terlibat aktif sejak

berdirinya sampai sekarang. Tercatat sejumlah pendeta GPM yang terlibat dalam

kepemimpinan DGI/PGI, ini memperlihatkan komitmen GPM terhadap Gerekan

Oikumene. Begitu juga, GPM menjadi pendiri dan anggota GPI, Dewan Gereja-Gereja

di Asia (CCA), anggota gereja-gereja Reformis se Dunia (WARC) dan anggota Dewan

Gereja-Gereja se Dunia (DGD/WCC). Dengan begitu, Jemaat GPM Rehoboth pun

merasa berkewajiban untuk merawat dan membangun kehidupan oikumenis di wilayah

pelayanannya. Dan ini adalah wujud dari sebuah tanggung jawab teologis sebagai gereja

yang esa.

Prinsipnya saling menghargai selalu dikedepankan dalam relasi sosial

masyarakat. Termasuk saling menghargai teologi yang dianut masing-masing organisasi

gereja. Namun pada kenyataanya, kondisi sebaliknya sering terjadi. Menurut Bapak N

Soumokil, ―bentuk pekabaran injil dari anggota gereja-gereja beraliran karismatik dan

pentakostal di wilayah jemat GPM Rehoboth, seperti menarik orang masuk dalam gereja

mereka mengakibatkan terjadinya gesekan antar anggota gereja yang berbeda itu.

“Banyak anggota kita yang tidak senang dengan metode pekabarana injil tersebut

(29)

anggota kami akan cara mereka menginjili. Mereka (anggota jemaat GPM Rehoboth)

menganggap penginjilan sebagai bentuk pemaksaan”.

h. Penegakan Hukum

Indonesia merupakan negara hukum. Segala bentuk tindakan yang dipandang

melawan hukum biasanya diselesaikan secara hukum pula. Meskipun begitu, beberapa

wilayah di Indonesia khususnya pada wilayah rawan konflik penegakan hukum masih

belum maksimal. Hal itu bisa saja menyangkut profesionalisme aparat penegak hukum

dalam menangani perkara hukum. Begitu halnya sebagaimana yang terjadi dalam

konflik pemuda Batu Gantung dalam dan Batu Gantung Ganemo.

N. Soumokil, sekertaris Majelis Jemaat dan J. M Souhoka, Ketua Majelis jemaat

memastikan bahwa konflik komunitas di Batu Gantung situasinya diperparah

penanganan hukum yang lemah sehingga kasus-kasus pelanggaran yang sudah terjadi

berulang-ulang statusnya hukumnya belum jelas atau tuntas. ―berarti itu bentuk

pembiaraan‖ sebagaimana dikatakan oleh Bapak N Soumokil. ―Rasasanya aparat

penegak hukum belum bersikap professional menjalankan fungsinya‖ demikian ucapan

yang keluar dari mulut Bapak J. M Souhoka.

Dalam kasus seperti ini, hukum harus ditegakan. Selain menimbulkan kepastian

hukum bagi korban-korban yang menuntut keadilan hukum tetapi juga sebagai upaya

untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan. Tugas seperti ini

terutama menjadi tugas wewenang aparat kepolisian. Sebab kalau tidak ada tindakan

(30)

F. Upaya-upaya terhadap Pendekatan Konflik

Majelis Jemaat Rehoboth sangat memandang serius konflik yang terjadi antar

pemuda batu gantung yang biasanya disebut “konflik keumatan” dengan menempuh

beberapa cara. Maka pada bagian ini akan dijelaskan tentang mekanisme penyelesaian

konflik yang selama ini dilakukan.

a. Strategi Penyelesaian Konflik dengan Komunikasi Persuasif yaitu oleh Majelis Jemaat Rehoboth

Ketika konflik pecah, hal yang umum dilakukan untuk mengatasinya ialah

melalui komunikasi persuasif. Biasanya, baru mendengar laporan bahwa telah terjadi

kekisruhan antar dua kelompok bertikai, unsur MJ langsung turun ke tempat kejadian

perkara. Setelah berada di lokasi kejadian, biasanya unsur MJ langsung membangun

komunikasi dengan kedua belah pihak dalam bentuk ―himbauan‖ dengan tujuan supaya

masing-masing pihak segera menghentikan kekisruhan dan kembali tenang. Hal itu

sebagaimana disampaikan ketua Majelis Jemaat GPM Rehoboth ―kami melakukan

tindakan pencegehan dini. Caranya langsung turun ke lapangan berdasarkan konfirmasi

anggota jemaat kami yang kebetulan berada di lapangan‖.70

Jadi, strategi penyelesaian konflik melalui komunikasi persuasif bertujuan untuk

mengubah atau memengaruhi sikap dan perilaku dua belah pihak sehingga kedua belah

pihak dapat menyudahi konflik dan membuka kesempatan bagi tindakan penyelesaian

yang lebih permanen. Tergantung tingkat eskalasinya. Sejauh ini tindakan tersebut

berhasil walaupun tidak selalu berjalan mulus. Ada beberapa alasan, Pertama, dua pihak

(31)

bertikai cukup menghargai otoritas gereja sebagai lembaga etik-moral yang

direpresentasikan oleh majelis jemaat sebagai pemimpin gereja. Artinya, sumber pesan

atau komunikator mempunyai kredibilitas yang tinggi untuk mempengaruhi subjek.

Kedua, dua kelompok yang bertikai merupakan anggota gereja Rehoboth, sehinga ada

pengaruh lingkung didalam proses ini. Ketiga. Tidak dengan kekerasan. Keempat. ada

keinginan dua kelompok bertikai untuk mengakhiri konflik.

Persoalannya apakah cara yang demikian selalu berhasil? Fakta menunjukan

cara-cara tersebut memiliki celah yang cukup lebar sehingga sulit di kecilkan dan

pelaksanaannya tidak selalu berhasil. Ada beberapa alasan mengapa cara tersebut tidak

selalu berhasil; Pertama, apabila kelompok pemuda bertikai dikendalikan minuman

keras/alkohol. Kedua, apabila konflik terjadi di malam hari. Dua kelompok bertikai

kemungkinan tidak dapat mengenali kehadiran pihak-pihak yang menghendaki

perdamaian. Ketiga, ditengarai ada keterlibatan provokator yang menginginkan susana

gaduh dan tegang sehingga konflik tetap berjalan terus. Keempat, tidak semua pihak

bertikai adalah warga jemaat Rehoboth sehingga tidak ada hubungan emosional.

b. Upaya Pendekatan Represif yaitu oleh Kepolisian

Pendekatan represif oleh aparat kepolisian merupakan langkah pengendalian

sosial, bertujuan agar dua pihak dapat mematuhi norma dan nilai sosial yang ada dalam

masyarakat. Sehingga tercipta ketentraman sosial. Pengendalian dilakukan setelah orang

melakukan suatu tindakan penyimpangan sosial. Dan cenderung dilakukan secara tegas

(32)

Berkaitan dengan fungsi dan tugasnya, kepolisian sebagai instrument negara

bertanggung jawab terhadap keamanan sipil. Biasanya kehadiran mereka dilengkapi

alat-alat keamanan berupa tameng, senjata api, water canon, senjata gas dan lain-lainnya.

Kelengkapan tersebut biasanya menimbulkan tekanan psikologis pada masyarakat.

Olehnya ketika kehadiran polisi warga yang sedang bertikai langsung membubarkan

diri.

Tetapi sejalan dengan meningkatnya ekskalasi konflik, biasanya mereka tidak

lagi menghiraukan kehadiran aparat kepolisian. Hal itu disebabkan atas beberapa hal.

Pertama, tidak netralnya aparat kepolisian dalam beberapa kasus mempengarahui

rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi tersebut. Kedua,

Penggunaan tindakan fisik justru semakin meningkatkan adrenalin kelompok pemuda

bertikai. Ketiga, masyarakat cenderung memandang rendah profesi kepolisian

menyebabkan institusi negara ini kehilangan kewibawaan di hadapan masyarakat.

Olehnya, aparat kepolisian tidak bisa bekerja sendiri secara independe.

c. Upaya Mediasi yaitu oleh Gereja

Setelah melakukan pendekatan persuasif, Gereja mengambil langkah-langkah

lanjutan yaitu dengan mediasi. Proses ini melibatkan Gereja dan dua komunitas pemuda

bertikai. Dalam proses-proses mediasi, Gereja sempat mengundang bersama aparat

kepolisian dan pemerintah setempat bertindak sebagai mediator. Tetapi dilakukan sesuai

fungsi dan kewenangan mereka masing-masing.

Proses awal mediasi yaitu, Gereja melakukan pendekatan dengan beberapa tokoh

(33)

untuk menengahi konflik dan meminta kesedian dari dua kelompok bertikai hadir dalam

satu kesempatan pada tanggal yang sudah sama-sama ditetapkan.

Pada waktu pelaksanaan, tidak semua anggota kedua kelompok yang bertikai

terlibat dalam proses mediasi. Mereka yang diundang hanya tokoh kunci yang dianggap

berpengaruh dan dihormati. Pelaksanaan mediasi dilakukan bukan di hotel atau di rumah

warga, melainkan di gedung gereja. Beberapa gedung gereja seperti Gereja Calvari,

Betlehem dan gedung gereja Rehoboth menjadi pusat mediasi. Tiga gedung gereja ini

tidak jauh dari lingkungan tempat tinggal dua komunitas pemuda bertikai. Selain gedung

gereja, kediaman dinas wali kota Ambon juga sempat dijadikan lokasi berlangsungnya

mediasi.71

Dalam proses mediasi, mediator dan pihak-pihak bertikai sama-sama menggarap

apa yang dipertikaikan. Artinya mereka sama-sama terlibat mencari

kesepakatan-kesepakatan damai. Pihak-pihak bertikai diberikan kesempatan untuk memaparkan

sebab-sebab terjadinya konflik dengan versi mereka masing-masing. Dalam proses

mediasi, sering terjadi kegaduhan karena kedua pihak bertikai bertengkar mulut untuk

memposisikan sebab dari konflik. Mediator mendengar dan memberikan kesimpulan.

Beberapa kali mediasi dilakukan dan pada akhirnya muncul sebuah kesepakatan

damai yaitu; kedua belah pihak bersedia menghentikan konflik tetapi pelaku-pelaku

yang dianggap bertanggung jawab segera diproses hukum untuk memberikan efek jera

dan memberikan rasa aman.

71

(34)

Proses-proses mediasi sering diwarnai interupsi dari pihak mediator dalam hal ini

Gereja. Dalam setiap sesi, Gereja selalu mengingatkan dua belah pihak untuk sesegera

menghentikan pertikaian. Menurut pihak mediator, konflik yang terjadi antara dua

komunitas pemuda ini bukanlah hal baru, oleh karena itu tidak ada alasan untuk kedua

belah pihak mengulanginya kembali.72 Gereja sebagai pihak mediator sering kali

menegur dan tidak segan-segan mencap buruk tindakan dua belah pihak. Selain itu

(mereka) oleh Gereja diberikan ayat-ayat Alkitab yang menegaskan tindakan yang

menimbulkan konflik secara teologis tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan

manusia dan Tuhan. Selain itu juga, pihak bertikai sering mendapat ancaman. Ancaman

tersebut berupa, tidak akan dilayani kebutuhan rohaninya, dan pencabutan status

keangotaan gereja.73 Proses mediasi seperti ini terus diulangi apabila terjadi lagi konflik.

Pihak-pihak bertikai diajak duduk kembali membahas masalah yang di pertikaikan.

d. Pendekatan Pelayanan dan Konseling Pastoralia oleh Gereja

Gereja terus menunjukan komitmennya untuk mendamaikan kedua belah pihak

bertikai. Salah satunya adalah melalui pelayanan dan konseling pastoral. Seperti melalui

khotbah-khotbah di mimbar pada saat kebaktian minggu dilakukan. Dalam kebaktian

minggu, biasanya pelayan mimbar menggunakan ayat-ayat Alkitab tertentu sebagai

landasan pemberitaannya.

Dalam pelayanan mimbar, yang diyakini Gereja sebagai bentuk pelayanan

pastoralia seringkali anggota jemaat mendapatkan ―nada-nada keras‖ khusunya

ditujukan bagi anggota jemaat yang berasal dari daerah konflik. Karena bagi Gereja

72

Wawancara dengan bpk N Soumokil. Tanggal 8 Oktober 2014

73

(35)

konflik yang berulang-ulang kali terjadi terlalu berlebihan untuk sebuah persekutuan dan

keutuhan umat.

Selain melalui khotbah di mimbar, Gereja sering melakukan pelayanan pastoralia

dengan mengunjungi anggota jemaatnya dari rumah ke rumah. Bentuk ini dilakukan

dengan alasan agar dapat mengetahui pandangan jemaat mengenai apa yang

sesungguhnya mereka harapkan. Dan sekaligus mereka diberikan kesempatan

menawarkan alternatif penyelesaian yang mereka kehendaki sendiri. Bentuk ini

sekaligus dilihat sebagai tindakan negosiasi untuk meredam kemarahan pihak-pihak

berkonflik (mungkin untuk sementara waktu). Setelah itu ―mereka‖ didoakan secara

khusus dan mendapat nasihat-nasihat rohani.

Bentuk-bentuk diatas sebagai bukti keterlibatan Gereja. Menurut Bapak N

Soumokil dan J. M. Souhoka langkah ini dinilai sedikit efektif. ―dengan bentuk seperti

itu umat merasa kehadiran gereja secara langsung, tetapi juga semakin mengentalkan

Gambar

Tabel I  Jumlah Anggota Jemaat GPM Rehoboth
Tabel II. Klasifikasi Pendidikan Anggota Jemaat GPM Rehoboth
Tabel V Kelompok Mengajar SM-TPI Jemaat GPM Rehoboth
Tabel VI

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data daya serap air papan partikel yang didapatkan di atas, komposisi papan partikel yang terbaik adalah papan partikel dengan perbandingan 70%

memasy asyarak arakatk atkan an per perhat hatian ian khu khusus sus pad pada a seju sejuml mlah ah fak faktor tor. /i /i sisi sisi lai lain n kar karena ena metode

Anak sudah mampu memahami dan menunjukkan bahasa secara reseptif dengan baik SENI Lihat hasil unjuk karya Lihat Hasil unjuk karya Lihat Hasil unjuk karya Lihat hasil unjuk karya

Dalam hal jumlah pita cukai di PPPC yang diajukan diperkirakan tidak mencukupi, pengusaha dapat mengajukan Permohonan Penyediaan Pita Cukai Tambahan (PPPCT); b)

The purpose of this study was to determine the effect of enzymatic oxidation of laccase from Trametes versicolor on the quality of cocoa beans by measuring the total

Berdasarkan 15 atribut yang terdapat pada penelitian ini siswa menilai ketersedian sarana dan media yang digunakan dalam belajar, kenyamanan ruang belajar, lokasi gedung yang

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

Studi ini bertujuan untuk menganalisa kelayakan dari perencanaan PLTMH dengan memanfaatkan debit air sungai dan bangunan irigasi yang dirasa dapat meningkatkan