• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA HIDUP KOMUNITAS COSPLAY JEPANG DI SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GAYA HIDUP KOMUNITAS COSPLAY JEPANG DI SURABAYA."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk

Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.Sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

Iftitakhul Laili Maghfiroh

NIM. B75213048

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Iftitakhul Laili Maghfiroh, 2017, Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang Di

Surabaya, Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Gaya Hidup, Cosplay, Jepang.

Gaya hidup menjadi satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari modernisasi. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan yang diamati pada salah satu fenomena masyarakat hari ini, yakni cosplay. Cosplay sebagai sebuah budaya baru masyarakat modern khususnya kaum muda di Surabaya, adalah muncul dari kegemaran masyarakat terhadap tontonan dan tayangan anime,

manga, game, manhwa, tokusatsu, aplikasi dan hal-hal tentang Jepang

(jejepangan)lainnya, yang cenderung berlebihan dan irasional.

Metode yang dipakai untuk penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan penggalian data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teori yang dijadikan alat analisis gaya hidup komunitas cosplay adalah Hiperealitas Jean Baudrillard dan Fenomenologi Kontrusi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa gaya hidup masyarakat cosplay– meliputi cosplayer, wibu, otaku, kameko dan wota – sangat irasional. Irasionalitas gaya hidupnya terletak pada kegandrungan yang sangat berlebihan akan segala sesuatu yang berbau jejepangan, tanpa memedulikan nilai kegunaan dan nilai kebutuhan demi memenuhi kepuasan yang sama sekali tiada artinya. Juga pada kebiasaannya mencintai jejepangan dengan amat keterlaluan, sehingga menganggap tidak ada sesuatu apapun yang menandingi dan melebihi apa yang telah dihasilkan oleh Jepang.

(7)

DAFTAR ISI

BAB II: ANALISIS KULTUR COSPLAY DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS ... 20

A. Penelitian Terdahulu ... 20

B. Gaya Hidup dan Komunitas Cosplay Jepang ... 22

C. Fenomenologi – Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 35

D. Hiperealitas – Jean Baudrillard ... 40

BAB III: METODE PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

C. Pemilihan Subyek Penelitian ... 51

D. Tahap-Tahap Penelitian ... 52

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Teknik Analisa Data ... 55

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... ... 56

BAB IV: GAYA HIDUP KOMUNITAS COSPLAY JEPANG DI SURABAYA DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS ... 57

A. Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya ... 57

B. Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya ... 64

C. Analisis Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang Di Surabaya... 91

1. Pendekatan Fenomenologi Kontemporer – Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ... 91

2. Pendekatan Hiperealitas – Jean Baudrillard ... 101

BAB V: PENUTUP ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119

(8)

LAMPIRAN-LAMPIRAN Pedoman Wawancara

Dokumentasi dalam Even Cosplay Jadwal Penelitian

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cosplay, secara etimologi, merupakan sebuah kata dalam Bahasa

Inggris yang berasal dari gabungan kata “costume”yang berarti “kostum” dan

play”yang berarti “bermain”. Kata“cosplay”sendiri dibuat oleh orang Jepang

dan kemudian dibakukan dalam kamus Bahasa Inggris. Secara istilah, cosplay

merupakan penamaan untuk sebuah kegiatan atau hobi berpakaian, beraksesori

dan berias wajah ala karakter dalam anime,1manga,2manhwa,3 dongeng, game,

grup musik, film kartun dan tokusatsu4 idola. Pelaku cosplay disebut

cosplayer”, namun di kalangan penggemar, istilah “cosplayer” juga biasa

disingkat menjadi “coser”.

Di Jepang, cosplay dan cosplayer bisa dijumpai dalam acara atau

festival yang diadakan perkumpulan sesama penggemar (dōjin circle), seperti

Comic Market. Penggemar cosplay – baik cosplayer maupun bukan – sudah

tersebar di pelbagai negara, mulai dari Amerika, negara-negara di Eropa, China,

Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia.5

Sejak paruh kedua tahun 1960-an, penggemar cerita dan film fiksi

ilmiah di Amerika Serikat sering mengadakan konvensi fiksi ilmiah. Peserta

konvensi mengenakan kostum seperti yang dikenakan tokoh-tokoh film fiksi

1 Film animasi Jepang.

2 Istilah untuk komik Jepang.

3 Istilah untuk komik Korea.

4 Film dengan efek virtual yang diperankan oleh manusia (bukan 2D), seperti Power Rangers dan

Ultraman.

5“Cosplay” Perubahan terakhir 27 Oktober 2016, https://id.m.wikipedia.org/wiki/cosplay.html.

(10)

ilmiah, salah satunya film Star Trek. Selain itu, dalam budaya Amerika Serikat,

sejak dulu memang sudah mengenal bentuk-bentuk pesta topeng (masquerade)

seperti pada perayaan Hari Helloween dan Hari Paskah.6

Tradisi penyelenggaraan konvensi fiksi ilmiah, mulai masuk ke Jepang

pada dekade 1970-an dalam bentuk acara peragaan kostum (costume show).7

Sedangkan peragaan cosplay di Jepang awal kali dilangsungkan pada tahun

1978 di Ashinoko, prefektur (provinsi) Kanagawa, dalam bentuk pesta topeng

pada acara konvensi fiksi ilmiah Nihon SF Taikai ke-17.8 Salah satu kritikus

fiksi ilmiah, Mari Kotani, turut menghadiri konvensi dengan mengenakan

kostum tokoh dalam gambar sampul cerita A Fighting Man of Mars karya Edgar

Rice Burroughs. Juga direktur perusahaan animasi Gainax, Yasuhiro Takeda,

yang hadir dengan memakai kostum tokoh Star Wars.9

Pada waktu itu, peserta konvensi menyangka Mari Kotani mengenakan

kostum karakter manga Triton Of The Sea karya Osamu Tezuka. Kotani sendiri

tidak berusaha keras membantahnya, sehingga banyak media sering

memberitakan kostum Triton Of The Sea sebagai kostum cosplay pertama yang

dikenakan di Jepang. Selanjutnya, kontes cosplay dijadikan acara tetap sejak

Nihon SF Taikai ke-19 tahun 1980. Peserta mengenakan kostum Superman,

Atom Boy, serta tokoh dalam film Toki O Kakeru Shōjo dan Virus. Selain di

6 Ibid.

7 Ibid.

8“Cosplay; Definisi, Sejarah dan Jenis Cosplay,” ditulis pada 15 April 2015.

http://galleryotaku.blogspot.co.id/2014/05/cosplay-definisi-sejarah-dan-jenis.html.

(11)

Comic Market, acara cosplay menjadi semakin sering diadakan dalam acara

pameran dōjinshi dan pertemuan penggemar fiksi ilmiah di Jepang.10

Majalah anime di Jepang, sedikit demi sedikit mulai memuat berita

tentang cosplay di pameran dan penjualan terbitan dōjinshi. Liputan

besar-besaran pertama kali dilakukan majalah Fanroad edisi perdana bulan Agustus

1980. Edisi tersebut memuat berita khusus tentang munculnya kelompok anak

muda yang disebut “Tominoko-zoku” ber-cosplay di kawasan Harajuku dengan

mengenakan kostum bertema anime Gundam. Foto cosplayer yang menari-nari

sambil mengenakan kostum robot Gundam juga ikut dimuat. Kelompok

Tominoko-zoku dikabarkan muncul sebagai tandingan bagi kelompok

Takenoko-zoku (sekelompok anak muda berpakaian aneh yang waktu itu

meramaikan kawasan Harajuku). Istilah “Tominoko-zoku” diambil dari nama

sutradara film animasi Gundam, Yoshiyuki Tomino, dan sekaligus merupakan

parodi dari istilah “Takenoko-zoku”. Walaupun sebenarnya artikel tentang

Tominoko-zoku hanya dimaksudkan untuk mencari sensasi, artikel tersebut

berhasil menjadikan “cosplay” sebagai istilah umum di kalangan penggemar

anime.11

Sekitar tahun 1985, hobi cosplay semakin meluas di Jepang, karena

memang mudah untuk dilakukan. Pada waktu itu, kebetulan anime Captain

Tsubasa sedang populer, dan dengan hanya memiliki jersey bola Captain

Tsubasa, orang sudah bisa ber-cosplay. Kegiatan cosplay dikabarkan mulai

10 Ibid.

(12)

menjadi kegiatan berkelompok sejak tahun 1986. Sejak itu pula mulai

bermunculan fotografer amatir (kamera-kozō) atau biasa disingkat menjadi

kameko” yang senang memotret kegiatan cosplay.12 Di Indonesia pun juga

telah banyak kameko yang memiliki komunitas tersendiri seperti komunitas

Kameko Surabaya, Kameko Malang, Kameko Tulungagung dan lain-lain.

Di Indonesia, cosplay dapat dijumpai dalam acara-acara yang mewadahi

cosplayer untuk mengapresiasikan bakat dan hobi mereka, mulai dari Anime

Song, menyanyi lagu-lagu Jepang; Cosplay Street, berjalan dan berpose seperti

halnya seorang model sambil memperagakan karakter anime; dan Cosplay

Kabaret; memeragakan adegan fighting dan cara bicara dan berjalan karakter

anime atau bisa juga disebut teater tanpa menggunakan suara aktor namun

menggunakan suara dan musik asli dalam animenya tersebut. Acara tersebut

biasanya diadakan oleh sebuah organisasi even (Event Organizing) dan

kelompok mahasiswa Sastra Jepang. Komunitas cosplay di Indonesia banyak

dan tersebar di pelbagai kota dan kabupaten, mulai Jakarta, Bandung, Surabaya,

Malang, Jepara, Bojonegoro dan lain-lain. Di Surabaya, kampus yang sering

mengadakan even cosplay pada setiap tahunnya adalah Universitas Negeri

Surabaya (UNESA) dan Universitas Airlangga (UNAIR). Bukan hanya kampus

saja, sekolah setingkat SMA pun tidak jarang mengadakan even cosplay.

Hobi ini, di Indonesia memang masih dikatakan baru, sehingga masih

banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mengenakan kostum dan wig

berwarna-warni adalah hal yang aneh namun lucu. Namun, karena di Surabaya

(13)

adalah kota dan pusat segala hal yang berbau modern dan budaya pop,

menjadikan masyarakatnya lebih individual dan tidak banyak berkomentar

mengenai keanehan para cosplayer ini jika berada di even yang berlangsung di

ruang publik atau mall.

Sebagian besar cosplayer berasal dari golongan ekonomi menengah ke

atas, karena untuk mendapatkan kostum dan pelbagai macam aksesoris lainnya

masih belum terjangkau dengan harga murah. Cosplayer, pada umumnya,

hanya memiliki beberapa kostum saja dan sering memakai kostum yang sama

dalam even yang berbeda. Namun tidak bagi cosplayer yang sudah terkenal,

koleksi kostum yang dimiliki lebih banyak dan beragam. Sehingga dalam tiap

even yang berbeda, tentu akan hadir dengan kostum yang berbeda pula. Meski

begitu, cosplayer yang koleksi kostumnya sedikit, masih dapat meminjam atau

menyewa kostum milik cosplayer lainnya.

Cosplayer terkenal dapat diibaratkan sebagai artis bagi kalangan

masyarakat cosplay lainnya. Selain ber-cosplay, cosplayer yang dimaksud juga

sering diundang dalam even sebagai host, juri, dan bintang tamu. Di waktu

tertentu, tidak jarang pula mengadakan meet and greet yang biasanya diisi

dengan acara makan malam dan berfoto bersama, sering pula sambil menjual

foto dan stiker kepada para penggemarnya. Adapun harga tiket meet and greet

para cosplayer terkenal ini tergolong cukup fantastis, apalagi untuk sekadar

mendapat foto mereka saat photo session atau ketika sama-sama sedang di

(14)

Banyak cosplayer terkenal berasal dari Surabaya dan sering menjadi

guest star pada even-even jejepangan, karena memang di Jawa Timur even

yang berlangsung setiap bulannya lebih sering berlokasi di Kota Surabaya dan

Malang. Penggemar cosplay di Surabaya kini sudah semakin bertambah, seiring

dengan makin tenarnya even cosplay yang biasa dimuat dalam rubrik

Metropolis di harian Jawa Pos.

Meskipun sulit dalam menjangkau kostum dan aksesoris cosplay, bagi

para cosplayer, ber-cosplay tetaplah menjadi hal yang sangat membanggakan

dan memuaskan. Selain itu, mereka juga menggilai produk-produk Jepang dan

rela membeli apapun yang mereka idamkan, misalnya tas yang bergambar

karakter anime, game, manhwa, film kartun, tokusatsu perempuan kesukaan

mereka, yang bagi para laki-laki disebut “waifu” dan karakter laki-laki kesukaan

bagi perempuan disebut “husbando”.

Cosplayer dan wibu cenderung tidak rasional dalam melakukan apa

yang mereka inginkan dan dengan berlebihan mencintai hobi yang bukan milik

asli negara mereka sendiri. Ketidak rasionalannya dapat dilihat dari kerelaan

mereka untuk merealisasikan fantasinya dalam bentuk “menggilai” seorang

cosplayer yang memerankan tokoh anime yang mereka idamkan. Karena ada

pula seorang cosplayer yang mengidolakan cosplayer lainnya. Atau seorang

wibu13 yang senang jika seorang cosplayer meng-cosplay-kan karakter yang ia

gemari.

(15)

Tidak hanya itu, gaya hidup seorang cosplayer tidaklah murah. Hal

tersebut disebabkan karena selain ber-cosplay, ada semacam tuntutan bagi

seorang cosplayer maupun komunitas cosplay untuk meningkatkan gaya hidup

menjadi lebih bertaraf, misalnya dengan membeli dan menggunakan produk

yang branded. Tuntutan tersebut tentunya berkaitan dengan anggapan mereka,

bahwa semakin tinggi kualitas gaya hidup, maka akan semakin unggul

dibandingkan cosplayer atau komunitas cosplay lainnya. Sehingga secara tidak

langsung menyebabkan terciptanya aroma persaingan, baik antara cosplayer

yang satu dengan cosplayer yang lain atau komunitas satu dengan komunitas

lainnya. Dengan bersaing dalam hal gaya hidup, mereka akan memperoleh

prestise tinggi.

Sebuah kebanggaan tersendiri bagi seorang cosplayer dapat

memerankan karakter anime yang mereka gemari. Apalagi ketika menghadiri

sebuah even yang diadakan khusus untuk mewadahi cosplayer, kemudian

banyak penonton atau penggemar yang memintanya untuk berfoto bersama.

Kebanggaan yang lain dapat pula tercermin dalam diri seorang cosplayer pada

saat kostum yang mereka kenakan lebih spektakuler daripada kostum cosplayer

lainnya, lebih-lebih ketika menjadi sorotan dan pusat perhatian.

Meskipun pada dasarnya cosplay merupakan sebuah hobi “meniru”,

namun ada beberapa cosplayer yang sudah terkenal, memakai style sendiri atau

populer dengan sebutan “original character”. Diistilahkan original character,

karena cosplayer yang dimaksud memakai kostum, make-up, wig dan

(16)

Surabaya masih jarang yang mengenakan original character dan kebanyakan

cosplayer-nya masih suka mengenakan kostum anime. Selain itu, jarang

ditemui pula cosplayer Surabaya yang mengenakan kostum karakter dalam

game. Kalaupun ada, pasti langsung heboh dan diserbu oleh para wibu untuk

mengantre foto bersama.

Term cosplay dapat pula dikategorikan seni. Sebab dalam even cosplay,

selalu diwarnai dengan pelbagai kegiatan yang diperlombakan, mulai dari

modelling yang biasa disebut cosplay street, lomba teater yang biasa disebut

cosplay kabaret, sampai lomba menyanyi lagu-lagu pembukaan dan penutup

anime atau lagu Jepang yang disebut anime song.

Namun ada perbedaan mencolok antara seni modelling, fashion show

dan seni teater dalam acara cosplay dengan pagelaran seni pada umumnya.

Panggung seni dalam acara cosplay, lebih menonjolkan sisi kemiripan seorang

cosplayer dengan karakter yang ia perankan. Selain itu, cosplay juga merupakan

seni yang sedang berkembang melalui pop-culture masyarakat era kini.

Sehingga menjadi terlihat sangat unik dan menarik.

Keunikan dalam cosplay juga tergambar dalam diri seorang cosplayer

yang dapat mengeksplorasi diri tanpa malu-malu. Dalam cosplay, dapat

ditemukan banyak sekali kreatifitas yang berkombinasi dalam tubuh dan peran

yang dibawakan para cosplayer. Maka dari itu, cosplayer tidak akan sama sekali

malu dan merasa aneh, apalagi dalam even cosplay akan mudah menemukan

teman dengan selera dan hobi yang sama atau bahkan lebih spektakuler dari segi

(17)

Surabaya yang sudah banyak komunitas-komunitas yang mewadahi para

otaku14, wibu, cosplayer dan kameko.

Ada fashion dari Jepang yang mewabah para cosplayer, yaitu Harajuku,

Lolita dan Gothic. Harajuku adalah tipe fashion yang berasal dari daerah

Shibuya, Jepang. Fashion tersebut memiliki ciri bebas memadukan busana,

warna dan aksesoris apapun, tidak ada batasan dalam melakukan perpaduan

antar warna. Harajuku sangat unik dan bebas mengeksplorasi gaya, ciri model

rambut harajuku adalah berponi dan menutupi mata. Selanjutnya lolita, gaya

fashion seperti gaun yang berwarna pastel atau warna-warna muda yang

melebar dan mengembang pada bagian bawah serta memiliki kerutan pada

pinggang dan biasanya menggunakan kaos kaki berenda dan stocking. Dengan

kostum model gaun dan warna-warna muda, pemakainya akan terlihat lebih

muda. Lolita fashion juga sangat unik dan lucu, karena memiliki kemiripan

dengan kostum boneka Barbie. Terakhir, kostum bergaya gothic yang

didominasi warna-warna hitam dan gelap, dengan make up pada bagian mata

dan bibir menggunakan warna-warna gelap pula, sehingga terkesan

menyeramkan. Gaya gothic juga hampir mirip dengan lolita, yakni memakai

gaun yang lebar dan mengembang, namun perbedaannya hanyalah warna, lolita

menggunakan gaun berwarna cerah sedangkan gothic menggunakan gaun

berwarna gelap. Banyak juga cosplayer di Surabaya yang mengenakan fashion

14 Istilah bagi orang yang terobsesi secara berlebihann pada segala hal yang berbau Jepang,

(18)

Jepang dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya menggunakan lolitafashion

saat bekerja di kantor.

Selain cosplay dan cosplayer, ada pula istilah “otaku” yang merupakan

sebutan bagi para penggemar anime, game, manga, komik Jepang dan segala

hal yang berbau Jepang. Dalam dunia jejepangan, para otaku amat berdedikasi

pada hobinya. Bahkan seringkali melakukan tindakan yang mungkin menurut

masyarakat awam adalah hal yang tidak wajar. Banyak sekali contohnya,

misalnya dengan menghiasi kamar dengan barang-barang yang menurutnya

adalah harta paling berharga. Barang-barang yang dimaksud adalah komik,

poster, gantungan kunci, guling, majalah dan tas yang bergambar karakter

anime kesukaan, juga hardisk penyimpan data yang isinya penuh dengan anime.

Seorang otaku akan rela membeli hardisk yang berkapasitas besar hanya untuk

menyimpan koleksi anime. Para otaku di Surabaya juga sering membawa tas

ransel besar kemana-mana yang berisi laptop serta hardisk, karena tidak bisa

berlama-lama tanpa anime dan game. Oleh sebab itu, mereka selalu rela

membawanya kemana pun pergi dan akan menyediakan waktunya untuk

menontonnya.

Bukan hanya berlebihan menganggap barang-barang jejepangan yang

sudah dimiliki sebagai harta paling berharga, otaku juga sangat terobsesi untuk

membeli dan memiliki produk mainan bentuk dari karakter anime favoritnya.

Salah satunya adalah “figure” atau miniatur kecil berbentuk karakter anime

yang mungkin sangat tidak sesuai dengan harganya yang sangat tinggi, yakni

(19)

kecil, otaku juga mempunyai semacam dunianya sendiri, dengan kegilaan dan

fantasinya terhadap semua yang berbau anime.

Otaku, juga cosplayer yang ekstrimis, sudah semacam tidak percaya lagi

akan dunia nyata. Keduanya mempunyai dunia virtualnya sendiri, atau dalam

dunia anime disebut sebagai “nijikon”. Nijikon adalah singkatan dari istilah

nijigen kompurekkusu yang berarti “komplek 2 dimensi”. Dalam nijikon,

seorang otaku hanya terobsesi pada karakter dua dimensi (2D), seperti anime,

manga, dan videogame. Parahnya, para penderita nijikon cenderung sudah tidak

lagi memiliki minat seksual terhadap manusia nyata.15 Seperti kasus Lee Jin

Gyu, seorang pemuda yang menikahi dakimakura, sebuah bantal besar

bergambar karakter anime favoritnya.16

Selanjutnya, ada pula “weeaboo” atau singkatan dari “want to be

japanesse”, sebutan bagi penggemar anime ekstrim yang seakan-akan merasa

paling njepang melebihi orang Jepang asli. Weeaboo atau yang oleh masyarakat

cosplay Indonesia sebut dengan wibu, mendapat inspirasi jejepangan itu dari

anime dan manga. Salah satu karakter unik dalam diri seorang wibu ialah

ketidak terimaannya terhadap siapa pun yang menjelek-jelekkan Jepang. Tidak

jauh berbeda dengan seorang otaku, wibu seperti hidup dalam dimensi anime

dan dunia jejepangan.17

15“Apakah Kamu Seorang Otaku, Nijikon, atau Weaboo? Cek Kebenarannya Sekarang,” ditulis 19

Desember 2014, J-cul.com/apakah-kamu-seorang-otaku-nijikon-atau-weaboo-cek-kebenarannya-sekarang.html.

16“Lee Jin Gyu Menikahi Bantal,” Ditulis 26 April 2010,

https://m.tribunnews.com/amp/internasional/2010/04/26/lee-jin-gyu-menikahi-bantal.html.

17“Apakah Kamu Seorang Otaku, Nijikon, atau Weaboo? Cek Kebenarannya Sekarang,” ditulis 19

(20)

Berlatar belakang pada keunikan dan kemenarikan karakter, sikap dan

terutamanya gaya hidup cosplayer dan pecinta cosplay, khususnya di Surabaya,

peneliti memilih judul ini. Selain karena unik dan menarik, juga keanehan

cosplay sebagai hobi, yang oleh karenanya pula, sulit bagi seorang cosplayer

untuk diterima dan mengapresiasikan hobinya di lingkungan masyarakat

umum. Sehingga cosplayer perlu bergabung terlebih dahulu ke dalam sebuah

komunitas cosplay, dengan begitu dapat menyalurkan hobinya. Kedahsyatan

pengaruh hobi cosplay dalam mengubah gaya hidup pecinta dan pelaku cosplay

ke arah jejepangan, misalnya keobsesian untuk memiliki segala hal yang berbau

anime Jepang atau bahkan berubahnya selera makan dari makanan khas

Indonesia ke makanan khas Jepang, juga menjadi salah satu daya tarik peneliti.

Di Surabaya, salah satu komunitas cosplayer adalah “COSURA”,

singkatan dari “Comunitas Cosplayer Surabaya”, yang sudah mewadahi sekitar

150 cosplayer. Selain COSURA, masih banyak lagi komunitas-komunitas

cosplay lainnya di Surabaya. Penelitian ini fokus pada gaya hidup para

cosplayer di Surabaya. Komunitas-komunitas ini semakin bermunculan

beriringan dengan semakin banyaknya penggemar jejepangan dan semakin

banyaknya pula even-even besar yang berkaitan dengan cosplay. Sehingga

mendorong beberapa cosplayer untuk membuat perkumpulan atau komunitas

yang nantinya dapat menjadi semacam forum yang dapat dimanfaatkan untuk

berbagi wawasan dan pengalaman tentang cosplay. Selain itu, berdirinya sebuah

komunitas menjadi mesin untuk mengeksplorasi kegemaran terhadap

(21)

Cosplay menjadi fenomena tidak terelakkan lagi, khususnya di

Surabaya, dibuktikan dengan membeludaknya minat masyarakat – terutama

pemuda – penggemar anime Jepang. Secara langsung atau tidak, fenomena

tersebut akan dapat mengancam kelestarian budaya lokal. Meskipun telah

banyak cosplayer yang mampu memadukan unsur budaya Jepang dengan

budaya Indonesia. Seperti menerjemahkan percakapan di pentas teater dari

Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia, juga dengan membuat komik seperti dalam

majalah Re:on yang memadukan antara Jepang dan Indonesia, walaupun masih

tetap menggunakan nama-nama Jepang, komik tersebut merupakan asli buatan

Indonesia.

Secara gaya busana, karakter-karakter anime dalam pandangan Islam

dianggap tidak syar’i, karena kurang menutup aurat. Namun berbeda dalam

wadah penyaluran hobi cosplay, bahwa perempuan muslim tetap dapat menjadi

cosplayer tanpa melepas kerudungnya.

Kerudung – selain untuk menutup rambut yang merupakan bagian dari

aurat bagi seorang wanita muslim – juga biasa digunakan sebagai ganti wig.

Manakala rambut karakter anime yang ditiru berwarna merah, maka cosplayer

dimaksud memakai kerudung berwarna merah pula, dengan model kerudung

yang disamakan dengan model rambut tokoh yang diperankan, lengkap beserta

aksesorisnya. Kostum yang semula terbuka, ditutupi kaos dalam berwarna kulit.

Sehingga cocok dipakai oleh cosplayer yang berkerudung.

B. Rumusan Masalah

(22)

2. Bagaimana gaya hidup komunitas cosplay Jepang di Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui apa yang membuat mereka tertarik terhadap budaya Jepang dan

menjadi cosplayer.

2. Mengetahui gaya hidup dan aktivitas keseharian dari komunitas cosplay di

Surabaya yang sudah menjadi cosplayer.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan wawasan dan

pengetahuan dalam bidang sosial dan budaya, khususnya yang berkaitan

dengan gaya hidup masyarakat modern.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti (secara pribadi), memberikan manfaat untuk mengetahui

bagaimana gaya hidup pada komunitas cosplay yang ada di Surabaya

serta mengamalkan mata kuliah atau teori-teori dalam ilmu sosial yang

telah diperoleh dalam proses perkuliahan sebagai alat analisis.

b. Bagi mahasiswa Sosiologi, sebagai salah satu bahan pengamatan yang

fokus pada gaya hidup masyarakat modern, bahan perbandingan dengan

gaya hidup masyarakat yang lain dan sebagai bahan yang perlu untuk

dikembangkan dan ditinjau ulang.

c. Bagi program studi Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel,

(23)

Sosiologi, sebagai gambaran tentang realitas mengenai gaya hidup para

cosplayer yang bergabung pada komunitas cosplay.

d. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi seputar cosplay dan

cosplayer sekaligus gaya hidupnya yang kini menjadi sebuah fenomena

baru dalam kehidupan sosial, khususnya di kalangan anak muda.

Sehingga masyarakat menjadi tahu dan dapat menilai setiap fenomena

yang muncul di lingkungan sekitarnya.

E. Definisi Konseptual

Penjelasan konsep yang mendasari pengambilan judul di atas sebagai

bahan penguat sekaligus spesifikasi penelitian yang akan dilakukan, sebagai

berikut:

1. Gaya Hidup

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “gaya” mempunyai

arti kesanggupan untuk berbuat.18Sedangkan “hidup” memiliki arti masih

terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya. Menurut David

Chaney, “gaya hidup” adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara

satu orang dengan orang lain. Gaya hidup membantu memahami (yakni

menjelaskan tapi bukan berarti membenarkan) apa yang dilakukan,

mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan

bermakna bagi dirinya dan orang lain. Gaya hidup merupakan ciri dari

modernitas.19

18 http://kbbi.web.id/gaya.html.

19 David Chaney, Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:

(24)

Menurut Amstrong, ada dua faktor yang mempengaruhi gaya hidup,

yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal diantaranya adalah sikap,

pengalaman dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif dan presepsi.

Sedangkan faktor eksternal adalah kelompok referensi, keluarga, kelas

sosial dan kebudayaan.

Gaya hidup pada tiap-tiap individu dalam masyarakat pastinya

berbeda, karena itu adalah mengenai cita rasa dan selera yang dimiliki

perseorangan atau kelompok tertentu. Oleh sebab itu, gaya hidup

merupakan ciri khas yang melekat pada diri seseorang atau kelompok

sehingga menjadi bagian dari identitasnya. Gaya hidup juga tidak lepas dari

status sosial maupun kelas ekonomi yang memengaruhinya. Prestise atau

wibawa sebagai salah satu contoh dari gaya hidup, akan hanya dimiliki

individu atau kelompok dengan status sosial yang tinggi, misalnya politisi,

tokoh masyarakat, pebisnis kaya dan lain sebagainya. Sehingga akan sangat

berbeda gaya hidupnya dengan gaya hidup seseorang atau kelompok dengan

status sosial rendah, misalnya petani, nelayan dan buruh. Hal ini disebabkan

oleh kegiatan konsumsi yang juga menyesuaikan terhadap status sosial

maupun kelas ekonominya. Gaya hidup yang peneliti maksud lebih pada

food, fun dan fashion mereka.

2. Cosplay

Cosplay berasal dari kata “costume” dan “play”. Seorang reporter

asal Jepang kemudian menggabungkan kedua kata tersebut dan

(25)

pengucapan “kospure”. Kata “costume” berartikan bahwa seseorang

memerlukan pakaian dan aksesoris untuk menjadi karakter tertentu dan

play” berarti suatu jenis kegiatan untuk melakukan suatu hal. Jadi cosplay

adalah kegiatan meniru suatu karakter dalam anime, manga, game dan

lain-lain dengan menggunakan kostum yag sama persis dengan apa yang dipakai

karakter yang ditiru.

Cosplay adalah bagian dari “Japan Pop Culture” yang populer di

dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu ide dalam cosplay adalah

dengan berpenampilan semirip mungkin dengan karakter anime, manga,

game dan lain sebagainya.

Anime yang populer seperti Naruto, One Piece dan Tokyo Ghoul

yang di produksi dengan banyak episode membuat masyarakat ingin terus

menontonnya. Begitupula dengan game yang memiliki banyak stage seperti,

Dota (gameonline) yang telah mendapatkan pembaharuan versi, dari Dota

1 menjadi Dota 2 yang memiliki banyak peminat.

Indonesia memiliki komunitas bagi cosplayer, yaitu Komunitas

Cosplay Indonesia (KCI). KCI mempunyai sub-grup yang membahas tema

atau karakter tertentu, misalnya Vocaloid (sejenis aplikasi yang digunakan

untuk memutar lagu), One Piece, tokusatsu dan masih banyak lagi.20

Jadi pengertian cosplay adalah kegiatan mengenakan pakaian

(kostum) lengkap dengan aksesoris dan dandanan yang mirip dengan

20Moh. Setyo Budi Utomo, “Komunikasi Antar Budaya Dalam Event Cosplay: Studi Event

Cosplay di Daerah Surabaya, Malang dan Yogyakarta”, Skripsi S1 Ilmu Komunikasi Fakultas

(26)

karakter tokoh dalam anime, manga atau game dan mengikuti gerakan yang

dilakukan karakter tersebut seperti mimik muka dan gestur tubuh untuk

memberikan penampilan yang terbaik. Dan pelaku dari kegiatan cosplay ini

disebut cosplayer. Cosplayer secara tidak langsung dituntut untuk

berkostum, berdandan dan ber-gesture mengikuti karakter yang perankan

karena memang cosplayer adalah manifestasi dari karakter anime.

F. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan dilaporkan dalam sistematika pembahasan sebagai

berikut:

1. Bab I: Pendahuluan

Dalam bab ini dipaparkan data dan fakta yang melatar belakangi

gaya hidup pada komunitas cosplay di Surabaya, sehingga menarik untuk

diamati dan diteliti. Kemudian menfokuskan dan menspesifikasikan

permasalahan dengan menentukan rumusan masalah dengan tujuan dan

manfaat yang akan didapat peneliti. Dari setiap term dalam judul akan

dijelaskan dalam definisi konseptual, sehingga dapat memberikan

penjelasan awal tentang permasalahan yang akan diteliti dengan alur

penelitian yang telah disusun dalam sistematika pembahasan.

2. Bab II: Kultur Cosplay dalam Perspektif Fenomenologi Kontemporer dan

Hiperealitas

Menjelaskan tujuan khusus-umum penelitian dan juga memaparkan

penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan berkaitan dengan

(27)

dijelaskan pula kajian-kajian pustaka dan teori-teori yang sebelumnya telah

ditentukan secara mendalam, untuk dipergunakan sebagai alat jelajah

analisis penelitian.

3. Bab III: Metode Penelitian

Pada bab ini, peneliti mulai memberikan penjelasan tentang metode

penelitian yang dipergunakan, mulai dari jenis penelitian, lokasi dan waktu

penelitian, pemilihan subyek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik

pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik pemeriksaan keabsahan

data. Sehingga penelitian akan betul-betul dilakukan secara sistematis

dengan skema yang juga sudah ditetapkan.

4. Bab IV: Gaya Hidup Komunitas Cosplay Jepang di Surabaya dalam

Perspektif Fenomenologi Kontemporer dan Hiperealitas

Peneliti akan memberikan gambaran secara umum dan jelas

bagaimana kondisi maupun posisi obyek penelitian di lapangan sebelum

diteliti. Dilanjutkan dengan memaparkan data-data hasil penelitian yang

telah dilakukan beserta analisis data yang sebelumnya juga telah dilakukan.

5. Bab V: Penutup

Di bagian akhir, peneliti akan menyimpulkan hasil akhir dari

penelitian yang dilakukan secara menyeluruh dan sekaligus memaparkan

saran sebagai catatan akhir dari peneliti secara subyektif tentang gaya hidup

(28)

BAB II

KULTUR COSPLAY DALAM PERSPEKTIF FENOMENOLOGI

KONTEMPORER DAN HIPEREALITAS

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu perlu diacu dengan tujuan agar peneliti mampu

melihat letak penelitiannya dibandingkan dengan penelitian yang lainnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lainnya adalah pada obyek

penelitian atau fokus penelitian atau sasaran penelitian yang tergambarkan

dalam rumusan masalah penelitian dan hasil penelitiannya, selengkapnya

dapat dilihat pada uraian sebagai berikut:

1. Skripsi dari Muhammad Setyo Budi Utomo (NIM. B36211090),

mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2015, dengan

judul “Komunikasi Budaya Dalam Event Cosplay”, dalam penelitian

tersebut fokus permasalahannya yaitu pada interaksi antar individu atau

kelompok yang berbeda budaya, agama dan ras yang terjadi dalam even

cosplay di Indonesia khususnya di Jawa Timur. Pada rumusan masalah

nomor satu ada sedikit kesamaan yaitu tentang budaya, yang berarti juga

menyangkut gaya hidup. Tetapi pada penelitian Muhammad Setyo Budi

Utomo lebih mendeskripsikan tentang komunikasi antar budaya,

sedangkan dalam penelitian ini lebih pada kebudayaan mengenai gaya

hidup itu sendiri, sehingga bisa berkembang di Indonesia, khususnya

(29)

Surabaya. Pada skripsi Muhammad Setyo Budi Utomo, menentukan

informan di wilayah Jawa Timur. Sedangkan dalam penelitian ini lebih

khusus pada informan di wilayah Surabaya saja.

2. Jurnal yang berjudul “Hobi Costume Play (Cosplay) Dan Konsep Diri:

Studi Korelasi Hubungan Antara Hobi Cosplay Dengan Konsep Diri

Anggota Komunitas Cosplay Medan”, oleh Farouk Badri Al Baehaki

(NIM. 100904029) dari Universitas Sumatera Utara. Fokusnya pada

korelasi antara cosplay dan konsep diri dan memilih lokasi penelitian di

Medan, serta memakai metode penelitian kuantitatif. Adapun teori yang

dipakai sebagai alat analisis adalah Komunikasi Intrapersonal dan Konsep

Diri. Dalam jurnalnya dia ingin mengetahui sejauh mana hubungan hobi

cosplay dengan konsep diri anggota komunitas di Medan, yang mana dia

tertarik dengan penjiwaan dan pemeranan karakter seorang cosplayer yang

berhubungan dengan konsep diri cosplayer itu sendiri. Yang dimaksud

dengan konsep diri ialah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai

diri sendiri yang terorganisasi. Menggunakan metode korelasional yang

teknik pengumpulan datanya dengan penelitian lapangan dan penelitian

kepustakaan.

3. Jurnal dari Naufal Alif Prabowo, mahasiswa program studi Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dengan judul “Cosplay

Sebagai Sarana Rekreasi Bagi Cosplayer Komunitas COSURA Yang

Telah Menikah”. Fokus kajiannya pada komunitas COSURA, sebuah

(30)

dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari siswa SMP sampai yang

sudah menikah, serta tidak dibatasi oleh usia dan ketentuan-ketentuan

lainnya. Tema penelitian dalam jurnal tersebut adalah tentang motif atau

alasan cosplayer yang sudah menikah, namun masih tetap menekuni hobi

cosplay-nya. Sebab tidak semua pasangan seorang cosplayer mampu

memahami hobi cosplay yang dilakoninya. Jika pasangan seorang

cosplayer tadi bukan pula sebagai cosplayer, belum tentu akan

mengizinkan untuk tetap menekuni hobi ini. Namun, ternyata ada

dorongan lain bagi seorang cosplayer yang sudah menikah untuk tetap

menekuni hobi tersebut, yakni salah satunya mengenai channel bisnis.

Karena tidak dibatasi umur, akhirnya banyak pula anggota setiap

komunitas cosplay yang sudah menikah dan bekerja, dan cosplay dapat

dimanfaatkan sebagai sarana pencarian relasi bisnis atau sebagai wahana

menghibur diri dari kepenatan dalam pekerjaan maupun rumah tangga.

B. Gaya Hidup dan Komunitas Cosplay Jepang

Pop Culture atau budaya populer adalah budaya yang disukai oleh

banyak orang, karena dianggap menyenangkan. Istilah lain dari budaya

populer adalah budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk

dikonsumsi massa. Budaya massa adalah budaya yang dianggap sebagai dunia

impian secara kolektif.1

Segala yang digemari masyarakat modern ini juga termasuk dalam

budaya populer, termasuk cosplay. Cosplay yang merupakan sebuah

(31)

kegemaran yang relatif baru di masyarakat global cukup mengundang

perhatian masyarakat dewasa ini. terbukti dengan membeludaknya penggemar

sekaligus penikmat cosplay di pelbagai negara. Berkostum dan berias semirip

mungkin dengan salah satu karakter dalam anime, dan segala jejepangan

adalah bentuk kegiatan cosplay. Adapun pelaku cosplay disebut dengan

cosplayer atau pun biasa disingkat menjadi coser.

Meskipun di Indonesia masih belum begitu banyak masyarakat

menggemari cosplay, akan tetapi masyarakat Indonesia tidak sedikit yang

sudah mengenal dan menggemari jejepangan meliputi anime, film animasi

Jepang; manga, komik Jepang; manhwa, komik Korea; game dan pelbagai

macam produk virtual Jepang lainnya. Sehingga cosplay ini termasuk dalam

budaya populer yang berkembang begitu pesat di Indonesia, salah satunya di

Surabaya. Secara umum, perkembangan cosplay telah tersebar luas di hampir

seluruh bagian dunia yang menjadi tempat persinggahan produk-produk

virtual asal Jepang yang telah disebut tadi. Indonesia menjadi salah satu

negara dengan penggemar jejepangan terbesar, sehingga perkembangan

cosplay juga ikut serta melambung dan meluas ke seluruh penikmatnya yang

tersebar di pelbagai daerah.

Meskipun secara substansial cosplay hanya wahana euforia semata,

akan tetapi bagi penggemar anime, cosplay merupakan hal yang disukai dan

sangat menyenangkan. Di sisi lain, cosplay adalah produk media yang

mewabah remaja Indonesia. Karena semua serba komersiil, hiburan dan hobi

(32)

dalam cosplay, dengan harga selangit pun para maniak atau biasa disebut wibu

tetap saja menghadirinya. Mereka tidak sadar bahwa telah terhegemoni oleh

rayuan akan fantasi yang berlebihan dan menginginkan fantasi tersebut

menjadi nyata.

Menurut Kuntowijiyo, masyarakat modern atau masyarakat industrial

ditandai dengan komersialisasi. Komersialisasi dalam penjelasan gampangnya

adalah segala sesuatu harus memakai uang atau diperjual belikan, seperti saat

wibu membutuhkan hiburan dan memuaskan keinginan atas hobi, harus

membayar cosplayer dalam artian membeli tiket meet and greet di even

dengan harga mahal, meskipun dalam acara meet and greet tersebut hanya

diisi dengan acara makan malam dan berfoto bersama. Di sisi lain, cosplayer

(yang sudah terkenal), masih akan menjual-belikan foto-foto dan

pernak-perniknya kepada wibu dengan harga tinggi pula. Cosplayer, wibu, otaku dan

masyarakat cosplay lainnya seolah menjadi sasaran industri pencipta anime

Jepang untuk meningkatkan brand “Japan” dalam persaingan pasar global.

Masyarakat serba bersaing untuk mendapatkan pengakuan keren, kaya

dan lain sebagainya dengan bantuan brand dan hobi. Dimana saat kita

memiliki pakaian dengan brand mahal dan hobi yang atributnya mahal adalah

suatu bentuk kepuasan diri.

Begitu pula dengan hobi bermain game online yang pelakunya disebut

gamer. Bayangkan saja mereka rela mengeluarkan uang ratusan bahkan jutaan

(33)

Dampak negatif game jauh lebih dahsyat daripada manfaat positifnya.

Game akan dan bisa menjadi candu. Rata-rata para cosplayer dan otaku adalah

orang yang juga menggilai game Jepang. Sehingga dalam dunia cosplay tidak

hanya beraktifitas bereferensikan anime saja, namun sudah merambah ke

game. Seperti game Dynasty Warrior dan Mystic Massanger yang kini sedang

buming menjadi referensi baru bagi cosplayer dalam ber-cosplay.

Adapun dampak negatif dari hiburan yang bernama game ini:

1. Menimbulkan kekerasan. Misalnya, karena sudah ketagihan game online

yang berbayar, maka saat tidak memiliki uang akan cenderung melakukan

kekerasan terhadap orang tua atau orang lain dengan memaksa meminta

uang. Atau bisa juga dengan gangguan psikis yang mana saat suka

memainkan game yang berbau kekerasan, maka akan terpengaruh pada

kehidupan sehari-harinya. Misalnya pada game action, ia akan mencontoh

tindakan pertarungan pada game tersebut pada dunia nyata.

2. Membuat kita jadi bodoh. Misalnya, karena kebanyakan bermain game,

maka waktu akan terkikis dan semakin miskin waktu untuk belajar. Jadi,

belajar bukanlah menjadi hal yang utama lagi dalam hidup. Kemana-mana

tidak akan bisa lepas dengan gadget, PSP (sejenis elektronik yang khusus

untuk main game), atau waktu yang terkuras berjam-jam hanya untuk

duduk dan bermain game di Warung Internet (warnet).

3. Mengikis nilai-nilai sosial. Nilai adalah apa yang dianggap baik dan buruk

oleh masyarakat atau pantas dan tidak pantas. Pengikisan ini dikarenakan

(34)

menghormati orang lain. Misalnya tidak memedulikan orang lain ketika

mengajak bicara karena sibuk bermain game. Seorang gamer akan

semakin tidak punya waktu untuk berinteraksi dengan orang-orang lain

seperti teman sekolah, tetangga dan keluarga, dan menjadikannya

cenderung individualis dan introvert, karena telah merasa bahwa teman

sejatinya hanyalah game.

4. Menjadikan seseorang apatis terhadap aktifitas sosial dalam lingkungan

keluarga, sekolah dan masyarakat, dan seolah lupa akan segala. Saat

bermain game, waktu terasa berjalan lebih cepat daripada ketika belajar,

sehingga suka lupa waktu bahwa pada pukul sekian waktunya untuk

beribadah atau pada pukul sekian waktunya untuk belajar.

5. Dapat mengganggu kesehatan. Karena terlalu sering menatap layar

komputer, gadget dan lain sebagainya, akan sangat mengganggu kesehatan

mata disebabkan pancaran radiasi yang timbul dari layar media elektronik.

Demikian juga dengan gangguan kesehatan lain, seperti kurangnya waktu

untuk istirahat disebabkan siang sampai malam sibuk bermain game

terus-menurus.

6. Seolah-olah kita menjadi The King dalam dunia kita sendiri, padahal

sebenarnya hanyalah ilusi sesaat. Saat bermain game dan memenangkan

sebuah battle (pertempuran), kita seolah-olah bangga dan merasa bahwa

kita adalah raja dalam permainan itu. Kebanggaan itu bisa jadi

mengalahkan kebanggaan saat dipuji dalam dunia nyata. Biasanya dalam

(35)

seorang gamer mengetahui bahwa dia menduduki peringkat teratas, maka

dapat dipastikan ia akan merasa menjadi “the king” dalam dunia imajinatif

tersebut.

7. Menumpulkan nalar kritisisme karena telah diajak ke dunia imajinatif.

Maksudnya, semakin sedikitnya upaya dalam diri untuk mencari atau

memaknai suatu hal dengan tinjauan kegunaan, kebaikan, kepantasan dan

lain sebagainya. Selagi hal tersebut sesuai dengan kemauan dan keinginan,

maka secara langsung akan dilakukan tanpa perlu adanya pertimbangan

akan keburukan dan dampak negatifnya. Misalnya dalam hal aktifitas

sehari-hari, seorang gamer akan dengan sudinya menghabiskan waktu

yang cukup banyak hanya untuk memainkan game-nya. Jika hal tersebut

terus berlaku, maka kemungkinan besar kebiasaan “asal menyenangkan”

akan berlaku pula dalam aktifitas yang lain. Dan tentunya tanpa melalui

tinjauan kritis akan dampak dan akibat dari aktifitasnya.

8. Mengurangi minat membaca. Game adalah hiburan bagi mayoritas orang,

namun berbeda dengan buku, hanya segelintir orang yang menganggap

buku adalah hiburan, karena game lebih asyik dari pada membaca yang

dianggap membosankan.2

Dengan kata lain, para cosplayer dan otaku haruslah waspada akan

dampak negatif tersebut. Karena sebagian besar mereka juga gamer (sebutan

untuk penggila game). Bagaimana tidak, jika dia sudah kecanduan game sejak

kecil, maka bisa jadi akan merambah terhadap kecanduan anime. Karena

(36)

anime kebanyakan dirilis game-nya pula, atau sebaliknya game bisa menjadi

anime.

Karakter game yang tidak diadopsi dari anime kostumnya relatif sulit,

dan budget-nya juga sangat mahal. Oleh sebab itu, cosplayer-pun jarang

menggunakan karakter dalam game untuk di-cosplay-kan. Meskipun tetap ada

beberapa cosplayer yang menggunakannya, lebih-lebih pada even besar.

Semakin sulit kostum yang dikenakan oleh cosplayer maka semakin

banyak yang akan memperhatikan dan mengajak foto. Cosplayer yang

memakai kerudung pun tidak ketinggalan menampilkan kostum game.

Meskipun rumit, cosplayer justru akan semakin merasa tertantang dan akan

semakin merasa bangga nantinya jika kostum tersebut dipakai pada even.

Kini persoalan kerudung bukan lagi menjadi momok yang menakutkan

bagi cosplayer. Karena dengan memakai kerudung pun masih tetap bisa

melakukan hobi cosplay. Dan ini sama sekali bukan hal yang aneh dalam even

cosplay. Cosplayer yang memakai jilbab pun tidak kalah cantik dan laris

manis dari ajakan foto oleh para wibu.

Cantik itu diidentikkan dengan tubuh langsung, putih, tinggi, wajah

mulus tanpa noda atau cacat, berambut panjang/pirang, montok, payudara

kencang. Terkadang belahan payudara bagian atasnya harus terlihat, supaya

menggoda lelaki.3 Bahkan di Jepang ada hari oppai4 indah yang diperingati

tiap tanggal 8 November dengan menggunggah foto oppai di Twitter.5

3 Ibid 63.

4 Istilah untuk payudara perempuan.

5“5 Peringatan Aneh Ini Cuma Ada Di Jepang, Mulai Dari Hari Oppai Sampai Kondom!”, ditulis

(37)

Demikian pula bagi cosplayer yang berlomba-lomba untuk menjadi

yang tercantik dalam even. Hanya demi kepuasan yang akan didapat saat wibu

mengajaknya berfoto. Memakai kostum yang tiap even berganti-ganti dan

tubuh haruslah proporsional guna mendukung kecantikan para cosplayer

adalah bagian dari upaya untuk semirip mungkin dengan karakter anime yang

tubuhnya dianggap sempurna. Kaki jenjang, langsing, berdada besar dan

berbelah, mata dan rambut yang berwarna-warni, juga akan menambah

kecantikan cosplayer.

Mungkin itu bukanlah peraturan yang tertulis, jika cosplayer harus

memiliki tubuh yang indah bak karakter dalam anime. Seperti anggapan

cosplayer yang memiliki tubuh tidak ideal, dan (awalnya) hanya menganggap

cosplay sebagai hobi dan kegiatan asyik-asyikan yang sebenarnya sama sekali

bukan masalah jika seorang cosplayer memiliki tubuh tidak sesuai karakter

anime yang ditiru. Namun ada semacam sanksi atau hukuman oleh para wibu

dengan mengecam cosplayer tersebut karena dianggap telah merusak chara6.

Bagaimana tidak, karakter yang cosplay-kan tersebut memiliki tubuh

langsing, dada montok dan tinggi, sementara si cosplayer justru memiliki

tubuh sebaliknya, maka bisa dipastikan akan menjadi bulan-bulanan para

wibu. Karena mereka merasa tidak terima jika dalam karakter anime yang

mereka sukai perawakannya tinggi dan langsing, tetapi cosplayer yang

menirunya berperawakan sebaliknya, itu sangat merusak karakter tersebut.

Akibatnya, cosplayer tersebut akan di-bully dan tidak ada yang akan

(38)

mengajaknya berfoto. Sehingga, seolah menjadi beban tersendiri bagi seorang

cosplayer untuk berupaya semirip mungkin dengan karakter yang ia perankan.

Dari situ, kemudian tidak sedikit cosplayer yang ingin tenar dan memancing

hati para wibu dengan cara tampil maksimal dan bahkan sampai memamerkan

beberapa bagian tubuhnya.

Sebenarnya tidak semua para wibu menyukai penampilan seksi dan

super terbuka dari seorang cosplayer. Ada pula yang tidak suka jika seorang

cosplayer menampilkan kostum atau dandanan sevulgar karakter aslinya

dalam anime, meskipun tidak sebanyak wibu yang memang mengharuskan

cosplayer untuk sama persis dengan karakter. Oleh sebab itu, terkadang ada

cosplayer yang memodifikasi kostum yang semula di karakter aslinya vulgar

menjadi sedikit lebih tertutup.

Wibu yang berorientasi pada hal-hal yang berbau pornografi memang

gemar mengkonsumsi foto-foto hot para cosplayer dan ada juga wibu yang

tidak suka jika karakter anime tersebut dinodai dengan pose-pose tidak baik

cosplayer-nya, padahal karakter anime tersebut tidak ecchi (sebutan untuk

semi porno).

Budaya Jepang menjadi satu budaya yang sangat memengaruhi gaya

hidup mereka. Dari apapun yang mereka konsumsi, sudah akan sangat

jejepangan sekali. Misalnya, mereka lebih suka makan Mie Ramen daripada

Mie Ayam. Lalu mereka mulai gemar memakai contact lens7 dengan warna

yang tidak senada dan tidak sesuai, seperti karakter Misaki Mei dalam anime

(39)

Another yang warna lensa matanya yang sebelah kiri merah dan yang kanan

hijau, para wibu pun meniru demikian, sehingga masyarakat umum merasa

aneh dengan perilaku orang tersebut.

Secara bahasa, gaya hidup memiliki arti yang cukup sederhana, yakni

pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat.

Namun, secara istilah, pengertian gaya hidup tidak sesederhana pengertian

secara bahasa. Dikarenakan kajian tentang gaya hidup juga mengulas

bagaimana perilaku dan tindakan manusia secara individu maupun kelompok

yang nantinya dapat berbenturan dengan pengertian budaya, tradisi atau

kebiasaan manusia dalam suatu lingkungan masyarakat. Akan tetapi, poin

pokok dalam term “gaya hidup” – yang membedakannya dengan kajian sosial

lainnya – adalah terletak pada pola-pola tindakan manusia. Sehingga dapat

dijelaskan bahwa gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan

antar satu orang dengan orang lain.8

Pola-pola tindakan dalam gaya hidup, melebur menjadi identitas

seorang individu bersama dengan ciri fisik dan identitas administratif. Selain

nama, tanggal lahir, jenis kelamin, warna kulit, gestur tubuh dan lain

sebagainya, gaya hidup juga akan ikut serta memperkenalkan seseorang atau

kelompok kepada orang dan kelompok yang lain. Sebagai contoh, Raffi

Ahmad, selain ia dikenal sebagai laki-laki kelahiran Bandung, berwajah

tampan dan berkulit putih, ia juga dikenal sebagai artis playboy dan gemar

mengoleksi mobil sport mewah. Ataupun cosplayer yang meniru dandanan

8 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Konprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:

(40)

karakter anime dengan bergaya hidup yang meniru anime pula dengan

memakai gaya rambut dan gaya bicara layaknya dalam anime. Bahkan, gaya

hidup menjadi unsur yang paling dianggap penting bagi sebagian besar

masyarakat modern untuk membentuk identitas dirinya dan dikenal orang

sesuai dengan penggambaran yang diinginkan.

Term “gaya hidup” sebenarnya bukan hal yang baru dalam kajian ilmu

sosial. Sebelumnya, telah ada dan banyak sosiolog yang membahas tentang

gaya hidup, khususnya pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan karena

gaya hidup menjadi salah satu cakupan yang tidak dapat dipisahkan dengan

berbagai fenomena yang terjadi pada masyarakat modern semenjak kehadiran

era baru yang ditandai dengan semakin mapannya kapitalisme dan pesatnya

perkembangan sains dan teknologi. Bahkan, gaya hidup menjadi salah satu ciri

sebuah dunia modern atau yang biasa juga disebut modernitas. Maksudnya

adalah siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan

gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri

maupun orang lain.9

Pentingnya gaya hidup bagi seorang individu atau golongan

masyarakat tertentu tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan perkembangan

industri mutakhir. David Chaney, sebagaimana Idy Subandi Ibrahim dalam

pengantarnya, menjelaskan bahwa kapitalisme konsumsi benar-benar ikut

berperan penting dalam memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat

(41)

konsumen.10 Kapitalisme yang mapan, memunculkan sebuah budaya baru

yang bernama “konsumerisme”. Budaya inilah yang kemudian menjadi cikal

bakal kegandrungan masyarakat untuk bergaya hidup. Konsumerisme semakin

meningkat mengikuti luapan produksi industri dan menjadi fenomena

sehari-hari dalam masyarakat modern. Kehidupan sesehari-hari-sehari-hari tertuju pada pendapatan

dan konsumsi barang yang sebagai simbol peran yang penting (konsumsi

mencolok, berbelanja sebagai aktifitas memuaskan diri sendiri terlepas dari

kebutuhan nyata untuk membeli).11

Pada umumnya, masyarakat bergaya hidup dengan menokohkan

orang-orang tertentu yang dianggap terkenal dan diidolakan sebagai referensi

gaya hidupnya. Kebanyakan tokoh tersebut adalah aktor film, musisi, model,

pemain sepakbola dan selebriti. Tidak jarang kemudian industri mengiklankan

setiap produk dengan menggandeng selebriti atau tokoh terkenal lainnya untuk

memasarkan produknya, memanfaatkan kepopuleran selebriti. Dan bisa pasti

produk tersebut akan laku dan menjadi keinginan yang wajib dipenuhi oleh

masyarakat konsumsi, khususnya penggemar selebriti yang menjadi bintang

iklan.

Demikian cosplayer, wibu dan otaku yang bergaya hidup jejepangan

pun meniru tokoh atau karakter dalam anime, game dan lain sebagainya

mereka menokohkan karakter dalam anime dan menokohkan para musisi

Jepang untuk dijadikan acuan style sehari-hari. Misalnya dengan gaya

10 Ibid 12.

(42)

rambutnya yang acak-acakan dan fashion-nya yang cenderung memakai warna

gelap ataupun masih banyak lagi.

Mencoloknya gaya hidup dalam masyarakat (modern) melahirkan

industri baru yang beroperasi di bidang yang sama (gaya hidup). Kehadiran

industri tersebut memperramai minat masyarakat untuk berbondong-bondong

memoles dirinya dengan cara dan gaya hidupnya masing-masing. Melepaskan

aspek “kegunaan” dan aspek “kebutuhan”, beralih dan fokus ke aspek

“keinginan” yang dalam praktiknya hanya pada sisi luar diri manusia. Idy

Subandi Ibrahim melalui ungkapan Chaney, bahwa “penampakan luar”

menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya hidup. Hal-hal permukaan

akan menjadi lebih penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih

penting daripada fungsi. Gaya menggantikan substansi. Kulit akan

mengalahkan isi.

Cosplayer adalah ladang persemaian kapitalisme yang cenderung

mengkonsumsi berbagai produk dan jasa tanpa memikirkan nilai guna.

Semuanya hanya demi kepuasan dan hiburan. Pemasaran penampakan luar,

penampilan, hal-hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi bisnis

besar gaya hidup.12 Itulah sebabnya gaya hidup menjadi bagian tidak

terpisahkan dengan kegiatan konsumsi.

Dalam prosesnya, gaya hidup sudah bukan lagi menjadi identitas yang

dimonopoli kelompok kelas sosial tertentu. Semua orang dengan latar

belakang sosial, agama, ekonomi dan etnis apapun dapat bergaya hidup sesuai

12 David Chaney, Lifestyles: Sebuah Pengantar Konprehensif, trans. Nuraeni (Yogyakarta:

(43)

yang mereka inginkan dan sesuai tokoh yang mereka idolakan. Ulama atau

pemuka agama akan mengikuti fashion yang digunakan tokoh pemeran agama

dalam sebuah sinetron atau film, mulai dari mengikuti model busana muslim,

merek sarung dan kopyah, cara bersorban dan lain-lain. Juga bagi pemuda dari

golongan ekonomi ke bawah yang tidak malu meniru gaya hidup musisi atau

penyanyi dengan kebiasaan minum dan mengonsumsi obat terlarang. Dan

tidak ketinggalan pula golongan pecinta film anime yang mulai memudar

rasionalitasnya dengan aktifitas meniru gaya busana dan tingkah laku karakter

dalam anime, disertai kebiasaan yang seakan-akan anti terhadap sesuatu yang

tidak mencirikan karakter anime yang diidolakan.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, gaya hidup akan

mengalihkan masyarakat dari nilai substansial yang ada dalam diri manusia ke

hal yang eksistensial saja. Seorang Ulama akan terlihat lebih relijius ketika ia

memiliki perangkat atau instrumen (islami) yang lebih lengkap dan trendi,

terlepas dari kemampuannya dalam memahami serta mengamalkan ilmu dan

ajaran agama. Semuanya akan dipandang dari sisi permukaan saja, mengikuti

mode yang telah diatur oleh iklan-iklan produk industri. Iklan yang tidak

hanya menawarkan barang, melainkan juga mengindoktrinasi secara perlahan,

lembut dan berseduksi. Membangkitkan gairah dan nafsu masyarakat untuk

selalu mengonsumsi dan mengonsumsi. Begitu seterusnya.

C. Fenomenologi Peter L. Berger dan Thomas Luckmann

Sejatinya, fenomenologi merupakan reaksi atas metodologi positivistik

(44)

mata. Sehingga cenderung menghasilkan sebuah (hasil) pengamatan yang

kurang mendalam. Sedangkan fenomenologi berangkat dari pola pikir

subyektivisme, yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang tampak,

akan tetapi berusaha menggali makna di balik gejala itu.13

Teori ini mengkaji atau mengupas suatu fenomena dengan dalam,

lebih pada apa yang tidak tampak atau motif dan tujuan, tidak terpaku pada

yang tampak, misalnya tindakan secara fisik. Dengan begitu, analisis yang

didapatkan pun akan sangat mendalam untuk menyibak suatu fenomena.

Randall Collins menyebutnya sebagai proses penelitian yang menekankan

meaningfulness”. Begitu juga dalam memahami perlawanan warga desa

terhadap kekuasaan kepala desa, tidak hanya melihat apa yang tampak di

permukaan, akan tetapi lebih pada pemahaman mengapa warga desa itu

melakukan perlawanan.14

Dalam perjalanannya, studi mengenai fenomenologi sebagai teori dan

metodologi mengalami pengembangan-pengembangan yang cukup signifikan.

Sejak diperkenalkan oleh Edmund Husserl, kemudian dilanjutkan Alfred

Schutz sampai pada perkembangan mutakhir di masa kontemporer,

fenomenologi telah dipoles oleh Thomas Luckman dan Peter L. Berger

dengan koreksi di pelbagai sisi. Salah satunya adalah komentar Berger

terhadap fenomenologi Schutz yang dianggap terlalu dangkal karena hanya

berfokus pada rutinitas sehari-hari yang tidak bersifat problematik.

13 Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial &

Perilaku Sosial (Jakarta, Kencana: 2014) 133.

(45)

Berger dan Luckmann menganggap bahwa orang awam itu pada

dasarnya tidak kritis. Mereka hidup dan bekerja dalam pola kehidupan yang

tidak problematik. Makna dan validitas yang ditangkapnya sebagai sesuatu

yang sudah ada (pen. given). Oleh karena itu, jika metode itu dengan begitu

saja diterapkan, maka peneliti hanya akan menangkap makna tindakan orang

awam apa adanya (sebagai orang itu sendiri) memahami makna tindakan

tersebut. Dengan demikian hasil kajiannya akan memberikan gambaran makna

yang sangat dangkal, karena akal sehat kehidupan keseharian merupakan

pengetahuan yang dianggap telah memadai dan valid tanpa harus dibahas

lebih lanjut secara problematik.15

Koreksi Berger dan Luckmann terhadap fenomenologi Schutz

dilengkapi pula dengan pengembangan melalui pemahaman akan suatu

tindakan sebagai suatu dialektika antar individu dalam masyarakat, yakni

meliputi eksternalisasi, internalisasi dan obyektifikasi. Artinya, setiap

tindakan manusia dilakukan secara dialektis antara diri (the self) dengan dunia

sosio-kultural.16 Pertama, eksternalisasi merupakan kontak individu sebagai

subyek dengan dunia eksternalnya (lingkungan). Misalnya, ajakan seorang

cosplayer kepada individu yang juga memiliki kegemaran akan anime, game,

komik, dan aplikasi jejepangan, akan tetapi bukan sebagai cosplayer.

Persinggungan tersebut merupakan proses dialektika tahap awal antar individu

dalam lingkungan cosplay, dan kemudian akan diantitesiskan (sebagaimana

dialektika) dengan obyektifikasi dan internalisasi.

15 Ibid 146.

(46)

Kedua, obyektifikasi adalah proses di mana persinggungan yang telah

terjadi dalam eksternalisasi menjadi suatu fenomena yang obyektif.

Maksudnya, persinggungan seorang individu dengan tayangan anime

menimbulkan sebuah hobi yang kemudian dilembagakan menjadi sebuah

kegiatan atau tindakan kolektif. Salah satunya adalah cosplay. Kegiatan

semacam cosplay inilah yang kemudian tidak lagi menjadi sebuah pemaknaan

individu secara subyektif terhadap lingkungan yang sebelumnya ia singgungi,

akan tetapi telah menjadi suatu ruang atau media interaksi sosial yang

institusional.

Ketiga, proses internalisasi. Dalam proses ini, titik tekannya ada pada

interaksi individu atau masyarakat dengan institusi-institusi dalam lingkungan

sosial, baik berupa nilai, budaya atau lembaga dan organisasi sosial. Sehingga

memungkinkan bagi individu untuk memaknai posisi dirinya secara subyektif

dengan institusi sebagaimana dimaksud. Jika dikaitkan kembali dengan contoh

di atas, maka dalam proses internalisasi ini akan berbicara tentang bagaimana

seorang individu penggemar anime ketika sudah bersinggungan dengan

sebuah nilai, budaya dan organisasi (institusional) yang telah dihasilkan dari

proses obyektifikasi, dalam hal ini adalah komunitas cosplay. Umpamanya ia

akan memosisikan diri sebagai cosplayer, wibu, otaku atau ketiganya

sekaligus.

Dengan ciri tersebut, fenomenologi Berger dan Luckmann dapat

dikategorikan sebagai fenomenologi eksistensial yang berorientasi pada level

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan, bahwa skripsi saya yang berjudul Majalah Komunitas Sebagai Media Informasi Gaya Hidup (Studi tentang kontribusi Happen Skateboarding Magazine dalam

nilai-nilai agama dan norma sosial serta menimbulkan kecemburuan sosial (Santrock, 1999 : 26). Gaya hidup homoseksual adalah pola hidup seorang homoseksual yang

Selain itu hasil penelitian sangat diharapkan memberikan deskripsi gambaran yang cukup jelas dan informasi mengenai pelaku seni cosplay di kota Solo pada masyarakat

Lokasi ini dipilih karena lokasi tersebut sesuai dengan kriteria yang dimaksud di dalam penelitian yang berjudul “Sneakers Sebagai Gaya Hidup Dan Komunitas

Terdapat hubungan yang signifikan antara konformitas dangan gaya hidup pada komunitas punk di kota Padang Panjang dengan arah negatif, yaitu semakin tinggi konformitas yang

Proses difusi atau proses penyebaran ini dilakukan dengan tujuan menyebarkan ajaran, nilai-nilai, kepercayaan, maupun kebudayaan kepada masyarakat lain, untuk mendominasi dan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini membahas tentang gambaran gaya hidup pada komunitas Danz Base WA, GT dan RA mempunyai kesamaan yakni meluangkan waktunya

Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Gaya hidup setiap kelompok