• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi | Mauliddar | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6601 15279 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gratifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerima Gratifikasi | Mauliddar | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 6601 15279 1 PB"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. GRATIFIKASI SEBAGAI TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT ADANYA LAPORAN

PENERIMA GRATIFIKASI

THE GRATIFICATION AS CORRUPTION IN REGARD WITH A REPORT FROM A GRATIFICATION RECEIVER

Nur Mauliddar

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111

E-mail: nur.maulidar591@gmail.com

Mohd. Din

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111

Yanis Rinaldi

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh, 23111

Diterima: 07/03/2017; Revisi: 30/03/2017; Disetujui: 07/04/2017

ABSTRAK

Tindak pidana gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun ketentuan ini hanya berlaku bagi penerima gratifikasi, sedangkan pemberi gratifikasi diatur dengan ketentuan Pasal 5. Sementara itu Pasal 12C menyatakan jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi tersebut kepada KPK terhitung paling lambat 30 hari sejak gratifikasi tersebut diterima, maka ketentuan Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi dan hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi jika penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Metode peneliti-an ypeneliti-ang digunakpeneliti-an adalah penelitipeneliti-an yuridis normatif. Hasil penelitipeneliti-an menunjukkpeneliti-an bahwa kedudukan pemberi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, setiap pemberian yang dilakukan kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dengan harapan agar penerima gratifikasi melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tugasnya, dan semata-mata untuk memenuhi keinginan pemberi gratifikasi. Hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi yaitu si pemberi tetap memiliki sifat melawan hukum atas perbuatan mem-berkan gratifikasi, sedangkan adanya laporan penerima gratifikasi bukan merupakan sebuah alasan peniadaan pidana. Akan tetapi alasan peniadaan pidana itu ditujukan terhadap penerima gratifikasi. Disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memberikan pembatasan tentang makna dari gratifikasi dan merevisi ketentuan Pasal 12C sehingga terciptanya suatu keseimbangan antara penerima dan pemberi gratifikasi.

(2)

ABSTRACT

A crime of gratification has been legislated in Article 12B of the Act Number 20, 2001 in regards with the Alteration of the Act Number 31, 1999 regarding the Corruption Suppression Act. However, it only applies for a gratification receiver, while a gratifier is ruled in Article 5. Article 12C has provided a possibility that if the receiver may report the KPK (Corruption Suppression Commission) within 30 days sine the acceptance, and Article 12B (1) is not applicable. It means that the act which is against the law of accepting it becoming void; nevertheless the gratifier violates the law. This research aims to explore the existence of gratifier in a corruption case and the absence of a breaching law element of the gratifier if the receiver of gratification reports the KPK (Corruption Suppression Commission). This is juridical normative research. The research shows that the existence of the gratifier of corruption is worded in Article 5 of the Corruption Suppression Act that every gift for a civil servant/official aiming at the gratification receiver commits a thing or omit to do a thing violating his/her duty in order to fulfill the need of the gratifier. The absence of an act violating the law of the gratifier in a corruption case in regard with the report from the gratification receiver is that the gratifier does still violate the law due to the commission, while by the report from the receiver, the act against the law is not avoid. However, the reason for abolishing the punishment is only for the gratification receiver. This recommended that the lawmakers should provide a limit on the meaning of gratification and should be revised hence of Article 12C there is a balance between the receiver and the gratifier.

Keywords: Gratifier, Corruption, Gratification Receiver.

PENDAHULUAN

Tindak pidana korupsi merupakan suatu sifat tercela dan sudah menjadi fenomena sosial yang

tidak hanya merugikan negara tetapi juga merupakan suatu pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh korupsi.

Korupsi merupakan kejahatan sistemik yang berkaitan dengan kekuasaan yang terbentuk secara

struktural dan terorganisir. Korupsi dapat merusak sendi-sendi kepribadian bangsa terutama yang

diakibatkan oleh intellectual corruption.1

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta

ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi

dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar biasa pula

1 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta, 2000, hlm.

(3)

(extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk memberantasnya (extra

ordinary measures).2

Tindak pidana gratifikasi merupakan bagian dari tindak pidana korupsi yang terdiri dari

pemberi dan penerima gratifikasi. Adapun ketentuan hukum positif yang mengatur tentang pemberi

gratifikasi terdapat pada Pasal 5, yaitu:

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan denda paling lama 5 (lima)

tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau

tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban, atau:

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau

tidak dilakukan.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b dipidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Sedangkan ketentuan hukum terhadap penerima gratifikasi terdapat pada Pasal 12B

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu:

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian

suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan

tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa

gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.

b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa

2

(4)

gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Keberadaan Pasal 5 dan Pasal 12B ini masih membingungkan dan dalam penerapannya akan

terjadi tumpang tindih dengan ketentuan hukum yang lain. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 12C

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B, ayat (1) tidak berlaku, jika penerima

melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima

gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut

diterima.

(3) Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari

kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik

penerima atau milik negara

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam

Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi berasal dari dua kata yaitu tindak pidana dan korupsi. Istilah tindak

pidana berasal dari istilah hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Pada dasarnya istilah strafbaar feit

ini berasal dari tiga kata yaitu straf, baar, feit. Straf diartikan dengan pidana atau hukum, baar

diartikan dengan dapat atau boleh, dan feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa atau perbuatan.

(5)

Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, artinya perbuatan yang oleh aturan

hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan

yang bersifat aktif (melakukan sesuatu perbuatan yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga

perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum).3

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption atau corruptus, dan dalam bahasa

Inggris yaitu corruption atau corrupt, serta dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi yang berarti

penyuapan, perbuatan korup. Menurut Andi Hamzah korupsi diartikan sebagai kebusukan,

kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian serta kata-kata

yang menghina atau fitnah.4 Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang–Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2

ayat (1) atau setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal

3).

Ketentuan mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B. Dalam penjelasan Pasal 12B

disebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang,

komisi, rabat (discount), pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan

wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam

negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa

sarana elektronik. Dengan demikian gratifikasi merupakan uang atau hadiah kepada pegawai negeri

3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi 1, Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 50.

4 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia (Masalah dan Pemecahannya), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

(6)

di luar gaji yang telah ditentukan atau dapat dikatakan gratifikasi yaitu servis yang diberikan kepada

pegawai negeri atau penyelenggara negara.5

Dalam tindak pidana gratifikasi ada dua pihak yang sama–sama berperan aktif untuk

mewujudkan tindak pidana gratifikasi tersebut secara sempurna, yaitu pemberi dan penerima

gratifikasi. Pemberi gratifikasi diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan penerima diatur dalam Pasal 12B.

Namun dengan adanya ketentuan Pasal 12C, yaitu ketika penerima gratifikasi melaporkan

gratifikasi kepada KPK dalam waktu paling telat 30 hari, maka ketentuan hukum Pasal 12B ayat (1)

tidak berlaku. Hal ini jika dilihat secara cermat akan menimbulkan ketidakadilan bagi penerima dan

pemberi gratifikasi. Aristoteles menyatakan keadilan harus berdasarkan hukum, yaitu seseorang

mendapatkan hak atau jatah secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan dan

kemampuan. Keadilan dalam konteks korupsi yang dituntut bukan kesamaan tetapi perimbangan.

Begitu juga jika dilihat dari pertanggungjawaban tindak pidana gratifikasi.6

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam penelitian yuridis normatif. Dalam penelitian yuridis normatif,

hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaedah, asas, atau dogma-dogma. Objek penelitian ini adalah

norma perundang-undangan yang berkaitan dengan gratifikasi.7

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan memberi gambaran

tentang pengaturan tentang permasalahan pokok yang sedang diteliti. Sedangkan pendekatan

konsep akan diperoleh gambaran tentang kesesuaian pokok permasalahan yang telah diatur dalam

5

M. Nurul Irfan, Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati, Jurnal Hukum Madania, Vol. XVIII, No. 2, Desember 2014, hlm. 131.

6 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 8.

7 Sulistyowati dan Sidharta, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), Yayasan Obor Indonesia,

(7)

peraturan perundang-undangan dengan konsep-konsep yang membahas tentang pokok

permasalahan itu sendiri.8

Data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi

dokumentasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Pemberi Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, perbuatan gratifikasi

muncul dalam berbagai bentuk. Gratifikasi bisa dilakukan di dalam maupun di luar negeri,

baik melalui media elektronik, pos wesel dan media lainnya. Bahkan perbuatan gratifikasi

tersebut dilakukan pada saat yang kurang tepat, misalnya pada hari raya Idul Fitri, pesta

perkawinan, ulang tahun, perjalanan wisata. Perbuatan gratifikasi mempunyai

kaitan/hubung-an dengkaitan/hubung-an jabatkaitan/hubung-an si pemberi dkaitan/hubung-an si penerima gratifikasi. Artinya akkaitan/hubung-an terjadi suatu pemikirkaitan/hubung-an

yang ambigu apakah pemberian itu didasarkan atas ucapan terimakasih atas suatu

persahabatan, ataupun pemberian tersebut murni sebagai sadar niat dari si pemberi gratifikasi

agar keinginannya dapat tercapai.

Secara normatif, perbuatan gratifikasi ini termasuk dalam delik pidana yang tidak hanya

memiliki sifat melawan hukum formil, namun juga melawan hukum materiil. Hal ini

ditimbulkan atas dampak dari perbuatan gratifikasi yang telah memasuki ranah moral dan

etika pejabat, sehingga memerlukan pembenahan sistem. Secara umum akibat dari perbuatan

ini disadari atau tidak, dapat membentuk masyarakat yang tidak harmonis dan kesenjangan

sosial. Bahkan secara politis dapat menciptakan disintegrasi bangsa karena hilangnya

kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Realitas saat ini menunjukkan bahwa

8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing,

(8)

materialisme telah tumbuh dan merasuk dalam struktur sosial masyarakat. Nilai-nilai agama

yang mengajarkan moralitas bagi manusia hampir punah dan diabadikan begitu saja oleh

sebagian dari mereka. Ini membuktikan bahwa gratifikasi dalam tindak pidana korupsi

merupakan suatu penyakit sosial yang dapat merusak tidak hanya per individu manusia namun

seluruh lapisan yang menopang kehidupan manusia, sehingga dalam hal ini keberadaan

gratifikasi ini harus benar-benar dimaknai secara jelas yaitu kriteria gratifikasi apa saja yang

dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.9

Terinspirasi dari hal di atas, maka tidak semua jalur prosedural yang tunduk pada

aturan-aturan normatif bisa membawa ke arah yang bermanfaat pada kesejahteraan manusia.

Para pejabat/penyelenggara negara tidak akan menerima pemberian dalam bentuk apapun

sebagaimana tertuang dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan bersikap tegas untuk menolaknya karena akan melanggar ketentuan Pasal 12B

serta dianggap telah melampaui batas-batas moral sebagai pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang harus menjalankan kewajibannya sebagai bentuk amanah dari pemberantasan

tindak pidana korupsi. Demikian juga dengan pemberi gratifikasi, mereka telah menyad ari

ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga mereka

tidak akan memberikan hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara ketika

hadiah tersebut berpotensi sebagai tindak pidana gratifikasi atau wujud dari keingi nan

pemberi yang hendak dicapai.

Pemberian hadiah sebagai suatu perbuatan atau tindak seseorang yang memberikan

sesuatu (uang atau benda) kepada orang lain tentu saja hal itu diperbolehkan, namun jika

pemberian tersebut dengan harapan untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari

9 Syamsul Bahri, Korupsi dalam Kajian Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67 Tahun XVII,

(9)

pejabat yang diberikan hadiah, maka pemberian tersebut tidak hanya sekadar ucapan selamat

atau tanda terima kasih, akan tetapi sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan dari pejabat

atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas, independensi, serta objektivitasnya. Hal

inilah yang termasuk dalam lingkup pengertian gratifikasi, sebagaimana yang terdapat dalam

penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.10

Pada dasarnya gratifikasi dapat diartikan secara positif dan negatif. Gratifikasi positif

adalah pemberian hadiah yang dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang

lain tanpa pamrih, artinya pemberian dalam bentuk tanda kasih tanpa mengharapkan balasan

apapun. Sedangkan gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dengan tujuan pamrih,

pemberian ini telah membudaya di kalangan aparatur sipil negara maupun pengusaha karena

adanya interaksi kepentingan.

Kepentingan ini meliputi agar penerima gratifikasi mau melakukan sesuat u atau tidak

melakukan sesuatu, sehingga dalam hal ini keuntungan berpihak pada pemberi gratifikasi,

karena dengan adanya pemberian hadiah tersebut setidaknya penerima gratifikasi akan

terpengaruh baik itu dalam mengambil keputusan maupun menentukan suatu kebijakan. Atas

dasar itu tidak setiap pemberian gratifikasi harus dianggap sebagai suap (korupsi), tetapi harus

dilihat siapa yang memberi dan dilihat pula apakah si penerima mempunyai jabatan tertentu.11

Tindak pidana gratifikasi merupakan tindak pidana baru yang terdapat dalam

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturannya terdapat pada Pasal 12B, yaitu:

(1)Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap

penerima suap apabila berhubungan dengan jabatannya yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut:

10 Andri Winjaya Laksana, Tinjauan Mengenai Gratifikasi Pelayanan Seks, Jurnal Hukum, Vol. XXX. No. 2,

Desember 2014, hlm. 1.

(10)

a. Yang nilainya Rp. 10.000.000;00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih pembuktian

bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima

gratifikasi.

b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000;00 (sepuluh juta rupiah),

pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2)Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara seb agaimana dimaksud

dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda

paling sedikit Rp. 200.000.000;00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000;00 (satu milyar rupiah).

Ketentuan di atas hanya berlaku kepada penerima gratifikasi dan tidak berlaku bagi

pemberi gratifikasi. Sebaliknya pemberi gratifikasi dikenakan ketentuan Pasal 5 Undang

-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

(1)Dipidana dengan pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)

tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000;00 (lima puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000;00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

setiap orang yang:

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau

penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau

penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena

atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,

(11)

(2)Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana

yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Adapun contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain: (a)

pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu; (b) hadiah atau

sumbangan rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya; (c) pemberian tiket

perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara

cuma-cuma; (d) pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk

pembelian barang atau jasa dari rekanan; (e) pemberian biaya atau ongkos naik haji dari

rekanan pejabat atau pegawai negeri; (f) pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara

pribadi lainnya dari rekanan; (g) pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai

negeri pada saat kunjungan kerja; (h) pemberian hadiah atau parcel kepada pejabat/pegawai

negeri pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya.12

Tindak pidana gratifikasi sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 12B

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa objek gratifikasi

adalah pemberian uang, barang, rabat (discount) komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket

perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma. Gratifikasi

tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan

menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.13 Selain itu terdapat juga

kasus-kasus yang dapat digolongkan gratifikasi yaitu: (a) pembiayaan kunjungan kerja lembaga

legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif; (b)

12 David Daniel Paruntu, Tolok Ukur Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi, Jurnal Hukum

Lex Crimen, Vol. 3, No. 2, April 2014, hlm. 47.

13 Hafrida, Analisis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. 6. No.

(12)

cedera mata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor kelulusan; (c) pungutan liar di jalan

raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat

bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (Dinas Pendapatan Daerah),

LLAJR, dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan

yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku; (d) uang retribusi

masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh instansi pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan

Dinas Pendapatan Daerah; (e) parcel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada

pejabat: (f) perjalanan wisata bupati menjelang akhir jabatan.14

Sementara itu berdasarkan ketentuan Pasal 12C, gratifikasi tidak dianggap suap jika

penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari

terhitung sejak gratifikasi diterima. Hal ini berarti penerima gratifikasi tidak dapat dipidana.

Penerima baru dapat dipidana apabila tidak melapor pada KPK. Perumusan Pasal ini terkesan

sebagai alasan penghapus pidana.

Sementara itu perumusan gratifikasi sendiri dalam formulasinya masih belum jelas,

karena dalam pasal gratifikasi tersebut tidak disebutkan batasan minimal seseorang dapat

dikatakan telah melakukan gratifikasi, dan beban pembuktian t erhadap penerimaan suap

gratifikasi dengan nominal Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih maka beban

pembuktiannya), maka yang harus membuktikan adalah jaksa penuntut umum (pembuktian

biasa). Demikian juga apabila pegawai negeri atau penyelengga ra negara segera melaporkan

terjadinya gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling

lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya gratifikasi, maka pidananya menjadi

hapus.15

14 Muh Yusuf Natsir, “Contoh Gratifikasi”, http://www.standar.org/2013/01/contoh-contoh-gratifikasi.html di

akses pada tanggal 12 Januari 2017 pukul 12.45 WIB.

15 Nadya Syafira, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan Undang-Undang No. 31

(13)

Perumusan gratifikasi secara limita tive sebagaimana terdapat dalam Pasal 12B

mengandung kelemahan yakni terhadap timbulnya penafsiran terhadap bentuk dari pemberian

yang tidak secara tegas disebutkan oleh undang-undang berarti diperbolehkan. Memang dalam

penjelasan Pasal tersebut terdapat kalimat “dan fasilitas lainnya”, di mana perumusan tersebut

dimaksudkan untuk mengantisipasi atau menampung kemungkinan terjadinya perbedaan

penafsiran terhadap maksud dari “pemberian”.16

2) Hilangnya Sifat Melawan Hukum Pemberi Gratifikasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Sifat melawan hukum merupakan hal pokok yang harus ada dalam setiap rumusan tindak

pidana. Artinya suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana apabila

terhadap perbuatan itu mengandung sifat melawan hukum sehingga si pelaku d apat dipidana.

Kata melawan hukum berasal bahasa Belanda wedder echtelijk atau onr echma tige atau dalam

bahasa Inggris unla wful yang diartikan dengan sifat melawan hukum. Terminologi

wedder r ecthtelijk sering digunakan dalam bidang hukum pidana dan onr echma tige digunakan

dalam hukum perdata17.

Kata melawan hukum dapat diartikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum

atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan yang ditentukan dalam undang-undang atau

menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Bersifat melawan hukum

berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum,

atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Dalam hal ini yang dimaksud

dengan hukum adalah hukum positif (hukum yang berlaku).

16 Ilman Hadi, “Ancaman Pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi”,

http:/www.hukumonline.com/klinik/detail/lt03edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan penerima-gratifikasi, di akses tanggal 20 Desember 2016 pukul 20.23 WIB.

17 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana di Indonesia

(14)

Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana selain dari unsur

perbuatan dan akibat serta unsur ancaman pidana. Kedudukan sifat melawan hukum sangat

penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana yaitu perb uatan-perbuatan yang

bersifat melawan hukum saja.18

Untuk dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara dan

atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit maka sifat melawan hukum dalam

tindak pidana korupsi yang terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, mencakup sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.19

Melawan hukum formil yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sudah diatur dalam

peraturan perundang-undangan, dengan kata lain sudah ada aturan yang mengatur tentang

perbuatan tersebut. Sedangkan melawan hukum materiil yaitu jika perbuatan yang dilakukan

menimbulkan ketidakadilan atau keresahan di dalam masyarakat.20 Hal ini didasarkan dengan

adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 pada tanggal 24 Juli 2006

mengenai pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu yang

dimaksud dengan perbuatan melawan hukum yaitu meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat. Maka

perbuatan tersebut dapat dipidana.

Sementara itu dalam Pasal 12C ditentukan apabila penerima gratifikasi melaporkan

gratifikasi yang diterimanya maka si penerima gratifikasi tidak pidana dengan alasan sifat

18

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 130.

19

Ridwan, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 60 Tahun XV, Agustus 2013, hlm. 202.

20 Fransiska Novita Eleanora, Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan, Jurnal

(15)

melawan hukumnya hilang21. Dilihat dari segi substansial, hal ini dirasakan janggal, karena

seolah-olah sifat melawan hukumnya perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima

tergantung pada ada tidaknya laporan yang bersifat administratif prosedural. Sehingga

keberadaan Pasal 12C ini dianggap sebagai alasan penghapus pidana 22. Apabila unsur

melawan hukum itu tidak ada/ tidak terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidan a . ini berarti

ketentuan ini mengandung asas tiada pidana tanpa sifat melawan hukum (no lia bility without

unla wfulness).23

Namun demikian dalam praktik peradilan, khususnya melalui yurisprudensi Mahkamah

Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan

hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari

pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana.

Mahkamah Agung melalui yurisprudensi juga melakukan pergeseran perbuatan melawan

hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kriteria limita tive dan kasuistik berupa

perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan

hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang j auh tidak seimbang bagi

masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak

memenuhi rumusan delik tersebut.

Sementara itu, penerapan sifat melawan hukum materiil ini juga terdapat dalam salah

satu putusan Mahkamah Agung yaitu melalui putusan Mahkamah Agung RI No. 758

K/Pid/2004 atas nama terdakwa Drs. Naek Lumbantobing yang diputus pada hari Rabu

tanggal 26 April 2006, Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3 (tiga) sifat hilangnya

unsur (besta ndellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak

21 Nur Laeli Fauziah, Penghapusan Pidana Bagi Pejabat Negara atau Penerima Gratifikasi, Jurnal Hukum

Islam, Vol. 1, N0 1, Juni 2015. hlm. 27.

22 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 8.

23 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP

(16)

tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak

mendapat untung.24

Dalam hal ini, walaupun tindakan pelaporan penerimaan gratifikasi kepada KPK ini

dapat dianggap sebagai dasar penghapus sifat melawan hukum perbuatan, namun perbuatan

menerima gratifikasi tetap merupakan korupsi, karena jelas melanggar ketentuan Pasal 12B

ayat (1) Jo (2). Oleh karena itu, andai kata si penerima diajukan juga ke sidang pengadilan

sebagai terdakwa dan apabila dapat dibuktikan dan dipenuhinya ketentuan Pasal 12C ayat (1)

dan (2), maka kepada pegawai negeri tersebut tidak diputus bebaskan (vr ijspr a a k) tetapi lepas

dari segala tuntutan hukum (ontsla g va n a lle r echtsver volging), karena perbuatan menerima

gratifikasi telah terbukti.25

Ketentuan mengenai pelaporan penerimaan gratifikasi ini hendaknya tidak diperlakukan

secara umum, mengingat gratifikasi ini sangat luas pengertiannya. Maksudnya adalah agar

setiap pelaporan oleh pegawai negeri yang menerima gratifikasi ke KPK, tidak dijadikan

alasan oleh pejabat penyidik untuk tidak melakukan penyidikan, atau tidak memproses tentang

kasus penerimanya itu. KPK dalam hal ini menetapkan gratifikasi sebagai milik penerima atau

milik negara tidak dapat dianggap sebagai putusan hakim. Memang dari segi yuridis,

penyidikan tidak terhenti atau hak penyidikan tidak terhapus karena si pembuat telah

melaporkan kepada KPK.

Dengan demikian rumusan mengenai gratifikasi ini hendaknya dirumuskan secara

komprehensif mengenai masalah pemberi dan penerima gratifikasi sebagai aturan yang

bersifat utuh, sehingga dalam hal penerapan sanksi dapat mengacu pada satu Pasal yang

mengaturnya. Ini berdampak pada prinsip keseimbangan dan keadilan, di mana para pelaku

24 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia , Bayumedia Publising, Malang,

2014, hlm. 288.

25 Sulistia Teguh dan Zurnetti Aria, Sistem Pembuktian Gratifikasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi,

(17)

baik pemberi maupun penerima gratifikasi memperoleh sanksi yang sesuai dan setimpal,

sehingga penegakan hukum mengenai tindak pidana gratifikasi sesuai dengan tujuan yang

hendak dicapai yaitu keadilan dan kepastian hukum.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan. Pertama, keberadaan pemberi gratifikasi

dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi, berdasarkan

kedudukan pemberi gratifikasi, diatur sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, gratifikasi adalah setiap pemberian kepada pegawai

negeri/penyelenggara negara agar penerima gratifikasi melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu yang berlawanan dengan tugasnya, semata-mata untuk memenuhi

keinginan si pemberi gratifikasi. Kedua, hilangnya sifat melawan hukum pemberi gratifikasi

dalam tindak pidana korupsi terkait adanya laporan penerima gratifikasi yaitu si pemberi tetap

memiliki sifat melawan hukum atas perbuatan memberikan gratifikasi, sedangkan adanya

laporan penerima gratifikasi bukan merupakan sebuah alasan peniadaan pidana. Akan tetapi

alasan peniadaan pidana itu ditujukan terhadap penerima gratifikasi.

Disarankan kepada pembentuk undang-undang agar memberikan pembatasan tentang

makna dari gratifikasi sehingga multi tafsir dari gratifikasi tersebut dapat dihilangkan.

Diharapkan kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi Pasal 12C supaya terciptanya

keseimbangan antara penerima dan pemberi gratifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, 2014, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia

(18)

Andi Hamzah, 1997, Korupsi di Indonesia (Masalah dan Pemecahannya), PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Andri Winjaya Laksana, 2014, Tinjauan Mengenai Gratifikasi Pelayanan Seks, Jurnal Kanun, Vol

XXX No 2, Desember.

Baharuddin Lopa, 2000, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan Pertama, Kompas,

Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru), Ed.1, Cet. 3, Kencana, Jakarta.

Chaerudin, 2008, Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, PT. Refika Aditama, Bandung.

David Daniel Paruntu, 2014, Tolok Ukur Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Gratifikasi,

Jurnal Hukum Lex Crimen, Vol. III, Nomor 2, April.

Evi Hartanti, 2008, Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Fransiska Novita Eleanora, 2012, Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana

Penyuapan, Jurnal Hukum, Vol. 9. No. 2, April.

Hafrida, 2013, Analisis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Jurnal

Hukum, Vol. 6. No. 7, Maret.

Ilman Hadi, 2016, “Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi”,

http:/www.hukumonline.com/klinik/detail/lt03edf703889a/ancaman-pidana-bagi-pemberi-dan

penerima-gratifikasi, di akses tanggal 20 Desember, pukul 20.23 WIB.

Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.

Johny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Ketiga,

Bayumedia Publishing.

Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana

di Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi),

(19)

Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama, PT.

Alumni, Bandung.

M Nurul Irfan, 2014, Gratifikasi di Mahkamah Konstitusi dan Wacana Hukuman Mati, Jurnal

Hukum Madania, Vol. XVIII. Nomor 2, Desember.

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muh Yusuf Natsir, 2017, “Contoh Gratifikasi”,

http://www.standar.org/2013/01/contoh-contoh-gratifikasi.html di akses pada tanggal 12 Januari, pukul 12.45 WIB.

Nadya Syafira, 2015, Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum, Vol. II. No. 2, Maret.

Nur Laeli Fauziah, 2015. Penghapusan Pidana Bagi Pejabat Negara atau Penerima Gratifikasi,

Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No 1, Juni.

Ridwan, 2013, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 60 Tahun XV, Agustus.

Syamsul Bahri, 2015, Korupsi dalam Kajian Hukum Islam, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67

tahun XVII, Desember.

Sulistia Teguh dan Zurnetti Aria, 2005, Sistem Pembuktian Gratifikasi dalam Perkara Tindak

Pidana Korupsi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 42 Tahun XIIV, Agustus.

Sulistyowati dan Sidharta, 2013, Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi), Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar antara subyek yang mengalami anemia dengan subyek yang tidak mengalami anemia (p>0.05), baik pada

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Sejumlah faktor menurut Ali & Asrori (2006) yang dapat mempengaruhi perkembangan emosi remaja adalah sebagai berikut:.. Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan

Oleh karena itu perusahaan dengan total aset yang besar akan lebih mampu untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi, sehingga laba tersedia bagi pemegang

Analisa Kualitas Effluent yaitu analisa pada hasil outlet dari rekator unit filter yang sudah dibuat dengan menggunakan parameter kekeruhan. Analisa ini bertujuan untuk

Gambar 13 Grafik Analisis Fosfat Prasedimentasi Minggu Kedua Berdasarkan tabel diatas, pada minggu pertama menunjukan penggunakan mangrove dengan umur 3 bulan sedangkan minggu

Dalam film ini ada beberapa adegan yang di iringi dengan musik atau biasa disebut dengan soundtrack, menurut anda apakah sudah cocok dengan adegan yang diperankan. Jawaban

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya karena melihat pengaruh status polimorfisme gen Interferon-γ +874T/A dan Interleukin-10