• Tidak ada hasil yang ditemukan

Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta Lap Muh v PKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Staff Site Universitas Negeri Yogyakarta Lap Muh v PKS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

I. Judul Penelitian: Konflik Paradigmatik PKS dan Muhammadiyah II. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Isu agama dan politik tetap relevan bagi umat Islam, baik mereka sebagai mayoritas maupun minoritas, karena sebagaimana dikatakan oleh Karen Amstrong bahwa politik merupakan bagian luar dari agama Islam. Hal ini tidak berarti Islam identik dengan politik, tetapi Islam memiliki kepentingan mengarahkan kehidupan agar sesuai dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam berkepentingan dengan politik dalam arti luas, bukan dalam pengertian politik sebagai suatu cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini terjadi karena Islam tidak hanya mengurusi masalah hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur masalah kehidupan di dunia ini, dimana manusia mendapat posisi yang istimewa sebagai “penguasa di dunia” (khalifah fil ardhi). Sedangkan yang menjadi perdebatan ialah sejauhmanakah al-Qur’an telah mengatur urusan dunia, dan perbedaan pandangan inilah yang berimbas pada munculnya berbagai aliran dalam Islam.

Munculnya aliran dalam Islam terjadi segera setelah Nabi Muhammad SAW wafat karena al-Qur’an memang tidak mengatur masalah pergantian suksesi kepemimpinan. Hal ini sekedar untuk menunjukkan bahwa Islam tidak identik dengan politik. Namun demikian selalu ada keterkaitan antara Islam dan politik, walaupun tidak secara langsung. Bila kita lihat sejarah Islam maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek “sosiologis” sangat berpengaruh bagi terbentuknya “aliran-aliran ideologis”. Dalam kasus Indonesia, ada dua aliran pemikiran yang dominan yang masing-masing mewakili dua kondisi sosiologis yang berbeda. Mereka tidak memiliki keterkaitan politik secara langsung, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Muhammadiyah dikenal sebagai sayap modern, sedangkan NU dikenal sebagai sayap tradisional.

Dikotomi Muhammadiyah dan NU menjadi begitu goyah karena keduanya sudah melakukan komunikasi intelektual baik secara langsung maupun lewat berbagai media yang ada, sehingga akhir-akhir ini dikenal suatu aliran yang dikenal dengan MUNU, yaitu “Muhammadiyah NU”. Ditengarai kelompok inilah yang menjadi pendukung berdirinya “Partai Keadilan Sejahtera” (PKS). Memang bisa ada beberapa teori untuk menjelaskan gejala eksodus warga Muhammadiyah ke dalam PKS. Bila melihat hasil penelitian yang dilakukan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang bekerjasama dengan Sugeng Saryadi Syndicat maka tidak ada teori yang bisa mengklaim sebagai teori yang paling absah. Penelitian itu mengungkapkan prosentasi anggota Muhammadiyah dalam suatu partai sebagai berikut, Golkar 20,3%, PAN 57,9%, PPP 18,2%, PBB 52,1%, dan PKS 68,7%.1 Prosentasi terbesar masuk PKS, berarti ada kemungkinan orang Muhammadiyah

ini mendirikan PKS dan kemudian mencari anggota dari luar. Teori kedua, 33,3% orang luar berhasil menarik keluar orang Muhammadiyah.

Dari penelitian itu orang Muhammadiyah merasa at home di PKS bukannya di PAN sebagai partai yang dibidani oleh Muhammadiyah. Akan tetapi, apakah angka 68,7% bisa mewakili anggota Muhammadiyah secara keseluruhan ataukah mencermin kelompok menengah ke bawahnya? Angka itu cenderung mencerminkan kelompok menengah ke bawahnya.2 Bila dilihat basis pimpinan PKS maka mereka termasuk kalangan pemuda

Muhammadiyah. Mereka kalangan terpelajar yang masih belum menduduki jabatan teras di Muhammadiyah. Bisa saja mereka adalah putera/puteri anggota Muhammadiyah yang datang dari daerah pedesaan, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menyelamatkan warisan tradisi, disamping mungkin ada juga ambisi kekuasaan. Atau mereka bermain politik mendirikan (atau masuk) PKS, karena mereka tidak terwakili dalam PAN.

PKS memiliki potensi kuat untuk menjadi denominator, yaitu suatu kelompok keagamaan yang mandiri dan diakui identitasnya oleh kelompok lainnya. Ada beberapa faktor yang memungkinkan PKS menjadi denominator, seperti memiliki kekuatan politik yang real dalam parlemen, para pendukungnya berasal dari kelas menengah Muslim, dan bersifat akomodatif dan moderat baik dalam bidang agama maupun kehidupan. Tidak mengherankan bila PKS mampu membangun komunikasi dan kerjasama dengan partai politik lainnya dalam parlemen. Diperkirakan PKS bisa mempertahankan posisinya dalam parlemen karena memiliki basis massa yang jelas dan juga berhasil menjalin komunikasi politik yang intens dengan massa sebagaimana diungkapkan sebagai “partai kader”. Penelitian ini didorong oleh munculnya konflik antara PKS dan Muhammadiyah. Ini sangat mencengangkan karena Muhammadiyah bukanlah suatu partai politik. Dari sini 1 AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.

(2)

kita dapat menduga kalau konflik itu merupakan konflik dalam masalah agama. Sebagian pihak dalam Muhammadiyah menuduh kalau PKS menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik. Sedangkan pihak PKS berkeyakinan kalau dirinya sudah melakukan aktivitas politik secara benar karena memiliki suatu ideologi, dalam hal ini ideologi Islam. Dengan kata lain, PKS berpolitik untuk membela agama, khususnya pemikiran agama yang diyakini oleh kelompoknya.

B. Rumusan Masalah

Konflik PKS dan Muhammadiyah bermula dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dan sekaligus awal bulan Syawal dan Dzulhijah (Besar). PKS tidak mau mengikuti keputusan PP Muhammadiyah karena dalam penentuannya menggunakan hisab (melalui perhitungan matematika), sedangkan PKS mengadopsi pendekatan NU melalui ru’yat (melihat dengan mata telanjang). Dari konflik di atas berasumsi bahwa PKS dan Muhammadiyah tidak dapat bekerja sama dalam beberapa hal karena masalah “teologi” yang sebenarnya bersumber dari faktor “kultural”.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka saya rumuskan permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya konflik paradigmatik antara PKS dan Muhammadiyah?

2. Sejauhmana PKS dapat dikatakan sebagai hasil dari dialektika pemikiran Muhammadiyah dan NU?

3. Sejauhmanakah PKS berhasil dalam memainkan pendekatan politik tanpa jatuh ke dalam politisasi agama?

III. Kajian Teori dan Historiografi yang Relevan

Pemilihan judul penelitian ini didasarkan pada wacana perubahan politik yang terjadi sejak 22 Mei 1998 dengan turun tahtanya Soeharto yang telah memerintah selama 32 tahun. Situasi ini ini memicu kembali diskursus tentang Islam dan politik yang tersumbat pada masa Orba mencuat kembali. Fenomena PKS menjadi sangat menarik karena mampu sebagai representasi dari “Islam politik” tanpa jatuh ke dalam “politisasi agama”. Bahkan PKS mengatakan secara tegas tidak ingin mendirikan “negara Islam” dan mengakui eksistensi “Pancasila” sebagai dasar negara. Dengan demikian, penelitian tentang PKS ini dimaksudkan agar kita dapat menempatkan permasalahan “Islam” dan “negara” secara tepat, disamping dapat menentukan langkah yang tepat dalam merumuskan strategi pembangunan politik.

Penelitian ini merupakan penelitian historis, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dalam dimensi waktu lampau-kini-yang akan datang. Eksistensi masa kini adalah produk masa lampau, sedangkan kecenderungan masa kini akan menentukan masa depan (Sartono Kartodirdjo, 1993: 34).3 Dengan demikian, sejarawan harus mampu menjawab persoalan

masyarakat kontemporer dengan historical mindiedness-nya, yaitu dia dapat membanyangkan bagaimana suasana dan iklim budaya yang dipelajari dengan sentimen-sentimen, ide-ide, sistem kepercayaan, dan gaya hidup, serta mentalitasnya. Bahkan Croce yakin bahwa setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini (Sartono Kartodirdjo, 1993: 68).4 Hal ini berarti untuk menyusun sejarah yang baik, sejarawan harus memahami

permasalahan kontemporer (Carr, 1984: 41).5

Sebelum membahas keterkaitan agama dan politik dalam Islam, kita perlu merumuskan sikap yang benar terhadap Islam atau sikap yang Islami, karena kita mengalami kendala merumuskan pemahaman Islam yang monolitik, mengingat pluralitas kemanusiaan itu sendiri yang ikut berpengaruh dalam memahami Islam. Dengan demikian aliran-aliran ideologi dalam Islam dipandang sebagai manifestasi pluralitas kemanusian, sehingga mereka akan mampu mencari titik temu; dan titik temu ini dapat diperluas kepada semua agama. Hal ini sesuai dengan konsep religion of the heart (primordial religion) (Schuon, 1994: vii dan 91).6

Yang paling inti dari suatu agama adalah konsep kesatuan (devine unity atau tawhid) sebagaimana dijelaskan dalam kalimat syahadat tawhid, yaitu saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah. Memang konsep itu sangat sederhana, tetapi memiliki implikasi yang sangat

3 Sartono Kartodirdjo, 1993, 4 Ibid,

5 E.H. Carr,

(3)

luas, yaitu mengisyaratkan suatu revolusi kemanusiaan yang permanen. Manusia selalu dituntut berhijrah agar selalu menuju kepada sesuatu yang lebih baik, yang dalam Islam diatur dalam kalimat syahadat Rasul bahwa umat Islam harus tunduk kepada hukum yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, PKS memiliki landasan hukum juga ketika mengkaitkan perjuangan politik dengan agama. Mengingat suatu revolusi hendaknya berangkat dan dilihat dari pusat kebenaran ini, dan hal itu sejalan dengan Hamid Dabashi (1993: 489) menjadi sangat bermakna bahwa Permanent revolution is simply the political expression of a more abiding truth, which is permanent change in one’s self-understanding. Penelitian tentang PKS ini belum banyak dilakukan, namun ada sejumlah buku yang dapat dijadikan referensi awal dalam penelitian ini yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori.

Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 memberikan informasi yang berguna tentang Perspektif Ideologi dan Program Partai PKS.

IV. Metoda dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metoda sejarah kritis, yaitu meneliti peristiwa sejarah tidak hanya secara deskriptif-naratif saja, melainkan mengkaji obyek sejarah secara kritis. Oleh karena itu dipergunakan pendekatan multidimensional, yaitu mengkaji suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang, dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial. Penelitian ini menggunakan metoda kualitatif. Data dikumpulkan dari berbagai sumber, yaitu kajian pustaka, dokumen partai, dan wawancara.

Dalam penulisan sejarah menggunakan metoda sejarah kritis, yaitu suatu metoda yang menjamin tingkat obyektivitas yang tinggi. Menurut Louis Gottschalk ada empat langkah yang ditempuh, yaitu:

1. Heuristik atau pengumpulan sumber

Penelitian ini mengambil data dari studi pustaka, dokumen partai, dan wawancara. 2. Kritik sumber

Ada dua jenis kritik sumber yang dilakukan, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kedua langkah ini dilakukan untuk menentukan autentisitas dan validitas data. 3. Interpretasi, yaitu kegiatan menghubungkan fakta-fakta sejarah ke dalam rangkaian

cerita yang logis agar mendapatkan kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. 4. Penyusunan laporan.

Untuk menjawab pertanyaan pokok bahwa PKS sebagai hasil dari dialektika pemikiran NU dengan Muhammadiyah maka peneliti akan berusaha mendapatkan data sosiologis tentang wakil-wakil PKS di badan legislatif baik pada tingkat nasional maupun regional dan lokal, khususnya di Jogjakarta. Data sosiologis ini sangat penting untuk mengetahui basis sosial (massa) dari wakil-wakil rakyat itu, sehingga kita dapat mengetahui sejauhmanakah PKS merepresentasikan diri sebagai hasil sintesa pemikiran keagamaan NU dengan

Muhammadiyah. Peneliti juga akan melakukan studi literatur untuk menjawab pertanyaan historis yang berkaitan dengan PKS seperti pertanyaan “apa”, “siapa”, “kapan”, “dimana”, “bagaimana” dan “mengapa”.

V. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berpretensi untuk meraih tujuan-tujuan yang berkaitan dengan latar belakang studi ini maupun berkaitan dengan asumsi bahwa PKS sebagai suatu hasil dari dialektika pemikiran keagamaan NU dengan Muhammadiyah. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat mengetahui:

1. Krisis paradigmatik yang terjadi antara PKS dengan Muhammadiyah.

2. Usaha PKS mengadopsi pendekatan yang dikembangkan oleh baik NU maupun Muhammadiyah.

3. PKS dalam format sebagai hasil sintesa pemikiran keagamaan NU dan Muhammadiyah.

4. Data sosiologis tentang wakil-wakil rakyat dari PKS dapat mendukung asumsi bahwa PKS merupakan hasil sintesis pemikiran keagamaan NU dan

Muhammadiyah. VI. Manfaat Penelitian

(4)

1. Studi ini akan dapa membantu mengatasi konflik yang terjadi antara PKS dengan Muhammadiyah.

2. Studi ini akan membantu memahami saling kelindan antara permasalahan “teologi” dengan permasalahan “duniawi (sekuler)”.

3. Studi ini akan membantu memahami permasalahan hubungan “Islam” dan “negara”, sebagai mana diperankan oleh PKS.

4. Studi ini memberikan data sosiologis yang berguna untuk melihat sejauhmana PKS dapat dilihat dari kacamata “sebagai hasil dialektikan pemikiran keagamaan NU dan Muhammadiyah”.

AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.

Ibid, hal. 2 “Sebagian besar adalah pekerja atau karyawan amal usaha Muhammadiyah”. Di atas dijelaskan kesamaan ideologi Muhammadiyah dengan PAN.

AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal 1. Sartono Kartodirdjo, 1993,

Martin van Bruinessen, (1992), “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1, hal. 16.

Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Syamsuddin Haris (ed.), 2007, Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: LIPI.

Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc. BAB 2

BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

Kebangkitan Islam yang diperjuangkan umat Islam sejak permulaan abad ke-15 H masih belum menampakkan hasil. Hal ini hendaknya menjadi perhatian para cendekiawan Muslim, dengan cara melakukan studi kritis terhadap sejarah umat Islam. Dengan begitu kita dapat melalui tahapan-tahapan kebangkitan Islam, dan tidak kehilangan arah di tengah arus pusaran perubahan dan sekaligus dapat mengarahkan perubahan itu sendiri. Interpretasi pemikiran keagamaan di dunia Islam dan Indonesia khususnya masih belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalan modernitas, apalagi merumuskan suatu inovasi yang kreatif, sebagai alternatif atas dekadensi peradaban modern.

Sekarang ini umat Islam mempunyai tanggung jawab yang berat supaya dapat menghadapi supremasi peradaban Barat, terutama sejak abad ke-19. Barat juga membutuhkan waktu yang lama, yaitu sejak Renaissance (abad ke-16), supaya dapat menggungguli kemajuan peradaban Islam.7 Serangan Barat semakin dirasakan ketika Barat

dapat menduduki sebagian besar dunia Islam melalui proyek kolonialisme dan imperialisme.

Kita perlu belajar dari sejarah Islam masa awal yang mampu mengungguli peradaban Yunani-Romawi sehingga Islam berhasil menjadi peradaban dunia. Pada waktu itu Muslim tidak merasa takut belajar dari peradaban lain, karena mereka masih memiliki semangat Islam yang murni. Islam maju karena mampu melakukan inovasi terhadap peradaban-peradaban lain yang sudah lebih dulu maju. Mereka meniru dakwah Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai misi “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Misi itu mengakui kalau peradaban-peradaban lain juga mengembangkan suatu akhlak (sesuai dengan tradisinya), dan Islam datang untuk menyempurnakannya.

Sekarang ini Muslim juga harus berani mengadopsi nilai-nilai budaya modernitas yang baik dan selanjutnya melakukan inovasi terhadapnya sehingga Islam dapat tampil sebagai alternatif bagi peradaban Barat yang sudah tua ini. Pada tulisan ini akan menganalisa peran Muhammadiyah dalam mentransformasi nilai-nilai modernitas di kalangan umat Islam di Indonesia, yang tentunya akan berdampak kepada rakyat Indonesia pada umumnya. Memang nilai-nilai modernitas sudah banyak yang menjadi nilai-nilai universal, sehingga mereka dari kalangan fundamentalis yang anti-modernitas juga merupakan akibat dari modernitas itu sendiri dan menggunakan instrumental budaya modern seperti telepon, mobil, dll.8 Memang dunia tidak berhenti, dunia berputar terus

mengikuti hukum dialektika.

(5)

A. MUHAMMADIYAH: ISLAM PERKOTAAN

Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam dengan menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah dari abad ke-19 seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935). Gerakan Salafiyah ini dipandang sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan yang pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya, yaitu Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha untuk membuka pintu ijtihad; dan dilanjutkan oleh Gerakan Wahabi di Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad (1703-1787).9

Memang ada kritik kalau pembaharuan Muhammadiyah berbeda dengan pembaharuan Muhammad Abduh. Berbeda dengan Muhammadiyah, Abduh menekankan pembaharuan dalam bidang muamalah dan tidak menyentuh aspek akidah (purifikasi).

Dengan pembaharuan ini Muhammadiyah mengklaim sebagai pengikut salaf karena merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits. Hal ini untuk menandaskan dibukanya kembali pintu ijtihad (pembaharuan agama) dan menolak taqlid. Namun demikian Nahdlatul Ulama (NU) juga mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf karena mengikuti Islam yang benar sebagaimana dipahami oleh para sahabat Nabi Muhammad, pengikut dari generasi-generasi berikutnya. Ketegangan antara Muhammadiyah dan NU berhasil diselesaikan dalam Konggres Islam tahun 1924 di Surabaya. Keduanya sepakat kalau salaf hanya diperuntukkan bagi mereka yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah, di luar itu tidak tergolong salaf; namun demikian keduanya mengklaim sebagai pengikut salaf.10 Dalam konggres ini

Muhammadiyah juga menolak dikatakan sebagai pengikut gerakan Muhammad bin Abdul Wahab, walaupun keduanya memiliki karakteristik yang sama sebagaimana yang dikatakan intelektualnya Mustafa Kamal.

KH Ahmad Dahlan (1912-1923) telah melakukan terobosan dengan membentuk “organisasi” sosial keagamaan --bukan politik-- untuk meningkatkan kualitas umat Islam di Indonesia, dengan mengadopsi cara-cara modern yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda. Sehingga tidak mengherankan bila KH Ahmad Dahlan tidak menghasilkan sejumlah buku keagamaan karena disamping tidak untuk menyerang pihak lain, juga dia lebih menekankan pada usaha paksis untuk merebut urusan duniawi. Berikut komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah.

…pilihan itu bukan didasarkan pada hasil cermatan kajian literatur Islam klasik dan juga tidak memperoleh inspirasi dari konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yang telah “baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual lama.11

Serangan KH Ahmad Dahlan terhadap sufi dilakukan dalam bentuk amaliyah, dengan mencoba ‘menerjemahkan sufisme dengan tafsiran etika sosial. Zikir atau wirid yang sangat biasa yang dilakukan oleh para santri di pesantren-pesantren diganti dengan upaya memikirkan secara sungguh-sungguh dalam menyelenggarakan santunan fakir-miskin, pengayoman kepada anak yatim piatu, melayani orang sakit, memberikan konsultasi-konsultasi keagamaan dalam kerangka besar “al-mru bi al-ma’ruf wa al-wahyu dan mungkar” lebih populer disebut amar ma’ruf nahi munkar.12

Serangan KH Ahmad Dahlan terhadap sufisme merupakan salah satu hal yang mendasar di dalam gerakan Muhammadiyah, karena berkaitan dengan masalah tawhid. Namun dia bersifat toleran terhadap tradisi yang ada dalam masyarakat, dimana dia berusaha melakukan pembaharuan agama secara bijaksana. Buktinya reaksi terhadap gerakan Muhammadiyah dari kalangan tradisional baru terjadi belakangan setelah meninggalnya KH A. Dahlan. Hal itu diperkuat dengan fakta kemunculan organisasi

8 Tibi, Bassam, 2000, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan

Dunia Baru, A.b. Imron Rosyidi dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 129-131.

9 Kamal, Musthafa dkk., 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan, hal 6-7.

10 Haidar, M. Ali, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam

Politik, Jakarta: Gramedia, hal 52.

11 Abdullah, M Amin, 1995, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.), Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan & KSL, hal 27.

12 Abdullah, M Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta:

(6)

rivalnya Nahdlatul Ulama (NU) yang baru didirikan pada 31 Januari 1926.13 Sebenarnya

serangan terhadap sufisme tidaklah menjadi monopoli gerakan Muhammadiyah, karena KH Hasyim Asy’ari sebagai salah seorang pendiri NU juga mengkritik tarekat yang dipandang telah melemahkan semangat umat Islam untuk merebut kemajuan dalam urusan duniawi. Bedanya KH Hasyim Asy’ari memperbaharui sufisme dari dalam.

Setelah munculnya gerakan pembaharuan dalam Islam yang terutama ditujukan kepada malpractice (kekeliruan) gerakan tarekat yang menjamur di seluruh wilayah masyarakat Muslim, tanpa disadari banyak aspek-aspek ‘kehidupan batin’ daripada agama Islam, ikut-ikut tercerabut dari akan kedalaman dan otentitasnya. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-budaya.14 Hal itu terjadi karena tidak

terjadi dialog yang konstruktif dengan organisasi NU yang menjadi rivalnya.

B. DILEMA MODERNISASI DAN BUDAYA

Dalam melakukan pembaharuan Muhammadiyah mengembangkan pendekatan strukturalisme transendental dalam pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo.15 Muhammadiyah meniru struktur masyarakat modern untuk

mengimplementasikan ajaran Islam itu. Muhammadiyah telah berhasil mengisi struktur masyarakat modern di Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll.

Dalam kebudayaan pun Muhammadiyah meniru ide-ide kebudayaan modern tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yang merupakan turunan dari materialisme. Muhammadiyah mencoba menyuntikan nilai-nilai materialisme ke dalam masyarakat yang telah keropos, karena menganggap kehidupan materi-duniawi tidak memiliki nilai secara religius-eskatologis. Arah perkembangan lain dari kebudayaan yang dikembangkan Muhammadiyah adalah sistematisasi sebagai rumus turunan dari rasionalisme. Sistematisasi tidak hanya mengarah pada gerak organisasional dengan dibentuknya berbagai Majelis dan Organisasi Otonom, melainkan juga dalam kehidupan beragama dengan dibentuknya Majelis Tarjih.

Cendekiawan dari Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan16 (2000: v-xiv) menyebut

ada dua konsekuensi dari arah kebudayaan seperti itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme yang telah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua adalah pergeseran dari gerakan pembaharu sosial budaya menjadi gerakan yang terjebak pada persoalan-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi karena orang modernis telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan materialisme dan rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi.

Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan dampak negatif lainnya bahwa Muhammadiyah sebagai “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah tidak berusaha merubah tradisi dari dalam, melainkan dengan membentuk gerakan baru yang berbasis masyarakat kota. Dan untuk waktu yang lama tidak mengakomodasi masyarakat di daerah pedesaan yang masih memegang tradisi.

Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yang bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat dalam masyarakat modern dan belum sempat mengupas hakekat kemanusiaan. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris.17

13 Ricklefs, M.C., 1994, Sejarah Indonesia Modern, A.b. Dharmono Hardjowidjono.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 269-270.

14 Mulkan, A Munir, 2000, Menggugat Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka, hal ix.

15 Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, hal 9-29.

16 Mulkhan, Abdul Munir, 2002, Teologi Kiri: Landasan Gerakan Membela Kaum

Mustadl'’fin, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal v-xiv.

(7)

Setelah mengalami dialektika dengan realitas historis maka pendekatan strukturalisme transendental dimodifikasi menjadi pendekatan strukturalisme historis transendental. Pendekatan ini berusaha menafsirkan konsep-konsep transendental yang bersifat normatif subyektif ke dalam realitas empiris historis; sedangkan pendekatan strukturalisme juga digunakan secara bersama-sama. Melihat realitas historis berarti melihat sasaran dakwah. Dalam berdakwah perlu memperhatikan kebudayaan (tradisi) masyarakat sasaran, karena sebagai saluran yang dapat mengantarkan kepada bangunan epistemologi pengetahuan beserta dengan norma-norma dan nilai-nilai yang diyakininya.

Bukankah keberhasilan dakwah Islam di Indonesia secara monumental baru terjadi pada masa Walisongo, padahal Islam telah masuk ke Indonesia sejak tahun 674 M, yang berhasil melakukan inovasi terhadap kebudayaan (tradisi) lokal. Memang apa yang telah berhasil dilakukan oleh Walisongo tersebut sudah menjadi tradisi yang sulit diubah. Para pendakwah harus mampu melakukan inovasi kebudayaan bila mereka ingin berhasil, karena kebudayaan (tradisi) merupakan sarana untuk merefleksikan kesadaran religius suatu masyarakat, disamping sebagai sarana untuk melakukan internalisasi/sosialisasi nilai dalam masyarakat.

Memang sikap Muhammadiyah terhadap kebudayaan (tradisi) tidak seragam, karena perbedaan persepsi dalam memandang gerakan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat).18 Konsep tersebut masih ditampilkan dalam realitas subyektif, dan belum

ditampilkan secara empiris-obyektif, dimana kita berada dalam stuktur sosial yang berbeda. Dengan demikian konsep klasik tentang TBC yang disusun dengan cara pikir deduktif yang menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yang bersifat empiris-historis.19 Fazlur Rahman, penggagas neo-modernisme Islam, berkeyakinan bahwa teologi

merupakan suatu usaha pemikiran, sehingga tidak haram untuk dilakukan interpretasi ulang. Bahkan perumusan suatu teologi sering dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu, disamping kepentingan politik yang selalu mewarnai urusan hidup berbangsa dan bernegara.

Setelah mengalami dialektika dengan realitas historis, maka pandangan Muhammadiyah terhadap sufi sudah mengalami perubahan, dimana pada awal pendiriannya sangat menentang sufi dan sekarang menerima apa yang dinamakan sufi modern. Proses dialektika tersebut harus dicermati supaya dapat membaca gejala keberagamaan secara cerdas berdasarkan ruang dan waktu yang berbeda. Apakah sufisme dulu dan sekarang berbeda? Apakah situasi dan kondisi baik ruang dan waktu dulu dan sekarang berbeda sehingga sekarang Muhammadiyah mau menerima sufisme?

Pandangan beberapa tokoh Muhammadiyah dari sudut ruang dan waktu yang berbeda akan dianalisa secara kritis, terutama yang menyangkut sufisme karena berhubungan dengan dasar-dasar agama (teologi) dan berpengaruh terhadap pemikiran keagamaan. Pendirian Muhammadiyah pada tahun 1912 memang menentang keberadaan sufisme yang dianggap telah melumpuhkan elan vital bangsa Indonesia, namun sekarang Muhammadiyah memberi tempat terhadap sufisme. Hal yang nampak kontradiktif dan sulit dipahami itu dapat dijelaskan oleh hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis. Sejarawan Islam, Ibn Khaldun, telah menunjukkan hukum sejarah bahwa yang tetap dalam Islam adalah perubahan itu sendiri. Dengan pula konsep sufisme mengalami perubahan seiring dengan perubahan ruang (masyarakat agraris-industrial) dan waktu (dulu-sekarang).

Beberapa intelektual Muhammadiyah telah menulis sejumlah buku tentang sufisme. Salah satunya adalah Prof. Dr. Hamka, yang bukunya telah dicetak ulang berkali-kali Tasauf Modern (1995). Buku tersebut merupakan kumpulan artikel yang ditulis di majalah Pedoman Masyarakat (sekarang menjadi majalah Panji Masyarakat), sehingga bukan merupakan hasil pemikiran yang menyeluruh tentang sufisme, suatu pemikiran yang melibatkan aspek emosi dalam berkomunikasi dengan Allah. Dia memberi tempat kepada tasawuf dalam pengertian modern, yaitu tasawuf yang menekankan kepada aspek moral untuk membangun suatu umat dalam rangka menghadapi tantangan dunia modern.

Intelektual lainnya adalah Dr. Simuh, yang telah menulis sejumlah buku tentang sufisme seperti: Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (1988); Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (1999 cet-4); dan Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (1997cet-2).

18 Kuntowijoyo, 1991, op. cit., 269.

(8)

Kesemua buku tersebut menunjukkan bahwa dia memberi tempat kepada sufisme modern sebagai cara untuk menanggulangi dampak negatif dari peradaban modern. Dan memang lingkungan materialis Barat melahirkan pemikir Muslim seperti Hamid Algar dan Maryam Jameelah yang menaruh perhatian terhadap sufisme dalam pengertian tradisional dengan mengikuti suatu tarekat tertentu dan menentang gerakan modernisme dalam Islam yang dianggap bersifat pragmatis dan fungsional.20

Simuh menawarkan tasawuf sebagai dasar dalam pembinaan akhlak. Tasawuf di sini dalam pengertian tasawuf Islam (bukan mistik yang rumit seperti aliran kebatinan dan gerakan tarekat Islam) untuk mengkaunter ekses-ekses peradaban modern dan KKN yang telah mewabah di Indonesia. Simuh mengutip pendapat Ibnu Khaldun tentang tasawuf yang Islami adalah mendidik menjadi ‘abid (tekun beribadah) dan zahid (sederhana / tidak tamak), yang dilakukan dengan laku (cara) distansi (mengambil jarak dengan nafsu dan ikatan dunia) dan konsentrasi (mawas diri/berdzikir). Cara-cara tersebut dapat dilakukan oleh semua umat beragama.21

Akan tetapi tasawuf dalam pengertian tersebut masih belum mecukupi bagi mereka yang ingin memperoleh pengalaman keagamaan. Tasawuf (tarekat) merupakan suatu cara yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk memperoleh pengalaman keagamaan, yang dilakukan dengan menggunakan perantaraan perasaan/hati/emosi. Namun itu harus dilakukan secara hati-hati supaya sejarah gelap sufisme dan tarekat tidak terulang lagi. Hal itu perlu dilakukan karena kita sulit untuk memperoleh keyakinan agama hanya melalui rasio, karena rasio dipengaruhi oleh ruang dan waktu serta sejarah. Apalagi rasio hanya dapat digunakan terbatas kepada orang yang diberi kecerdasan. Dengan demikian yang dapat menyatukan semua orang dalam penghayatan keagamaan adalah aspek perasaan, buktinya mereka, baik kalangan intelektual maupun awam, dapat merasakan kesedihan yang sama bila ditinggal mati saudaranya

Karakteristik umum dari semua agama memberikan perhatian kepada masalah individual hubungan pribadi dengan Yang Mutlak (the Absolute/Ultimate Realituy), dimana manusia mengakui kebesaran Tuhan dengan konsekuensi hidup mencari keselarasan dengan hukum Tuhan tersebut. Komunikasi dengan Tuhan merupakan aspek intelektual agama (tawhid, Keesaan Allah), yaitu manusia hanya mengakui supremasi Tuhan dan tidak merasa tergantung kepada kekuatan selain dari Tuhan.22 Sufi merupakan cara berdialog

dengan Tuhan secara emosional. Namun Islam juga sangat menekankan kehidupan duniawi, sehingga dikenal sebagai agama yang bersifat personal karena manusia diutus oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di muka bumi.23

BAB 3

PERLUASAN MUHAMMADIYAH DAN KRISIS PARADIGMA

Peranan Muhammadiyah dalam menciptakan peradaban Indonesia yang modern masih belum memenuhi harapan sebagian besar orang Indonesia. Memang Muhammadiyah telah mengembangkan amal usaha yang fantastik, namun hal itu belum mengangkat kualitas umat secara keseluruhan. Halangan pertama karena Muhammadiyah telah menciptakan jarak dengan tradisi yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia (bukan hanya Islam). Muhammadiyah perlu melakukan usaha yang tidak hanya reformatif tetapi juga transformatif dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia.

Tugas khalifah di bumi adalah untuk menciptakan peradaban. Peradaban Islam juga harus mampu merumuskan hubungan yang serasi dan harmonis di antara aspek agama, kebudayaan dan politik. Hal itu tentu membutuhkan kerjasama dengan semua penganut agama, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam Piagam Madinah. Hal itu hanya dapat dicapai bila dikembangkan sikap toleransi di antara berbagai organisasi Islam untuk mewujudkan masyarakat madani. Konsep religion of the heart24 perlu diperkenalkan

sebagai usaha untuk membangun sikap toleransi itu secara sebenar-benarnya dan tidak

20 Madjid, Nurcholish (ed.), 1984, Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hal

77.

21 Simuh, 1999, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang, hal 31.

22 Rajaee, Farhang, 1983, Islamic Values and World View, Boston: University Press of

America Inc., hal 36-38.

(9)

terbatas pada konsep Trilogi Kerukunan yang diperkenalkan pada tahun 1978 oleh Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara. Jadi tidak hanya terbatas pada saling menghormati, tetapi diciptakan sikap saling menghayati melalui dialog antar iman. Hal ini yang dinamakan Passing Over (Melintas Batas Agama) yang dikembangkan melalui pengembangan aspek spiritualitas.25

Dalam perkembangannya Muhammadiyah belum mengembangkan dialog dan kerjasama secara aktif dengan organisasi-organisasi Islam lainnya seperti NU. Hal itu terjadi karena pandangan teologis sebagian besar warga Muhammadiyah yang memandang NU secara tawhid tidak murni lagi karena mentolerir TBC. Dengan demikian yang menjadi penghambat dialog adalah hal yang mendasar dalam agama berupa teologi, yang menyangkut masalah siapa yang Muslim maupun kafir, atau lebih tepatnya siapa yang termasuk Muslim kaffah dan bukan-Muslim kaffah. Semua ormas keagamaan di Indonesia mengatakan mereka sebagai golongan Sunni (ahl sunnah wal jama’ah), namun perbedaan di antara mereka yang menyangkut masalah furu (cabang) telah menghalangi berlangsungnya kerjasama yang harmonis, karena berkembangnya pandangan kelompoknyalah yang melaksanakan Islam secara kaffah. Hal itu terjadi sepeninggalnya KH Ahmad Dahlan.

Sikap tertutup semacam itu berlangsung lama, sampai mereka menyadari adanya stagnasi pemikiran di dalam Muhammadiyah. Menurut cendekiawan muda Muhammadiyah M. Thoyibi, stagnasi pemikiran disebabkan oleh sikap over confident, ortodoksi ajaran agama, dan sikap menutup diri sendiri terhadap pengaruh perkembangan dan perubahan zaman. Hal-hal tersebut berakibat tidak dikembangkannya hubungan kerjasama dengan ormas keagamaan lain yang mempunyai dasar pemikiran berbeda. Padahal kerjasama dapat merangsang tumbuhnya dialog yang konstruktif untuk memahami persoalan umat Islam secara keseluruhan.26

Memang setiap organisasi keagamaan mempunyai titik perhatian yang berbeda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya ataupun kemampuan para pendukungnya. Pluralitas ormas keagamaan merupakan suatu keharusan sejarah untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan yang multidimensional, sebagaimana dikatakan Hossein Nasr:

Since every religion addresses a collectivity with varying psychological and spiritual temperaments, it must possess within itself the possibility of different interpretations. By bearing within itself, providentially, several modes of interpretation of the same truth it is able to integrate a multiplicity into unity and to create a religious civilisation.27

Menguaknya persoalan tradisi dalam Muhammadiyah adalah konsekuensi logis dari perluasan keanggotaan Muhammadiyah ke daerah pedesaan. Namun hasil dari dialektika itu belum ditindaklanjuti dengan kebijakan organisasi untuk mengakomodasi peran tradisi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kalangan elit Muhammadiyah hidup di daerah perkotaan (atau di suatu komplek perumahan yang warganya para pendatang), sehingga kebijakan menggalakkan tradisi dirasakan tidak banyak manfaatnya dan seakan mengada-ada.

Memang sikap toleran terhadap tradisi dapat dilihat pada pemikiran para elit Muhammadiyah secara individual. Bahkan mereka membolehkan anggotanya dari daerah pedesaan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tradisi. Akan tetapi pemikiran kritis tersebut tidak menjadi sikap organisasi. Disamping alasan tidak menjadi interest kalangan elit, hal ini akan nampak kontradiksi dengan sikap organisasi, dimana Muhammadiyah telah menempuh langkah berperang melawan TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat).

Saya kira hal itu tidak akan mengurangi kredibilitas pembaharuan Muhammadiyah, mengingat pemikiran keagamaan yang dikembangkan hendaknya mewakili kepentingan para pendukungnya. Ketika ada perluasan keanggotaan sudah sewajarnya kepentingan mereka juga diakomodasi. Tanpa ada usaha konstruktif seperti itu, mereka riskan terhadap pemikiran yang ditawarkan oleh pihak luar Muhammadiyah. Tuduhan PKS melakukan

24 Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc., hal vii

dan 91.

25 Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, 1998, Passing Over: Melintas Batas Agama, Jakarta:

Ahmad Gramedia dan Paramadina, hal xiv.

26 Thoyibi, M., 2000, “How Gus Dur Open My Eyes”, dalam Harry Bhaskara

Understanding Gus Dur, Jakarta: The Jakarta Post, hal 160-163.

27 Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin,

(10)

infiltrasi ke dalam tubuh Muhammadiyah apakah tidak mengada-ada? Kenapa kaum muda Muhammadiyah cenderung masuk gerakan Tarbiyah PKS? Lalu apakah salah bila PKS menjajakan pemikirannya? Bukankah dunia sekarang ini merupakan tempat kontes segala bentuk pemikiran, beda dengan zamannya Kyai Dahlan yang merasa tidak perlu menulis sebuah kitab.

Sekarang beberapa tokoh Muhammadiyah sendiri (lihat Munir Mulkhan, 2000; Thoyibi, 2000; Kuntowijoyo, 1991) sedang melakukan otokritik terhadap adanya gejala stagnasi dalam gerakan pembaharuan Muhammadiyah, dimana Muhammadiyah yang mendapatkan predikat gerakan modern justru sering bersikap konservatif dan tidak akomodatif terhadap gejala modernitas. Setelah melihat realitas obyektif tersebut maka sejak muktamar ke-42 di Yogyakarta pada tanggal 15-19 Desember 1990 dilakukan langkah-langkah strategis seperti perampingan sistem kepemimpinan dan keorganisasian. Proses pelembagaan tahapan rasional dan fungsional pada muktamar tahun 1995 di Aceh telah mengubah bangunan dasar ideologisnya yang mulai mengakomodasi tradisi. Majelis Tarjih kemudian diubah menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan modernis yang selama ini dikenal anti-tradisi rakyat mulai mengembangkan sikap inklusif, seperti ketika mula pertama gerakan ini didirikan. Lahirlah kemudian tafsir tematik yang meletakkan semua agama ke dalam kategorisasi “ahli kitab”.28

Muhammadiyah relatif berhasil dalam percaturan di era modern dan aktivitas dakwahnya sudah berhasil menjangkau ke daerah-daerah pedesaan. Ibarat dua sisi mata uang, keberhasilan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah. Ditengarai ada dua penyebab terjadinya krisis ini. Pertama, paradigma lama dicobaterapkan pada anggota baru yang memiliki latar belakang sosio-historis berbeda. Walaupun mereka menerima modernisasi, anggota baru ini masih terikat pada tradisi karena mereka tinggal di daerah pedesaan. Padahal pembaharuan Muhammadiyah selama ini hanya memberi kerangka pemikiran bagi masyarakat perkotaan yang sudah tidak terikat lagi pada tradisi. Dengan demikian, perluasan keanggotaan harus diikuti dengan perluasaan kerangka pemikiran agar tidak terjadi gejolak dalam tubuh Muhammadiyah.

Kedua, krisis paradigma bisa terjadi karena dunia pemikiran sekarang semakin canggih, sehingga pemikiran keagamaan yang sudah dilakukan Muhammadiyah menjadi tidak mencukupi lagi. Pandangan seperti ini diyakini oleh Pak AR bahwa ada orang yang mengusulkan kepada Kyai Dahlan agar menulis kitab untuk menjelaskan pemikirannya yang inovatif itu, tetapi Kyai Dahlan menjawab “Apakah saudara ini menganggap saya orang gila?” dan jawaban itu diulangi sampai tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah banyak kitab yang ditulis, yang menyebabkan umat terpecah belah; dan ia tidak ingin menambah satu kitab lagi karena dikhawatirkan dapat menambah runyam suasana. Model dakwah Kyai Dahlan memang praktis.29

BAB IV

KONFLIK MUHAMMADIYAH DENGAN PKS

Dalam perkembangannya Muhammadiyah menempatkan diri dalam kubu modernisme, karena ideologi modern itu dirasa cocok dengan komunitas warganya yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian terbukti, pemikiran Islam modern ala Muhammadiyah relatif berhasil mengangkat kelas menengah Islam untuk mengisi pos-pos dalam struktur negara modern. Bahkan, amal usaha Muhammadiyah berhasil melakukan ekspansi ke daerah pedesaan. Akan tetapi kesuksesan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah, dimana mereka yang dari daerah pedesaan tetap memegang teguh tradisi. Mereka seolah menjadi anak tiri dalam keluarga besar Muhammadiyah karena secara organisasi masih belum mengakomodasi tradisi.

Bila Muhammadiyah tidak menjawab kedua jenis tantangan tersebut, mereka yang berasal dari daerah pedesaan akan merasa dianaktirikan oleh keluarga besar Muhammadiyah sendiri. Dilihat dari latar belakang pendidikannya mereka akan mengalami kesulitan dalam membela keyakinannya pada tradisi. Mereka memerlukan uluran tangan kalangan elit Muhammadiyah agar bersedia mengakomodasi warisan tradisi itu.

28 Mulkhan, 2002, op. cit., 31-32.

(11)

A. EKSODUS WARGA MUHAMMADIYAH

Memang bisa ada beberapa teori untuk menjelaskan gejala eksodus warga Muhammadiyah ke dalam PKS. Bila melihat hasil penelitian yang dilakukan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) yang bekerjasama dengan Sugeng Saryadi Syndicat maka tidak ada teori yang bisa mengklaim sebagai teori yang paling absah. Penelitian itu mengungkapkan prosentasi anggota Muhammadiyah dalam suatu partai sebagai berikut, Golkar 20,3%, PAN 57,9%, PPP 18,2%, PBB 52,1%, dan PKS 68,7%.30 Prosentasi terbesar

masuk PKS, berarti ada kemungkinan orang Muhammadiyah ini mendirikan PKS dan kemudian mencari anggota dari luar. Teori kedua, 33,3% orang luar berhasil menarik keluar orang Muhammadiyah.

Dari penelitian itu orang Muhammadiyah merasa at home di PKS, tetapi apakah angka 68,7% bisa mewakili anggota Muhammadiyah secara keseluruhan ataukah mencermin kelompok menengah ke bawahnya? Angka itu cenderung mencerminkan kelompok menengah ke bawahnya.31 Bila dilihat basis pimpinan PKS maka mereka

termasuk kalangan pemuda Muhammadiyah. Mereka kalangan terpelajar yang masih belum menduduki jabatan teras di Muhammadiyah. Bisa saja mereka adalah putera/puteri anggota Muhammadiyah yang datang dari daerah pedesaan, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menyelamatkan warisan tradisi, disamping mungkin ada juga ambisi kekuasaan. Atau mereka bermain politik mendirikan (atau masuk) PKS, karena mereka tidak terwakili dalam PAN, partai yang dibidani oleh Muhammadiyah.

Apakah mereka salah mendirikan (atau masuk) PKS? Bukankah Muhammadiyah memberi kebebasan kepada warganya untuk memilih partai politik. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah hendaknya menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik. Memang orang partai tidak boleh memanfaatkan segala fasilitas amal usaha Muhammadiyah, termasuk mereka yang masuk partai yang dibidani Muhammadiyah. Mereka hendaknya secara mandiri mengembangkan aktivitas politiknya bersaing dengan partai lainnya termasuk PKS. Bila orang PAN bisa memanfaatkan fasilitas amal usaha Muhammadiyah, sedangkan mereka yang dipartai lain, terutama PKS, tidak diberi kesempatan yang sama maka mereka merasa dianaktirikan.

Kita juga tidak boleh gegabah mengatakan bahwa buku yang ditulis Haedar Nashir Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? merupakan suara unsur PAN di Muhammadiyah. Faktanya beliau bukan pengurus dan bukan anggota PAN, melainkan pengurus PP Muhammadiyah, walaupun buku itu tidak bisa diklaim sebagai suara seluruh jajaran PP Muhammadiyah. Paling tidak itu suatu cermin adanya kesamaan ideologi antara Muhammadiyah dengan PAN.

Sebagaimana dikatakan Haedar Nashir hubungan Muhammadiyah dengan semua partai tidak ada masalah, kecuali dengan PKS. Hal ini terjadi karena PKS sebagai Gerakan Tarbiyah memiliki ideologi, mungkin lebih tepatnya saya katakan segi ideologi keagamaan, karena setiap partai politik hendaknya memiliki ideologi tertentu. Selanjutnya konflik Muhammadiyah dan PKS akan dilihat dari segi fiqihnya, sebagai aspek operasional ideologi dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah salah bila PKS mengembangkan ideologi keagamaan? Memang Muhammadiyah pantas khawatir bila PKS mempolitisasi agama. Agaknya belum ada bukti yang cukup kearah itu dan Muhammadiyah dapat saja menjalankan fungsi kontrolnya, bukan melakukan serangan yang tidak proporsional. Cara dan sikap seperti itu jelas bertentangan dengan cara dan sikap Kyai Dahlan dalam berdakwah, seperti yang dicontohkan dalam diuraikan di atas.

Muhammadiyah juga boleh khawatir dengan pemikiran keagamaan yang berkembang dalam PKS. Bukan hanya melakukan pengamatan dari luar saja, tetapi perlu dikembangkan suasana dialogis agar diketahui pemikiran keagamaan dari mereka yang masuk PKS, sehingga akan menjaminan tingkat obyektivitas.

Kecurigaan PKS mempolitisasi agama dan tidak toleran tidak terbukti, namun demikian konflik antara Muhammadiyah dan PKS sungguh-sungguh nyata. Ini bisa dilihat dalam kasus pemilihan Walikota Jogja, dimana PKS masuk Koalisi Merah Putih (KMP) berhadap-hadapan dengan Koalisi Rakyat Jogja (KRJ) yang terdiri Golkar dan PAN32.

Terbentuknya koalisi Golkar dengan PAN karena Golkar tidak merepresentasikan sebagai

30 AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2.

(12)

suatu ideologi agama. Sedangkan konflik politik PAN dengan PKS karena PKS memerankan diri sebagai suatu ideologi agama.

Agaknya konflik PKS dengan Muhammadiyah berakar dari kesamaam peran sebagai ideologi agama. PKS dianggap menggerogoti usaha pembaharuan Muhammadiyah, sehingga harus dilawan sekuat tenaga. Bahkan caranya kadang melanggar etika sesama gerakan Islam, seperti dengan menulis artikel yang mendeskreditkan PKS sebagai alat Gus Dur dalam rangka memperlemah Muhammadiyah.33

Rongrongan terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah berupa dukungan PKS pada proyek TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat). Mereka menilai PKS telah menodai agama Islam demi meraih dukungan politik. Tindakan PKS yang dianggap menyimpang aqidah seperti memperbolehkan tahlilan, melakukan istighosah, dan menganjurkan ruqyah untuk menentukan awal puasa dan awal hari raya.34

Dituduh kalau latar belakang PKS mendukung proyek ‘TBC’ adalah kepentingan politik, dimana PKS ingin berada di semua segmen umat Islam. Saya kira pilihan membela tradisi memiliki akar yang lebih dalam lagi pada tataran filosofis. Konsekuensinya PKS melakukan akomodasi terhadap tradisi, sesuatu yang tidak ditolerir Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah ajaran agama tidak bisa diakomodasikan dengan kehendak umat; baginya patokan yang harus dirujuk adalah Al Qur’an dan Hadits.

Muhammadiyah menuduh PKS telah menyimpang dari rel jalannya partai politik yang sebenarnya, karena memerankan diri sebagai Gerakan Tarbiyah dalam upayanya melakukan pembinaan terhadap anggotanya. Muhammadiyah menginginkan PKS menampilkan kinerja sebagai partai yang dapat menarik simpati warga Muhammadiyah, jangan sampai partai menjadi ideologi agama.35

Tapi apa salah bila partai memiliki ideologi, termasuk ideologi agama. Memang sudah seharusnya partai memiliki landasan ideologi yang akan diperjuangkan secara demokratis. Yang menjadi masalah adalah PKS memilih ideologi agama, dan memaksanya berhadap-hadapan dengan Muhammadiyah. Bila logika ini dibalik, berarti Muhammadiyah juga memiliki ideologi. Walaupun Muhammadiyah bukan partai politik, tetapi Muhammadiyah bermain politik, yang diistilahkan mantan Ketua PP Amien Rais sebagai politik tingkat tinggi (high politic) karena Muhammadiyah tidak menjalankan intrik-intrik politik praktis.

Memang urusan politik merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap gerakan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, dan yang perlu dibedakan adalah politik praktis (pendekatan politik) dalam bentuk partai politik dan non-politik praktis atau pendekatan kultural. Apalagi kita di Indonesia, tidak mungkin melepaskan diri dari berpolitik, karena kita bisa kena imbas permainan politik yang dimainkan oleh pihak luar. Hal ini terjadi karena sektor publik (negara) tidak mau menggembangkan sektor private (Civil Society) yang fungsinya sebagai check and balance yang akan menjamin tegaknya demokrasi. Negara selalu campur tangan terhadap sektor private demi melanggengkan kekuasaannya. Negara disini tidak melihat politik sebagai suatu seni, dimana berbagai aktor bisa saling bergantian memerintah untuk memberikan pengabdian yang terbaik bagi negara.

Dari segi fiqih, Muhammadiyah dan PKS tentu memiliki perbedaan. Sebenarnya perbedaan fiqih merupakan suatu yang manusiawi karena masing-masing mewakili suatu komunitas yang berbeda, disamping tentunya situasi dan kondisi yang berbeda. Bila hal ini disadari maka keduanya akan bisa mengembangkan suatu kerjasama yang tulus. Yang sering terjadi pendekatan fiqih cenderung mendorong konflik dan cenderung eksklusif. Sebab fiqih kemudian menjadi identitas golongan. Kalau fiqih anda tidak sama maka anda di luar golongan saya.36

Gejala eksklusif organisasi-organisasi Islam muncul karena kesalahan memaknai fiqih sebagai syari’ah. Padahal antara syari’ah dan fiqih itu berbeda. Islam itu identik dengan syari’ah, dan tentunya setiap Muslim akan menjalankan syari’ah. Dan fiqih itu adalah produk dari syari’ah dan karenanya fiqih mengundung unsur relatif, karena dipengaruhi oleh faktor ruang dan waktu. Mengingat konteks ruang dan waktu itu masing-masing organisasi Islam berbeda maka mereka juga mengembangkan pemikiran fiqih yang berbeda.

33 AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal 1. 34Ibid., hal 3; juga Haedar Nashir, 2006, hal 25, 28, 45. 35 Haedar Nashir, 2006, hal 43.

(13)

PKS juga mengembangan pemikiran keagamaan tersendiri. PKS sering dikatakan sebagai pendukung syari’ah Islam, sekedar untuk membedakan dengan Muhammadiyah yang dikatakan sebagai pembela konsep negara bangsa (nation state). Syari’ah di sini dimaknai sebagai pemikiran fiqih klasik, suatu fiqih yang punya tendensius politik dengan cita-cita mendirikan suatu negara Islam atau bahkan terwujudnya kekhalifahan Islam. Namun PKS menghindari cara-cara radikal dalam mewujudkan cita-cita itu, sehingga PKS tidak ragu maupun canggung dalam merumuskan tujuan politiknya, yaitu mendukung Negara Pancasila dan tegaknya syari’ah Islam. Memang kalau kita lihat sejarahnya penerapan fiqih klasik itu bisa dipisahkan dengan pemegang otoritas politik. Fiqih klasik lebih berperan sebagai moral force.

Sikap PKS yang luwes dan fleksibel dalam menerapkan fiqih telah menjadikan PKS mampu bergerak cepat dan gesit dalam berpolitik. Apalagi tendensi politik untuk mendirikan Negara Islam sekarang ini tidak sekuat zaman dulu, karena memang konteksnya sudah sangat berbeda. Sekarang partai-partai politik di Indonesia cenderung bersifat pragmatis, dengan tidak mementingkan tercapainya tujuan ideologis masing-masing partai secara mutlak. Hal ini sangat positif menghindari pecahnya konflik horisontal maupun vertikal. Yang dipentingkan oleh partai politik sekarang ini adalah keteladanan dan kesediaan membela dan membantu rakyat kecil.

Dengan orientasi pada kepentingan rakyat kecil itulah PKS bersikat inklusif, karena tidak ingin membenturkan rakyat kecil demi kepentingan ideologisnya. PKS lebih mengedepankan terwujudnya nilai-nilai universal Islam sebagai substansi dari Islam itu sendiri, seperti keadilan, kesejahteraan, dan keselamatan. Karena itu dalam kasus pemilihan Walikota Jogja, PKS dapat menjalin aliansi politik dengan PDIP, Partai Demokrat dan PPP dalam Koalisi Merah Putih (KMP), padahal mereka memiliki ideologi yang tidak mudah disatukan. Hal itu wujud dari sikap PKS yang berpikir rasional dan pragmatis dalam berpolitik dan berdakwah demi terciptanya kesejahteraan rakyat.

B. MEMPERLUAS PARADIGMA MUHAMMADIYAH

Dari uraian di atas diketahui kalau perselisihan Muhammadiyah dan PKS bermula dari masalah ideologi agama. Ideologi agama berpusat pada masalah aqidah atau konsep Keesaan Tuhan (the concept of the Oneness of God). Muhammadiyah menilai PKS sudah menyimpang dari konsep aqidah yang dikenal dengan ‘Aqidah Anti-TBC’. Hal itu dilakukan PKS demi meraih dukungan politik dari umat. Hal ini tidak bisa ditolerir oleh Muhammadiyah. Bila ingin mendapatkan dukungan dari Muhammadiyah maka PKS diminta meninggalkan muatan ideologi (Butir 6).

Apakah PKS betul-betul sudah menyimpang dari aqidah? Di kalangan Muhammadiyah sendiri muncul perbedaan mengenai definisi TBC itu sendiri. Alm Prof Dr Kuntowijoyo menyarankan Muhammadiyah meredefinisikan pengertian TBC agar tidak bersifat subyektif tetapi bersifat obyektif.37 Untuk itu pengertian TBC perlu diklarifikasi

dengan obyek yang menjadi sasaran tuduhan itu, apakah mereka tidak percaya kepada konsep Keesaan Tuhan? Apalagi penerimaan suatu kebenaran, lebih tepatnya kebenaran relatif, itu ditentukan oleh mayoritas anggota suatu masyarakat. Temuan ini patut direspon secara positif, disamping ada upaya-upaya yang kontinyu untuk meningkatkan kualitas daya serap masyarakat terhadap kebenaran itu. Inilah yang dinamakan pendidikan/tarbiyah/dakwah.

Kuntowijoyo menengarai Muhammadiyah terjangkit penyakit involusi berupa ekstensifikasi, yaitu terjadi ekspansi aqidah yang sebenarnya bukan aqidah dipandang aqidah.38 Kesenian dalam Muhammadiyah tidak bisa berkembang, karena imaginasi

berkesenian telah dipasung oleh aqidah yang mengatasnamakan gerakan purifikasi. Dia menyarankan purifikasi membatasi diri pada yang benar-benar esensial. Dalam kasus Wayang Sadat, dia menilai usaha-usaha rasionalisasi dan demitologisasi terhadap Wayang Sadat sudah keluar dari patokan “yang benar-benar esensial”. Bila seorang dalang Wayang Sadat tidak berani membuat cerita carangan karena tuntutan demitologisasi dan rasionalisasi maka Wayang Sadat akan kehabisan napas. Kalau Wayang Sadat Mati maka salah satu sistem simbol Islam akan hilang.

37 Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi Sosial Keagamaan”, dalam KSL, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan dan KSL, hal87.

(14)

Lebih lanjut Kuntowijoyo menggugat, kalau semua dianggap sebagai aqidah (yang hanya Allah dan Rasul-Nya yang mempunyai otoritas), lalu dimana letak urusan agama?39

Apalagi ada sebuah hadits “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” Apakah kesenian bukan “urusan dunia” sehingga perlu demitologisasi dan rasionalisasi? Agama tetap memerlukan sistem simbol atau agama tetap memerlukan kebudayaan agama. Tanpa kebudayaan maka agama akan menjadi agama pribadi. Tanpa kebudayaan, agama sebagai kolektivitas tidak akan dapat tempat.

Adalah sulit menilai seseorang itu sudah tidak percaya pada konsep Keesaan Tuhan hanya dengan melihat seseorang itu mengikuti suatu tradisi. Bukankah tradisi/budaya itu lebih luas dari masalah aqidah? Budaya merupakan manifestasi dan implementasi dari aqidah dalam suatu masyarakat dan karenanya merupakan gabungan antara unsur normatif (aqidah) dan unsur situasional bagi penerapan prinsip-prinsip normatif tersebut. Dengan demikian dalam budaya itu terkait suatu sistem yang mengatur kehidupan sesama anggotanya baik itu berkaitan dengan prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang akan menjamin prinsip keseimbangan di dalam suatu masyarakat.

Apakah ideologi yang sedang menjadi mainstream di Muhammadiyah sekarang ini merupakan sesuatu yang inheren sejak kelahirannya? Kalau dilihat pendirian KH Ahmad Dahlan yang tidak mau menulis kitab dan lebih menekankan amal usaha maka pada mulanya Muhammadiyah tidak terlalu konsen dengan masalah suatu paham. Hal ini mengingat Islam bukanlah suatu ideologi, walaupun bisa diperankan sebagai suatu ideologi kemanusiaan yang mengarah kepada kemajuan dengan metodanya demokrasi.

Selain aqidah, persoalan krusial umat Islam berikutnya adalah syariah. Apakah persepsi Muhammadiyah terhadap syariah itu tidak pernah mengalami perkembangan? Sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya bila kita membandingkan syariah yang diyakini Muhammadiyah dengan yang diyakini PKS. PKS meyakini syariah sebagaimana yang terkodifikasi dalam fiqih hasil ulama klasik, yang menyatukan urusan agama dengan urusan politik. Fiqh semacam ini merupakan produk dari sistem kekhalifahan Islam, sehingga pemikiran politiknya bersifat negara theosentris. Dengan demikian cita-cita politik PKS adalah terbentuknya Daulah Islamiah dan Kekhalifahan Islam.

Namun bila melihat AD/ART PKS tidak sampai ke arah terbentuknya negara Islam, melainkan tegaknya syariah Islam dalam wadah NKRI. Hal ini berarti PKS menerima dasar negara Pancasila. Landasannya Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat diinjeksi dengan visi dan nilai-nilai substantif Islam. Lebih praktisnya lagi, PKS bermain politik dengan sasaran dapat menghasilkan produk hukum yang dapat melindungi kepentingan umat yang menjadi konstituennya. PKS menyadari konstituen yang diwakilinya adalah masyarakat menengah ke bawah yang masih membutuhkan perlindungan. Dengan demikian, syariah yang diperjuangkan PKS tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya tafsir syariah yang benar.

Untuk mencapai tujuan akhir itu PKS mengembangkan metoda demokrasi, sehingga dalam merumuskan suatu pembaharuan disesuaikan dengan kemampuan konstituennya. Artinya, pendekatan yang dikembangkan PKS bersifat humanis atau sesuai dengan kemampuan manusia (konstituennya). Pendekatan ini menghindari penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan, sehingga kemajuan yang ditempuh melalui cara-cara evolusi bukan dengan revolusi.

Sementara Muhammadiyah tidak berpretensi menegakkan syariah sebagaimana tekodifikasi dalam fiqih klasik. Muhammadiyah membedakan Islam dengan fiqih. Islam pada dasarnya adalah syariah, sedangkan fiqih adalah syariah sebagaimana yang diyakini oleh ulama klasik. Muhammadiyah melihat ada perbedaan yang fundamental antara situasi dan kondisi saat fiqih klasik dibuat dengan situasi sekarang ini.

Memang pada saat menjelang kemerdekaan Muhammadiyah memperjuangkan berdirinya negara Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh fiqih klasik.40 Pada saat itu Ki

Bagus Hadikusumo, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, bahu membahu dengan wakil Islam lainnya mengusahakan agar menjadi negara Islam; memang akhirnya hanya disetujui Piagam Jakarta. Kesediaan wakil Islam berkompromi seperti itu karena syariah tidak identik dengan negara Islam. Mereka membela negara Islam dan akhirnya hanya Piagam Jakarta, sebagai suatu konsesi yang patut diberikan pada umat Islam yang banyak andilnya dalam kemerdekaan tetapi posisi mereka masih lemah untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam negara yang akan didirikan nantinya.

39 Ibid, hal 299.

(15)

Sekarang ini jajaran PP Muhammadiyah mendukung penuh NKRI karena mereka melihat struktur negara yang ada sekarang ini sudah banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah. Mereka dapat mempengaruhi kebijakan negara untuk mendukung kegiatan dakwah Muhammadiyah. Mereka khawatir terjadi perubahan ideologi akan mengakibatkannya tersingkir dalam lingkaran kekuasaan yang ada. Tentu, kebijakan ini tidak bisa diterima sepenuhnya oleh lapisan kelas menengah ke bawah Muhammadiyah yang belum menduduki posisi penting dalam struktur pemerintahan negara. Unsur terdidik dari lapisan ini cenderung masuk ke dalam kancah politik, khususnya PKS, untuk memperjuangkan dihargainya tradisi.

BAB V KESIMPULAN

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memiliki pandangan yang cerdas dan cukup jernih melihat kondisi umatnya, sehingga dalam berdakwah lebih menekankan amal usaha. Dia tahu kalau Islam itu bisa dilihat baik dari kacamata filosofis maupun kacamata praktis; dan dia memilih cara yang kedua. Dia tidak mau menulis satu kitab pun, takut menambah perpecahan umat; dia tidak muluk-muluk mau mengganti sistem pemerintah Belanda, dia mau bekerjasama dengan Belanda.

Dalam perkembangannya Muhammadiyah menempatkan diri dalam kubu modernisme, karena ideologi modern itu dirasa cocok dengan komunitas warganya yang berasal dari daerah perkotaan. Kemudian terbukti, pemikiran Islam modern ala Muhammadiyah relatif berhasil mengangkat kelas menengah Islam untuk mengisi pos-pos dalam struktur negara modern. Bahkan, amal usaha Muhammadiyah berhasil melakukan ekspansi ke daerah pedesaan. Akan tetapi kesuksesan ini diikuti dengan munculnya krisis dalam tubuh Muhammadiyah, dimana mereka yang dari daerah pedesaan tetap memegang teguh tradisi. Mereka seolah menjadi anak tiri dalam keluarga besar Muhammadiyah karena secara organisasi masih belum mengakomodasi tradisi.

Siapa pun yang melakukan pembaharuan hendaknya selalu menyadari sifat keterbatasan yang melekat pada manusia. Sikap seperti itu menjadikan mereka berusaha terus menyempurnakan usaha-usaha pembaharuan itu, disamping adanya kesediaan untuk melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kelompok lain dari kultur yang berbeda. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sudah menyadari sifat keterbatasan pemikiran manusia, dan kareanya dia tidak mau menuliskan hasil pemikirannya itu, namun dia lebih menekankan pada segi praksis dari agama demi mengangkat harkat dan martabat manusia. Dia tidak mau terlibat perdebatan sengit persoalan teologi/ideologi, dan dia betul dalam memandang teologi sebagai alat yang harus tunduk pada misi agama yang pada prinsipnya menekankan segi amalan/praksis demi mengangkat harkat dan martabat manusia.

(16)

amalan Muhammadiyah, dan bukankah Islam mengharapkan umatnya melakukan amalan yang bias kepentingan, sebagaimana misi Islam adalah rahmatan lil’alamin (memberi manfaat bagi semua orang, terlepas dari pertimbangan agama yang mereka anut).

Keberhasilan suatu pembaharuan sangat ditentukan oleh tingkat kecanggihan suatu pemikiran. Fakta mayoritas Muslim dari daerah pedesaan tidak masuk Muhammadiyah menunjukkan bahwa pemikiran Muhammadiyah masih belum mengakomodasi realitas sosio-historis daerah pedesaan. Bila fakta ini disadari dan memang hal itu dianggapnya sebagai suatu ciri khas maka mereka akan dapat mengembangkan dialog yang konstruktif dengan Nahdhatul Ulama (NU), suatu organisasi yang menjadi afiliasi mayoritas Muslim daerah pedesaan. Bila semua organisasi atau kelompok Islam mampu memahami hal ini maka mereka akan dapat menciptakan budaya Islam yang Indonesianis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, H.M. Amin, 2000, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman”, in Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPP.

Abdullah, M. Amin, 1995, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, Dalam Kelompok Studi Lingkaran (ed.). Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Bandung: Mizan & KSL.

Barnett, Tony, 1995, Sociology and Development, London: Routledge.

Fachruddin, KH A.R., 1990, “Dari KH. A.R. Fachruddin untuk DR. Nurcholish Madjij”, dalam Sujarwanto dkk Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, 1996, Berdialog dengan Al-Qur’an: Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Bandung: Mizan.

Haskell, Thomas L., 1999, 3.

Huff, Toby E., 1998, The Rise of Modern Sciences, Cambridge: Cambridge University Press.

Kamal, Musthafa (dkk.), 1994, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan.

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan. Kuntowijoyo, 2001, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan.

Lithman, Yngve Georg., 1983, The Practice of Underdevelopment and the Theory of Development: the Canadian Indian Case. Stockholm: Stockholm Studies in Social Anthropology.

Maarif, Syafi’i, 2000, “Antara Purifikasi dan Dinamisasi”, dalam Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI.

(17)

Ross, Marc Howard, 1999, Culture and Identity in Comparative Political Analysis. In Lichbach and Zuckerman (ed.) Comparative Politics: Rationality, Culture, and Structure. New York: Cambridge University Press.

Wahid, Abdurrahman, 1998, “Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional”, dalam Glenn D. Paige, Chaiwat Satha Anand, dan Sarah Gilliatt, Islam tanpa Kekerasan, A.b. M. Taufik Rahman, Yogyakarta: LKIS.

Wahid, Abdurrahman, 1999, “Penafsiran Kembali Ajaran Agama: Dua Kasus Dari Jombang”, dalam Muh. Shaleh Isre (ed.), Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS.

AMM, “Beberapa Catatan Pasca Pemilu”, hal. 2. Sartono Kartodirdjo, 1993,

Martin van Bruinessen, (1992), “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya”, Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 1.

Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Syamsuddin Haris (ed.), 2007, Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: LIPI.

Schuon, Fritjof, 1994, Understanding Islam, Indiana: World Wisdom Books, Inc. Haedar Nashir, 2006, hal 25, 28, 45.

Jalaluddin Rakhmat, 2000, “Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi”, dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo, 1995, “Menggerakkan Kembali Khittah Muhammadiyah sebagai Organisasi Sosial

Keagamaan”, dalam KSL, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Bandung: Mizan dan KSL.

Kuntowijoyo, 2000, “Islam dan Budaya Lokal”, dalam M Azhar dan Hamim Ilyas ed., Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI.

Noer, Deliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional, Bandung: Mizan.

Abdullah, M. Amin, 2005, “Democracy and Authoritarianism in Islamic Text: The Implication and the Consequences of having Bayani type of Islamic Epistemology in the Political Arena”, in ICIP Journal, vol. 2, no. 2.

Abdurrahim, Musyaffa, 2006, Membangun Ruh Baru: Taujih Pergerakan untuk Para kader Dakwah, Bandung: Harakatuna.

Al-Hilalli, Muhammad Taqi-ud-Din dan Muhammad Muhsin Khan, 1996, Interpretation of the Meaning of the Noble Qur’an, Riyadh: Darussalam.

Amstrong, Karen, 2002, Sejarah Tuhan, translated by Mizan team, Bandung: Mizan. _______, 2000, Sepintas Sejarah Islam, A.b. Ira Puspito Rini, Yogyakarta: Ikon Teralitera. Aziz, Abdul dkk., 2006, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Diva Pustaka. _______, 2006, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Jakarta: Diva Pustaka. Bahul, Raja, 2003, “Toward an Islamic Conception of Democracy: Islam and the Notion of

Public Reason”, Critique: Critical Middle Eastern Studies, Vol. 12, No. 1. Bastoni, Hepi Andi dkk., 2006, Penjaga Nurani Dewan, Bogor: Pustaka al-Bustan.

Bellah, Robert N., 1970, “Civil Religion in America”, dalam Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World, New York: Harper & Row.

Carr, E.H. (1984). Apakah Sejarah? A.b. Rahman Haji Ismail. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan pustaka.

Casanova, Jose, 1994, Public Religions in the Modern World, Chicago: The University of Chicago Press.

(18)

Funkenstein, Amos, 1986, Theology and the Scientific Imagination: from the Middle Ages to the Seventeenth Century, Princeton: Princeton University Press.

Furkon, Aay Muhamad yang diterbitkan menjadi buku dengan judul Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Bandung: Teraju.

Geertz, Cliford, 1973, The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books.

Hick, John, 1990, “The Conflicting Truth Claims of Different Religions,” dalam Philosophy of Religion.

Intan, Benyamin Fleming, 2006, “Public Religion” and the Pancasila-Based State of Indonesia, New York: Peter Lang.

Kartodirdjo, Sartono, 1993a, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

_________, 1993b, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid II, Jakarta, Gramedia.

Monsma, Stephen V., 1996, Religious Nonprofit Organizations and Public Money: When Sacred and Secular Mix, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.

Murata, Sachiko, 1996, The Tao of Islam, translated by Rahmani Astuti and M.S. Nasrullah, bandung: Mizan.

Naim, Abdullahi an-, 2008, The Future of Shari’a, Harvard: Harvard University Press. Naisbitt, John and Patricia Aburdane, 1990, Megatrend, a.b. Tim Penggebu Warta Ekonomi,

Jakarta: Tim Penggebu Warta Ekonomi.

Nasiwan, 2005, “Model Pendidikan Politik: Studi Kasus PKS DPD Sleman, Yogyakarta”, dalam Cakrawala No. 3, Th. 24.

Nasr, Seyyed Hossein, 1994, Ideals and Realities of Islam, London: Allen and Unwin. Qardhawi, Yusuf al-, 2006, Metodologi Hasan al-Banna dalam Memahami Islam, a.b. M.

Nurudin Usman, Solo: Media Insani.

Salim, Hairus dkkk., 1999, Tujuh Mesin Pendulang Suara, Yogyakarta: LkiS. Mahmudi, Yon, 2006, Partai keadilan Sejahtera: Wajah Baru Islam Politik Indonesia, Bandung: Harakatuna.

Sekjen DPP PKS, 2007, Sikap Kami: Kumpulan Sikap Dakwah Politik PK & PKS Periode 1998-2005, Bandung: Harakatuna.

Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Tim Litbang Kompas, 2005, Wajah DPR dan DPD 2004-2009, Jakarta: Kompas.

Wahid, Abdurrahman, 2000, Tuhan Tidak Perlu Dibela, ed. Muhammad Isre, Yogyakarta: LkiS.

Waluyo, Sapto, 2005, Kebangkitan Politik Dakwah: Konsep dan Praktek Politik PKS di Masa Transisi, Bandung: Harakatuna.

Walzer, Michael, 1994, Thick and Thin: Moral Argument at Home and Abroad, Notre Dame: University of Notre Dame.

Referensi

Dokumen terkait

tatanan baru dalam kepemerintahan Indonesia. Selama 20 tahun pasca kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan Gestapu dan eksesnya. Tampaknya tanpa peran besar

Menjangan ranggah Kedua tangan saling bertemu (berhadapan) dengan posisi jari- jari membuka. Posisi tangan di depan muka.. Sekar suwun Posisi tangan kiri di atas sejajar dengan

Yang patut selalu disadari, bahwa pembelajaran seni-budaya di sekolah, di samping berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran seni-budaya itu sendiri (konsep mikro,

POSISI

Tujuan akuntansi komersial adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah

- Testi melakukan ayunan pada saat melakukan vertical jump - Setelah mengukur posisi 1 (raihan posisi 1), bentuk badan pada posisi 1 ini berubah waktu akan melakukan loncatan,

 Hikmah yang dapat dari mutiara kata adalah : Kesehatan jasmani, latihan yang tinggi dan berat, kemerdekaan diri terbatas, harus.. memanfaatkan waktu

maupun dari dalam Negeri yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan & persatuan bangsa, keutuhan wilayah & yuridiksi. p g ,