Kajian Tentang Pengaruh Atraktan Dari
Nabati Alami Lokal dan Buatan untuk
Memerangkap Hama Penggerek Buah Kopi
di Sumatera Utara
Oleh:
Dr. Ir. Sabam Malau
Ir. Parlindungan Lumbanraja, M.Si Ir. Rosnawita Simanjuntak, M.Si Ir. Susana Tabah Trina Panjaitan, M.Si
Ir. Benika Naibaho, M.Si
Badan Penelitian dan Pengembangan
Provinsi Sumatera Utara
Jalan Sisingamangaraja
Medan
2012
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan kopi dunia terus meningkat dengan laju peningkatan 15% per tahun
sementara laju penambahan produksi kopi dunia hanya meningkat 10% (ICO 2012).
Harga biji kopi dipasar Internasional cenderung meningkat dan mengalami puncaknya
pada tahun 2011, dan menurun pada tahun 2012.
Negara-negara kopi nampaknya berbeda beda dalam menangani perkopian di
negaranya yang diindikasikan dengan kuantitas ekspornya. Dari 54 negara penghasil
kopi, 19 diantaranya mengalami peningkatan ekspor kopi pada tahun 2011, sedangkan
dialami oleh Brasilia, sedangkan Indonesia mengalami penuruan ekspor sebesar 30%
pada tahun 2011, sementara produksi juga menurun dari 683.000 ton pada tahun 2009
menjadi 570.000 ton pada tahun 2010 atau terjadi penurunan sebanyak 16,52% (ICO,
2011), dan menurun kembali pada tahun 2011 menjadi 369.540 ton (ICO 2012). Akibat
penurunan ekspor tersebut, Indonesia tidak dapat memeroleh manfaat maksimal ketika
harga kopi naik ke harga tertingi pada tahun 2011.
Di Sumatera Utara, perkopian memiliki arti yang sangat besar dan strategis
karena menciptakan banyak tenaga kerja dan sumber devisa yang besar. Kabupaten
Dairi memeroduksi 13,3 ribu ton/tahun, Tapanui Utara 10,5 ribu ton/tahun,
Simalungun 9,5 ribu ton/tahun, Kato 7,2 ribu ton/tahun, dan Humbang Hasundutan
5,7 ribu ton/tahun, dan berbagai kabupaten lainnya (BPS 2011). Total produksi Kopi
Sumatera Utara 55 ribu ton/tahun. Di Sumatera Utara, kopi secara langsung
menyangkut kehidupan sekitar 1.000.000 orang (petani produsen, pedagang
pengumpul, tenaga kerja perusahaan pengolahan dan eksportir kopi, kedai kopi).
Di Indonesia, Sumatera Utara adalah penghasil dan sekaligus pengekspor Kopi
Arabica terbanyak. Sumatera Utara memroduksi kopi (Robusta dan Arabika) sebanyak
55,6 ribu ton pada tahun 2010 dengan luas lahan 78.709,56 Ha (BPS 2011). Sebahagian
besar (sekitar 50.000 ton, 95%) diekspor terutama ke Amerika Serikat, Jepang dan
Eropah. Meskipun data statistik yang dikeluarkan BPS menunjukkan kenaikan
produksi pada tahun 2010 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun banyak
pihak - misalnya Ketua Assosiasi Eksportir Indonesia (AEKI) - meragukan kenaikan ini
dan menyakini bahwa terjadi penurunan produksi. Nilai ekspor biji dan bubuk kopi
tahun 2008. Nilai ekspor tahun 2011 naik menjadi US$ 205,2 juta semata-mata akibat
dari kenikan harga, bukan karena kenaikan volume ekspor.
Terlepas dari pro kontra tentang naik atau turunnya produksi kopi Sumatera
Utara, fakta menunjukkan bahwa produktivitas kopi Sumatera Utara rendah
diandingkan dengan produktivitas kopi di negara-negara lain. Produktivitas Kopi
Arabica Sumatera Utara hanya 1.154 kg/ha/tahun sedangkan Costa Rica 1.610
kg/ha/tahun, sedangkan produktivits Robusta 649 kg/ha/tahun dibandingkan Laos
738 kg/ha/tahun.
Produktivitas yang rendah tersebut bisa disebabkan oleh kurangnya
pemahaman petani kopi tentang budidaya kopi, atau terjadinya salah satu atau
gabungan dari faktor-faktor berikut : rendahnya input pupuk, kurangnya pemeliharaan
tanaman (misalnya pemangkasan), tidak adanya tanaman penaung, tuanya umur
tanaman, dan tingginya serangan hama Penggerek Buah Kopi (PBKo).
Serangan PBKO beberapa tahun terakhir ini sangat serius di berbagai kabupaten
penghasil kopi di Sumatera Utara. Hama PBKo menggerek buah kopi, lalu hidup di
dalamnya, dan memakan biji kopi. PBKo ini telah dicoba dikendalikan dengan teknik
Good Agriculture Practice seperti penggunaan perangkap dengan Hypothan, naungan,
jamur, pupuk organik, tindakan teknik manual, dan replanting. Tetapi belum cukup
berhasil sehingga masih terdapat serangan yang sangat tinggi. Hasil penelitian Malau
(2010) menunjukkan serangan PBKo di Sumatera Utara dapat menyebabkan penurunan
produksi hingga 92% dengan modus 31-35% dan rata-rata 28,4% sehingga
diperkirakan telah menimbulkan kerugian bagi Sumatera Utara sebanyak Rp. 837
Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah berupaya untuk membantu mengatasi
tersebut dengan cara membagikan hypotan. Hypotan adalah campuran dari senyawa
kimia methanol dan etanol. Bagi PBKo betina, hypotan ini berbau seperti bau-bau yang
dikeluarkan pejantan sehingga PBKo betina akan mendekati hypotan tersebut. Dengan
demikian hypotan dapat digunakan sebagai pemancing masuknya PBKo betina kedalam
perangkap. Akan tetapi, upaya melalui penggunaan hypotan tersebut nampaknya
belum berhasil diterapkan secara meluas dan berkesinambungan oleh petani kopi.
Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah ketidaktersediaan hypotan
secara terus menerus di lapang karena harus didatangkan dari dari Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur. Oleh karena itu perlu diteliti bagaimana
memanfaatkan bahan alernatif yakni bahan-bahan alami yang tersedia di sekitar petani
sebagai pengganti hypotan tersebut, dan bagaiman pengetahuan petani kopi tentang
pengendalian PBKo. Bahan-bahan alami tersebut mestilah mengandung alkohol yang
berfungsi sebagai atraktan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini adalah rumusan permasalah yang
akan dijawab oleh penelitian ini:
1. Bagaimanakah pengaruh bahan alami lokal sebagai atraktan untuk
pengendalian PBKo?
2. Bagaimanakah gambaran tentang pengetahuan budidaya dan proteksi
3. Bagaimankah respons dan kesiapan masyarakat tentang pemanfaatan bahan
alami lokal proteksi tanaman kopi.
1.3. Hipotesis
Pada percobaan, ditetapkan hipotesis bahwa terdapat perbedaan yang nyata
antaratraktan, dan pengaruh bahan nabati lokal sama dengan pengaruh bahan buatan.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menetapkan jenis bahan alami lokal sebagai atraktan
2. Menetapkan gambaran tentang pengetahuan budidaya dan proteksi tanaman
kopi di tingkat petani.
3. Menetapkan gambaran respons dan kesiapan masyarakat tentang
pemanfaatan bahan alami lokal proteksi tanaman kopi.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi petani kopi, petani dapat menggunakan bahan alamiah lokal untuk
pengendalian PBKo demi peningkatan produktivitas kopi.
2 . Bagi Gubernur dan DPRD, rekomendasi kebiijakan dari hasil penelitian ini
menjadi bahan bagi Gubernur untuk menetapkan arah kebijakan dalam
rangka meningkatkan produktivitas kopi melalui perbaikan budi daya kopi
3. Bagi Badan Penelitian dan Pengembangan, rekomendasi kebijakan dari hasil
penelitian ini menjadi bahan masuan bagi peenetapan progrmanya, dan
menjadi saran kebijakan untuk disampaikan kepada Gubernur.
4. Bagi Dinas-dinas terkait, rekomendasi kebiijakan dari hasil penelitian ini
menjadi bahan bagi penetapan program dan kegiatan dalam rangka
meningkatkan produktivitas kopi melalui perbaikan budi daya kopi umumnya
dan melalui proteksi tanaman khususnya.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Kopi
Harga kopi dunia cenderung terus meningkat meskipun kadang dibarengi
dengan penurunan harga. Harga kopi Arabica telah memecahkan rekor dunia pada
tahun 2011. Harga cenderung turun pada tahun 2012.
Fluktuasi harga di pasaran dunia nampaknya berpengauh terhadap harga di
dalam negeri. Pada saat harga puncak di pasaran dunia pada tahun 2011, harga kopi di
Sumatera Utara juga mengalami puncaknya yakni Rp. 65.000/kg biji hijau kering untuk
Arabica dan Rp. 27.000/kg untuk Robusta. Pada bulan Oktober 2012, harga turun
menjadi Rp. 45.000/kg untuk Arabica dan Rp. 15.000/kg untuk Robusta. Para ahli
menyebut bahwa penurunan harga tersebut karena penuruan daya beli akibat
Peningkatan produksi kopi dunia tidak dapat mengimbangi peningkatan
kebutuhan dunia akan kopi. Konsumsi kopi per kapita terus meningkat. Kampanye
untuk mengonsumsi kopi marak dilakukan oleh berbagai perusahaan besar di luar dan
dalam negeri. Finladia merupakan negara dengan konsumsi terbesar (12
kg/kapita/tahun), sedangkan Indonesia berada pada urutan 104 (0,5 kg/kapita/tahun)
(ICO 2011).
Tabel 3.2. Konsumsi kopi per kapita
Konsumsi kopi per kapita
Rank Country Coffee Consumption (ICO 2011)
1 Finland 12.0 kg 2 Norway 9.9 kg
3 Iceland 9.0 kg (2006 data) 4 Denmark 8.7 kg
Rank Country Coffee Consumption
17 Brazil 5.8 kg (2009 data) 26 United States 4.2 kg 58 Colombia 1.8 kg 69 Ethiopia 1.3 kg 92 Vietnam 0.7 kg 104 Indonesia 0.5 kg
146 Burkina Faso 0.1 kg (2006 data)
Produksi kopi Indonesia turun dari 683.000 ton pada tahun 2009 menjadi 570.000 ton
pada tahun 2010 atau terjadi penurunan sebanyak 16,52% (ICO, 2011) dan menjadi
547.000 ton padan tahun 2011 dan 495.000 ton pada tahun 2012 (ICO 2012). Nilai
ekspor biji dan bubuk kopi Sumatera Utara diperkirakan US$ 192,5 juta pada tahun
2009, turun dari US$ 207,8 juta pada tahun 2008 (AEKI 2010). Nilai ekspor tahun
2010-2011 diperkirakan naik akibat kenaikan harga, sedangkan tahun 2012 turun
karena penunan harga dan produksi yang menurun. Nilai ekspor biji dan bubuk kopi
Sumut diperkirakan US$ 192,5 juta pada tahun 2009, turun dari US$ 207,8 juta pada
tahun 2008. Nilai ekspor tahun 2011 naik menjadi US$ 215,2 juta.
Pemerintah Republik Indonesia, Pemprovsu dan Pemkab sudah banyak
melakukan berbagai program peningkatan perkopian di Sumatera Utara. Akan tetapi,
program tersebut perlu ditingkatkan di masa depan dengan mengatasi berbagai kendala
Perkopian Sumatra Utara mempunyai masalah yakni rendahnya produktivitas.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti rendahnya input pupuk, tidak
digunakannya tanaman penaung, tanaman sudah berumur tua, dan adanya serangan
Hama Penggerek Buah Kopi (PBKo).
Produktivitas
(2734 di Prov Dak Lak, 2004) Sumatera Utara (R) 670
Selain itu, belum adanya peta masalah perkopian yang aktual di Sumatera Utara
menyebabkan sulitnya melakukan program yang terintegrasi dan spesifik sesuai
dengan masalahnya. Data-data awal memang tersedia, tetapi perlu diperbaharui dan
diperluas.
Di Sumatera Utara, perkopian memiliki arti yang sangat besar dan strategis
karena menyerap/menciptakan banyak tenaga kerja dan sumber devisa yang besar.
Kabupaten Dairi memeroduksi 13,3 ribu ton/tahun, Tapauni Utara10,5 ribu ton/tahun,
Simalungun 9,5 ribu ton/than, Kato 7,2 ribu ton/tahun, dan Humbang hasundutan 5,7
dari 1 juta orang (petani produsen, pedagang pengumpul, tenaga kerja perusahaan
pengolahan dan eksportir kopi, kedai kopi). Sekitar 95% kopi Sumatera Utara diekspor,
5% untuk kebutuhan dalam lokal dan dalam negeri.
2.2. Penggrek Buah Kopi
PBKo berasal dari Afrika. Nama ilmiahnya Hypothenemus hampei. Bahasa
Inggrisnya Coffee Berry Borer (CBB) atau Broca. Malau (2010) menamainya Setan
(itam Black Devil . PBKo adalah Kumbang berukuran kecil; dewasa berwarna hitam;
ukuran betina dewasa panjang 1.4–1.8 mm, jantan lebih kecil 1.2–1.6 mm. Betina dapat
terbang dalam jarak dekat; Jantan tidak dapat terbang karena tidak punya sayap.
PKBo membor (menggerek) buah kopi pada diktus. Tapi, bila populasi PBKo
sangat tinggi dan musim kering dan panas, PBKo sering membor dari sisi lain dari buah.
Dengan demikian, identifikasi serangan tidak boleh hanya melihat diktus saja, tapi juga
sisi buah. Biasanya, 1 buah dimasuki oleh 1 betina. Ini yang membuat penyebaran
PBKo luar biasa cepatnya. Setelah membor buah, hama tersebut hidup dalam buah,
Induk dan anak-anaknya memakan semua biji sehingga tidak ada lagi biji dalam buah
meskipun buah nampak sehat (hijau mulus, atau merah saat matang). Serangan pada
buah yang sangat muda membuat buah membusuk, lalu buah gugur.
PBKo sangat berbahaya karena berkembang biak sangat cepat dan jumlah
banyak sekali. Dalam 1 tahun, keturunan dari 1 ekor betina sebanyak 100.000 (seratus
ribu) ekor. Bayangkanlah jumlahnya dalam 2-3 tahun, semua buah bisa terserang
sehingga tidak ada lagi biji yang dapat dipanen. Siklus hidup (life cycle) PBKo (dari
buah, betina sudah bertelur. Satu betina bertelur sebanyak 35-50 butir yang terdiri dari
33-46 (92%) betina. Harapan hidup (life expectation) betina maksimum 190 hari,
sedangkan jantan maksimum 40 hari. Setelah kawin di dalam buah, kebanyakan betina
keluar dari buah; hanya beberapa betina tetap di dalam buah. Betina yang keluar
tersebut membor biji-biji lainnya, lalu siklus diulangi lagi. Jantan tidak pernah keluar
dari dalam biji.
Serangan hama Penggerek Buah Kopi (PBKo) sangat serius di berbagai
kabupaten yang menjadi pusat produksi kopi di Sumatera Utara. Penggerek Buah Kopi
(PBKo) merupakan masalah utama kopi saat ini di Sumatera Utara. Hama PBKo yang
bersarang dalam buah kopi akan memakan biji kopi. PBKo ini telah dicoba dikendalikan
dengan teknik Good Agriculture Practice seperti penggunaan perangkap dengan
Hypothan, naungan, jamur, pupuk organik, tindakan teknik manual, dan replanting.
Tetapi belum cukup berhasil sehingga masih terdapat serangan yang sangat tinggi
(Malau 2010). Hama PBKo dapat menyebabkan penurunan produksi hingga 92%
dengan modus 31-35% dan rata-rata 28,4% sehingga diperkirakan telah menimbukan
kerugian bagi Sumatera Utara sebanyak Rp. 837 milyar pada tahun 2010 (Malau 2010).
Dahsyatnya ancaman kerusakan yang diakibatkan oleh kumbang PBKo ini dapat
dibayangkan dengan mengingat daur hidupnya (dari telur ke dewasa), lama hidupnya
dan jumlah telurnya yang betina. Berapa ratus ribukah turunan 1 kumbang betina dalam
1 tahun? Daur hidup (dari telur ke dewasa) berlangsung 24-45 hari tergantung cuaca.
Dua hari setelah memasuki buah, kumbang betina mengeluarkan telur sebanyak 35-50
buah yang kemudian berkembang menjadi kumbang betina dan jantan dengan
betina maksimum 190 hari dan jantan 40 hari. Kumbang baru tersebut kawin di dalam
buah. Jantan tidak pernah meninggalkan buah. Beberapa kumbang betina baru
tersebut kemudian meletakkan telurnya pada buah yang sama, sebahagian lainnya
keluar untuk menginfeksi buah-buah lainnya.
Pengendalian PBKo di berbagai belahan dunia dilakukan dengan menggunakan
beragai cara seperti sanitasi, penggunaan atraktan dan jamur (Bioworks 2011, IPM
2009, Kucel, Kangire dan Egonyu 2011, Kumar 2010, Fürst dan Bergleiter 2010, Sate
of Hawaii Dept Agriculture 2011). Secara khusus penggunaan bahan buatan berupa
hypotan menjadi perhatian dalam penelitian ini. Hyppotan adalah larutan/campuran
alkohol (etanol) dengan methanol. Hypotan berfungsi sebagai senyawa penarik atau
atraktan bagi betina PBKo. Betina tersebut seperti mencium wangi janatan sehingga
masuk dalam perangkap, dan kemudian terpeleset, dan masuk ked alam air yang ada
dalam perangkap, dan akhirnya mati.
Pengalaman empiris terhadap hypotan menunjukkan bahwa penggunaan
hypotan mempunyai efektivitas hanya sekitar 5% padahal PBKo sangat cepat
berkembang biak. Dalam 1 tahun sebagaimana telah direangkan di atas mempunyai
keturunan (anak, cicit dan seterusnya) sebanyak 100.000 ekor. Selan itu, hypotan
sangat sulit diperoleh di tingkat petani karena hypotan didatangkan dari Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Jember. Mengingat daur hidup PBKo dan kelangkaan
hypotan di tingkat petani, maka perlu dicari alternatif berupa bahan-bahan alami yang
ada disekitar petani. Bahan-bahan alamiah lokal tersebut diharapkan dapat berfungsi
sebagai atraktan pada perangkap PBKo. Dengan cara tersebut petani terus menerus
BAB III. METODE PENELITAN
3.1. Survey
Survei tentang intensitas serangan PBKo dan dilakukan di kabupaten
Dairi, Simalungun, Samosir dan Tapanuli Utara. Pada masing-masing kabupaten
tersebut dipilih satu kecamatan penghasil kopi Arabica sebagai tempat
pengukuran tingkat serangan PBKo yakni Kecamatan Sumbul (Dairi), Kecamatan
Purba (Simalungun), Kecamatan Ronggur Ni Huta (Samosir), dan Kecamatan
Tarutung (Tapanuli Utara). Kebun Arabica untuk pengamatan dipilih secara
acak sebanyak 3 kebun per kecamatan. Kebun memiliki setidak-tidaknya 90
tanaman. Dari 90 tanaman tersebut dipilih 9 tanaman sampel secara acak
dengan metode zigzag sehingga keseluruhan 27 tanaman per kecamatan per
Kabupaten. Dari survei ini ditetapkan satu tempat percobaan pada tanaman
Arabica di mana terdapat kebun yang memiliki tingkat serangan tertinggi PBKo
yakni kebun di Kecamatan Sumbul yang memiliki tingkat infeksi sebesar 85.8%
(Tabel 4.1).
Survey dilaksanakan 18 Hari Kerja untuk pengamatan serangan PBKo dan
pengumpulan data sekunder serta bahan alami yang ada. Pembahagian jadual
Tabel 3.1. Jadual Kerja
Nr Kegiatan Bulan
I
Bulan II
Bulan III
Bulan IV
1 Survey x
2 Wawancara x x
3 Percobaan Lapang x x
4 Penyusunan Laporan I x
5 Presentasi Laporan I x
6 Penyusunan Laporan II x x x
7 Presentasi Hasil II x
8 Penyerahan Laporan Akhir x
3.2. Wawancara
Wawancara kepada petani kopi dilakukan untuk memerolah informasi
tentang teknik budidaya yang terkait dengan pengendalian PBKo dan respons
mereka terhadap rencana penggunaan bahan alami sebagai atraktan. Jumlah
responden 40 orang yang tersebar pada 4 kabupaten (Dairi, Samosir, Humbang
Hasundutan dan Tapanuli Utara) masing-masing 1 kecamatan dan 10 orang dari
setiap kecamatan. Wawancara dilakukan langsung berhadapan muka (in-depth
interview) dengn menggunakan kuesioner. Dibutuhkan 20 Hari Kerja untuk
melakukan wawancara. Responden memiliki karakterisitik yang sangat
Tabel 3.2. Karakteristik Responden (n = 40)
No Karakteristik %
1 Jenis Kelamin Laki-laki (orang) 21 52,5 Perempuan (orang) 19 47,5 2 Umur Rataan (tahun) 35.9
Selang (tahun) 27-60
3 Pendidikan SD (orang) 7 19.7 SLTP (orang) 13 40.9 SLTA (orang) 17 37.9 PT (orang) 3 1.5 4 Jumlah Anak Rataan (orang) 3.3
Selang (orang) 1-6
5 Klasifikasi sebagai pelaku utama Petani kopi penuh (orang) 8 20 Petani kopi dan komoditi
lainnya (orang)
32 80
6 Lama Menjadi petani Rataan (tahun) 8.5 Selang (tahun) 4-35 Catatan : Semua laki-laki berstatus suami dalam keluarga, dan semua perempuan
berstatus istri dalam keluarga.
Data wawancara dianalisa dengan metode kualitatf.
3.3. Percobaan
Percobaan dilakukan dilakukan di Dairi di Kecamatan Sumbul penghasil
terbanyak kopi pada 1 (satu) kebun yang terbanyak serangan PBKo (Tabel 4.1).
Mengingat siklus idup PBKo 24-45 hari (lihat penjelasan pada bahagian 2.2),
maka percobaan berlangsung selama 40 Hari Kalender untuk memberikan
selang waktu yang cukup bagi PBKo untuk berpindah dari buah ke buah yang
pengamatan dilakukan penggantian air. Bahan atraktan (50 ml) diganti setiap 4
hari.
Percobaan adalah percobaan nonfaktorial dengan 6 taraf perlakuan yakni
campuran methanol dan etanol (2:1), methanol, etanol, cairan tape beras pulut,
tuak dan air bersih (kontrol). Percobaan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan 5 kelompok sehingga terdapat 30 unit percobaan (Gomez dan
Gomez 1984, Malau 2006). Setiap unit tersiri dari 4 tanaman sehingga tanaman
percobaan sebanyak 30 x 4 = 120 tanaman (Bagan 1).
Bagan 1. Bagan percobaan.
xx xx xx xx xx xx xx xx
Perangkap menggunakan botol aqua (Gambar 1) yang dilobangi, dan didalamnya
yang dicampur dengan deterjen (Gambar 2, 3, 4, 5 6, 7). Kantongan plastik
tersebut digantung di dalam botol.
====
Gambar 1. Metanol dan Etanol (kiri) botol perangkap
dengan wangi atraktan, PBKo betina akan masuk ke dalam wadah atraktan tersebut. Benturan PBKo dengan didinding bahagian dalam akan membuat PBKo jatuh ke dalam larutan sabun di bahagian bahwa botol, sehingga PBKo tidak dapat terbang lagi atau terperangkap. Akhirnya PBKo tersebut mati.
Gambar 4. Botol perangkap perlakuan campuran Etanol (E)
Gambar 6. Botol perangkap perlakuan tuak (T)
Gambar 7. Botol perangkap perlakuan dengan air (kontrol, K)
Parameter adalah jumlah PBKo yang mati dalam botol perangkap. Pada saat
Gambar 5. Pengeluaran air dari wadah
=
Untuk lebih memastikan, pengamatan menggunakan kaca pembesar (Gambar 6).
Gambar 5. Pengamatan menggunakan kaca pembesar
Data percobaan dianalisa dengan Uji-F. Bila Uji-F menunjukkan perbedaan yang
nyata, maka perbedaan antarrataan perlakuan diuji dengan Uji Duncan. Saran
kebijakan diformulasi berdasarkan hasil wawancara dan percobaan.
2. Peralatan dan bahan
4.1. Peralatan
Kamera, Laptop, gelas ukur, cutter, tali rafia, kaca pembesar, botol,
kantong plastk, dan lain-lain.
4.2. Bahan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Intensitas Serangan PBKo
Hasil pengamatan tentang intensitas serangan PBKo di Dairi (Tabel 4.1), Samosir
(Tabel 4,2), Humbang Hasundutan (Tabel 4.3) dan Tapanuli Utara (4.4) menunjukkan
tingkat infeksi buah bervariasi antara 21.8% hingga 31.5% dengan intensitas tertinggi
terdapat di Dairi (85.8%). Tingkat serangan PBKo inisedikit lebih rendah dari tingkat
serangan pada tahun 2010 (Malau 2010).
Table 4.1. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Dairi Regency (n = 27 tanaman)
Tabel 4.3. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Humbang
Table 4.4. Tingkat infeksi PBKo pada cabang, buku dan buah kopi di Tapanuli Utara (n =27)
4.2. Hasil Percobaan Atraktan
Pengaruh atraktan buatan methanol dan etanol berbeda nyata dengan air
(kontrol) (Tabel 4.5) sebagaimana juga ditunjukkan dan dilaporkan oleh para peneliti
dan lembaga-lembaga berwewenang (Bioworks 2011, IPM 2009, Kucel, Kangire dan
Egonyu 2011, Kumar 2010, Fürst dan Bergleiter 2010, Sate of Hawaii Dept Agriculture
Hasil percobaan di Dairi menunjukkan bahwa pengaruh antraktan cairan tape
beras pulut tidak berbeda dengan etanol (Tabel 4.5). Pengaruh antraktan cairan tape
beras pulut lebih baik dari tuak. Pengaruh atraktan tuak lebih baik daripada air
(kontrol). Hasil penelitian ini yang menggunakan cairan tape beras dan tuak tidak
dapat dikonfrotir dengan hasil-hasil penelitian sejenis karena memang belum ada
penelitian yang seperti ini dilaksanakan oleh orang lain.
Tabel 4.5. PBKo yang mati dalam perangkap
Atraktan
Campuran Metanol dengan Etanol 3.512 878a
Metanol 2.732 683b
Etanol 2.208 552c
Cairan Tape Beras Pulut 1.888 472c
Tuak 908 227d
Kontrol 284 71e
Total 11.532 2.883
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada
taraf Uji
œ
= 5% berdasarkan Uji Dunkan4.3. Gambaran Pengetahuan Budidaya dan Proteksi Kopi di Level Petani Kopi
Dalam aspek cara atau teknik pembudidayaan tanaman kopi,
pengetahuan petani kopi sangat cukup beragam (Tabel 4.6). Akan tepai masalah
(35.2%). Teknik menanam merupakan masalah bagi sebagian kecil bagi petani kopi
(2.1%).
Tabel 4.6. Gambaran petani kopi dalam aspek teknik pembudidayaan kopi (n =40)
No aspek teknik pembudidayaan kopi % Ranking 1 Kurang mengetahui teknik mengatasi serangan hama dan penyakit tanaman 35.2 1
2 Kurang mengetahui teknik penanganan setelah panen (Pascapanen) 25.5 2
3 Kurang mengetahui kegunaan dan teknik pembuatan pupuk
kandang/kompos/organik 14.2
3
4 Kurang mengetahui teknik pemupukan 12.1 4
5 Kurang mengetahui teknik pemanenan 10.9 5 6 Kurang mengetahui teknik menanam 2.1 6
Jumlah 100,0
Masalah petani kopi dalam aspek sarana cukup beragam, tetapi yang paling
utama adalah ketersediaan pupuk kimia (anorganik) di pasar (45.1%), dan yang paling
terakhir adalah ketersediaan peralatan pertanian (4.3%) (Tabel 4.7).
Tabel 4.7. Masalah utama dalam aspek sarana (n =40)
No Masalah Pelaku Utama dalam aspek sarana % Ranking 1 Kurang tersedia pupuk kimia (anorganik) di pasar 45.1 1 2 Kurang tersedia Pestisida dan herbisida 27.2 2
3 Kurang tersedia benih/bibit unggul 23.4 3
4 Kurang tersedia peralatan pertanian 4.3 4 Jumlah 100,0
Kebanyak petani kopi mengakui bahwa (67,5%) berpendapat bahwa
menganggap penyuluhan kurang penting, dan hanya sangat sedikit (2.3%)
menganggap penyuluhan kurang penting.
Tabel 4.8 Tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan (n = 40)
No Tanggapan Pelaku Utama terhadap penyuluhan % Ranking 1 Sangat penting 67.5 1
2 Penting 25.1 2
3 Kurang penting 5.1 3 4 Tidak penting 2.3 4
Jumlah 100,0
4.4. Gambaran respons dan kesiapan masyarakat tentang pemanfaatan bahan alami lokal untuk proteksi tanaman kopi.
Hampir keseluruan (84.5%) petani berpendapat bahwa pemanfaatan bahan
alami lokal untuk proteksi tanaman kopi sangat penting, hanya 2,8% menganggapnya
tidak penting (Tabel 4.9).
Tabel 4.9 Tanggapan petani kopi terhadap penyuluhan (n = 40)
No
pemanfaatan bahan alami lokal untuk
proteksi tanaman kopi %
Ranking
1 Sangat penting 84.5 1
2 Penting 10.7 2
3 Kurang penting 2.0 3 4 Tidak penting 2.8 4
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil-hasil penelitian ini dapa disimpulkan sebagai berikut.
1. Bahan alami lokal cairan tape beras sama efektifnya dengan bahan buatan
etanol sebagai atraktan.
2. Pengetahun petani kopi tentang budidaya kopi tidak cukup baik, Dua
masalah utama yang belum dikuasi oleh petani adalah teknik mengatasi
serangan hama dan penyakit tanaman serta teknik penanganan setelah
panen (Pascapanen). Dalam hal sarana, dua kesulitan utama yang dialami
petani adalah kurangnya ketersediaan pupuk organik dan pestisida dan
herbisida di pasar. Petani kopi berpendapat bahwa penyuluhan sangat
penting buat mereka.
3. Petani kopi antusias terhadap rencana penggunaan bahan alami sebagai
atraktan.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil-halil penelitian ini disarankan sebagai berikut.
1. Gubernur dan DPRD Sumatera utara perlu menetapkan bahwa arah kebijakan
pengembangan kopi Sumatera Utara adalah meningkatkan produktivitas
2. Untukmewujudkan kebijkan tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan
perlu semakin mendorong dan memfasilitasi penelitian dan pengembangan
bahan-bahan alami lokal sebagai pestisida.
3. Pada tataran operasional, Dinas Pertanian dan Perkebunan perlu meningkatkan
jumlah penyuluh dan penyediaan bahan-bahan alami lokal untuk mengendalikan
DAFTAR PUSTAKA
Ameä rico Ortiz, Aristoä feles ortiz,† fernando e. Vega, and Francisco posada. 2004.
Volatile Composition of Coffee Berries at Different Stages of Ripeness and Their
Possible Attraction to the Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei (Coleoptera:
Curculionidae)
Bioworks. 2011. Control Of The Coffee Berry Borer.
BPS. 2011. Sumut Dalam Angka.
Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedure for Agricultural Research.
IPM. 2009. Specialists and Scientists in Puerto Rico Tackle the Coffee Berry Borer.
Kucel, P., A. Kangire and J. P. Egonyu. 2011. Status and Current Research Strategies
Status and Current Research Strategies for Management of the Coffee Berry Borer
(Hypothenemus hampei Ferr) in Africa.
Kumar, PKV. 2010. Managing The Coffee Berry Borer The Indian Experience.
Malau, S. 2006. Perancangan Percobaan. UHN.
Malau, S. 2010. Serangan Penggerek Buah Kopi dan Dampaknya di Samosir.
Malau, S. 2010. Infection of Coffee Berry Borer in North Sumatera Province of
Indonesia. Survey Report. USAID.
Manfred Fürst, and Stefan Bergleiter. 2010. Biological Control of Coffee Berry Borer in
Organic Coffee.
Sate of Hawaii, Dept Agriculture. 2011. Coffee Berry Borer Hypothenemus hampei