• Tidak ada hasil yang ditemukan

D ADP 1201639 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D ADP 1201639 Chapter1"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Permasalahan utama kegiatan riset di Indonesia meliputi tiga aspek, yaitu alokasi biaya riset yang kurang memadai, produktivitas riset yang rendah, dan pemanfaatan hasil riset dalam pembangunan Indonesia yang kurang maksimal. Ketiga masalah tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga dibutuhkan pemecahan secara sistematis dan menyeluruh terhadap ketiga masalah tersebut.

Kegiatan riset berkorelasi erat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan diyakini bahwa penguasaan iptek oleh suatu bangsa berperan penting dalam menunjang kemajuan pembangunan dan pembentukan peradaban bangsa dan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat penguasaan iptek oleh masyarakat, maka semakin tinggi pula kualitas kehidupan masyarakat yang pada akhirnya mampu berkontribusi maksimal dalam pendayagunaan potensi sumber daya yang dimilikinya. Kemajuan iptek juga mendorong terjadinya globalisasi kehidupan manusia karena manusia semakin mampu memberikan solusi tanpa terikat oleh dimensi jarak dan waktusehingga manusia semakin produktif. Perbedaan lokasi geografis dan batas-batas negara bukan lagi menjadi hambatan utama. Keadaan tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi negara untuk mampu menguasai, memanfaatkan, dan memajukan iptek dan memperkuat posisinya dalam persaingan antarbangsa di dunia. Kondisi tersebut dapat mamacu Indonesia dan mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi bagi kesejahteraan bangsa.

(2)
(3)

berhubungan dengan faktor-faktor sosial budaya, sosial ekonomi, sosial politik dan berbagai hal lain dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Jika kemudian ditemukan ada hambatan terdapat selama program pembangunan, maka melalui aktivitas riset dapat diketahui berbagai faktor penyebab secara empirik akademik dan segera ditemukan solusi penyelesaian masalahnya yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kultur akademik yang berlaku.

Kebijakan riset dan pembangunan berbasis teknologi (Kemristek, 2012) adalah riset harus menjadi upaya efektif dan produktif dalam memacu perkembangan iptek dengan mengacu pada amanah konstitusi, yakni untuk memajukan peradaban dan menyejahterakan umat manusia Indonesia. Oleh sebab itu, aktivitas riset yang diniatkan untuk pembangunan berbasis iptek tersebut tidak boleh hanya untuk memenuhi hasrat individu atau kelompok tertentu secara terbatas saja. Dengan kata lain, aktivitas riset juga harus dipertanggungjawabkan kepada publik untuk kepentingan pembangunan.

(4)

terhadap bahan dan alat-alat riset yang diimpor dari luar negeri. Kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan biaya nonteknis riset yang dapat menghambat produktivitas riset atau pengembangan prototipe hasil riset, dan akhirnya berdampak pada upaya hilirisasi hasil riset oleh industri.

Terkait dengan kebijakan kelembagaan riset di Indonesia, terdapat tiga lembaga yang fungsi sebagai advokasi yaitu Komite Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 32/2010, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang dibentuk melalui Undang-undang Nomor 8/1990, dan Dewan Riset Nasional (DRN) sebagai amanat Undang- undang Nomor 18/2002. Sementara lembaga yang berfungsi sebagai penyusun kebijakan adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) beserta kementerian sektoral yang lain. Lembaga penyelenggara riset dan penyedia layanan teknologi ada 8 (delapan) lembaga penelitian non-kementerian (LPNK), lembaga penelitian di kementerian, dan perguruan tinggi sebagai amanat tridharma perguruan tinggi. Di samping pembiayaan dari APBN di masing-masing lembaga penelitian tersebut, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga menyediakan bantuan biaya riset yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hasil pendapatan dari pengelolaan dana abadi pendidikan (endowment fund).

(5)

luaran ilmiah tetapi juga dalam hal peningkatan sumber daya dan inovasi untuk perubahan melalui aktivitas pembangunan yang terencana, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Negara-negaraseperti Jepang, India dan Tiongkok (lihat grafik 1.1), merupakan sebagian dari contoh negara-negara di kawasan Asia yang memiliki fokus pembangunan/kebijakan riset berbasis perencanaan dan dukungan aspek political will yang sangat baik. Bahkan pada saat ini, kemajuan riset dan teknologi yang dilakukan pemerintah Tiongkok telah membawa negara ini sebagai new emerging power di kawasan Asia yang sangat diperhitungkan negara-negara Barat.

Tabel 1.1. World of Research and Development

(6)

*GERD = Gross Expenditure on Research and Development PPP = Purchasing Power parity (used to normalize)

(Sumber:Diolah dari Dokumen Laporan UNESCO, 2014)

Grafik tersebut menggambarkan bahwa posisi Indonesia berada di urutan terakhir dalam pengalokasian dana riset dan pengembangan (R&D).

Perjalanan pembangunan di Indonesia, secara empirik ditemukan program-program pembangunan yang salah arah dan salah tujuan. Misalnya pembangunan sejuta hektar lahan sawah di Kalimantan Tengah, penanggulangan kemiskinan melalui Bantuan Tunai Langsung ke masyarakat dan sebagainya, setelah ditelisik dari beberapa penyebab kegagalan tersebut, salah satunya karena tidak didukung data hasil riset yang valid secara holistik dari berbagai aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Dengan kata lain, ditemukan beberapa program pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan dari masyarakat. Asumsi yang muncul dari kelemahan ini antara lain disebabkan oleh para pengambil kebijakan di Indonesia lebih terfokus pada pemanfaatan teori dengan mengesampingkan kebutuhan dasar serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia yang dapat digambarkan secara utuh melalui proses riset yang berkualitas.

(7)

pendanaan untuk riset dan dialokasikan pada berbagai institusi riset, perguruan tinggi dan lainnya melalui mekanisme seleksi kompetitif dan efektif. Sementara itu Amerika Serikat memiliki National Science Foundation untuk melakukan pengelolaan pembiayaan riset.

Dalam peta global, dalam tiga tahun terakhir (2012 s.d. 2014), pendanaan riset dunia didominasi oleh negara-negara Asia (dengan kontribusi sebesar 39,1%) dipimpin oleh Tiongkok dengan kontribusi sebesar 17,5%. Kemudian disusul oleh negara-negara Amerika (dengan kontribusi sebesar 33,9%) dipimpin oleh Amerika Serikat dengan kontribusi sebesar 31,3%, dan selanjutnya negara-negara Eropa (dengan kontribusi sebesar 21,7%) dipimpin oleh Jerman dengan kontribusi sebesar 5,7%. Selengkapnya dapat dilihat pada Bagan Tabel 1.2 berikut.

Tabel 1.2 Share of Total Global R&D Spending

Country 2012 2013 2014

Americas (21) 34.5% 34.0% 33.9%

USA 32.0% 31.4% 31.1%

Asia (20) 37.0% 38.3% 39.1%

Tingkok 15.3% 16.5% 17.5%

Japan 10.5% 10.5% 10.2%

India 2.7% 2.7% 2.7%

Europe (34) 23.1% 22.4% 21.7%

Germany 6.1% 5.9% 5.7%

Rest of World (36) 5.4% 5.3% 5.3%

Diolah dari sumber, Battele, R&D Magazine

Sebagaimana diutarakan di depan bahwa permasalahan riset yang dihadapi oleh Indonesia terutama berkaitan dengan alokasi biaya riset, produktivitas riset, dan pemanfaatan hasil riset dalam pembangunan Indonesia.

(8)

Gambar 1.1. Amount of R&D Spending

Peta global riset dan pembangunan memperlihatkan bahwa Indonesia masih belum mampu menempatkan eksistensi dan urgensi riset dan pengembangan sebagai skala prioritas utama dalam alokasi sumber pendanaan negara. Data World of Research and Development (2014) menunjukkan bahwa produk domestik bruto atau Gross Domestic Product (GDP) Indonesia sebesar 1.374 milyar USD atau setara dengan Rp.17.862 trilyun dengan alokasi 3 milyar USD untuk pengeluaran pada aktivitas riset dan pengembangan (Gross Expenditure on Research and Development) atau sebesar 0,2% dari GDP. Data terakhir tentang pembiayaan riset Indonesia disampaikan oleh Menristek Dikti pada Forum Nasional: Inventor-Inovator-Investor 2015 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Banten, pada tanggal 5 Agustus 2015 yang menyatakan bahwa saat ini alokasi biaya riset baru mencapai 0,09% dari GDP (Merdeka.com, 5 Agustus 2015). Alokasi biaya riset dan aktivitas riset dan pengembangan tersebut tersebar pada instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, dengan alokasi terbesar pada pemerintah sebesar 74% dan swasta sebesar 26%.

Berpijak pada sumber Menristek Dikti tersebut, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6% di tahun 2015, data Kementerian Keuangan dalam Pengantar Nota Keuangan 2015 menyatakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2015 sebesar Rp 11.098,352 trilyun. Dengan demikian, alokasi biaya riset dan pengembangan tersebut sebesar 0,09% dari PDB atau setara dengan Rp.9,9trilyun. Menurut rekomendasi United Nations

Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO), rasio

(9)

Laporan-laporan World Economic Forum mencatat bahwa indeks daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun 2009, lalu naik ke peringkat 44 pada tahun 2010. Namun, peringkat Indonesia kembali turun ke peringkat 46 pada tahun 2011 dan peringkat 50 pada tahun 2012, selanjutnya kembali naik ke peringkat 38 pada tahun 2013, lalu naik lagi ke peringkat 34 pada tahun 2014.

Naiknya peringkat daya saing global tidak lepas dari optimalisasi riset dari meningkatnya kemampuan sumber daya Indonesia dalam pilar-pilar tersebut. Perubahan sangat tampak pada dua pilar, yaitu a) kesiapan teknologi, yang dalam hal ini Indonesia berada di posisi 85 pada tahun 2012-2013 menjadi posisi 75 pada tahun 2012-2013-2014, dan b) pilar inovasi, yang semula berada di posisi 39 pada tahun 2012-2013 menjadi posisi 33 di tahun 2013-2014 (Adawiyah, Aji, dan Edi, 2014: 2). Meskipun peringkat daya saing global Indonesia meningkat ternyata belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan publikasi internasional yang tinggi. Berdasarkan data publikasi internasional, Indonesia selama kurun waktu 2001-2010 hanya menghasilkan 7.843 publikasi ilmiah, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia yang telah menghasilkan lebih dari 30.000 publikasi ilmiah internasional. Menurut data yang diperoleh dari SCImago sejak 1996-2013, Indonesia menduduki posisi 61 dari 239 negara, dengan jumlah dokumen sebanyak 25.481 (lihat tabel 1.3). Kondisi ini mengindikasikan bahwa tradisi riset masih sangat rendah di kalangan akademisi. Berdasarkan survei SCImago (SCImago Journal & Country Rank, 2013), publikasi berdasarkan hasil penelitian selama 16 tahun (1996-2013) hanya mencapai 25.481 tulisan, padahal jumlah dosen/peneliti di Perguruan Tinggi saja sekitar 120.492 orang. Belum lagi peneliti dan perekayasa, sebanyak 11.234 orang (Kementerian Riset dan Teknologi, 2014).

(10)

Rank Country Docs Citable

Kingdom 2.141/375 1.932.907 37.450.384 8.829.739 19.82 934

4. Germany 1.9983.270 1.876.342 30.644.118 7.966.777 17.39 815

Riset yang berkualitas ditentukan oleh sumber daya iptek, bukan saja sumber daya manusia (SDM), tetapi juga pembiayaan iptek, sarana/prasarana iptek, data dan informasi iptek serta kekayaan intelelektual. Di bidang SDM, perbandingan jumlah peneliti dengan penduduk di Indonesia tahun 2013, berkisar 529,38 peneliti dari setiap 1 juta jiwa, dan jumlah peneliti saat ini hanya sekitar 8.912 orang dan perekayasa 2.322 orang, sedangkan pengajar di Perguruan Tinggi (PT) Negeri dan Swasta tahun 2013 sekitar 120.492 ribu orang.

(11)

2015 menargetkan 530 prototipe, pada 2016 menargetkan 632 prototipe, pada 2017 menargetkan 783 prototipe, pada 2018 menargetkan 930 prototipe, dan pada akhir 2019 menargetkan 1.081 prototipe (sumber: Rencana Strategis Kemristek, 2014—2019).

Tantangan kebutuhan pembiayaan riset dan idealisme tersebut dijawab dengan optimis melalui pengalokasian dana riset dan pengembangan sektor pemerintah dituangkan dalam alokasi pembiayaan riset oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang diprioritaskan pada riset untuk peningkatan daya saing bangsa melalui peningkatan mutu pendidikan tinggi dan inovasi, publikasi internasional, dan hilirisasi hasil riset yang siap diproduksi oleh industri dan dunia usaha lainnya.

Produktivitas riset sangat terkait dengan pembiayaan riset baik mekanisme pembiayaan maupun alokasi biaya riset. Pembiayaan riset nasional menjadi variabel penting dalam meningkatkan produktivitas iptek nasional kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Permasalahan pembiayaan riset juga disebabkan karena masih rendahnya investasi riset dari lembaga-lembaga nonpemerintah termasuk dunia usaha. Kondisi tersebut menggambarkan masih rendahnya tingkat kolaborasi antar instansi dalam mendorong aktivitas riset sebagai basis pembangunan berkelanjutan untuk perubahan. Kondisi ini diperkuat dengan tersebarnya pembiayaan riset yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pembiayaan riset, topik riset serta hasil riset yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik untuk kepentingan pembangunan. Lemahnya sistem pengelolaan pembiayaan riset menjadi perbincangan menarik dari kalangan para periset dalam melaksanakan tugas dan pengembangan kualitas diri sebagai periset profesional.

(12)

sampai tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) 6 setara dengan tingkat kesiapan inovasi (innovation readiness level) 3. Hal ini berakibat pada kurangnya inovasi, yang kemudian berpengaruh terhadap produktivitas. Kondisi ini perlu segera dibenahi dengan mendorong kolaborasi antara perguruan tinggi, lembaga litbang dan industri. Penjelasan tersebut menyiratkan dua persoalan penting dalam masalah riset di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan pembiayaan baik alokasi maupun mekanismenya, kedua menyangkut masalah kapabilitas sumber daya manusia, yang masih ditambah dengan pengelolaan pembiayaan riset yang dinilai kurang efektif dan efisien (Kemristek, 2012) yang dinyatakan sebagai berikut:

“. . . .sumber pembiayaan riset yang bersifat grant tersebar di berbagai instansi pemerintah. Sebagai contoh di Kementrian Riset dan Teknologi, di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan di Kementrian KUKM. Hal ini mengakibatkan sering terjadi tumpang tindih program-program litbang pada level lembaga riset, LPNK dan perguruan tinggi. . . . Persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan pengelolaan pendanaan riset dilakukan oleh swasta maka akan sulit dalam memanfaatkan dan mengakomodir pendanaan dari sektor swasta untuk

investasi litbang”.

Pendapat tersebut menegaskan tentang simpul produktivitas riset dalam kerangka pembangunan dan pengembangan iptek. Dalam upaya menghasilkan produk riset yang berkualitas terdapat beberapa domain yang berpengaruh seperti kewenangan yang dimiliki, kapasitas pembiayaan, kapasitas sumber daya manusia, kapasitas infrastruktur dan ilmu pengetahuan yang saling mengkait satu sama lain menuju kualitas kinerja penciptaan temuan baru untuk pembangunan.

(13)

Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengupayakan tiga jalur perbaikan dan peningkatan kapasitas yaitu: 1) optimalisasi pembiayaan Riset dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RIPTEK); 2) revitalisasi sistem pengelolaan pendanan RIPTEK; dan 3) peningkatan alokasi pendanaan RIPTEK. Ketiga jalur perbaikan tersebut dikemas dalam program Pengembangan Pendanaan RIPTEK yang diharapkan dapat mewujudkan peningkatan produktivitas RIPTEK. Hal tersebut menggambarkan bahwa pembiayaan riset menjadi problem krusial dalam mencapai produktivitas riset yang diharapkan.

Terkait denganpemanfaatan hasil riset, langkah awal pemerintah adalah kebijakan menggabungkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi. Terobosan ini walaupun menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, terutama perguruan tinggi khusunya dari aspek kultur akademik di perguruan tinggi, namun mengandung manfaat dalam penerapan kebijakan hilirisasi hasil riset oleh kalangan industri, seperti dikatakan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dalam Rakernas Ristek Dikti 2015, “Ujung tombak industri ada di perguruan tinggi. Maka harus ada kerja sama antara akademisi, pemerintah, dan

industri. Riset yang dihasilkan harus bisa dihilirkan pada dunia usaha”.

Sejalan dengan upaya hilirisasi hasil riset, intervensi kebijakan alokasi dana riset di setiap perguruan tinggi sebesar 30% dari Bantuan Operasional PTN (BO PTN) sehingga kolaborasi riset yang dimulai dari perguruan tinggi dapat mencapai tahap inovasi sampai tahap menghasilkan prototipe yang siap diproduksi atau diimplementasikan oleh industri. Di samping itu, di tingkat kebijakan nasional, Kemristek Dikti menempatkan pengelolaan riset oleh dua Direktorat Jenderal, yaitu Direktorat Jenderal Riset dan Pengembanan yang bertanggung jawab untuk mengelola kebijakan riset dengan tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) 1 sampai dengan 6, sedangkan riset dengan TKT 7 sampai dengan 9 dikelola oleh Direkorat Jenderal Penguatan Inovasi.

(14)

sebagaimana dikatakan Arda (2014) menegaskan bahwa pembangunan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional, atau lokal yang terwujud dalam kebijakan, program atau proyek yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari suatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum pembangunan tersebut. Aktivitas pembangunan suatu bangsa menjadi instrumen penting dalam mengukur kualitas sumber daya manusia dalam melakukan perubahan demi perubahan untuk menjawab tantangan global yang dihadapi. Perubahan yang dimaksud adalah perubahanmenuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik pada tataran ekonomi, politik, sosial dan budaya sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan yang telah dirancang dan dilaksanakan. Geliat pembangunan dan keberhasilan yang dapat diwujudkan dapat dicermati dari seberapa besar aktivitas riset sebagai langkah inovatif yang dilakukan untuk perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Riset dilakukan dan ditujukan bukan hanya untuk kemajuan akademik di perguruan tinggi dan berkaitan dengan konteks tridarma perguruan tinggi, akan tetapi riset yang juga dapat diterapkan bagi pelaku usaha dalam dunia bisnis dalam melakukan ekspansi bisnis berbasis riset dalam konteks pembangunan secara menyeluruh (Tanjung, 2014). Salah satu kontribusi hasil riset adalah ditemukannya formula pemecahan masalah manusia dan kemanusiaan secara empirik dan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil riset sangat baik bila digunakan oleh para stakeholder untuk mengambil keputusan seperti di lingkup perbankan, dunia usaha/industri, investor, pemerintah dan para pengambil kebijakan di berbagai bidang.

(15)

suatu aktivitas berpikir ilmiah berdasarkan metodologi tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara empirik ilmiah. Secara historis dapat dipelajari bahwa dalam kenyataannya tidak ada satu negara majupun di dunia yang berhasil dalam pembangunan tanpa didukung oleh kegiatan riset yang berkualitas sehingga muncul anggapan bahwa riset hanya dapat dilakukan oleh negara-negara maju. Realitas anggapan ini didasarkan pada asumsi bahwa negara-negara maju yang dimaksud memiliki dukungan pendanaan dan tenaga periset yang memadai. Sehubungan dengan hal itu, Rahardjo (2010) menyatakan “besarnya biaya yang dikeluarkan untuk riset tidak hanya dapat dilihat dari jumlah uang dan tenaga yang dipergunakan tetapi yang paling penting adalah manfaat dari riset tersebut bagi pembangunan negara-negara berkembang” seperti di Indonesia.

(16)

Produktivitas riset menurut Kemristek (2012) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor demografi, perkembangan karir individu, institusi, dan lingkungan. Faktor demografi berkaitan dengan karakteristik personal dan kondisi sosial ekonomi individu yang terlibat dalam proses riset. Hal ini berkaitan dengan kualitas metodologi pelaku riset dan cara pandang pelaku riset terhadap pembiayaan riset dengan kebutuhan pribadi yang melingkupi. Karakteristik ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman melakukan riset, usia, jenis kelamin dan motivasi personal dalam melakukan riset. Perkembangan karir individu dipengaruhi oleh kualifikasi akademik dan kualifikasi personal, kemampuan dan minat individu, sikap dan komitmen, pengalaman melakukan riset, pengalaman training, keahlian dan ketrampilan berkomunikasi, kepuasan kerja, kecukupan pendanaan dan kebebasan untuk berkolaborasi. Sementara itu faktor institusi yang dimaksud berkaitan dengan birokrasi dan kebijakan, kemajuan teknologi, dukungan finansial untuk pendanaan riset, gaji dan waktu yang digunakan untuk riset, termasuk masalah kepemimpinan serta struktur organisasi yang ada.

Berdasarkan arah kebijakan yang ditunjang data empirik dan landasan teori sebagaimana dijelaskan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut.

(17)

kendala dalam melakukan alih teknologi hasil riset dalam pengembangan dunia industri.

2. Pengelolaan biaya riset di Indonesia memiliki dua tipe sistem pembiayaan, yaitu sistem pembiayaan riset langsung (direct budgetting) dan pembiayaan riset tidak langsung(indirect budgetting). Pembiayaan riset langsung (direct budgetting) meliputi dua skema yaitu: a) Project Research (Konsorsium berdasarkan Kebijakan Nasional) yang dikelola oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menggunakan sumber dana dari APBN; b) Nonproject Research (Afirmasi Nasional), yang dikelola oleh instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU yang menggunakan sumber dana dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sistem pembiayaan riset tidak langsung (indirect budgetting) jugamemiliki dua skema yaitu: a) skema hibah kompetisi, yang dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, Litbang K/L, dan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Sumber pembiayaan riset untuk perguruan tinggi, LIPI, dan Litbang K/L adalah APBN, sedangkan sumber pembiayaan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU berasal dari PNBP. b) skema kuota, yang dikelola oleh perguruan tinggi sesuai dengan klaster yang ditetapkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari APBN.

(18)

lembaga BLU tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyediaan layanan BLU. Berdasarkan uraian tersebut, lembaga BLU perlu memiliki standar biaya yang jelas agar setiap layanan yang diberikan dapat secara efektif dan efisien serta memberikan value yang dapat dipertanggungjawabkan. Standar biaya dapat disajikan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Untuk itu, lembaga BLU membutuhkan informasi yang jelas mengenai satuan tarif biaya layanan yang berkaitan mencakup harga pokok produksi/biaya pelayanan, biaya satuan (unit cost) per unit layanan, maupun analisis varian antara biaya standar dan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan.

4. Terkait dengan mekanisme pembiayaan riset yang selama ini dilaksanakan melalui dua jalur kelembagaan. Pertama, kelembagaan satuan kerja yang mengacu pada siklus APBN. Kedua,kelembagaan yang menerapkan PK-BLU dengan fleksibilitas pengeloaan keuangan karena tidak terikat dengan mekanisme dan siklus APBN. PK-BLU terdapat dibeberapa instansi pemerintah sesuai dengan visi dan misi intansi masing-masing. Instansi Pemerintah yang menerapkan PK-BLU memiliki karakteristik tertentu dan membedakan dengan instansi pemerintah lainnya. BLU dibentuk untuk memberikan penyediaan layanan barang maupun jasa kepada masyarakat dengan tidak mengutamakan mencari keuntungan dan dalam memberikan layanan kepada masyarakat, BLU dimungkinkan untuk mengenakan tarif layanan untuk setiap layanan yang diberikan, namun tarif layanan yang ditetapkan harus dalam besaran yang wajar dan tidak dimaksudkan mencari keuntungan.

(19)

disempurnakan dengan peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2012, pemanfaatan konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi BLU sangat berperan penting dalam pelaksanaan aktivitas perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Secara umum tujuan pengaplikasian konsep perhitungan akuntansi biaya dalam instansi pemerintahan adalah untuk menghasilkan informasi biaya satuan (unit cost) per unit layanan, pertanggungjawaban kinerja, dan juga sebagai bahan informasi lain bagi kepentingan manajerial. Perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya paling kurang menyajikan perhitungan biaya langsung dan biaya tidak langsung.

6. Produktivitas riset merupakan capaian kinerja periset atau lembaga riset dalam memanfaatkan potensi biaya dan sumber daya yang ada. Produktivitas riset secara tidak langsung akan berdampak pada tingkat produktivitas nasional yang ditandai dengan indeks daya saing global (Global Competiiveness Index/GCI). Pada tahun 2014, Indeks Daya Saing Global Indonesia naik ke peringkat 34 dari 144 negara. Penilaian peringkat daya saing global didasarkan pada 12 pilar daya saing, yaitu: (a) pengelolaan institusi yang baik; (b) infrastruktur; (c) kondisi dan situasi ekonomi makro; (d) kesehatan dan pendidikan dasar; (e) pendidikan tingkat atas dan pelatihan; (f) efisiensi pasar; (g) efisiensi tenaga kerja; (h) pengembangan pasar finansial; (i) kesiapan teknologi; (j) ukuran pasar; (k) lingkungan bisnis; dan (l) inovasi.

(20)

meknisme pembiayaan riset mengacu pada mekanisme anggaran tahunan dalam siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara reguler, sehingga terkendala dari segi efektivitas pemanfaatan waktu pelaksanaan riset dan mekanisme pertanggungjawaban pembiayaan riset yang lebih mengedepankan aspek administrasi keuangan daripada aspek substansi riset itu sendiri. Kedua, pembatasan sasaran penelitian pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU didasarkan pada karakteristik organisasi BLU yang mempunyai fleksibilitas dalam manajemen pembiayaan intenal organisasi sehingga dapat menerapkan model pembiayaan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Mengacu pada kedua alasan tersebut, penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan riset yang dapat diterapkan di seluruh instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan,penelitian ini mengembangkan model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset pada satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU. Model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset tersebut mencakup dua submodel. Pertama submodel terkait masalah manajemen pembiayaan riset di tingkat lembaga pengelola dana riset dan lembaga riset. Kedua, submodel terkait masalah mekanisme kerja sama antara lembaga riset dan mitra riset dalam rangka alih teknologi dan komersialisasi dan/atau implmentasi hasil riset.

Berdasarkan hasil tersebut, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kriteria seleksi proposal riset sudah ditetapkan dan diimplementasikan pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU? 2. Apakah standar biaya dan komponen pembiayaan riset sudah ditetapkan

(21)

3. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialaisasi hasil risetdan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset?

4. Bagaimana penerapan mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

5. Bagaimana alih teknologi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

6. Apakah pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU sudah mempunyai dan menerapkan standar komersialisasi hasil riset?

7. Bagaimana dampak komersialisasi hasil riset dikelola pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah tersusunnya model manajemen pembiayaan dan implementasi hasil riset yang dapat digunakan oleh seluruh satuan kerja instansi pemerintah yang menerapkan PK BLU, sehingga tersusun mekanisme pembiayaan riset dan mekanisme kerja sama alih teknologi dan komersialaisasi hasil riset di lingkungan instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait kriteria seleksi proposal riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

(22)

c. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU terkait pola kerjasama dalam perencanaan kebutuhan riset, pengelolaan alih teknologi hasil riset, komersialisasi hasil riset dan pengelolaan dampak komersialisasihasil riset.

d. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasinya terkait mekanisme monitoring, evaluasi dan pelaporan penggunaan biaya risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

e. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait alih teknologi hasil riset pada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

f. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait standar komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

g. tersusunnya hasil analisis kebijakan dan implementasi terkait dampak komersialisasi hasil risetpada instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut: a. memberikan informasi sebagai khazanah ilmu pengetahuan dan

wawasan tentang manajemen pembiayaan riset.

b. dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti lainnya dalam melakukan kajian tentang manajemen pembiayaan riset di Indonesia, khususnya di instansi pemerintah yang menerapkan PK-BLU.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut a. dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan untuk

(23)

lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

b. dapat menjadi acuan dalam mengembangkan model kerja sama antara lembaga periset dan mitra riset terkait alih teknologi dan komersialisasi hasil riset baik di lingkungan lembaga pemberi dana riset, lembaga riset, maupun perguruan tinggi.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Gambar

Tabel 1.1. World of Research and Development
Tabel 1.2 Share of Total Global R&D Spending

Referensi

Dokumen terkait

Untuk penilaian dengan menggunakan metode arus kas, konsep penilaian harus ditambahkan mencakup, nilai adalah perspekstif, pasar yang mendikte tingkat nilai

Potensi yang ada pada tapak ini adalah luasannya yang cukup luas dengan lahan tersedia yang dapat mencakup kebutuhan luas bangunan Pusat Kebudayaan Jawa Pesisir

Pada kesempatan ini disampaikan beberapa hasil penelitian dan uji lapang tentang pemanfaatan bahan pakan limbah pertanian dan agroindustri potensial yang bernilai harga

Produksi Media Komunikasi Visual Cafe Toedjoe Surakarta.. Media Produksi Komunikasi Visual Cafe Toedjoe

mahagoni Jacq.), maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Dari sampel daun yang telah diperoleh isolat fungi endofit dari tanaman mahoni ( Swietenia mahagoni

melaksanakan fungsi represif dengan membawa pelaku ke pengadilan, melainkan juga tidak berhasil mengendalikan laju peningkatan tindak pidana korupsi.. 43 tindak pidana

“Metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau, melalui empat tahapan kerja, yaitu heuristik (pengumpulan sumber), Kritik

Microsoft Visual Basic adalah salah satu program yang banyak dipakai oleh programmer dalam membuat suatu program, karena visual basic sangat powerful untuk