• Tidak ada hasil yang ditemukan

15. Tionghoa tulen itu menjadi galak lantaran perang. (hlm. 3) 16. Ratusan tahun mereka menanggung sakit hati. (hlm. 3) 17. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kompeni, ganas menindas orang Khek. (hlm. 3) 18. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "15. Tionghoa tulen itu menjadi galak lantaran perang. (hlm. 3) 16. Ratusan tahun mereka menanggung sakit hati. (hlm. 3) 17. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kompeni, ganas menindas orang Khek. (hlm. 3) 18. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhian"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN DATA

1. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. (hlm. 1)

2. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti amis, di ruangan asing ini, sirna dikalahkan oleh rasa takut. (hlm. 2)

3. Di sampingnya, Arai, biang keladi kejahatan ini lebih menyedihkan. (hlm. 2) 4. Sudah dua kali dia muntah karena kelelahan. (hlm. 2)

5. Kami mengendap. (hlm. 2) 6. Aria memberi saran. (hlm. 2)

7. Di berandanya, dahan-dahan kayu merunduk menekuri nasib-nasib anak nelayan yang terpaksa bekerja. (hlm. 2)

8. Dangdut India yang sering diputar meliuk-liuk pilu dari pabrik itu.(hlm. 2)

9. Lompati para-para itu! (hlm. 2)

10. Masuk ke warung A-Lung. (hlm. 2)

11. Mendengar ocehannya, ingin rasanya aku mencongkel gembok peti es untuk

melemparnya. (hlm. 2)

12. Jimbron yang penakut memohon putus asa. (hlm. 2) 13. “Aku tak bisa melompat, Kal…” (hlm. 3)

14. Lebih sinting lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah para turunan Ho Pho. (hlm. 3)

15. Tionghoa tulen itu menjadi galak lantaran perang. (hlm. 3) 16. Ratusan tahun mereka menanggung sakit hati. (hlm. 3)

17. Dulu, bersama Cina Kuncit, mereka jadi antek Kompeni, ganas menindas orang Khek. (hlm. 3)

18. Kini dimusuhi bangsa sendiri, dikhianati Belanda, dan dijauhi bangsa sendiri membuat mereka curiga kepada siapa pun.(hlm. 3)

19. Tak segan, mereka melepaskan anjing untuk mengejar orang tak dikenal. (hlm. 3)

20. Aju hafal lingkungan ini karena sebenarnya aku, Jimbron, dan Arai tinggal di salah satu kamar kontrakan di pasar kumuh ini. (hlm.3)

21. Bagaimana mungkin karena urusan sekolah, kami bisa berada dalam situasi begini? (hlm. 3)

22. Aku mengawasi sekeliling. (hlm. 3)

23. Pancaran matahari menikam lubang dinding papan seperti pedang cahaya, putih berkilauan, melesat-lesat menerobos sudut yang gelap.(hlm. 3)

24. Aku mengintip keluar, musim hujan baru mulai. (hlm. 3)

25. Pukul empat sore nanti, hujan akan tumpah, tak berhenti sampai jauh malam. (hlm. 3) 26. Aku mundur. (hlm.3)

27. Arai menampakkan gejala yang selalu dialaminya ketika ketakutan. (hlm. 4)

28. Ketiga bayangan itu mendekat, dekat sekali sehingga tercium bau keringat seorang pria kurus tinggi bersafari abu-abu. (hlm. 4)

29. Ketika dia berbalik, aku membaca nama pada emblem hitam murahan di dadanya: MUSTAR M. DJAI’DIN, B.A. (hlm. 4)

30. Bibirnya tipis, kulitnya putih, dan alisnya lebat menakutkan. (hlm. 4)

(2)

32. Dia suhu tertinggi perguruan silat Melayu yang ditakuti. (hlm. 4)

33. Dia menekan dengan gusar hardikan khasnya, menjilat telunjuknya itu untuk

membersihkan emblem namanya yang berdebu. (hlm. 5)

34. Aku melepaskan napas yang tertahan karena dia membalikkan tubuh,. (hlm. 5)

35. Pak Mustar berubah garang karena anak lelaki satu-satunya justru tidak diterima di SMA itu. (hlm. 5)

36. Bayangkan, anaknya ditolak di SMA yang susah payah dibangunnya/ (hlm. 5) 37. Setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pagar sekolah. (hlm. 5) 38. Dia berdiri di podium menjadi inspektur apel rutin. (hlm. 5)

39. Celakanya, beberapa siswa yang terlambat justru mengejek Pak mustar. (hlm. 5)

40. Pemimpin para siswa yang berkelakuan seperti monyet sirkus itu tak lain Arai.(hlm. 5)

41. Dia meloncat dari podium dan mengajak dua orang penjaga sekolah mengejar kami.

(hlm. 5)

42. Saat itu, aku dan Jimbron duduk penuh gaya di atas sepeda jengkinya yang butut. (hlm. 5) 43. Aku celingukan ke kiri-ke kanan. (hlm. 6)

44. Tak buang tempo, segera kami keluarkan segenap daya pesona untuk menarik perhatian putrid-putri semenanjung itu. (hlm. 6)

45. Jimbron membunyikan kliningan sepedanya dan menyiul-nyiulkan lagu sumbang tak jelas.(hlm. 6)

46. Aku mengaduk minyak hijau ancho yang selalu ada di dalam tasku,. (hlm. 6) 47. Kemudian menyisir seluruh rambutku ke belakang. (hlm. 6)

48. Aku berpura-pura menunduk untuk membetulkan tali sepatu.(hlm. 6)

49. Ketika bangkit, aku mendapat kesempatan menyibakkan jambulku seperti gaya pembantu membilas cucian.(hlm. 6)

50. Penglihatan itu mampu menembus tulang belulang sehingga bagi mereka tubuhku transparan. (hlm. 7)

51. Aku tidak mendapat simpati pada waktu tersebut. (hlm. 7)

52. Mereka menatap sesuatu di belakangku seperti melihat kuntilanak.(hlm. 7) 53. Pak Mustar telah berdiri di sampingku.(hlm. 7)

54. Aku menjejalkan pijakan untuk melompat, tapi terlambat. (hlm. 7) 55. Pak Mustar merenggut kerah bajuku. (hlm. 7)

56. Kancing-kancing itu berjatuhan. (hlm. 7)

57. Hanya seinci dari telingaku, Pak Mustar menampar angin karena aku merunduk. (hlm. 7)

58. Aku mencuri momentum dengan menumpukkan seluruh tenaga pada tunjangan kaki

kanan. (hlm. 7)

59. Segerombolan siswa, Arai dan Jimbron, semburat berhamburan ke berbagai arah. (hlm.8) 60. Aku berlari kencang menyusuri pagar sekolah. (hlm. 8)

61. Aku bisa berlari kencang. (hlm. 8)

62. Siswa-siswa yang tadi mengikuti apel berhamburan.(hlm. 8)

63. Seumur-umur, aku tak pernah diperhatikan siapa pun, seperti semenanjung tidak pernah diperhatikan siapa pun.(hlm. 8)

64. Ikal, lari! (hlm. 8)

65. Lari, lari Kal, lari! (hlm. 8)

66. Bajuku yang tak berkancing berkibar-kibar seperti jubah zorro. (hlm. 8)

(3)

69. Tukang parker tepana melihat ratusan sepeda yang telah dirapikannya susah payah, rebah satu per satu persis permainan mendirikan kartudomino, menimbulkan kegaduhan di pusat kota.(hlm. 9)

70. Aku berlari dan melintasi pilar-pilar menjulang yang dipenuhi pedagang kaki lima.(hlm/ 9)

71. Orang-orang berteriak dengan suara gaduh.(hlm.9) 72. Aku berbelok tajam ke gang permukiman Khek.(hlm. 9)

73. Sebenarnya aku bisa langsung lolos jika tidak memedulikan panggilan sial ini. (hlm/ 9) 74. Aku berbalik dan tepat di sana, lima belas meter dariku baru saja berbelok, Jimbron dan

Arai terengah-engah sambil berpegangan. (hlm. 9)

75. Mereka yang tadi semburat, tak menyadari bahwa arah pelariannya melintasi jalur perburuan Pak mustar. (hlm. 9)

76. Tolong Kal, tolong! (hlm. 9)

77. Aku kasihan bercampur kesal. (hlm. 9)

78. Lihat! Macan itu akan menerkammu. (hlm. 9)

79. Melihat sasaran nomplok yang tiba-tiba muncul di depannya, Pak Mustar kembali

bernafsu untuk memburu kami, (hlm. 10)

80. Kami memasuki labirin gang yang membingungkan. (hlm. 10)

81. Pak Mustard an kedua penjaga sekolah mondar-mandir di luar tanpa menyadari kami ada di dalam gudang. (hlm. 10)

82. Aku memiliki gambaran jelas tentang karakter orang seperti Pak Mustar.(hlm. 10) 83. Namun, aku tak tahan di kandang mendidih berbau amis itu. (hlm. 10)

84. Juga aku tak melihat celah untuk lolos.(hlm. 10)

85. Aku menunggu keajaiban sebelum menyerahkan diri. (hlm. 10) 86. Tapi, keajaiban itu tak datang. (hlm. 10)

87. Aku berjalan ke arah pintu gudang. (hlm. 10)

88. Anak buahnya tak pernah ratusan pria yang bersarung yang hidup di perahu dan tak pernah melepaskan badik dari punggungnya. (hlm. 11)

89. Karena kami telah menyelinap ke gudangnya, pasti dia akan menuduh kami mencuri. (hlm.11)

90. Nyonya Pho bertubuh tinggi besar.(hlm. 11)

91. Rambutnya tebal, disemir hitam pekat dan kaku seperti sikat.(hlm. 11) 92. Lima orang pembantu Nyonya Pho membuka pintu gudang. (hlm. 11)

93. Mesin Lambretta dimatikan dan aku diserang kesenyapan yang menggiriskan. (hlm.11) 94. Jimbron memeluk kedua kakinya dan mulai terisak. (hlm. 11)

95. Tubuhku merosot lemas. (hlm. 11)

96. Namun, dalam detik yang paling genting, aku terkejut sebab ada tangan mengguncang pundakku: tangan Arai.(hlm.11)

97. “Ikal!” bisiknya sambil melirik peti es. (hlm. 11)

98. Otakku berputar cepat mengurai satu per satu perasaan cemas, ide yang gila, dan waktu yang sempit. (hlm. 11)ss

99. Arai mencongkel gembok dan menyingkap tutup peti. (hlm.12)

100. Wajah kami seketika memerah saat bau amis yang mengendap lama menyeruak. (hlm. 12)

(4)

102. Ingin sekali aku membenamkan kepalanya ke mulut ikan hiu gergaji raksasa yang menganga di depanku. (hlm. 12)

103. Itu penyiksaan karena berarti aku harus bersentuhan langsung dengan balok es di dasar peti dan menanggung beban tubuh Jimbron dan Arai. (hlm. 12)

104. Ini ideku Rai, Kau masuk duluan! (hlm. 12)

105. Kalau tak masuk duluan, imbron tak bisa masuk. (hlm. 12) 106. Aku merasa punya kuasa. (hlm. 12)

107. Aku pemimpin pelarian ini, maka hanya aku yang berhak membuat perintah. (hlm. 12) 108. Atau kau mau berurusan dengan Capo?! (hlm. 12)

109. Aku melongok ke dasar peti. (hlm. 12)

110. Arai menyeringai seperti jin kurang sajen. (hlm. 12)

111. Kau tak punya wewenang ilmiah untuk menentukan penyakit. (hlm. 13) 112. “Masuk!” (hlm. 12)

113. Aku merasakan siksaan yang mengerikan ketika dua orang dengan berat tak kurang dari

130 kilogram menindihku. (hlm.13)

114. Jika bergeser, rasanya akan patah. (hlm. 13)

115. Perutku ngilu seperti teriris karena diisap dinginnya sebatang balok es. (hlm. 13) 116. Aku menngigit lenganku kuat-kuat menahan derita. (hlm. 13)

117. Bau anyir busuk menusuk hidungku sampai ke ulu hati. (hlm. 13) 118. Nyonya Pho dan pembantunya memasuki gudang. (hlm. 13)

119. Kami merasakan peti bergeser miring, tapi tak terangkat. (hlm. 13) 120. Peti itu membatu.(hlm. 13)

121. Di luar gudang, Pak Mustard an dua orang penjaga sekolah tengah duduk sembari merokok. (hlm. 13)

122. Aku membayangkan sebuah kejadian janggal dan belum sempat kucerna firsatku,

kejanggalan itu terjadi. (hlm. 13) 123. Angkat peti ini ke stanplat! (hlm. 13)

124. Daripada kalian merokok saja disitu, aya..ya tidak berguna!” (hlm. 13)

125. Sekarang, delapan orang memikul peti dan peti meluncur menuju pasar pagi yang ramai. (hlm. 14)

126. Di sekitar peti, tukang parker berteriak-teriak menimpali obralan pedagang Minang yang menjual baju di kaki lima. (hlm. 14)

127. Klakson sepeda motor dan kliningan sepeda sahut-menyahut dengan jerit mesin-mesin parut dan ketukan palu para tukang sol sepatu. (hlm. 14)

128. Lenguh sapi yang digelandang ke pejagalan beradu nyaring dengan suara bising dari balon kecil yang dipencet penjual mainan anak-anak. (hlm. 14)

129. Waktu peti melewati para pengamen, dia menjentikkan jemarinya mengikuti kerincing tamborin. (hlm. 14)

130. Dia tersenyum. (hlm. 14)

131. Baginya apa yang kami alami adalah sebuah petualangan yang asyik. (hlm. 14) 132. Aku merasa takjub dengan kepribadian Arai. (hlm. 14)

133. Tatapanku menghunjam bola matanya, menyusuri lensa dan iris pupilnya, lalu tembus ke lubuk hatinya; ingin kulihat dunia dari dalam jiwanya. (hlm. 14)

134. Tiba-tiba, aku seakan berdiri di balik pintu, pada sebuah temaram dini hari, mengamati ayahku yang sedang duduk sambil mendengarkan siaran radio BBC. (hlm. 14)

(5)

136. Anak-anak kecil Tionghoa yang membawa kado melompat-lompat cantik bermain tali dikelilingi gelembung busa. (hlm. 15)

137. Lalu-lalang kendaraan adalah serpihan-serpihan cahaya yang melesat-lesat menembus fatamorgana. (hlm. 15)

138. Burung-burung camar mematuki cumi yang berjuntai di lubang-lubang peti, terbang labuh. (hlm. 15)

139. Demikian indahkah hidup dilihat dari mata indah Arai? (hlm. 15) 140. Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? (hlm. 15)

141. Kami menunggu dengan tegang apa yang akan terjadi berikutnya. (hlm. 15)

142. Jantungku berdetak satu per satu mengikuti derap langkah Nyonya Pho mendekati peti. (hlm. 15)

143. Lalu, tibalah momen yang dramatis itu ketika capo mengangkat tutup peti dan langsung, saat itu juga, dia menjerit sejadi-jadinya. (hlm. 15)

144. Wajahnya yang memang sudah seperti orang terkejut menjadi biru bak anak kecil melihat hantu. (hlm. 15)

145. Kami bertiga bangkit serentak tanpa ekspresi. (hlm. 15)

146. Cerutunya merosot dan jatuh tanpa daya di atas lantai stanplat yang becek. (hlm. 15) 147. Ratusan pembeli ikan terperangah menyaksikan kami berbaris dengan tenang di atas meja

pualam yang panjang. (hlm. 15)

148. Ketika kami melewati Nyonya Pho, dia terjajar hamper jatuh. (hlm. 16)

149. Laki-laki seperti dia selalu bertengkar dengan tukang parker sepeda, meributkan uang dua ratus perak. (hlm. 17)

150. Orang seperti dia sering duduk di bangku panjang kantor pegadaian menunggu barangnya ditaksir. (hlm. 17)

151. Jika menonton TVRI, kita biasa melihat orang seperti Arai meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak oleh kamera. (hlm. 17)

152. Suaranya kering, serak, dan nyaring persis seperti vokalis mengambil nada falsetto. (hlm. 18)

153. Kedua bola matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. (hlm. 18)

154. Ibunya wafat saat melahirkan adiknya. (hlm. 18) 155. Anak-beranak itu meninggal bersamaan. (hlm. 18) 156. Lalu, Arai tinggal berdua dengan ayahnya. (hlm. 18) 157. Namun, kepedihan belum mau menjauhi Arai. (hlm. 18) 158. Menginjak kelas tiga SD, ayahnya juga wafat. (hlm. 18) 159. Dia kemudian dipungut oleh keluarga kami. (hlm. 18)

160. Sebatang potlot yang kumal dia selipkan di daun telinga, penggaris kayu yang sudah patah dia sisipkan di pinggang. (hlm. 19)

161. Tangan kirinya menggemgam beberapa lembar buku tak bersampul. (hlm. 19) 162. Sudah berjam-jam dia menunggu kami. (hlm. 19)

163. Wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. (hlm. 19)

164. Aku membantu membawa buku-bukunya dan kami meninggalkan gubuk berdinding

lelak beratap daun itu dengan membiarkan pintu dan jendela-jendelanya terbuka, karena dipastikan takkan ada siapa-siapa untuk mengambil apapun. (hlm. 19)

(6)

166. Kerasak tumpah merubung jalan itu. (hlm. 19)

167. Arai menengok ke belakang untuk melihat gubuknya terakhir kalinya. (hlm. 19) 168. Lalu, dia berbalik cepat dan melangkah dengan tegap. (hlm. 19)

169. Di perjalanan, aku tak banyak bicara karena hatiku ngilu mengenang nasib malang yang menimpa sepupu jauhku itu. (hlm. 19)

170. Ayah duduk di samping kopra, memalingkan wajahnya, tak sampai hati memandang Arai. (hlm. 20)

171. Aku dan Arai duduk berdampingan di samping truk yang terbanting-banting di atas jalan sepi yang berbatu-batu. (hlm. 20)

172. Kami hanya diam. (hlm. 20)

173. Arai adalah sebatang pohon kara di tengah padang karena hanya tinggal dia sendiri dari satu garis keturunan keluarganya.

174. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang terakhir yang tersisa darisatu klan. (hlm.20)

175. Aku mengamati Arai. (hlm. 20)

176. Dia seusia denganku, tapi tampak lebih tua. (hlm. 20) 177. Lalu, tak dapat kutahan air mataku mengalir. (hlm. 20)

178. Aku tak dapat mengerti bagaimana anaksemuda itu menanggung cobaan sedemikian berat sebagai simpai keramat. (hlm. 20)

179. Arai mendekatiku, menghapus air mataku dengan lengan bajunya yang kumal. (hlm. 20) 180. Tindakan itu membuat air mataku mengalir semakin deras. (hlm. 20)

181. Sempat kulirik ayah yang mencuri-curi pandang ke arah kami, wajahnya sembap dan matanya semerah buah saga. (hlm. 20)

182. Sepertiku, ayah tak mampu menahan perasaannyamelihat Arai. (hlm. 20) 183. Melihatku pilu, kupikir aria akan terharu, tapi dia malah tersenyum. (hlm. 20)

184. Air mukanya memberi kesan kalau dia memiliki sebuah benda ajaib nan rahasia. (hlm. 21) 185. Dari dalam karung tadi, dia mengeluarkan sebuah benda mainan yang aneh. (hlm. 21)

186. Aku melirik benda itu dan aku makin pedih membayangkan dia membuat mainan itu

sendiri, juga memainkannya sendiri di tengah-tengah kadang tebu. (hlm. 21)

187. Mainan itu semacam gasing yang dibuat dari potongan-potongan lidi aren dan di ujung lidi-lidi itu ditancapkan beberapa butir buah kenari tuayang telah dilubangi. (hlm. 21) 188. Jalinan lidi pada mainan itu agaknya mengandung konstruksi mekanis. (hlm. 21)

189. Aku tergoda melihat Arai memutar-mutar benda itu setengah lingkaran untuk mengambil ancang-ancang. (hlm. 21)

190. Lengkungan tadi melawan arah menimbulkan tendangan tenaga balik yang memelintir gasing aneh itu dengan sempurna 360 derajat, berulang-ulang. (hlm. 21)

191. Aku tersenyum, tapitangisku tak reda karena seperti mekanika gerak balik helicopter aneh itu, Arai telah memutarbalikkan fakta. (hlm. 21)

192. Dia justru berusaha menghiburku pada saat aku seharusnya menghiburnya. (hlm. 22) 193. Aku memutar gasing itu sekali. (hlm. 22)

194. Dia memegangi perutnya menahan tawa. (hlm. 22)

195. Belum hilang terkejutku, Arai kembali merogohkan tangannya ke dalam karung kecampang. (hlm. 22)

196. Dia tersenyum penuh arti karena tahu telah berhasil menghiburku. (hlm. 22)

(7)

198. Biasa dipakai orang melayu untuk menyimpan tembakau. (hlm. 22) 199. Tak kusangka, cupu telah dibelah dan sambungannya tak kasat. (hlm. 22) 200. Kumbang sagu, serangga mainan langka yang susah ditangkap. (hlm. 22)

201. Tak berkedip aku melihat Arai bmembiarkan kumbang itu merayapi lengannya. (hlm. 23) 202. Makhluk yang memesona itu meloncat-loncat kecil ingin terbang. (hlm. 23)

203. Arai membelai serangga kecil itu, memeganggnya dengan lembut, lalu melemparkannya ke udara. (hlm. 23)

204. Ditiup angin kencang di atas truk, kumbang itu meregangkan sayap-sayapnya,

mengapung sebentar, berputar-putar merayakan kemerdekaannya, lalu melesat

menembus rimbun dedaunan kemang di tepi jalan. (hlm. 23) 205. Lalu, Arai melangkah menuju depan truk. (hlm. 23)

206. Dia berdiri tegak di sana serupa orang berdiri di hidung haluan kapal. (hlm.23)

207. Pelan-pelan dia melapangkan kedua lengannya dan membiarkan angin menerpa wajahnya. (hlm. 23)

208. Dia tersenyum penuh semangat. (hlm. 23)

209. Agaknya dia juga bertekad memerdekakan dirinya dari duka mengharu biru yang membelenggunya seumur hidup. (hlm. 23)

210. Dia telah berdamai dengan kesedihan dan siap menantang nasibnya. (hlm. 23) 211. Ini aku, Arai, datang untukmu…! (hlm. 23)

212. Ayahku tersenyum mengepalkan tinjunya kuat-kuat dan aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi aku juga ingin menangis sekeras-kerasnya. (hlm. 23)

213. Aku dan Arai ditakdirkan seperti sebatang jarum di atas meja dan magnet di bawahnya. (hlm. 25)

214. Dalam sandiwara memerangi kaum Quarisy pada acara dib alai desa, aku berperan sebagai Khalifah Abu Bakar, Arai bersikeras ingin menjadi Pangllima Besar Hamzah. (hlm. 25) 215. Anak anak bermain memperebutkan kapuk yang beterbangan dari pohonnya seperti pohon

salju. (hlm. 26)

216. Dia mengejar layangan untukku, memetik buah delima dari pohonnya hanya untukku,

mengajariku berenang, menyelan, dan menjalin pukat. (hlm. 26) 217. Arailah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual. (hlm. 26)

218. Akar itu digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng pembeli. (hlm. 26)

219. Dia juga yang mengajakku mengambil akar purun perdu, perdu yang tumbuh di rawa-rawa, yang kami jual kepada pedagang kelontong untuk mengikat bungkus terasi. (hlm. 26)

220. Sejak melihat aksi Arai di bak truk kopra tempo hari, aku mengerti bahwa dia adalah pribadi yang istimewa. (hlm. 26)

221. Kesedihan hanya tampak padanya ketika dia mengaji Al-Quran. (hlm. 26)

222. Setiap habis maghrib, Arai melantunkan ayat-ayat suci AL-Quran dibawah temparam lampu minyak. (hlm. 27)

223. Seisi rumah kami terdiam. (hlm. 27)

224. Jika Arai mengaji, aku teringat akan anak kecil yang mengapit karung kecampang, berbaju seperti perca dengan kancing tak lengkap, berdiri sendirian di muka tangga gubuknya, cemas menunggu harapan menjemputnya. (hlm. 27)

(8)

227. Di tengah lapangan itu, aku berteriak sejadi-jadinya. (hlm. 27)

228. Karena selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. (hlm. 27)

229. Dia selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. (hlm. 27)

230. Begitu Arai menghasutku sambil memperlihatkan gambar sebuah grup orkes Melayu pada sampul sebuah buku. (hlm. 28)

231. Ketika bercermin, aku sempat tak kenal pada diriku sendiri. (hlm. 28)

232. Aku gugup bukan main saat pertama kali keluar dengan rambut gaya baru itu. (hlm. 28)

233. Aku berdiri mematung di ambang pintu karena abang-abangku menertawakan aku

sampai berguling-guling. (hlm. 28)

234. Rasanya aku ingin kabur dan masuk kembali ke kamar. (hlm. 28)

235. Aku tidak menyalahkan mereka karena aku memang mirip dengan orang-orangan ladang. (hlm. 28)

236. Rambutku jatuh melengkung lentik di atas pundakku. (hlm.28) 237. Aku menyesal telah mengubah sisiranku. (hlm.28)

238. Di ambang pintu kamar itu aku demam panggung sebelum memperlihatkan penampilan baruku pada dunia. (hlm. 28)

239. Tapi pada saat aku ingin melangkah mundur, Arai serta merta menghampiriku. (hlm. 28)

240. Dia menggenggam tanganku erat-erat dan menuntunku dengan gagah berani melewati

ruang tengah rumah. (hlm. 29)

241. Papan-papan panjang lantai rumah berderak-derak ketika kami berdua melangkah penuh gaya. (hlm. 29)

242. Maka, sejak Arai tinggal di rumah kami, tak kepalang senang hatiku. (hlm. 29)

243. Aku semakin gembira karena kami diperbolehkan menempati kamar hanya untuk kami berdua. (hlm. 29)

244. Walaupun kamar kami hanyalah gudang peregasan, jauh lebih baik daripada tidur di tengah rumah. (hlm. 29)

245. Peregasan ialah peti papan besar tempat menyimpan padi. (hlm. 29)

246. Padi di dalam peregasan sebenarnya sudah tak bisa lagi dimakan karena sudah disimpan puluhan tahun. (hlm. 29)

247. Namun, jangan sekali-kali membicarakan soal peregasan. (hlm. 29)

248. “Kalian tak tahu apa-apa soal kesulitan hidup, kecuali kecuali kalian hidup di zaman Jepang.“ (hlm. 30)

249. Jangan sekali-kali dibantah. (hlm. 30)

250. Pernahkah kalian melihat orang bercelana karung goni? (hlm. 30) 251. Cerita itu sudah berates-ratus kali kami dengar. (hlm. 30)

252. “Melihat keadaan Negara sekarang, bisa-bisa Jepang datang lagi!” (hlm. 30)

253. Orang tua Melayu tahu persis bahwa padi did lam peregasan sudah tidak bisa dimakan. (hlm. 30)

254. Namun, bagi mereka peregasanadalah perlambang yang mewakili periode paling sengsara dalam hidup mereka pada masa pendudukan Jepang. (hlm. 30)

255. Ajaibnya sang waktu, masa lalu yang menyakitkan lambat laun menjelma menjadi nostalgia yang tak ingin dilupakan. (hlm. 30)

256. Sore itu, aku dan Arai sedang bermain di pekarangan waktu seorang perempuan yang biasa kami panggil Mak Cik Maryamah datang. (hlm. 31)

(9)

258. Dia memeluk erat sebuah koper hitam lusuh berisi biola. (hlm. 31) 259. Ibuku menghampiri mereka. (hlm. 31)

260. Sudah tiga kali minggu ini, Mak Cik datang meminjam beras. (hlm.31)

261. Mak Cik Maryamah berasal dari sebuah kampong nelayan miskin dekat Tanjung Kelompang. (hlm. 32)

262. Dia hanya bisa melahirkan anak-anak perempuan itu. (hlm. 32) 263. Ibuku member isyarat dan Arai melesat ke peregasan. (hlm. 32)

264. Dia memasukkan beberapa takar beras ke dalam karung, lalu memberikan karung beras itu kepada ibuku. (hlm. 32)

265. Lalu, Mak Cik menatap Nurmi. (hlm. 32)

266. Dia benar-benar tak punya pilihan lain. (hlm. 32) 267. Nurmi memeluk biolanya kuat-kuat. (hlm. 32) 268. Air matanya mengalir. (hlm. 32)

269. Dia tak rela melepaskan biola itu. (hlm. 32) 270. Dia mendekati ibuku. (hlm. 32)

271. Langkahnya terseret-seret untuk menyerahkan koper biolanya. (hlm. 32) 272. Ibuku tersenyum memandangi Nurmi. (hlm. 32)

273. Kalau berasmu habis, datang lagi kesini. (hlm. 33)

274. Nurmi cepat-sepat menarik tangannya dan kembali memeluk biolanya kuat-kuat. (hlm. 33)

275. Kami mengiringi Mak Cik keluar dari pekarangan dan memandangi anak beranak itu berjalan menjauh. (hlm. 33)

276. Nurmi melangkah paling cepat mendahului ibu dan adik-adiknya,seakan ia ingin segera pulang menyelamatkan biolanya. (hlm. 33)

277. Mata Arai berkaca-kaca melihat Mak Cik bergandengan tangan dengan anak-anaknya. (hlm. 33)

278. Lalu, aku heran melihat ekspresi Arai. (hlm. 33)

279. Instingku mengabari bahwa sesuatu yang dramatis pasti sedang berkecamuk di kepala manusia unik itu. (hlm. 33)

280. Aku bingung melihat tingkah Arai. (hlm. 33)

281. Arai bergegas membuka tutup peregasan kemudian mengambil celengan ayam jagonya. (hlm. 33)

282. Uang logam berserakan di lantai. (hlm. 33)

283. Napasnya memburu dan matanya nanar menataoku saat dia mengumpulkan uang koin. (hlm. 33)

284. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun. (hlm. 33)

285. Aku terpana melihat koin-koin tabunganku berhamburan. (hlm. 34) 286. Baru kali ini aku memecahkan ayam jago dari tanah liat itu. (hlm. 34)

287. Yang kutahu adalah Allah telah menghadiahkan karisma yang kuat kepada simpai keramat itu. (hlm. 34)

288. Hanya dengan menatap, dia mampu menguasaiku. (hlm. 34) 289. “Kumpulkan semua Ikal!” (hlm.34)

290. “Masukkan ke dalam karung gandum!” (hlm. 34) 291. “Ayo, ikut aku, cepat!” (hlm. 34)

(10)

293. Kami berlari menuju sepeda sambil menenteng karung gandum yang berat gemerincing. (hlm. 34)

294. Pikirku kami akan menghibahkan tabungan kami ke Mak Cik. (hlm. 34) 295. Mengingat kesulitan Mak Cik, aku tak keberatan. (hlm. 34)

296. Namun, ketika melewati perempatan, Arai berbelok ke kiri. (hlm. 34) 297. “Ikut saja!” (hlm. 35)

298. Aku zig-zag dibelakangnya untuk menghindari debu. (hlm. 34)

299. Aku terheran-heran pada kelakuan Arai, tapi menikmati ketegangannya. (hlm. 34)

300. Dua orang bersepeda beriring-iringan kejar-mengejar dengan kecepatan tinggi sambil membawa karung uang. (hlm. 34)

301. Begitulah Arai, isi kepalanya tak pernah bisa ditebak. (hlm. 35) 302. Dia mengambil karung uang yang sedang kusandang. (hlm. 35)

303. Sambil mengumbar senyum tengiknya, dia mengedipkan sebelah mata sembari mengeluarkan suara khekk! (hlm. 35)

304. Langkahnya pasti memasuki toko Asiong. (hlm. 35)

305. Perlu diketahui, uang itu susah payah kami kumpulkan dengan berjualan tali purun, dan untuk menebas purun harus berendam dalam rawa setinggi dada dengan risiko ditelan buaya mentah-mentah. (hlm. 35)

306. Tapi seperti biasa, Arai selalu meyakinkan. (hlm. 35) 307. Lihatlah ekspresi dan gayanya berjalan. (hlm. 35) 308. Kami memasuki toko yang sesak. (hlm. 36)

309. Arai berhenti sebentar di tengah toko persis di bawah fan besar berdiameter hamper dua meter dan berputar sangat kencang. (hlm. 36)

310. Hanya fan untuk pabrik itu yang membuatnya betah tinggal di Belitong yang panas. (hlm. 36)

311. Arai membuka kancing atas bajunya, menengadahkan wajahnya, dan ketika angin fan

membasuh wajahnya dia terpejam syahdu. (hlm. 36) 312. Lalu, dia menghampiri Asiong. (hlm. 36)

313. Nyonya itu sedang mengepang rambut putrinya, Mei mei. (hlm. 36) 314. Siapapun yang melihat gadis itu akan teringat pada tofu. (hlm. 36) 315. Aria menumpahkan isi karung gandum tadi di atas meja kaca. (hlm. 36)

316. Deborah Wong, melompat terkejut saat melihat uang logam membukit seperti tumpeng. (hlm. 36)

317. Ibu mertua Nyonya Deborah yang berumur hampis seratus tahun dan sedang duduk juga terkejut. (hlm. 36)

318. Nenek itu tak pernah tersenyum. (hlm. 36)

319. Agaknya, dia melalui hari demi hari dipenuhi perasaan muak. (hlm. 37)

320. Mendengar gemerincing koin yang rebut, dia merasa terganggu. (hlm. 37)

321. Tangkas, Arai menekan jarinya di atas mulutku. (hlm. 37) 322. Lihat saja….” (hlm. 37)

323. Sang ibu mertua Nyonya Deborah menampar-nampar piring kaleng tempat makanan kucing ke dinding, menyuruh kami diam. (hlm. 37)

(11)

327. Aku melompat menuju tumpuksn koin, membuka karung gandum dan meraup permukaan meja untuk memasukkan koin-koin itu kembali ke karung. (hlm. 38)

328. Arai tak tinggal diam. (hlm. 38)

329. Terjadi tarik-menarik yang seru memperebutkan gunungan uang koin. (hlm. 38)

330. Nyonya Deborah terperanjat melihat pergumulan gaya koboi hebat di tokonya. (hlm. 38) 331. Nyonya Deborah menjerit hebat memanggil-manggil tagem, kulinya. (hlm. 38)

332. Lalu lalang kendaraan menelan teriakan Nyonya Deborah. (hlm. 38) 333. Aku dan Arai mulai berkelahi. (hlm. 38)

334. Anehnya, putrid kecil Mei Mei justru senang bukan main melihat kami beradu otot. (hlm. 38)

335. “Ayo abang keliting sepak! Sepak! Kik… kik… hihihi…. Sepak!” (hlm. 39) 336. Tendang pelutnya! (hlm. 39)

337. Gadis cilik yang tak kenal takut itu naik ke atas meja. (hlm. 39) 338. “Ayo, tinju Bang!” (hlm. 39)

339. Aku dan Arai berusaha sekuat tenaga saling mengalahkan. (hlm. 39)

340. Dengan ekspresi lugunya, putrid kecil itu mengamati wajah Arai lalu berteriak ngeri, “Dlakulaaaaa…..!” ( hlm. 39)

341. Arai tersinggung berat dan menumpahkan kekesalannya kepadaku. (hlm. 39)

342. Tapi, seperti kucing yang dimasukkan ke dalam karung, aku memberontak sejadi-jadinya. (hlm. 39)

343. Ibu mertua Nyonya Deborah memaki-maki, namun anehnya, kemudian dia tertawa. (hlm. 40)

344. Dia memihak Arai! (hlm. 40)

345. Karena mendapat dukungan, Arai kian beringas. (hlm. 40)

346. Dia memitingku ke belakang dan membanting tubuhku ke lemari. (hlm. 40) 347. Jika rak ini tumbang, seisi toko bisa celaka. (hlm. 40)

348. Karena panik, Nyonya Deborah terpakasa memakai kata puik, sebuah makian dalam bahasa Sawang. (hlm. 40)

349. “Ayo, abang keliting, sepak!” (hlm. 40)

350. Aku merasa memiliki tenaga ekstra sebab aku yakin sedang membela kebenaran. (hlm. 40)

351. Tiga karung kertas yang berisi kapuk berjatuhan dari rak. (hlm. 40) 352. Karung-karung itu pecah berantakan. (hlm. 40)

353. Gumpalan-gumpalan kapuk yang berbentuk seperti awan terhambur memenuhi lantai. (hlm. 40)

354. Lalu, tampak olehku pemandangan yang menakjubkan karena fan besar di tengah ruangan mengisap kapuk di atas lantai. (hlm. 41)

355. Indah dan harmonis membentuk spiral seperti angin tornado. (hlm. 41) 356. Mei Mei terpana melihat pemandangan ajaib itu. (hlm. 41)

357. Mata bulat buah hamlan-nya bersinar-sinar seakan dia melihat sosok malaikat yang besar dan bersayap melayang-layang ingin memeluknya. (hlm. 41)

358. Pinggan kaleng yang digenggam ibu Asiong terjatuh tanpa disadarinya, lalu berguling-guling ke tengah ruangan toko. (hlm. 41)

359. Fan besar menggulung setiap gumpalan kapuk seperti jutaan kunang-kunang yang serentak terbang. (hlm. 41)

(12)

361. Dia menengadah. (hlm. 41)

362. Kepalaku berputar-putar mengikuti pusaran awan kapuk. (hlm. 41) 363. Semua orang yang ada di toko bungkam karena terperangah. (hlm. 41)

364. Pemandangan semakin menakjubkan ketika Nyonya Deborah mematikan fan,lalu awan-awan kecil itu berjatuhan, melayang-layang dengan lembut tanpa bobot. (hlm. 42)

365. Mei Mei menangkap awan-awan kecil yang berjatuhan. (hlm. 42) 366. Ibunya, menghampiri anaknya, memeluknya. (hlm. 42)

367. Mereka menari berputar-putar di bawah hujan salju. (hlm. 42) 368. Aku dan Arai bersandar kelelahan. (hlm. 42)

369. Di bawah awan putih yang tumpah, pertikaian kami telah berakhir dengan damai. (hlm. 42)

370. “Arai, kita memerlukan tabungan itu.” (hlm. 42) 371. Dia menoleh kepadaku. (hlm. 42)

372. Ikuti saja rencanaku, percayalah.. (hlm. 42) 373. Aku menatap mata Arai dalam-dalam. (hlm. 42)

374. Di luar, kami lihat Tagem berjalan gontai memasuki toko. (hlm. 42) 375. Dia terkejut melihat toko kacau balau dan telah menjadi putih. (hlm. 42)

376. Kami kembali bersepeda dengan tergesa-gesa, meliuk-liuk membawa karung gandum, gula, dan tepung terigu. (hlm. 42)

377. Kami masuk ke dalam rumah yang senyap. (hlm. 43) 378. Nurmi sedang menggesek biola. (hlm. 43)

379. Dengan bahan-bahan itu, dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. (hlm. 43)

380. “Mulai sekarang. Mak Cik akan punya penghasilan!” (hlm. 43)

381. Tubuhku yang daritadi kaku karena tegang mengantisipasi rencana Arai, kini pelan-pelan merosot sehingga aku terduduk di balik pintu. (hlm. 43)

382. Aku menunduk dan memeluk lututku yang tertekuk. (hlm. 43)

383. Nurmi keluar dri kamar dan terkejut melihat karung-karung gandum, gula, dan tepung terigu. (hlm. 43)

384. Dia terhenyak mendengar rencana Arai. (hlm. 43)

385. “Adinda, sudikah membawakan sebuah lagu untuk Abang?” (hlm. 43) 386. Nurmi tersenyum. (hlm. 43)

387. Kami mengambil tempat duduk di dapur itu, siap menyimak Nurmi. (hlm. 43)

Referensi

Dokumen terkait

Bank Mandiri (PERSERO) Kanwil VIII Tbk Surabaya dalam program Tanggung jawab Sosial Perusahaan menyadari bahwa CSR atau PKBL adalah suatu kewajiban dan tanggung

Pembangunan ** Dosen Koordinator Mata Kuliah di Jurusan EP/Akt Mata Kuliah dengan Dosen dari Akuntansi. Page 6

Salah satu persiapan penting dalam rencana pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024 adalah menentukan model surat suara yang tepat untuk memudahkan pemilih dalam

32 Jurnal Manajemen & Bisnis Kreatif Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah suatu hasil pencapaian yang di peroleh oleh

Dengan memperhatikan hasil analisis dan pembahasan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan kepada perusahaan bahwa perusahaan sebaiknya meningkatkan kemampuan karyawan

Menurut pernyataan The Chief of Internal Auditors (2005:28) tujuan audit internal adalah untuk menyediakan suatu pedoman bagi organisasi yang dapat membantu manajemen

Prediksi perolehan genetik dihitung berdasarkan data pengukuran umur 24 bulan setelah tanam dengan variabel berupa tinggi tanaman, diameter setinggi dada (dbh) dan

Dengan dilakukannya program pengabdian kepada masyarakat yaitu pelatihan pengenalan mikroskop dan teknik penggunaan serta perawatan mikroskop dapat meningkatkan