BAB VI
KEUANGAN DAN RENCANA
PENDAPATAN
6.1. Petunjuk Umum
Analisis kapasitas keuangan daerah ini, adalah studi mengenai aspek
keuangan dalam rangka penyusunan RPIJM. Analisis digunakan dalam
membuat taksiran dana yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan infrastruktur bidang PU Cipta Karya, yang meliputi:
1. Pembelanjaan untuk pengoperasian dan pemeliharaan prasarana yang
telah terbangun.
2. Pembelanjaan untuk rehabilitasi dan peningkatan prasarana yang telah
ada.
3. Pembelanjaan untuk pembangunan prasarana baru.
Pembahasan aspek ekonomi dalam penyusunan RPIJM perlu memperhatikan
hasil total atau produktivitas dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan
sumberdaya bagi masyarakat dan keuntungan ekonomis secara menyeluruh
tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber dana tersebut dan siapa dalam
masyarakat yang menerima hasil adanya kegiatan.
6.1.1. Komponen Keuangan
6.1.1.1. Komponen Penerimaan Pendapatan
Penerimaan pendapatan, adalah penerimaan yang menjadi hak pemerintah
daerah dan diakui sebagai penambah kekayaan bersih. Pendapatan Daerah
bersumber dari:
1. Pendapatan Asli Daerah.
2. Dana Perimbangan.
3. Lain-lain Pendapatan.
6.1.1.2. Pendapatan Asli Daerah
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. PAD
bersumber dari:
1. Pajak Daerah.
2. Retribusi Daerah.
3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah.
4. Lain-lain PAD yang sah.
Pada struktur APBD, jenis pendapatan yang berasal dari Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.
18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dirinci menjadi :
a. Pajak Provinsi terdiri atas:
1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di Atas
Air.
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
b. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
1) Pajak Hotel.
2) Pajak Restoran.
3) Pajak Hiburan.
4) Pajak Reklame.
5) Pajak Penerangan Jalan.
6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
7) Pajak Parkir.
c. Retribusi dirinci menjadi:
1) Retribusi Jasa Umum
2) Retribusi Jasa Usaha
3) Retribusi Perijinan Tertentu
6.1.1.3. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah
Daerah.
Dana Perimbangan terdiri atas:
1. Dana Bagi Hasil.
2. Dana Alokasi Umum.
3. Dana Alokasi Khusus.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi,
dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran
pendanaan penyelenggaraan Dekon-sentrasi dan Tugas Pembantuan.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
merupakan sub-sistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan
negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang
menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam
mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan Antar Daerah. Ketiga komponen Dana
Perimbangan tersebut, merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta
merupakan satu kesatuan yang utuh.
6.1.1.4. Pengertian Beberapa Istilah Keuangan
Penyusunan laporan keuangan dan rencana tindakan peningkatan pendapatan
daerah, terkait dengan beberapa istilah yang digunakan. Di bawah ini, akan dijabarkan
beberapa istilah keuangan tersebut, sebagai bagian dari penyamaan persepsi. Berikut
6.1.1.4.1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil, adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada Daerah berdasarkan angka prosentase untuk mendanai kebutuhan Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan
potensi sumber daya alam. Secara detail, penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak, terdiri atas:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
2. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari potensi sumber daya alam, terdiri
atas:
a. Kehutanan
b. Pertambangan umum
c. Perikanan
d. Pertambangan minyak bumi
e. Pertambangan gas bumi
f. Pertambangan panas bumi.
6.1.1.4.2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 % dari Pendapatan Dalam
Negeri Nettoyang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas
dasar celah fiskal dan alokasi dasar.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan
memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per
provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Penyaluran
DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari
DAU Daerah yang bersangkutan. Penyaluran DAU dilaksanakan sebelum bulan
6.1.1.4.3. Celah Fiskal (Keuangan)
Celah fiskal, adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.
Kebutuhan fiskal daerah, adalah kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan
fungsi layanan dasar publik (antara lain: penyediaan layanan kesehatan dan
pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan). Untuk
menghitung kebutuhan fiskal tersebut, maka perlu memperhatikan variabel demografi,
yaitu jumlah penduduk. Jumlah penduduk, adalah variabel yang mencerminkan
kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap Daerah. Selain jumlah penduduk,
setiap kebutuhan pendanaan juga diukur dengan:
1. Backlogkebutuhan
2. Indeks kemahalan konstruksi.
3. Produk domestik regional bruto per kapita.
4. Indeks pembangunan manusia.
Backlogkebutuhan, adalah gambaran tingkat kebutuhan masyarakat pada fisik
dan layanan infrastruktur.
Indeks Kemahalan Konstruksi, tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara
relatif antar Daerah yang dihitung dengan memperhatikan variabel kesulitan geografis.
Produk Domestik Regional Bruto, adalah gambaran potensi dan aktivitas
perekonomian suatu Daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi
kotor dalam suatu wilayah.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), adalah variabel yang mencerminkan
tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan
dan kesehatan.
Kapasitas fiskal Daerah, adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari
PAD dan Dana Bagi Hasil.
6.1.1.4.4. Alokasi Dasar
Alokasi dasar, dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah, adalah gaji pokok ditambah tunjangan
keluarga dan tunjangan jabatan (Berdasarkan peraturan penggajian Pegawai Negeri
6.1.1.4.5. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan
kepada Daerah tertentu yang memenuhi kriteria untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Daerah. Kegiatan khusus sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN. Fungsi dalam rincian Belanja Negara, terdiri atas layanan
umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan
perlindungan sosial.
6.1.1.4.6. Dana Pendamping
Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping dianggarkan
dalam APBD. Namun, Daerah dengan kemampuan fiskal ”tertentu” tidak diwajibkan
menyediakan Dana Pendamping.
6.1.1.4.7. Lain-lain Pendapatan
Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk
memperoleh pendapatan selain pendapatan dari PAD, Dana perimbangan dan
Pinjaman daerah. Lain-lain Pendapatan, terdiri atas: pendapatan hibah dan
pendapatan Dana Darurat.
Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga
dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang
dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada
Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah. Hibah
dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi
hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian,
penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang
dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan
menggunakan sumber APBD.
Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis
solvabilitas. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden Pemerintah dapat mengalokasikan Dana
Darurat pada Daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Krisis solvabilitas
adalah krisis keuangan berkepanjangan yang dialami Daerah selama 2 (dua) tahun
anggaran dan tidak dapat diatasi melalui APBD.
Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Krisis solvabilitas
ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
6.1.1.4.8. Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah, adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman
Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan
urusan Pemerintahan Daerah.
6.1.1.4.9. Batasan Pinjaman
Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan
perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman tidak melebihi 60 (enam
puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. Menteri Keuangan
menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah secara
keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya.
Pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung
kepada pihak luar negeri. Pelanggaran terhadap ketentuan, dikenakan sanksi
administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran Dana
6.1.1.4.10. Sumber Pinjaman
Pinjaman Daerah bersumber dari:
1. Pemerintah
2. Pemerintah Daerah lain
3. Lembaga Keuangan Bank
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank
5. Masyarakat.
Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah diberikan melalui Menteri
Keuangan. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat berupa Obligasi Daerah
diterbitkan melalui pasar modal.
Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman
Jenis Pinjaman terdiri atas,
1. Pinjaman Jangka Pendek
2. Pinjaman Jangka Menengah
3. Pinjaman Jangka Panjang.
Pinjaman Jangka Pendek merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu
kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman, yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus
dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka pendek tidak
termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam jasa tidak dilakukan pada saat
barang dan atau jasa dimaksud diterima.
Pinjaman Jangka Menengah merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu
lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang
tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pinjaman Jangka Panjang merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu >
1 tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya
sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
6.1.1.4.11. Penggunaan Pinjaman
1. Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup
kekurangan arus kas.
2. Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai
3. Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek
investasi yang menghasilkan penerimaan.
4. Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan
persetujuan DPRD.
6.1.1.4.12. Persyaratan Pinjaman
Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan:
1. Jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik
tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun
sebelumnya.
2. Rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman
ditetapkan oleh Pemerintah.
3. Daerah tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang
berasal dari Pemerintah. Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas
pinjaman pihak lain. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah
tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman Daerah. Proyek yang dibiayai dari
Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang melekat dalam proyek
tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
6.1.1.5. Komponen Pengeluaran Belanja
Komponen pengeluaran belanja terdiri dari:
1. Belanja Operasi.
2. Belanja Modal.
3. Tranfer ke Desa/kelurahan.
4. Belanja Tak Terduga.
Sub – komponen Pengeluaran Belanja Daerah meliputi:
1. Belanja Operasi
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang
c. Belanja Bunga
d. Belanja Subsidi
e. Belanja Hibah
f. Belanja Bantuan Sosial
b. Belanja Peralatan dan mesin
c. Belanja Gedung dan bangunan
d. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan
e. Belanja Aset Tetatp Lainnya
f. Belanja Aset Lainnya
3. Transfer ke Desa/Kelurahan
a. Bagi hasil Pajak
b. Bagi Hasil Retribusi
c. Bagi Hasil Pendapatan Lainnya
4. Belanja tak Terduga
Perencanaan belanja daerah mengikuti pedoman, sebagai berikut.
1. Belanja daerah diprioritaskan untuk meningkatkan kewajiban daerah dalam
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam
bentuk peningkatan:
a. Pelayanan dasar berupa pendidikan dan kesehatan.
b. Fasilitas sosial.
c. Fasilitas umum
2. Belanja daerah disusun berdasarkan
a. Standar pelayanan minimal (SPM)
b. Standar analisis belanja (SAB)
c. Standar harga (SH)
d. Tolok ukur kinerja
3. Belanja DPRD, meliputi:
a. Penghasilan pimpinan dan anggota DPRD
b. Tunjangan kesehatan
c. Uang jasa pengabdian
d. Belanja penunjang kegiatan DPRD
4. Belanja Kepala daerah dan wakil Kepala daerah
Anggaran Belanja Kepala daerah dan wakil Kepala daerah harus
mencerminkan efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan aspek keadilan dan
6.1.1.6. Komponen Pembiayaan
Pembiayaan (financing) adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali,
yang dalam penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit
dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat
berasal dari pinjaman, dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan
antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian
pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan modal oleh pemerintah.
Penerimaan pembiayaan, adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum
Negara/Daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi
pemerintah, hasil privatisasi perusahaan negara/daerah, penerimaan kembali pinjaman
yang diberikan kepada fihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya, dan
pencairan dana cadangan.
Komponen Pembiayaan daerah adalah sebagai berikut.
1. Penerimaan Pembiayaan
a. Penggunaan SILPA
b. Pencairan dana Cadangan
c. Pinjaman dalam Negeri-Pemerintah Pusat
d. Pinjaman dalam Negeri – Pemda lain
e. Pinjaman dalam Negeri – bank
f. Pinjaman dalam Negeri – Non bank
g. Pinjaman dalam Negeri – Obligasi
h. Pinjaman dalam Negeri – Lainnya
i. Penerimaan kembali pinjaman kpd Pers. Negara
j. Penerimaan kembali pinjaman kpd Pers, daerah
k. Penerimaan kembali pinjaman kpd Pemda Lainnya
2. Pengeluaran pembiayaan
a. Pembentukan dana cadangan
b. Pembayaran Pokok Pinjaman DN- Pem Pusat
c. Pembayaran Pokok Pinjaman DN-Pemda Lainnya
d. Pembayaran Pokok Pinjaman DN- Bank
e. Pembayaran Pokok Pinjaman DN-Non Bank
f. Pembayaran Pokok Pinjaman DN- Obligasi
i. Pemberian Pinjaman kpd Pers. Daerah
j. Pemberian Pinjaman kpd Pemda Lainnya
6.2. Profil Keuangan Kabupaten
Profil keuangan daerah dalam penyusunan RPIJM bertujuan untuk membuat
taksiran dana yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan investasi program PU/ Cipta
Karya di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Gambaran umum kondisi keuangan daerah selama 5 tahun terakhir, dipergunakan
untuk mengetahui:
1. Kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang meliputi:
a. Pendapatan Daerah
b. Belanja Wajib Daerah
c. Surplus (defisit) pada Pendapatan dan Belanja Daerah.
2. Tren Perkembangan Penerimaan, yang meliputi:
a. Dana Perimbangan.
b. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
c. Penerimaan Daerah Yang Sah.
3. Tren Perkembangan Dana Perimbangan yang Diterima, meliputi:
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
d. Dana Perimbangan dari Provinsi
Lebih jelasnya mengenai profil keuangan kabupaten tersebut di atas, seperti
pada tabel berikut:
Tabel 6.1.
Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah kabupaten Kotawaringin Timur
No Uraian Anggaran Realisasi
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1.1. Pajak Daerah 1.2. Retribusi Daerah
1.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
1.4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
2.1. Transfer Pemerintah Pusat Dana Perimbangan
2.1.1. Bagi Hasil Pajak
2.1.2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya
Air
2.1.3. Dana Alokasi Umum 2.1.4. Dana Alokasi Khusus 2.2. Transfer Pemerintah Pusat – lainnya
2.2.1. Dana Otonomi Khusus 2.2.2. Dana Penyesuaian 2.3. Transfer Pemerintah Provinsi
2.3.1. Pendapatan Bagi hasil Pajak 2.3.2. Pendapatan Bagi Hasil Lainnya
531.968.763.000,00
3 Lain-lain Pendapatan Daearah
yang Sah
Sumber : DPPKAD Kab. Kotawaringin Timur 2012
Tabel 6.2.
Anggaran dan Realisasi Belanja Daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur
No Uraian Anggaran Realisasi
2.2. Belanja Peralatan dan Mesin 2.3. Belanja Gedung dan Bangunan 2.4. Belanja jalan, Irigasi dan Jaringan 2.5. Belanja Aset Tetap lainnya 2.6. Belanja Aset lainnya
4.1. Bagi Hasil Pajak Daerah 4.2. Bagi Hasil Retribusi Daerah
938.100.000,00 469.050.000,00
Jumlah Belanja (1+2+3) 863.478.858.000,00 761.964.044.565,77
Sumber : DPPKAD Kab. Kotawaringin Timur 2012
6.2.1. Kondisi Keuangan Pemerintah Kabupaten
1. Perkembangan Realisasi PAD Kabupaten Kotawaringin Timur.
2. Perkembangan Public Saving Kabupaten Kotawaringin Timur.
6.2.2. Proyeksi Kemampuan Keuangan Kabupaten
Proyeksi kemampuan keuangan daerah, merupakan cerminan dari
pertumbuhan rata-rata profil dan kondisi keuangan kabupaten. Angka pertumbuhan
rata-rata tersebut dijumlahkan dengan data tahun terakhir berdasarkan mekanisme
persentase (%). Adapun variabel yang akan diproyeksikan perkembangannya,
meliputi:
1. Kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
2. Perkembangan Penerimaan
3. Perkembangan Dana Perimbangan
6.2.3. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah
Mekanisme untuk menganalisis kemampuan keuangan daerah, ialah dengan
melihat perkembangan public saving. Perkembangan tersebut dicerminkan melalui
proyeksi perkembangan public saving..
6.2.4. Rencana Pembiayaan Program
Penting untuk diingat kembali:
Public saving, adalah kemampuan keuangan daerah sebagai cerminan kapasitas fiskal
dalam membiayai investasi pembangunan; dalam hal ini adalah perencanaan dan
pembangunan infastruktur Bidang PU/Cipta Karya. Berdasarkan deskripsi tersebut,
pertanyaan yang paling mendasar dari penyusunan Laporan RPIJM ini, adalah
seberapa besar kemampuan keuangan Kabupaten Kotawaringin Timur dalam
mendanai investasi bidang PU/ Cipta Karya?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
terdapat 3 (tiga) variabel yang penting untuk diperhatikan, yaitu:
1. Total Public Saving
2. Biaya Investasi Perencanaan dan Pembangunan Fisik yang telah dianalisis
pada Bab IV Rencana Program Investasi Infrastruktur (RPII).
Melalui 3 (tiga) variabel tersebut, akan dihasilkan 3 (tiga) pernyataan, yaitu:
1. Layak
2. Layak Bersyarat (memerlukan tindak lanjut dengan action plan)
Untuk mengetahui pernyataan kelayakan tersebut di atas, tahapan yang
digunakan, adalah Menganalisis Proyeksi Pendanaan Pekerjaan PU/ Cipta Karya
dalam Usulan Pembiayaan Rencana Investasi Infrastruktur. Hasil analisis inilah yang
selanjutnya, menjadi pertimbangan dalam Rencana Pembiayaan Program (layak atau
tidak layak).
6.3. Pengaturan dan Mekanisme Pelaksanaan
Pengaturan dan mekanisme pelaksanaan RPIJM Bidang PU/ CK ini, Kabupaten
Kotawaringin Timur ini, disesuaikan dengan tugas dan wewenang pelaksana. Untuk
kegiatan dengan biaya APBN dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat melalui Satuan
Kerja yang terkait di daerah. Adapun kegiatan dengan biaya APBD dilaksanakan oleh