• Tidak ada hasil yang ditemukan

— 2018 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Ukuran Pemerintah Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "— 2018 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Ukuran Pemerintah Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2011"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Ukuran Pemerintah Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2011—2018

Martin Tamaro Siburian

martintamarosiburian@gmail.com Politeknik Keuangan Negara STAN

Muhammad Agrata Abdullah agrata0123@gmail.com Politeknik Keuangan Negara STAN

Amrie Firmansyah amrie.firmansyah@gmail.com Politeknik Keuangan Negara STAN

ABSTRACT

This study aims to examine the effect of local revenue (PAD), balancing funds, and local government size on the human development index (HDI) using all district data in the province of Central Kalimantan (Borneo) from 2011 to 2018. Based on purposive sampling technique using data from 13 districts of its entities, 104 observations were tested. The source of data used was obtained from General Directorate of Fiscal Balance (DJPK) Ministry of Finance, Republic of Indonesia and Indonesian Statistics Bureau (BPS) Province of Central Kalimantan. The analytical model used in this study is fixed effect model (FEM) as multiple linear regression model. This study concludes that PAD contributes positively on HDI, profit-sharing funds affect negatively on HDI, general allocation funds affect insignificantly on HDI, special allocation fund has positive effects on HDI, and local government size has a positive effect on HDI.

Keywords: Human Development Index; Local Revenue; Balancing Fund; Profit-Sharing Fund; General Allocation Fund; Special Allocation Fund; Local Government Size.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan ukuran pemerintah daerah terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) dengan menggunakan semua data kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalimantan) dari tahun 2011 hingga 2018. Berdasarkan Teknik pengambilan data purposive sampling menggunakan data dari 13 kecamatan berdasarkan entitasnya, 104 observasi diujicobakan. Sumber data yang digunakan diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Tengah. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model fixed effect (FEM) sebagai model regresi linier berganda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PAD memberikan kontribusi positif terhadap HDI, dana bagi hasil berpengaruh negatif terhadap HDI, dana

(2)

alokasi umum berpengaruh tidak signifikan terhadap IPM, dana alokasi khusus berpengaruh positif terhadap IPM, dan besaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap IPM.

Kata Kunci: Indeks Pembangunan Manusia; Pendapatan Asli Daerah; Dana Perimbangan; Dana Bagi Hasil; Dana Alokasi Umum; Dana Alokasi Khusus; Besaran Pemerintah Daerah

INTRODUCTION

Pembangunan nasional merupakan akar dari kesejahteraan masyarakat di dalamnya, khususnya dalam bidang pembangunan sumber daya manusia. Maqin (2007) dan Fukuda (2009) dalam de Fretes (2017) menyatakan bahwa manusia merupakan akselerator pembangunan dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dalam Hansen (2017) dalam UNDP (2019), akumulasi kemampuan, pengetahuan, dan inovasi di suatu negara merupakan aset terbesar dalam pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan proyek besar yang dikemukakan oleh badan internasional, khususnya oleh United Nations Development Programme (UNDP) melalui program pembangunan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG). Dalam rangka mengukur keberhasilan masing -masing negara dengan ragam ideologi dan kebijakannya dalam menjalankan tujuan bernegara secara ekonomi, terdapat indikator yang umum digunakan di antaranya produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi, dan indeks pembangunan manusia (IPM).

IPM diperkenalkan oleh UNDP pada tahun 1990 dan banyak digunakan dalam penelitian.

Konsep pembangunan manusia ini mengutamakan adanya empat unsur, yaitu produk tivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability) dan pemberdayaan (empowerment).

Jahan (2013) memberikan catatan bahwa IPM masih belum dapat menyediakan informasi secara komprehensif tentang pembangunan manusia karena hanya menye diakan satu angka yang tidak banyak memberikan gambaran secara khusus di dalamnya. Meskipun demikian, indeks ini dinilai masih relevan dalam penggunaan di penelitian luas karena dihitung berdasarkan beberapa dimensi yang cukup representatif berdasarkan lima pengamatan bahwa IPM hanya berfokus dalam dimensi dasar perkembangan manusia; tersusun atas tujuan jangka panjang terlepas dari pemilihan kebijakan yang ada; tersusun atas jumlah parameter minimum yang dianggap cukup mendekati; berperan sebagai ukuran rata-rata atas kesenjangan di suatu negara; dan berperan sebagai proksi dalam mengukur sumber daya yang dibutuhkan untuk memiliki standar hidup yang layak secara rata-rata.

(3)

Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, dalam publikasi tahunannya, IPM menjelas kan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga digunakan sebagai salah satu dasar alokasi dana perimbangan. Data yang dihimpun oleh BPS terkait IPM di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—

2018 disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1

IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Kabupaten/Kota Indeks Pembangunan Manusia

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Kotawaringin Barat 65,10 65,76 68,43 68,53 68,63 69,51 70,14 70,60 Kotawaringin Timur 67,31 67,97 65,24 65,60 66,61 67,95 68,45 68,61 Kapuas 64,36 64,72 63,32 64,01 64,38 64,82 65,29 66,07 Barito Selatan 66,85 67,30 64,51 65,10 65,76 66,20 66,61 68,27 Barito Utara 64,01 64,38 63,87 64,36 64,72 65,12 66,30 67,38 Sukamara 64,54 64,87 62,41 62,86 63,52 63,92 64,44 65,80 Lamandau 68,53 68,63 65,32 65,99 66,49 67,23 67,53 68,30 Seruyan 65,60 66,61 61,60 62,16 62,39 62,81 63,49 64,77 Katingan 65,99 66,49 63,25 64,54 64,87 65,29 65,79 66,81 Pulang Pisau 64,39 64,85 63,76 64,06 64,28 64,76 65,00 65,76 Gunung Mas 64,06 64,28 66,33 66,85 67,30 67,75 68,13 69,24 Barito Timur 62,16 62,39 66,76 67,31 67,97 68,82 69,12 69,71 Murung Raya 62,86 63,52 63,18 64,39 64,85 65,62 66,10 66,46 Kota Palangka Raya 76,98 77,40 76,53 76,98 77,40 78,02 78,50 78,62

Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah (2020)

Terdapat beberapa faktor yang menguji IPM yang telah dilakukan dalam be berapa penelitian sebelumnya, di antaranya melalui uji pengaruh atas PAD (Prisilia, 2018; de Fretes, 2017; Williantara dan Budiasih, 2016; Lugastoro dan Ananda, 2013); dana perimbangan yang masing -masing diklasifikasi lebih lanjut atas dana bagi hasil (Lugastoro dan Ananda, 2013; Prisilia, 2018; Williantara dan Budiasih;

2016; Harahap, 2011), dana alokasi umum (de Fretes, 2017; Mashur, 2017; Harahap, 2011), dan dana alokasi khusus (Prisilia, 2018; Mashur, 2017; Harahap, 2011); ukuran pemerintah daerah (Manik, 2013), belanja modal (de Fretes, 2017; Firmansah dan Nizar, 2015; Muda, Helmi, dan Kholis, 2014), dan pertumbuhan ekonomi (Firmansah dan Nizar, 2015; Retnasari, 2015; Lugastoro dan Ananda, 2013).

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan PAD, dana perimbangan, dan ukuran pemerintah daerah untuk diuji terhadap IPM.

(4)

Di Indonesia, tugas membangun sumber daya manusia secara tidak langsung telah diamanatkan dalam konstitusi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut beriringan sesuai penegasan UNDP bahwa pembangunan sumber daya manusia menjadi tujuan dalam kesejahteraan manusia. Meskipun dengan adanya beberapa keterbatasan yang dimiliki IPM, variabel ini dapat menjadi indikator keberhasilan tujuan bernegara. Dalam proses perwujudan tujuan bernegara yang dapat dinilai dengan uang di Indonesia, terdapat kebijakan fiskal yang menjadi pedoman penganggaran di dalamnya. Penganggaran tersebut dialokasikan dalam bentuk barang dan jasa yang sifatnya mendasar (Razmi et al., 2012). Penyediaan barang dan jasa tersebut merupakan perwujudan pemerintah yang tidak seperti sektor privat yang memiliki orientasi akan laba (Schiavo-Campo, 2017).

Berkaitan dengan pemerataan pembangunan nasional, khususnya dalam hal meningkatkan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas pembangunan manusia, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah.

Pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dalam rangka membangun perekonomian daerah di wilayahnya, terdapat indikator pertumbuhan daerah yang didefinisikan dengan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Anggaran yang dialokasikan dalam APBD diharapkan mampu membiayai pembangunan yang terkait dengan pembangunan manusia. APBD memiliki postur pendapatan yang diperoleh secara mandiri melalui pendapatan asli daerah (PAD) sebagai sumber penerimaan yang diperoleh daerah dari daerahnya sendiri sesuai ketentuan perundang-undangan daerah yang berlaku. Sari dan Supadmi (2016) mengemukakan bahwa strategi alokasi belanja modal sebagai struktur belanja daerah dalam APBD tidak kalah penting dalam pembangunan daerah. Hal ini disebabkan oleh peran legislatif daerah yang memiliki pengaruh besar dalam proses pengesahan anggaran, khususnya dalam sektor yang memiliki pengaruh tinggi terhadap IPM seperti pendidikan dan kesehatan. Proses politik yang panjang tidak dapat dihindari karena banyak kepentingan politis dan birokrasi namun penganggaran diharapkan menjadi jalan tengah untuk mengakomodasi seluruh kepentingan warga negara, pihak eksekutif, dan legislatif (Schiavo-Campo, 2017).

(5)

Desentralisasi fiskal memiliki awalan dari kebijakan transfer anggaran antar-pemerintah (intergovernmental transfer). Bentuk desentralisasi fiskal yang diterapkan oleh Indonesia adalah dana perimbangan dan transfer. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sejak penerapan awalnya pada tahun 2001, konsep dana perimbangan masih dipertahankan menjadi tiga komponen besar, yakni dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Tabel 2 di bawah ini merupakan data pendapatan dari dana perimbangan di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—2018.

Tabel 2

Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah

Kabupaten/Kota Dana Perimbangan (dalam miliar Rupiah)

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Barito Selatan 493,16 570,12 614,16 676,47 697,77 785,11 769,48 810,95 Barito Timur 422,63 488,30 546,57 609,55 624,55 690,79 609,13 673,69 Barito Utara 502,91 567,58 656,31 719,17 787,27 980,11 804,34 802,79 Gunung Mas 452,45 517,83 590,84 659,25 666,96 824,24 863,78 802,82 Kapuas 722,95 852,54 941,25 992,37 1.101,95 1.386,67 1.339,89 1.309,75 Katingan 583,08 608,76 665,06 793,80 852,82 918,85 920,15 1.007,01 Kotawaringin Barat 517,76 583,84 654,07 743,48 710,87 999,50 938,38 913,94 Kotawaringin Timur 664,51 737,15 876,67 933,85 968,52 1.203,68 1.101,88 1.133,63 Lamandau 393,60 441,55 492,97 539,87 668,88 762,93 602,81 617,03 Murung Raya 609,96 702,74 758,91 807,12 859,18 1.033,95 959,26 1.006,45 Pulang Pisau 429,39 488,25 548,81 584,37 718,77 844,58 747,35 820,75 Seruyan 548,65 621,02 724,73 739,67 690,20 865,98 863,83 886,36 Sukamara 354,89 396,80 471,68 508,13 594,08 667,20 569,19 584,78 Kota Palangka Raya 466,40 552,43 638,53 689,11 707,09 786,32 841,75 755,29

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2020)

Desentralisasi fiskal dalam pelaksanaannya memiliki implementasi yang dianggap belum mapan (de Fretes, 2017). Pelayanan publik tidak secara signifikan meningkat seiring dengan penambahan jumlah alokasi dana perimbangan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat memicu efek kertas lalat (flypaper effect), yakni pemerintah daerah memiliki porsi penggunaan belanja lebih banyak menggunakan pendapatan transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan pemerintah daerah atas transfer tidak bersyarat (unconditional grant) masih sering ditemui dalam alokasinya. Sebagai contoh, DAU dialokasikan lebih dari separuhnya untuk belanja operasional pemerintah daerah seperti belanja pegawai dan belanja kegiatan yang bersifat operasional. (TADF Kemenkeu, 2012).

(6)

Ukuran pemerintah merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya pemerintah daerah.

Dalam pemerintahan, besar kecilnya ukuran suatu pemerintah dapat dilihat dari total pendapatan yang diperoleh atau total aset dimiliki oleh daerah. Ukuran pemerintah daerah banyak diukur menggunakan aktiva karena penggunaan pegawai dan produktivitas sulit diukur, serta lebih mudah diidentifikasi dari laporan keuangan pemerintah daerah. Pemerintah yang ukurannya besar mempunyai kewajiban untuk meningkatkan akuntabilitas karena ukuran yang besar akan diikuti dengan risiko kelemahan pengendalian internal yang besar dan sering mendapat perhatian signifikan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti rakyat, pemerintah pusat, lembaga audit atau lembaga lainnya. Ukuran pemerintah daerah dapat menjadi perantara dalam memudahkan penanaman modal eksternal karena besarnya ukuran dapat membuat investor tertarik dalam terlibat dalam pemodalan pemerintah atau berinteraksi secara profesional di dalamnya (Larassati dalam Iqbal, 2017).

Penelitian ini bertujuan dalam rangka menguji beberapa variabel berupa PAD, dana perimbangan, dan ukuran perusahaan terhadap IPM menggunakan data pemerintah kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Tengah periode 2011—2018. Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan pada tercakupnya semua komponen pendapatan daerah dan eksplorasi lebih lanjut mengenai hubungan yang tidak langsung antara pendapatan dan IPM. Rentang waktu penelitian yang digunakan adalah setelah tahun 2010 yang bertepatan dengan telah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Meskipun semua pemerintah daerah paling lambat menerapkan SAP berbasis akrual di tahun 2015, pemerintah daerah mulai mempersiapkan jumlah dan kualitas sumber daya manusia serta kesiapan perangkat pendukung. Pemilihan objek penelitian provinsi Kalimantan Tengah dilatarbelakangi oleh kurang tersedianya literatur yang cukup dalam meninjau dampak kebijakan fiskal pemerintah daerah di provinsi ini. Penelitian terkait dengan IPM di Provinsi Kalimantan Tengah masih banyak membahas dari dimensi kesejahteraan sosial dan indikator perekonomian.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak. Bagi Badan Kebijakan Fiskal, penelitian ini diharapkan menjadi sarana pengembangan kebijakan desentralisasi fiskal agar lebih efektif dalam memberikan nilai tambah kepada pemerintah daerah. Bagi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan formulasi yang lebih komprehensif dan representatif, serta memberikan dorongan kepada pemerintah daerah bahwa dana perimbangan mampu

(7)

memberikan nilai tambah yang tidak sebatas menjadi penutup biaya operasional, melainkan membantu meningkatkan potensi sumber pendapatan daerah. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pacuan agar lebih mengenali potensi sumber pendapatan daerah dan pendekatan efektif dalam meningkatkan investasi sumber daya manusia di daerah otonominya masing -masing melalui bantuan dana transfer dari pemerintah pusat. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan sumber baru dalam penelitian di masa yang akan datang untuk penilaian pengaruh keberhasilan anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah dalam investasi nonfisik sumber daya manusia. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang peran pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui, dan penilaian implementasinya dalam desentralisasi fiskal. Bagi akademisi, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan, pemahaman, dan referensi tambahan dan berfungsi sebagai bahan kajian lanjutan pada masa yang akan datang.

LITERATUR REVIEW

Teori Institusional (Institutional Theory)

Teori institusional merupakan salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan tindakan individu dan organisasi (Dacin, Goodstein, dan Scott, 2002). Teori institusional menyatakan bahwa organisasi merespons tekanan-tekanan dari konteks institusional mereka. Respons tersebut dapat berupa adopsi praktik serta struktur yang dapat diterima secara sosial. Organisasi tidak hanya berkompetisi untuk memperoleh sumber daya dan pelanggan, tetapi juga untuk kekuatan politik, legitimasi institusi dan untuk kepentingan ekonomi sosial. Dalam publikasi DiMaggio dan Powell (1983), diperkenalkan istilah isomorphic change sebagai proses pembatasan yang memaksa satu organisasi dalam suatu populasi menyerupai organisasi lain yang menghadapi serangkaian kondisi lingkungan yang sama. Terdapat tiga mekanisme terjadinya isomorphic change yaitu coercive isomorphism, normative isomorphism, dan mimetic isomorphism.

Coercive isomorphism bersumber dari pengaruh politik dan masalah legitimasi dari luar organisasi. Hal ini dihasilkan dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain Mereka bergantung dan oleh ekspektasi budaya dalam masyarakat di mana organisasi berfungsi (DiMaggio dan Powell, 1983). Isomorfisme jenis ini dapat datang dari organisasi yang berperan sebagai regulator (Thornto, Ocasio, dan Lounsbury, 2012). Sebagai organisasi yang bergerak

(8)

pada sektor publik, pemerintah daerah dalam mengeksekusi anggarannya tentunya tidak dapat lepas dari pengaruh pemerintah pusat sebagai lembaga regulator dan rakyat sebagai pembayar pajak. Oleh sebab itu, coercive isormphism sangat mungkin terjadi pada proses pelaksanaan anggaran.

Normative isomorphism suatu mekanisme perubahan dalam organisasi yang berasal dari profesionalitas (DiMaggio dan Powell, 1983). Lebih lanjut, DiMaggio dan Powell menjelaskan bahwa profesionalitas sebagai perjuangan kolektif dari anggota-anggota organisasi profesi untuk menentukan kondisi dan metode kerja organisasi tempat mereka bekerja. Profesionalitas juga berasal dari asosiasi organisasi rekan. Organisasi sektor publik seperti pemerintah daerah tentu bergabung dengan asosiasi, seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia dan lainnya. Dengan semakin berkembangnya dinamika sosial, sangat mungkin pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan dari asosiasi organisasi agar semakin profesional dalam be rkinerja guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Fenomena tersebut secara logis juga sangat mungkin terjadi dalam proses pelaksanaan anggaran.

Mimetic isomorphism merupakan suatu perubahan organisasi karena adanya ketidakpastian dalam konteks tertentu. Saat menghadapi ketidakpastian atau tidak ada suatu standar yang jelas yang harus dijalankan, organisasi akan cenderung melihat organisasi lainnya (melakukan benchmarking) dan akan meniru organisasi lain dalam suatu aspek yang dianggap baik apabila diterapkan di organisasi (DiMaggio dan Powell, 1983). Dalam kaitannya dengan pelaksanaan anggaran, mimetic isomorphism mungkin terjadi, seperti belum terdapat suatu ketentuan dalam standar akuntansi pemerintah tertentu yang jelas yang harus dipedomani dalam penyusunannya.

Manajemen Keuangan Sektor Publik

Manajemen keuangan merupakan bagian dari manajemen dan proses kebijakan yang berfokus kepada perolehan informasi keuangan dan sumber dayanya untuk memberikan pelayanan dan dukungan dalam peningkatan mutu pengambilan keputusan (Finkler et al., 2016). Brusca et al. (2015) mendefinisikan manajemen keuangan sektor publik sebagai konsep utama yang mengakomodasi setiap kegiatan yang diarahkan menuju pengelolaan sumber daya keuangan sektor publik yang efektif dan efisien. Pengelolaan keuangan dalam sektor publik sangat dibutuhkan dalam rangka menjamin kegiatan penyelenggaraan pemerintahan berjalan secara akuntabel. Hal tersebut dipengaruhi oleh keinginan

(9)

pelaku ekonomi untuk menghasilkan keluaran sebesar-besarnya dengan sumber daya seefisien mungkin.

Menurut Schiavo-Campo (2017), pemerintah memiliki kewajiban dalam memenuhi hak setiap warga negara yang tercantum dalam konstitusi masing-masing negara di wilayahnya. Sebagian besar kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik sebagai tujuan bernegara membutuhkan pendanaan yang bersifat kolektif sehingga harus dikelola dengan suatu manajemen keuangan sektor publik. Pendanaan program tersebut menggunakan uang sebagai sumber daya yang langka dan memiliki lingkup yang luas atas kepemilikan dan kepentingan di dalamnya. Sebagai manifestasi kebijakan pemerintah yang dapat dinilai dengan uang, perlu disusun suatu penganggaran sebagai produk tata kelola dalam akuntansi kegiatan pemerintahan.

Adapun fungsi manajemen keuangan dalam manajemen keuangan sektor publik berdasarkan tingkatannya menurut Pamungkas (2013) adalah untuk

a. mencapai disiplin fiskal yang telah ditetapkan;

b. melaksanakan proses alokasi yang sesuai dengan prioritas yang ditetapkan; dan

c. menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya pemerintahan daerah.

Dari uraian di atas, dapat diberikan simpulan bahwa manajemen keuangan sektor publik merupakan tata kelola informasi dan sumber daya keuangan oleh entitas sektor publik, khususnya pemerintah, dalam pengambilan keputusan ekonomi untuk mencapai akuntabilitas kegiatan dan peningkatan mutu kebijakan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Pendapatan Asli Daerah

PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan asli daerah bersumber dari empat bagian besar yaitu: (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan (BUMD atau Perusahaan Daerah), dan (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Lain- lain PAD yang sah bersumber dari (1) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan, (3) jasa giro, (3) pendapatan bunga, (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan (5)

(10)

komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.

PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi dalam rangka mengurangi kesenjangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. PAD yang dipungut langsung disetor ke kas daerah sehingga dapat langsung digunakan Pemda sesuai kebutuhan pengeluaran. PAD suatu daerah merupakan cerminan dari potensi pendapatan suatu daerah yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, dan jumlah penduduk.

PAD merupakan cerminan dari potensi pendapatan suatu daerah dan sifat penggunaanny a langsung, semakin besar pendapatan asli daerah relatif terhadap total pendapatan (rasio kemandirian) menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mandiri dan tidak tergantung kepada bantuan eksternal (pemerintah pusat atau provinsi). Di samping itu, rasio kemandirian yang semakin tinggi menunjukkan semakin tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah dalam kaitannya dengan pembayaran pajak daerah dan retribusi daerah.

Desentralisasi Fiskal

Menurut Undang-Undang Perimbangan Keuangan, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi di NKRI, pemerintah pusat memberikan sumber keuangan negara dalam rangka pendanaan sehingga perimbangan keuangan menjadi suatu konsekuensi atas adanya pembagian tugas pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai tanggung jawab dalam mengurangi kesenjangan fiskal dari pemerintah pusat dan antar-pemerintah daerah. Wijaya dalam Kresnandra (2016) menyatakan bahwa dana perimbangan merupakan pendapatan daerah dari pemerintah pusat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tujuan otonomi daerah, khususnya dalam bidang pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Chandra, Hidayat, dan Rosmeli (2017), dana perimbangan merupakan suatu alokasi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat untuk pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi serta desentralisasi fiskal melalui dana transfer daerah berupa DAK, DAU dan DBH.

(11)

Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). DBH yang ditransfer kepada pemerintah pusat terdiri dari dua jenis, yaitu DBH Perpajakan dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Pola pembagian hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari: (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan (2) Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Sedangkan penerimaan SDH SDA bersumber dari: (1) Kehutanan, (2) Pertambangan Umum, (3) Perikanan, (4) Pertambangan Minyak Bumi, (5) Pertambangan Gas Bumi, dan (6) Pertambangan Panas Bumi.

DBH dialokasikan dengan tujuan untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. DBH dibagikan kepada daerah penghasil sesuai dengan porsi yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 serta dibagi dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar dan daerah lain (dalam provinsi yang bersangkutan) mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu yang ditetapkan dalam Undang - Undang. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Pasal 23, prinsip penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan (based on actual revenue) pada tahun anggaran berjalan.

Dana Alokasi Umum (DAU)

Menurut UU No. 33 Tahun 2004, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan yang bersifat block grant (umum) dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. DAU sering disebut hibah tak bersyarat karena merupakan jenis transfer ke pemerintah daerah yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu.

DAU merupakan komponen dana pertimbangan yang terbesar, dengan persentase sekitar 70% dari total alokasi dana perimbangan setiap tahunnya. Formula DAU (sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004) dihitung dengan rumus: DAU = Alokasi Dasar (gaji PNS Daerah dan tunjangannya) + Celah Fiskal

(12)

(Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal). Kapasitas Fiskal terdiri dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Kebutuhan Fiskal merupakan total belanja rata-rata yang ditentukan oleh Indeks Penduduk, Indeks Luar Wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan Indeks PDRB per kapita.

DAU berperan dalam pemerataan horizontal dengan menutup celah fiskal (fiscal gap) yang berada di antara kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. Berdasarkan konsep perhitungan celah fiskal tersebut, pembagian DAU ke daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang kapasitas fiskal lebih besar dari kebutuhan fiskal hitungan DAU-nya akan negatif.

Dana Alokasi Khusus (DAK)

DAK adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu yang difungsikan untuk membantu daerah tertentu guna membiayai pembangunan fisik sarana dan prasarana dasar yang belum mencapai standar tertentu yang juga merupakan prioritas nasional untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dengan tetap memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN. Daerah tertentu dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja pegawai ne geri sipil daerah (PNSD);

Kriteria khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah. Kriteria teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.

Ukuran Pemerintah Daerah

Ukuran pemerintah merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya pemerintah daerah.

Menurut Damanpour dalam Suhardjanto dan Yulianingtyas (2011), ukuran organisasi adalah pemrediksi signifikan untuk kepatuhan akuntansi. Dalam pemerintahan, besar kecilnya ukuran suatu pemerintah dapat dilihat dari total pendapatan yang diperoleh atau total aset dimiliki oleh daerah. Pemerintah yang ukurannya besar mempunyai kewajiban untuk meningkatkan akuntabilitas karena ukuran yang besar

(13)

akan diikuti dengan risiko kelemahan pengendalian internal yang besar dan sering mendapat perhatian signifikan dari berbagai pemangku kepentingan, seperti rakyat, pemerintah pusat, lembaga audit dan lainnya. Ukuran pemerintah daerah banyak diukur menggunakan aktiva karena penggunaan pegawai dan produktivitas sulit diukur, serta lebih mudah diidentifikasi dari laporan keuangan pemerintah daerah.

Ukuran pemerintah daerah menjadi perantara dalam memudahkan penanaman modal eksternal karena besarnya ukuran dapat membuat investor tertarik dalam terlibat dalam pemodalan pemerintah atau berinteraksi secara profesional di dalamnya (Larassati dalam Iqbal, 2017).

Indeks Pembangunan Manusia

Menurut UNDP (2019), kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB) maupun PDB per kapita. Indeks Pembangunan Manusia terdiri dari tiga ukuran dimensi tentang pembangunan manusia, yaitu:

1. panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup);

2. terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi); dan

3. memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP, penghasilan). IPM dinyatakan dalam skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 100 (tingkat pembangunan manusia yang tertinggi).

Pengembangan Hipotesis

Mahmudi (2010) mengungkapkan bahwa peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola PAD. Semakin tinggi kemampuan daerah menghasilkan PAD, semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. Peningkatan PAD tidak hanya menjadi perhatian pihak eksekutif namun legislatif pun berkepentingan sebab besar kecilnya PAD akan mempengaruhi struktur gaji anggota. PAD sebagai tolak ukur kemandirian daerah dinilai penting untuk pemerintah daerah dalam memahami segala potensi yang ada di dalam wilayahnya sebagai indikator kemandirian dalam perekonomian wilayah.

Dalam pengaruh PAD terhadap IPM, penelitian Lugastoro dan Ananda (2013), Prisilla (2018), dan de Fretes (2017) Rahmawati dan Fajar (2017), Kadafi (2014), Syukri dan Hinaya (2019)

(14)

menunjukkan simpulan bahwa PAD berpengaruh positif terhadap IPM. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis alternatif dalam penelitian terhadap variabel ini adalah

H1: PAD berpengaruh positif terhadap IPM

DBH merupakan bagian dari dana perimbangan sebagai dana dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Karena DBH merupakan hasil alokasi APBN yang memiliki tujuan penyediaan barang dan jasa publik. Pengaruh DBH terhadap IPM berpengaruh secara berlawanan menurut Prisilla (2018) dan Lugastoro dan Ananda (2013). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis alternatif dalam penelitian terhadap variabel ini adalah

H2: DBH berpengaruh negatif terhadap IPM

DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan yang bersifat tanpa syarat (unconditional grant) dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. DAU merupakan komponen dana pertimbangan yang terbesar, dengan persentase sekitar 70% dari total alokasi dana perimbangan setiap tahunnya. Pengaruh DAU terhadap IPM berpengaruh secara negatif menurut Lugastoro dan Ananda (2013). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis alternatif dalam penelitian terhadap variabel ini adalah

H3: DAU berpengaruh negatif terhadap IPM

Dana Alokasi Khusus adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu yang difungsikan untuk membantu daerah tertentu guna membiayai pembangunan fisik sarana dan prasarana dasar yang juga merupakan prioritas nasional. DAK banyak dialokasikan secara khusus untuk belanja modal, khususnya dalam penyediaan barang dan jasa publik secara spesifik. Pengaruh DAK terhadap IPM berpengaruh positif menurut de Fretes (2017) dan Lugastoro dan Ananda (2013). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis alternatif dalam penelitian terhadap variabel ini adalah

H4: DAK berpengaruh positif terhadap IPM

Ukuran pemerintah daerah merupakan indikator kebesaran kekuasaan pemerintah daerah yang dapat diukur berdasarkan aset/pegawai/produktivitas. Aset pemerintah daerah dinilai mampu menjadi fasilitas yang memiliki nilai tambah dalam meningkatkan daya utilitas pelayanan publik. Peningkatan tersebut dinilai mampu mendorong pembangunan wilayah yang secara tidak langsung kepada

(15)

pembangunan masyarakat. Manik (2013) menyampaikan bahwa ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap IPM. Dengan uraian dan kesimpulan penelitian sebelumnya tersebut, hipotesis alternatif dalam ukuran pemerintah daerah adalah

H5: Ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap IPM

METOHDS

Penelitian dilakukan terhadap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—

2018. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan pendekatan purposive sampling sebagai metode pengambilan nonprobabilistik dan subjektif berdasarkan kriteria tertentu. Data yang diolah sebagai sampel dalam penelitian ini memenuhi kriteria sebagai berikut.

1. Objek penelitian menyampaikan laporan realisasi anggaran per tanggal pelaporan akhir tahun kalender periode anggaran 2011—2018 dan mempublikasikannya secara daring.

2. Objek penelitian memiliki nilai IPM dan pengukuran indeks lain yang dibutuhkan secara lengkap didokumentasi selama 2011—2018.

3. Informasi yang dimiliki kabupaten/kota memiliki data yang cukup dan memadai dalam menyediakan informasi PAD, DBH, DAU, DAK, total aset daerah, dan IPM.

Populasi yang menjadi lingkup penelitian adalah 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah sebagaimana terdaftar pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3

Daftar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah 1. Barito Selatan 8. Kotawaringin Timur 2. Barito Timur 9. Lamandau

3. Barito Utara 10. Murung Raya 4. Gunung Mas 11. Pulang Pisau

5. Kapuas 12. Seruyan

6. Katingan 13. Sukamara

7. Kotawaringin Barat 14. Kota Palangka Raya

(16)

Penelitian ini menggunakan lima variabel independen yang meliputi PAD, DBH, DAU, DAK dan Ukuran Pemerintah Daerah. Variabel kontrol yang digunakan adalah PDRB perkapita, tingkat pengangguran terbuka, dan kemiskinan. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah IPM.

PAD adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan be rsih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan Asli Daerah meliputi, pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah dalam penelitian ini adalah realisasi Pendapatan Asli Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—2018. Variabel ini dinyatakan dalam nilai rasio.

DBH adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada pemerintah daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil dalam penelitian ini adalah realisasi Dana Bagi Hasil Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—2018. Variabel ini dinyatakan dalam nilai rasio.

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dalam penelitian ini adalah realisasi Dana Alokasi Umum Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—2018, diukur dalam satuan milyar rupiah.

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional dengan tetap memperhatikan ketersediaan dana dalam APBN. Variabel DAK dalam

(17)

penelitian ini adalah realisasi Dana Alokasi Khusus Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2011—2018.

Variabel ini diukur dalam nilai rasio.

Ukuran Pemerintah Daerah diproksikan berdasarkan total aset pemerintah daerah. Variabel ini menggunakan proksi logaritma natural dari total aset pemerintah daerah.

Menurut BPS (2018), PDRB atas dasar harga pasar adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu daerah. Nilai tambah merupakan nilai yang ditambahkan dari kombinasi faktor produksi dan bahan baku dalam proses produksi.

Penghitungan nilai tambah adalah nilai produksi (output) dikurangi biaya antara. Nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen pendapatan faktor (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Jadi dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor tadi, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar. Jika PDRB dibagi jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut, dihasilkan PDRB per kapita atas dasar harga pasar.

Tingkat pengangguran terbuka adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja (BPS, 2017). Kategori pengangguran terbuka meliputi mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha; mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan;

mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

Tingkat kemiskinan adalah persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Menurut BPS (2017), garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum

(18)

makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran capaian pembangunan berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM di Indonesia disusun berdasarkan tiga komponen indeks, yaitu: indeks angka harapan hidup ketika lahir, indeks pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang dijalani), angka melek huruf latin atau lainnya terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih, dan indeks standar hidup layak yang diukur d engan pengeluaran per kapita (purchasing power parity/paritas daya beli dalam rupiah). IPM merupakan rata-rata dari ketiga komponen tersebut. Variabel IPM dalam penelitian ini disajikan dalam satuan (BPS, 2020).

Model utama penelitian digunakan untuk mencari hubungan antara kualitas indeks pembangunan manusia dengan pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan ukuran pemerintah daerah. Persamaan regresi berganda yang diterapkan dalam model ini memenuhi persamaan

yang diketahui sebagai berikut.

Y = indeks pembangunan manusia b0 = konstanta

bn = koefisien variabel-variabel independen, k = 1,2,...,8 X1 = rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan X2 = rasio dana bagi hasil terhadap belanja modal

X3 = rasio dana alokasi umum terhadap belanja modal X4 = rasio dana alokasi khusus terhadap belanja modal X5 = logaritma natural dari ukuran pemerintah

(19)

X6 = PDRB per kapita dalam juta rupiah X7 = tingkat pengangguran terbuka X8 = tingkat kemiskinan

e = nilai galat model (residual)

RESULTS AND DISCUSSION

Pemilihan sampel dilakukan dengan mengeliminasi satu entitas yang secara ringkas disajikan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 4

Pemilihan Sampel Penelitian

Gambaran umum sampel penelitian Total Ukuran

Populasi 14 Pemerintah kabupaten/kota

Pengurangan jumlah sampel karena teridentifikasi merupakan pencilan (Kota Palangka Raya)

(1) Pemerintah kabupaten/kota

Jumlah sampel 13 Pemerintah kabupaten/kota

Tahun 8 Tahun

Jumlah observasi 104 Pemerintah kabupaten/kota x Tahun

Sumber: data diolah

Hasil statistik deskriptif yang menggambarkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5

Statistik Deskriptif Variabel

Variabel Rata-rata St. deviasi Minimum Maksimum

IPM (Y) 67,1174 2,2430 62,1600 72,4600

PAD (X1) 0,0577 0,0333 0,0247 0,1880

DBH (X2) 0,1447 0,0564 0,0589 0,3302

DAU (X3) 0,6302 0,0869 0,4617 0,8612

DAK (X4) 0,0991 0,0602 0,0000 0,2613

UKURAN (X5) 28,3959 0,3120 27,5214 28,8657

KPDRB (X6) 40,5987 11,3940 17,9457 70,9181

TPT (X7) 0,0331 0,0153 0,0031 0,0999

MISK (X8) 0,0581 0,0133 0,0301 0,0927

Sumber: data diolah

Selanjutnya, hasil analisis ini menggunakan uji regresi data panel dengan model efek tetap (FEM) untuk regresi linear berganda yang nilai konstanta dan koefisien beta diberikan berdasarkan Tabel 6 di bawah ini.

(20)

Tabel 6 Hasil Uji Regresi FEM

Variabel Hipotesis Koefisien beta Galat standar t Prob > |t| Sig.

PAD (X1) + 4,980364 2,592504 1,92 0,029 **

DBH (X2) –3,22136 1,916641 –1,68 0,048 **

DAU (X3) 0,400181 0,560785 0,71 0,760

DAK (X4) + 1,646857 1,135567 1,45 0,075 *

UKURAN (X5) 0,591478 0,342034 1,73 0,044 **

KPDRB (X6) 4,853275 0,495981 9,79 0,000 ***

TPT (X7) 12,54415 3,581404 3,50 0,000 ***

MISK (X8) –31,2225 11,62111 –2,69 0,004 ***

_cons 4,980364 2,592504 1,92 0,058 **

R-squared within 0,9293 F-statistic 136,34

R-squared between 0,0461 Prob F-stat 0,0000

R-squared overall 0,3513

*** signifikan 1% ** signifikan 5% * signifikan 10%

Sumber: Data diolah

DISKUSI DAN PEMBAHASAN Pengaruh PAD Terhadap IPM

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, dapat diketahui bahwa PAD bersifat positif terhadap IPM yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi PAD relatif terhadap total pendapatan, maka semakin baik indeks pembangunan manusia suatu daerah. Pengaruh PAD berkaitan erat dengan peran pemerintah mendorong pembangunan masyarakat yang dapat ditelusuri secara cukup representatif dalam pajak daerah dan retribusi daerah. Setiap pemerintah daerah memiliki kebijakan masing -masing yang di samping itu meniru pola proses bisnis pemerintah daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi. Teori institusional melalui normative isomorphism dapat menjelaskan bahwa pemerintah daerah ditekan oleh pemerintah daerah lainnya untuk lebih bereksplorasi terkait dengan potensi sumber pendapatan daerahnya. Dalam kaitannya dengan coercive isomorphism, adanya desakan masyarakat dan/atau lembaga legislatif untuk memperbaiki pelayanan publik daerah karena masyarakat merasa telah berkontribusi lebih kepada daerah dengan membayar pajak dan retribusi daerah. Terlebih lagi, karena pengelolaan pajak dan retribusi daerah diserahkan sepenuhnya ke daerah, Pemda bisa secara leluasa menggunakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, tidak seperti dana perimbangan lainnya. Akibatnya, PAD digunakan untuk pembangunan daerah sesuai kepentingan masyarakat, sehingga memperbaiki kinerja IPM

(21)

Pengaruh DBH Terhadap IPM

Sesuai dengan arah hasil uji hipotesis, DBH berpengaruh negatif terhadap IPM. Pemberlakuan akan adanya alokasi DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan horizontal antar daerah dan pusat.

Dalam kaitannya dengan teori institusional sebagai coercive isomorphism, kebijakan pengelolaan DBH diatur oleh pemerintah pusat sebagai lembaga regulator sebagaimana ditetapkan dalam Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan dan peraturan perundang -undangan terkait. Pengaturan oleh pusat memberikan ketidakpastian keuangan daerah karena perkiraan realisasi ditentukan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemungut pajak pusat yang akan dibagihasilkan ke daerah sehingga alokasi DBH mungkin yang tidak sesuai dengan realisasi penerimaan negara menyebabkan kurang bayar DBH yang mengganggu pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, ketidakpastian keuangan juga disebabkan tahapan penyaluran yang tidak sesuai dengan kebutuhan belanja daerah, tetapi bertahap setiap periode dengan rentang yang sama. dalam. Akibat dorongan mandataris tersebut, pemerintah daerah tidak leluasa mendanai belanja daerah sesuai kebutuhan atau prioritas daerah sehingga pembangunan daerah terhambat yang berujung pada kontraproduktifnya kinerja IPM.

Pengaruh DAU Terhadap IPM

DAU berpengaruh tidak signifikan terhadap IPM. Dalam kaitannya dengan teori institusional terkait coercive isomorphism, pemerintah daerah ditekan oleh reputasi masyarakat, khususnya dalam bidang pelayanan publik dan pemberi stimulan kesejahteraan masyarakat. Tekanan besar dari masyarakat berupa pengajuan proyek investasi mempersulit pemerintah daerah untuk memilih proyek prioritas yang menguntungkan secara sosial dan mengakomodasi sebagian besar kepentingan berbagai kelompok masyarakat dengan tetap memperhatikan batasan anggaran. Kesulitan ini diperparah dengan rendahnya kapasitas sumber daya pemerintah daerah dalam menganalisis biaya dan manfaat suatu proyek investasi menyebabkan pemilihan proyek investasi yang kontraproduktif dengan pembangunan daerah sehingga tidak berfokus pada peningkatan kinerja IPM. Dalam kaitannya dengan mimetic isomorphism, tidak adanya pedoman analisis proyek investasi yang disusun oleh pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk meniru entitas lain yang mungkin tidak sesuai dengan konteks alam, sosial, dan budaya pemerintah daerah tersebut sehingga proyek yang dibangun tidak terlalu memberikan insentif lebih pada pembangunan manusia. Di samping itu, dalam kaitannya dengan coercive isomorphism, terlalu kerasnya tekanan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk lebih

(22)

mandiri malah mendorong pemerintah daerah untuk mengeksploitasi celah peraturan yang ada apalagi porsi DAU secara historis paling besar relatif terhadap total pendapatan (moral hazard). Salah satunya dengan memperlebar celah fiskal (kebutuhan fiskal melebihi kapasitas fiskal) dengan harapan alokasi DAU yang dihitung semakin besar. Pelebaran celah fiskal mungkin dilakukan dengan membuat kurang PAD tahun lalu. Hal ini diduga menjadi sumber ketergantungan fiskal (flypaper effect) yang sekaligus menjadi masalah dalam desentralisasi di beberapa provinsi. Akibatnya, DAU didominasi belanja pegawai atau beberapa belanja rutin yang sifatnya tidak menambah produktivitas pembangunan secara signifikan.

Pengaruh DAK Terhadap IPM

DAK memiliki pengaruh positif terhadap IPM. DAK memiliki tujuan utama mendanai kegiatan pemerintah daerah dalam pos ini dikhususkan pada prioritas nasional berupa hasil fisik atau nonfisik.

Kebijakan ini erat kaitannya dengan coercive isomorphism bahwa kegiatan tersebut merupakan prerogatif dari pemerintah pusat dengan misi yang lebih terarah. Pemerintah daerah selain melaksanakan kewajiban pencatatan, pengikhtisaran, dan pelaporan kegiatan tersebut; dibutuhkan upaya pemeliharaan yang lebih baik atas program nasional untuk pembangunan manusia di daerah.

Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah Terhadap IPM

Dalam teori institusional, entitas pemerintah daerah disetujui oleh masyarakat karena menjadi perwakilan daerah dalam pengelolaan yang bersifat kolektif. Coercive isomorphism menjadi tantangan tersendiri karena terbentuknya pemerintah daerah berasal dari permintaan hukum dan politik, khususnya dari peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah dan otonomi daerah. Dalam kaitannya dengan mimetic isomorphism, hal ini memicu situasi ketidakpastian panduan praktik organisasional untuk mengelola aset pemerintah sendiri sehingga upaya yang dilakukan cenderung meniru entitas pemerintahan daerah lain, khususnya yang lebih baik, terutama yang sudah memiliki pengelolaan keuangan daerah yang dinilai mumpuni, padahal pemerintah daerah sejatinya memiliki ide tentang praktik terbaiknya sesuai konteks masing-masing.

Idealnya, ukuran pemerintah seberapa pun besarnya tidak terjadi masalah dalam tugas mencerdaskan kehidupan bangsa apabila kinerjanya terus terjaga. Pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah dinilai cukup mampu dalam melaksanakan optimalisasi aset dalam rang ka

(23)

meningkatkan pembangunan manusia, terutama dalam aset yang diperoleh dari belanja modal yang pada umumnya cenderung lebih berat digunakan sebagai kantor operasional/pelayanan administratif yang tidak terlalu menjadi daya tarik masyarakat sebagai perantara pembangunan manusia.

Kompleksitas daerah dan kesulitan akses wilayah dapat menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya karena akan membutuhkan modal yang tinggi.

CONCLUSIONS

PAD berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Salah satu komponen dalam pembangunan manusia adalah pendapatan. Pendapatan masyarakat direfleksikan dengan baik oleh pajak daerah dan retribusi daerah di Provinsi Kalimantan Tengah. Perilaku saling bersaing antar pemerintah daerah karena tekanan profesionalitas memancing pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya yang ada di wilayahnya. Kemudian, DBH berpengaruh negatif terhadap IPM. Tekanan regulasi perundang-undangan atas formulasi dari pemerintah pusat yang pemerintah daerah hanya menganggapnya sebagai sumber pendapatan pasif tak terkendali dan tidak mendapatkan pengendalian atas kinerja DBH menjadi sebab cukup sulitnya peran DBH dalam membangun sumber daya manusia di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Pengaruh DAU yang tidak signifikan terhadap IPM di Provinsi Kalimantan Tengah disebabkan oleh masalah belanja rutin yang ditekan oleh pemilik entitas, yakni legislatif dan masyarakat. Belanja pegawai dan belanja modal mendominasi porsi belanja namun belum signifikan dampaknya selama delapan tahun. Dana perimbangan di provinsi ini dinilai masih belum cukup menjadi insentif fiskal yang efektif untuk mewujudkan peningkatan pembangunan manusia di daerah. Pemerintah pusat perlu melakukan tinjauan secara khusus terkait hal ini, terutama dalam formulasi DAU serta dibutuhkan komitmen kuat dari legislatif dan eksekutif. DAK sebagai pemberian dana untuk proyek strategis nasional berkinerja baik dalam mempengaruhi IPM secara positif. Setelah itu, total aset daerah dinilai positif pengaruhnya terhadap IPM. Sering kali, aset daerah memiliki masalah pengelolaan efisiensi aset. Tekanan dari pemerintah pusat dan masyarakat menjadi suatu tantangan kepada pemerintah daerah bahwa investasi aset berupa aset tetap atau sarana lainnya perlu berkinerja lebih baik dalam membangun masyarakat yang diukur dari peningkatan pendapatan, standar hidup layak, dan pendidikan.

Sebagai bagian keterbatasan penelitian, terdapat beberapa variabel yang belum disertakan dan bersifat lebih representatif seperti belanja daerah sesuai fungsi yang khusus dalam komponen

(24)

pembentuk IPM seperti belanja fungsi pendidikan atau belanja hibah/bantuan sosial. Penelitian ini tidak memisahkan DAK fisik dan nonfisik. Besaran/porsi DAK nonfisik (khususnya bidang pendidikan dan sumber daya manusia) memiliki peluang uji pengaruh lebih representatif terhadap kinerja peningkatan IPM. Untuk sumber daya, terdapat beberapa perbedaan yang relatif tidak signifikan antara angka sajian laporan keuangan pemerintah daerah seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah yang telah diaudit dengan data yang disediakan oleh DJPK, terutama dalam komponen realisasi belanja. Sebagian data yang telah dihimpun dari DJPK belum merupakan hasil audit BPK Provinsi Kalimantan Tengah secara keseluruhan. Penelitian ini belum mempertimbangkan aspek politis kepala daerah dan susunan legislatif. Faktor-faktor tersebut apabila belum disertakan pertimbangannya dapat menyebabkan perubahan pola secara sistematis dalam distribusinya masih belum terjawab. Penelitian ini tidak menggunakan alokasi belanja modal yang dinilai lebih menggambarkan peran pemerintah daerah dalam melaksanakan tujuan bernegara dalam hal menambah/kapitalisasi aset dengan harapan meningkatkan kapasitas pelayanan publik. Aset daerah belum disaring secara khusus untuk penyelenggaraan keg iatan yang bersifat konstruktif dalam bidang pembangunan manusia seperti gedung serbaguna, ruang pelayanan publik, sarana pendidikan, atau lain sebagainya.

REFERENCE

Arafat, L., Rindayati, W., & Sahara, S. (2018). Faktor-faktor yang memengaruhi indeks pembangunan manusia di Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan, 7(2), 140- 158. doi:10.29244/jekp.v7i2.29399

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimanan Tengah (2020). Indeks Pembangunan Manusia Kalimantan Tengah 2019. Palangka Raya: APP Digital Publishing.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah (2019). Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota se-Provinsi Kalimantan Tengah. Palangka Raya: APP Digital Publishing.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Tengah (2017). Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Kalimantan Tengah 2016. Palangka Raya: APP Digital Publishing.

Budi, A. S. (2017). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Belanja Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2012-2014. Undergraduate thesis: Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Surakarta.

Dacin, M., Goodstein, J., & Richard, S. (2002). Institutional theory and institutional change: Introduction to the special research forum. Academy of management journal, 45(1), 45-56,

doi:10.5465/amj.2002.6283388

(25)

de Fretes, P. N. (2017). Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Kepulauan Yapen. Jurnal Akuntansi dan Ekonomi, 2(2), 1-33. doi:10.29407/jae.v2i2.864

DiMaggio, P. & Powell, W. (1991). The iron cage revisited: Institutional isomorphism and collective rationality in organizational fields. American sociological review, 48(2), 147-160,

doi:10.2307/2095101

Finkler, S. A., Smith, D. L., Calabrese, T. D., & Purtell, R. M. (2016). Financial Management for Public, Health, and Not-for-Profit Organizations (ed. 5th). Washington D.C., United States of America: CQ Press.

Firmansah, N. (2015). Pengaruh Dana Perimbangan, Belanja Modal, Pertumbuhan Eko nomi, dan Kemiskinan Terhadap IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. [Unpublished undergraduate thesis]. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Harahap, R. U. (2017). Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kab./Kota Propinsi Sumatera Utara. Kitabah, 1(1).

Jahan, S. (2013). The Human Development Index – what it is and what it is not. Retrieved June 2020 from https://hdr.undp.org/en/hdi-what-it-is

Kresnandra, A. (2016). Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dengan Dana Perimbangan Dan Investasi Swasta Sebagai Variabel Pemoderasi. Jurnal Bisnis dan Manajemen, 3(2).

Lugastoro, D. P. & Ananda, C. F. (2013). Analisis Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, 1(2).

Manik, T. (2013). Analisis Pengaruh Kemakmuran, Ukuran Pemerintah Daerah, Inflasi,

Intergovernmental Revenue dan Kemiskinan Terhadap Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Organisasi Dan Manajemen, 9(2), 107-124.

Muda, I., Helmi, S., & Kholis, A. (2014). Kajian Pengaruh Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Pertumbuhan Ekonomi dan Alokasi Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Di Sumatera Utara. Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis, 1(1), 12-29.

Powell, W. & DiMaggio, P. (1991). The New Institutionalism in Organizational Analysis. Chicago, USA:

University of Chicago Press.

Razmi, A., Rapetti, M., & Skott, P. (2012). The real exchange rate and economic development.

Structural Change and Economic Dynamics, 23(2), 151-169. doi:10.1016/j.strueco.2012.01.002 Retnasari, E. & Cahyono, H. (2015). Pengaruh Nilai Tukar Petani dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap

Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Pendidikan Ekonomi, 3(3).

Sari, C. & Supadmi, N. (2016). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Pada Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. E-Jurnal Akuntansi, 15(3), 2409-2438.

(26)

Schiavo-Campo, S. (2017). Government Budgeting and Expenditure Management: Principles and International Practice. New York, United States of America: Routledge.

United Nations Development Programme (2019). Overview Human Development Report 2019, Beyond income, beyond averages, beyond today: Inequalities in human development in the 21st century . New York, United States of America: United Nations Development Programme.

Wardani, N. K. (2018). Pengaruh Aset Daerah, PAD, Dana Perimbangan, dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia [Unpublished undergraduate thesis]. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Williantara, G. F. & Budiasih, I. G. (2016). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dan Dana Bagi Hasil Pada Indeks Pembangunan Manusia. E-Jurnal Akuntansi, 16(3), 2044-2070.

Referensi

Dokumen terkait

Selama pengelolaan sampah program HBS (Hijau Bersih Sehat) di RT.16 dan RT.17 Kelurahan Karang Anyar dilaksanakan, terdapat beberapa hambatan- hambatan dalam masyarakat

Bagi Warga Jemaat yang akan pindah / keluar dari wilayah pelayanan Jemaat GPIB “ PANCARAN KASIH ” Depok, agar menyelesaikan Surat Pindah ( Attestasi ) di Kantor Majelis Jemaat

· Borang Penilaian Program Literasi Maklumat : Post Test 2 ((OPR/PSAS/BR06/PT2/atas talian) bagi kelas Strategi Pencarian Maklumat (pelajar pascasiswazah baharu) Pembatalan

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan

Laporan keuangan merupakan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja serta kondisi sebenarnya suatu

Losion tabir surya sebagai kosmetik perlu diperhatikan hal-hal yang diperlukan dalam tabir surya yaitu efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang

Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui proses pengambilan keputusan konsumen teh celup Sariwangi di Kota Denpasar yang meliputi

activity menjadi passivity , tidak dijelaskan oleh Thrax. Namun secara umum, dua penjelasan mengenai kata benda dan kata kerja ini sudah bisa men jelaskan aspek semantik