• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Umbi Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

1. Klasifikasi

Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu yang berasal dari benua Amerika, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam bahasa inggris cassava. Umbi ubi dimanfatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia ubi kayu menjadi bahan pangan setelah beras dan jagung (Gagola dkk., 2014).

Gambar 1. Umbi ubi kayu (Johannesburg, 2006).

Klasifikasi tanaman umbi ubi kayu adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan

Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji Sub divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilisima (Hidayat, 2009).

(2)

2. Morfologi Tanaman

Umbi ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong, atau kasape. Umbi ubi kayu merupakan tanaman yang berkayu arah tumbuhnya tegak, daun tunggal atau majemuk, duduk tersebar atau berhadapan dengan daun-daun penumpu yang sering kali menyerupai kelenjar. Bunga hampir selalu berkelamin tunggal, berumah satu atau dua, dengan bentuk dan susunan yang beraneka rupa. Biasanya buah yang sudah masak pecah menjadi tiga bagian buah (Caniago dkk., 2014). Umbi ubi kayu merupakan sumber karbohidrat yang paling penting setelah beras. Tanaman singkong memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat tumbuh di segala tanah, tidak memerlukan tanah yang subur asal cukup gembur, tetapi sebaliknya tidak tumbuh dengan baik pada tanah yang terlalu banyak airnya. Singkong merupakan tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah tropika dengan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, tahan terhadap musim kemarau dan mempunyai kelembaban yang tinggi, tetapi sensitif terhadap suhu rendah. Tanaman singkong mempunyai adaptasi yang luas. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai tinggi, yaitu dari 0 sampai 2500 m di atas permukaan laut, maupun di daerah kering dengan curah hujan sekitar 500 mm/tahun, asalkan air tidak sampai tergenang di perakarannya (Hidayat, 2009).

Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan gaplek, tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya. Potensi kulit singkong di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil singkong terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan produksi dalam setiap tahunnya. Dari setiap berat singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16% dari berat tersebut (Hidayat, 2009).

(3)

3. Kandungan Kimia Kulit Umbi Ubi Kayu

Kandungan kulit umbi ubi kayu mengandung fenolik dan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan (Gagola dkk., 2014). Pada batang umbi kayu terdapat 10 komponen fenolik seperti

coniferaldehyde, isovanillin, 6-deoxyjacareubin, scopoletin,

syringaldehyde, pinoresinol, asam p-coumaric, ficusol , balanophonin

dan ethamivan yang memiliki aktivitas menangkal radikal bebas (Yi dkk., 2010). Pada penelitian Buschmann dkk, (2000) menunjukan adanya kandungan flavan-3-ol seperti, catechin, gallate catechin, dan

gallocatechin pada umbi kayu yang berpotensi sebagai antioksidan efek dari radiasi. Pada penelitian Karundeng dkk, (2014) menunjukan bahwa pada ekstrak kulit umbi ubi kayu yang mengandung flavonoid pada konsentrasi 0,5% dapat berpotensi sebagai tabir surya dengan nilai SPF 11,3 yang menunjukan proteksi maksimal.

B. Ekstraksi

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi 3 yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1989).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1986).

Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan zat aktif yang tidak larut seperti serat, karbohidrat dan protein. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara penyari dengan bahan yang mengandung zat tertentu (Depkes RI, 1986).

(4)

Macam–macam ekstraksi: 1. Maserasi

Maserasi adalah penyarian dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam penyari. Contoh cairan penyari yaitu air, etanol, air-etanol (Depkes RI, 2000).

2. Infudasi

Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infundasi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air secukupnya dalam penangas air selama 15 menit yang dihitung mulai suhu di dalam panci mencapai 90 °C sambil sesekali diaduk, infus disaring sewaktu masih panas dengan menggunakan kain flanel. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur (Depkes RI, 1986).

3. Sokletasi

Sokhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1986).

4. Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes, secara umum dapat dinyatakan sebagai proses dimana obat yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat yang dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus yang disebut perkolator, dan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989).

(5)

C. Uraian Bahan

1. Asam stearat (Depkes RI, 1979)

Asam stearat ( merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai hidrokarbon, diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat dimakan, dan berbentuk serbuk berwarna putih. Asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi dalam sediaan kosmetika. Asam stearat dapat menghasilkan kilauan yang khas pada produk losion.

2. Malam putih atau cera alba (Depkes RI, 1979)

Malam putih dibuat dengan memutihkan malam yang diperoleh dari sarang lebah apis melli fera l atau spesies lain. Pemerian zat padat, lapis tipis bening, putih kekuningan, bau khas. Kelarutan praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%), larut dalam kloroform, dalam minyak lemak dan minyak atsiri. Suhu lebur 62 °C sampai 64 °C. Khasiat dari malam putih zat tambahan atau basis.

3. Lanolin (Depkes RI, 1979)

Lanolin merupakan basis serap, dibentuk dengan penambahan zat-zat yang dapat bercampur dengan hidrokarbon dan zat-zat yang memiliki gugus polar seperti sulfat, hidroksi, karboksil. Lanolin zat serupa lemak lengket kuning muda, agak tembus cahaya, bau lemah dan khas. Suhu lebur dari suhu 36 °C sampai 42 °C, kelarutannya tidak larut dalam air agak sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P.

4. Propilenglikol (Rowe dkk., 2009).

Merupakan alkohol bivalen dengan dua gugus OH. Bentuknya berupa cairan higroskopis jernih tidak berwarna dan tidak berbau atau hampir tidak berbau dengan rasa agak manis. Sifat kelarutannya yaitu dapat bercampur dengan air, aseton, alkohol dan kloroform. Larut dalam 6 bagian eter, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P

(6)

Propilenglikol memiliki banyak fungsi yaitu pengawet antimikroba, desinfektan, humektan, pelarut, stabilizer vitamin, kosolven. Formula losion menggunakan propilenglikol agar sediaan terasa nyaman dikulit karena propilenglikol bersifat humektan. 5. Propilparaben (Depkes RI, 1979)

Propilparaben atau Nipasol berupa kristal tidak berwarna atau serbuk putih, tidak berbau, tidak berasa. Bahan ini sangat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Propilparaben digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik dan sediaan farmasetika. Propilparaben untuk pembuatan losion sebesar 0,02-0,3%.

6. Metilparaben (Rowe dkk., 2009)

Metilparaben ( merupakan zat berwarna putih atau tidak berwarna, berbentuk serbuk halus, dan tidak berbau. Zat ini mudah larut dalam etanol 95%, eter, dan air tetapi sedikit larut benzen, dan karbontetraklorida. Metil paraben sering digunakan dalam losion karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur serta dapat mempertahankan losion dari mikroorganisme yang dapat merusak. Metil paraben termasuk salah satu jenis pengawet yang biasa digunakan dalam pembuatan losion. Bahan pengawet yang biasa ditambahkan pada pembuatan losion sebesar 0,1-0,2%. Pengawet yang digunakan sebagai tambahan pada produk menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh karena pengawet bersifat antimikroba. Pengawet harus ditambahkan pada suhu yang tepat pada saat proses pembuatan losion, yaitu antara suhu 35-45 °C agar tidak merusak bahan aktif yang terdapat dalam pengawet tersebut.

7. Disodium Edetat (Rowe dkk., 2009)

Merupakan serbuk kristal putih, sodium edetat dapat digunakan untuk komposisi pada sediaan topikal sebesar 0,01-0,1% b/v. Sodium edetat ditambahkan dalam sediaan karena memiliki kemampuan dalam mencegah bau tengik yang disebabkan oleh logam dengan

(7)

pembentukan khelat logam yang tidak larut. Selain itu, adanya logam pada ekstrak dapat menjadi katalisator reaksi oksidasi sehingga diperlukan penambahan disodium edetat untuk mengikat logam tersebut. Disodium edetat juga digunakan sebagai penstabil.

8. Trietanolamin (Rowe dkk., 2009)

Triethanolamin (( atau TEA merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, dan higroskopis. Cairan ini dapat larut air dan etanol tetapi sukar larut dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi pada fase air dalam sediaan losion. TEA merupakan bahan kimia organik yang terdiri dari amine dan alkohol dan berfungsi sebagai penyeimbang pH pada formulasi losion. TEA tergolong dalam basa lemah.

9. Oleum Rosae (Depkes RI, 1979)

Minyak mawar adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan penyulingan uap bunga segar. Minyak mawar merupakan cairan tidak berwarna atau kuning, bau menyerupai bunga mawar, rasa khas, pada suhu 25 °C kental, jika didinginkan perlahan-lahan berubah menjadi massa hablur bening yang jika dipanaskan mudah melebur. Larut dalam 1 bagian kloroform. Biasanya digunakan untuk bahan pewangi. 10. Akuades (Depkes RI, 1979s)

Air merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam Pembuatan losion. Air yang digunakan dalam pembuatan losion merupakan air murni yaitu air yang diperoleh dengan cara penyulingan, proses penukaran ion dan osmosis sehingga tidak lagi mengandung ion-ion dan mineral-mineral. Air murni hanya mengandung molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki pH 5,0-7,0, dan berfungsi sebagai pelarut.

(8)

D. Losion

Sediaan losion merupakan emulsi dengan kandungan minyak yang lebih rendah dibandingkan krim, sehingga menyebabkan sediaan losion lebih encer. Losion dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai pelindungan untuk obat karena sifat bahan-bahannya. Kecairannya memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Losion dimaksudkan segera kering pada kulit setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit. Karena fase terdispersi dari losion cenderung untuk memisahkan diri dari pembawanya bila didiamkan, losion harus dikocok kuat-kuat setiap akan digunakan supaya bahan-bahan yang telah memisah terdispersi kembali (Ansel, 1989).

Losion termasuk golongan kosmetika pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani maupun sintetis. Losion juga berfungsi untuk melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, dan mengurangi penguapan air dari sel kulit. Losion didefinisikan sebagai campuran dua fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang.

Losion tabir surya sebagai kosmetik perlu diperhatikan hal-hal yang diperlukan dalam tabir surya yaitu efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang panjang gelombang 290-320 nm tanpa menimbulkan gangguan yang akan mengurangi efisiensinya yang menimbulkan toksik atau iritasi. Memberikan transmisi penuh pada rentang panjang gelombang 300-400 nm untuk memberikan efek terhadap tanning maksimum.Tidak mudah menguap, resisten terhadap air dan keringat. Memiliki sifat-sifat mudah larut yang sesuai untuk memberikan formulasi kosmetik yang sesuai. Tidak berbau dan memiliki sifat-sifat fisik yang memuaskan, misalnya daya lengketnya, dan lain-lain. Tidak menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan sensitifitas. Dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam. Stabil

(9)

dalam penggunaan. Tidak menimbulkan noda saat dipakai (Pratama dan Zukarnain, 2015).

E. Tabir Surya

Tabir surya adalah produk yang diformulasikan khusus untuk menyerap atau membelokkan sinar ultraviolet (Lavi, 2011). Tabir surya di maksudkan untuk digunakan melindungi kulit manusia dari efek buruk sinar matahari (Bleasel, 1999). Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetik yang digunakan untuk maksud membaurkan atau mengabsorpsi secara efektif cahaya matahari, terutama daerah emisi gelombang UV dan infra merah sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya matahari (Bambal dkk., 2011).

Berdasarkan mekanisme kerjanya tabir surya dibagi menjadi 2 yaitu, melindungi fisik (pengeblok fisik) dengan memantulkan energi sinar ultraviolet dan secara kimia (penyerapan kimia) dengan menyerap energi sinar ultraviolet. Tabir surya fisik adalah tabir surya yang mekanisme kerjanya memantulkan dan memantulkan radiasi sinar ultraviolet, kemampuannya berdasarkan ukuran partikel dan ketebalan lapisan, bisa menembus lapisan dermis hingga subkutan atau hipodermis dan efektif pada spekrum radiasi UV A, UV B dan sinar tampak (Lavi, 2011). Zat aktif yang di gunakan dalam tabir surya fisik yaitu titanium dioksida, magnesium silikat, zinc oksida, kaolin (biasa digunakan pada bedak/alas bedak). Tabir surya kimia, yang mekanisme kerjanya mengabsorbsi radiasi sinar ultraviolet dan mengubahnya menjadi bentuk energi panas. Dapat mengabsorbsi hampir 95% radiasi sinar UV B yang dapat menyebabkan

sunburn (eritema & kerut). Zat aktif yang di gunakan dalam tabir surya kimia yaitu, PABA, benzofenon, salisilat andoktil avobenzon (Lavi, 2011). Menurut Bleasel (1999) efek berbahaya dari radiasi matahari disebabkan terutama oleh daerah UV dari spektrum elektromagnetik (200-400 nm), yang dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

(10)

1. Radiasi UV A antara 320- 400 nm.

UV A biasanya hanya menyebabkan kulit menjadi coklat, walaupun dapat juga menimbulkan terbakar surya tapi lebih lemah dibanding dengan UV B. Karena intensitas UV A yang sampai ke bumi kira-kira 10 kali UV B, maka efek kumulatif jangka panjang sinar UV A ini sama pentingnya dengan efek UV B.

2. Radiasi UV B 290-320 nm.

sering disebut sebagai spektrum terbakar surya atau kulit terbakar akut, karena sinar ini penyebab utama terjadinya terbakar surya (sunburn). UV B ini paling efektif menyebabkan pigmentasi dan karsinogenik.

3. Radiasi UV C dari 200 -290 nm.

Sinar UV C merupakan sinar yang tidak sampai ke bumi karena mengalami penyerapan. Akan tetapi seseorang dapat terkena paparan sinar UV C ini dari lampu-lampu buatan. Kelainan yang timbul yang disebabkan oleh UV C adalah kulit kemerahan, peradangan mata dan merangsang pigmentasi.

F. SPF (Sun Protection Factor)

SPF adalah pengukuran kuantitatif dari efektivitas formulasi tabir surya agar efektif dalam mencegah kulit terbakar dan kerusakan kulit lainnya (Bleasel, 1999). Produk tabir surya harus memiliki berbagai absorbansi 290-400 nm (Bambal dkk., 2011).

Penentuan aktifitas tabir surya berdasarkan nilai SPF dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro. Pengujian SPF secara in vivo yaitu membandingkan energi ultraviolet untuk menghasilkan dosis eritema minimal (DEM) pada kulit yang terlindungi terhadap energi untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit tidak terlindungi, sedangkan pengujian in vitro nilai SPF dapat ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri (Bambal dkk., 2011).

Pengukuran nilai SPF, Sampel diukur serapannya dengan spektrofotometri UV- Vis tiap 5 nm pada rentang panjang gelombang dari

(11)

290 nm sampai panjang gelombang 320 nm dan dilakukan tiga kali penentuan tiap poinnya. Diikuti dengan aplikasi persamaan yang telah dilakukan (Sayre dkk., 1978). Untuk menghitung nilai SPF digunakan rumus sebagai berikut:

SPFspectrophotometric ( ( ( Keterangan :

CF = Faktor koreksi (= 10 ) EE = Spektrum efek eritema I = Intensitas spektrum sinar Abs = Absorbansi

Tabel 1. Normalized yang di gunakan untuk data SPF (EE X I)

Panjang gelombang EE X I 290 nm 0,015 295 nm 0,0817 300 nm 0,2874 305 nm 0,3278 310 nm 0,1864 315 nm 0,0837 320 nm 0,018

Nilai SPF yang didapat dapat di klasifikasikan berdasarkan tipe proteksi dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tipe proteksi (Zulkarnain dkk., 2013)

Tipe proteksi Nilai SPF

Proteksi minimal 1-4

Proteksi sedang 4-6

Proteksi ekstra 6-8

Proteksi maksimal 8-15

Proteksi ultra >15

G. Spetrofotometri Ultraviolet Visibel

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) atau pada daerah sinar tampak (panjang gelombang 380-780 nm). Meskipun spektrum pada daerah ultraviolet dan daerah cahaya tampak dari suatu zat yang tidak

(12)

khas, tetapi sangat cocok untuk penetapan kuantitatif, dan untuk beberapa zat berguna untuk membantu identifikasi (Depkes RI, 1979).

Instrumen yang digunakan menurut Gandjar dan Abdul (2007) untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut “spektrometer” atau spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber-sumber lampu

Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm,sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten di gunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang antara 350-900 nm).

2. Monokromator

Digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan

intrumen melewati spektrum. 3. Optik-optik

Dapat di desain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.

Gambar

Gambar 1. Umbi ubi kayu (Johannesburg,  2006).
Tabel 1.  Normalized yang di gunakan untuk data SPF (EE X I)

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Lama Fermentasi dan Berat Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol Dari Proses Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Jerami Padi Dengan HCl 30%.. Universitas

Jika kita melihat dari segi gramatika, dalam satu kalimat tunggal, bahasa Jepang mempunyai struktur yang menempatkan verba di akhir kalimat, sedangkan bahasa Indonesia

Tujuan yang diinginkan dalam Rencana Kerja ( Renja ) Sekretariat Daerah Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2014 didasarkan kepada pernyataan misi yang sudah dirumuskan

Keduanya dapat dibedakan berdasakan masalah yang ditelaah, domain yang dirujuk, dan metode (eksistensialisme dan neo-ortodoksi) yang digunakan dan dua bahasa dan dua fungsinya

Arsitektur SPBE adalah kerangka dasar yang mendeskripsikan integrasi proses bisnis, data dan informasi, infrastruktur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... Batasan Variabel Operasional ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Alat dan Bahan... Alat yang digunakan ... Bahan yang digunakan ...

Pada bagian ini akan dijelaskan definisi beberapa pengertian dasar yang penting sehubungan dengan algoritma dan pemrograman, yang akan diberikan dalam contoh

a) Usia reproduktif.. c) Mengingkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang. d) Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi. e) Setelah melahirkan dan tidak menyusui