BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi, kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
di Indonesia semakin hari semakin berkembang pesat. Kemajuan IPTEK ini
menuntut adanya sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas tinggi,
sebab dengan begitu perkembangan yang ada dapat dikuasai, dimanfaatkan, dan
dikembangkan semaksimal mungkin. SDM yang berkualitas tinggi hanya dapat
diperoleh melalui pendidikan yang memadai. Oleh karena itu, dalam dunia
pendidikan perlu adanya perubahan, pembaharuan, dan perbaikan guna
meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.
Mutu pendidikan di Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus
terutama pada mata pelajaran matematika, mengingat matematika merupakan
salah satu ilmu yang mendasari perkembangan kemajuan sains dan teknologi,
sehingga matematika dipandang sebagai suatu ilmu yang terstruktur dan terpadu,
ilmu tentang pola dan hubungan, dan ilmu tentang cara berpikir untuk memahami
dunia sekitar.
Dalam proses pembelajaran matematika harus menekankan kepada siswa
sebagai insan yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang, dan siswa
terlibat aktif dalam pencarian dan pembentukan pengetahuan oleh diri mereka
sendiri. Melalui belajar matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk
dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah. Hal ini dapat
dilihat pada Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan SMP-MTs khususnya
dalam mata pelajaran matematika, disamping siswa memahami berbagai konsep
matematika juga siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta mempunyai kemampuan bekerja sama.
Kemampuan-kemapuan berpikir yang tercantum dalam SKL diharapkan menjadi
bekal siswa untuk mengahadapi kehidupannya di masa depan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun
2006 tentang standar isi untuk tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
menjelaskan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan yaitu: (1) memahamani konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasi konsep atau algoritma secara luwes,
akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan atau pernyataan
matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, diagram
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan
Proses pembelajaran matematika dikelas diharapkan dapat mencapai
tujuan pembelajaran seperti yang tercantum dalam standar isi. Untuk mencapai
kelima tujuan pembelajaran matematika tersebut bukan pekerjaan yang mudah.
Dalam implementasinya guru harus memiliki kemampuan yang profesional dan
kreatif.
Tujuan mata pelajaran matematika tersebut juga menunjukkan bahwa
salah satu peranan matematika adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan keadaan atau tantangan-tantangan di dalam kehidupan dan
di dunia yang selalu berkembang. Persiapan-persiapan itu dilakukan melalui
latihan membuat keputusan dan kesimpulan atas dasar pemikiran secara logis,
rasional, kritis, cermat, jujur, efisien dan efektif. Di samping itu, siswa diharapkan
dapat menggunakan matematika dan cara berpikir matematika dalam kehidupan
sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang
penekanannya pada penataan nalar dan pembentukan sikap percaya diri siswa
serta keterampilan dalam penerapan matematika.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan
matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi (1) tujuan yang bersifat
formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan
pribadi anak dan (2) tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada
penerapan matematika serta kemampuan memecahkan masalah matematika.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Sumarmo (2002) menyatakan bahwa hakekat
pendidikan matematika mempunyai dua arah pengembangan, yaitu
kebutuhan masa kini yang dimaksud adalah pembelajaran matematika mengarah
pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
matematika dan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
kebutuhan di masa yang akan datang adalah terbentuknya kemampuan nalar dan
logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka.
Hasil riset yang telah dilakukan baik nasional maupun internasional
menunjukkan bahwa penguasaan matematika siswa Indonesia masih jauh dari
ideal. Hal ini dapat terlihat dari standar nilai rerata kelulusan Ujian Nasional (UN)
yang dilaksanakan hingga tahun 2011 kurang dari 6 (enam), hasil TIMSS 2011
untuk siswa kelas VIII menempatkan Indonesia pada peringkat 36 dari 48 negara,
dan hasil PISA 2006 untuk siswa kelas VIII menempatkan Indonesia pada
peringkat 52 dari 57 negara. Fakta ini menunjukan bahwa baik dalam skala
nasional maupun internasional, prestasi matematika siswa khususnya dijenjang
SMP masih sangat rendah dan belum optimal.
Rendahnya hasil belajar matematika mengindikasikan adanya sesuatu yang
belum optimal dalam pembelajaran matematika di sekolah. Guru sebagai salah
satu pusat dalam proses pembelajaran di kelas masih memandang bahwa belajar
adalah suatu proses transfer ilmu pengetahuan (Transfer of Knowledge) dari
pengajar kepeserta didik. Hal ini akan membuat siswa menjadi pasif (Dahlan,
2004:6).
Selain itu Ruseffendi (2006: 328) juga menyatakan bahwa selama ini
dalam proses belajar mengajar di kelas, pada umumnya siswa dalam mempelajari
tentunya akan membuat siswa merasa ragu untuk mengeluarkan sesuatu yang
ingin ditanyakan terkait dengan materi pelajaran. Yang pada akhirnya akan
membuat tingkat kepercayaan diri siswa akan menurun. Dalam hal ini siswa akan
lebih banyak diam karena segala hal yang berhubungan dengan materi pelajaran
didapatkannya secara instan dari guru. Kamhari dan Sletenhaar (dalam Ansari
2003) menyatakan bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru akan
menempatkan siswa hanya sebagai penonton.
Hal tersebut diatas diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan salah
seorang guru matematika di SMPN 6 Kulisusu, yang mengungkapkan bahwa
model pembelajaran yang biasa diterapkan oleh guru dikelas adalah masih
menggunakan model pembelajaran konvensional. Model ini cenderung
meminimalkan keterlibatan siswa, sehingga guru lebih dominan dalam
pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran konvensional, guru hanya
menyampaikan materi secara langsung dan siswa bertanya ketika mengalami
kesulitan dalam memahami materi tersebut. Siswa kurang dikondisikan untuk
berbagi masalah dengan temannya dalam memahami materi pembelajaran. Siswa
juga kurang diupayakan untuk berusaha memahami sendiri konsep-konsep
matematika, akibatnya mereka sangat tergantung dan terpaku terhadap apa yang
telah disampaikan oleh guru. Misalnya, ketika siswa diberikan contoh soal lain
yang berbeda dengan contoh yang diajarkan oleh guru, maka sebagian besar siswa
akan mengalami kesulitan dalam memecahkannya. Dampak langsung dari model
pembelajaran konvensional adalah; (1) minat belajar siswa lemah, (2) siswa lebih
pengetahuan yang dimiliki bersifat sesaat. Untuk memenuhi hal tersebut,
diperlukan pendekatan pembelajaran yang bisa menjadi solusi dalam mengatasi
permasalahan diatas.
Salah satu pendekatan pembelajaran adalah pendekatan pembelajaran
matematika realistik (PMR), yang menggunakan permasalahan realistik sebagai
jembatan dalam membangun konsep matematika. Pembelajaran dengan
pendekatan PMR adalah suatu pendekatan yang dianggap dapat memenuhi ciri
belajar siswa aktif dan konstruktif, yang memungkinkan kemampuan matematis
siswa dapat berkembang secara optimal. Menurut Freudenthal (Wijaya, 2012)
matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi
yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi
konsep matematika.
Pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan PMR bertolak
dari masalah-masalah kontekstual, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah
kontekstual, menurut Treffers (Fauzan, 2008) proses ini disebut horizontal
matematisasi, setelah melalui simplifikasi dan formalisasi siswa akan menentukan
suatu algoritma dan konsep matematika. Proses menemukan algoritma dan konsep
matematika disebut vertikal matematisasi. Konteks yang digunakan diawal
pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi,
hasil eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan dan pengembangan
konsep melalui proses elaborasi yaitu meliputi horizontal matematisasi dan
vertikal matematisasi. Proses terakhir adalah konfirmasi yang ditujukan untuk
konfirmasi terjadi pada kegiatan komunikasi gagasan dalam kelompok dan
tanggapan pada waktu representasi kelompok. Dengan demikian pendekatan PMR
sejalan dengan kurikulum karena karateristik PMR sudah meliputi proses
eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.
Pendekatan PMR berpotensi untuk diterapkan, karena proses
pengembangan konsep-konsep dan ide-ide matematis berawal dari dunia nyata
dan pada akhirnya kita juga perlu merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam
matematika kembali kedunia nyata. Dengan kata lain, yang kita lakukan dalam
pendidikan matematika adalah mengambil sesuatu dari dunia nyata,
“mematematisasinya” kemudian membawa kembali kedunia nyata (Fauzan,
2008).
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) berpandangan bahwa matematika
sebagai aktivitas manusia, yang dikembangkan dengan tiga prinsip dasar, yaitu (a)
Guided Reinvention and Progressive Mathematization (Penemuan Terbimbing
dan Bermatematika secara Progresif); (b) Didactical Phenomenology (Penomena
Pembelajaran; dan (c) Self-developed Models (Pengembangan Model Mandiri)
serta memiliki lima karakteristik yaitu: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2)
menggunakan model, (3) menggunakan kontribusi siswa, (4) terjadinya interaksi
dalam proses pembelajaran, (5) menggunakan berbagai teori belajar yang relevan,
saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (Treffers, 1991;
Gravemeijer, 1994; Armanto, 2002; Darhim, 2004). Prinsip dan karakteristik
PMR tersebut sangat sesuai dengan tuntutan pembelajaran matematika di sekolah
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menghendaki
pembelajaran yang kontekstual.
Di samping itu juga pendekatan PMR menuntut pemecahan masalah yang
berfokus pada penyelesaian yang tidak tunggal (open-ended). Selanjutnya,
Gravemeijer (Majalah PMRI, 2007) mengutarakan bahwa ada empat tujuan
pendidikan matematika:(1) Untuk kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari
atau tempat kerja, (2) Sebagai prasyarat untuk studi lebih lanjut, (3) Nilai kultur,
yaitu sebagai hasil kebudayaan manusia, keindahan matematika, menghargai
peran matematika di masyarakat, dan berpikir secara matematika (logika).
Menurut Gravemeijer di banyak negara pembelajaran metematika hanya berfokus
pada tujuan kedua. Pendekatkan Matematika Realistik memperhatikan keempat
tujuan tersebut.
Pendekatan PMR dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir kritis
matematis dikemukakan oleh Somakim (2010) yakni aktivitas kemampuan
berpikir kritis dapat dimunculkan dalam hal menghadapi tantangan, hal-hal yang
baru, non rutin misalnya masalah kontekstual matematika. Kondisi-kondisi ini
dapat diperoleh dengan pendekatan PMR.
Pengembangan berpikir kritis matematis siswa sekolah menengah pertama
adalah amanah kurikulum matematika. Amanah tersebut tertulis dalam tujuan
mata pelajaran matematika maupun tuntutan pelajaran matematika kurilulum
matematika 2006. Adapun tujuan dan tuntutannya terkait dengan pengembangan
berpikir kritis matematis yang tercantum dalam kurikulum adalah mata pelajaran
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, kreatif, pemecahan masalah, dan generalisasi.
Lebih lanjut Somakim (2010) menyatakan bahwa pendekatan
pembelajaran PMR dapat membangun Self Efficacy pada diri siswa. Hal itu dapat
dilihat dari strategi belajar mengajar PMRI. Dengan memperhatikan empat
sumber Self-Efficacy dan tiga prinsip serta lima karakteristik PMRI, sangat
dimungkinkan bahwa pelajaran matematika melalui pendekatan PMRI dapat
membangun Self-Efficacy siswa. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah
guru dalam pelaksanaan pembelajaran haruslah mempersiapkan HLT
(Hypothetical Learning Trajectori) (Gravemeijer, 2000). Dalam proses
pembelajaran seorang guru harus mempersiapkan tujuan pembelajaran, konteks
dan model dan aktivitas siswa dalam belajar. Dari HLT tersebut setiap siswa atau
kelompok siswa akan mengembangkan sendiri aktivitas dan model of (bentuk
informal) sampai menghasilkan model for (bentuk formal). Selama kegiatan
pembelajaran guru akan berfungsi sebagai fasilitator dan moderator.
Pada karakteristik pertama dan kedua, guru berfungsi sebagai fasilitator
yaitu mempersiapkan kontekstual suatu materi matematika dan contoh model of
serta lembar kerja siswa. Selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk
menjelaskan pikiran dan pengertian atas hasil karyanya. Setiap bentuk atau hasil
karya atau produk siswa, guru harus memberikan penguatan berupa verbal atau
non verbal. Guru memberikan penguatan kepada siswa inilah wujud dari
munculnya Self-Efficacy siswa. Dengan terbentuk kepribadian yang mempunyai
integritas dan karakter bangsa yang dapat membangun bangsa Indonesia yang
lebih maju dan mandiri.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, nampak pentingnya
peningkatan kemampuan berpikir kritis dan tingkat Self Efficacy siswa dalam
pembelajaran matematika di SMP, karena hal ini sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir kritis dan
Self Efficay siswa yang tinggi, diharapkan berdampak pada pengembangan
mental dan kepribadian siswa serta meningkatnya hasil belajar matematika siswa.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang peneliti yakini dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan Self Efficay siswa adalah PMR. Karena itu, judul
penelitian ini adalah: ”Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self Efficacy
Siswa SMPN 6 Kulisusu melalui Pendekatan Matematika Realistik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas,
maka secara umum masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah pembelajaran
dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
matematis dan tingkat kepercayaan diri (Self Efficacy) pada siswa SMPN
Kulisusu?.
Secara lebih terperinci, permasalahan diatas dijabarkan sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang mendapatkan
pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan
2. Bagaiamana kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
setelah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan PMR?
3. Apakah peningkatan Self Efficacy siswa yang mendapatkan pembelajaran
PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran
konvensional?
4. Bagaiamana kualitas peningkatan kemampuan Self Efficacy siswa setelah
mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan PMR?
5. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kritis dan Self Efficacy?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
yang mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa
yang mendapatkan pembelajaran konvensioanal.
2. Untuk menganalisis kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa setelah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan
PMR.
3. Untuk menganalisis apakah peningkatan Self Efficacy siswa yang
mendapatkan pembelajaran PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional.
4. Untuk menganalisis kualitas peningkatan kemampuan Self Efficacy siswa
setelah mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan PMR.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan temuan-temuan yang memberikan
kontribusi yang positif bagi kualitas pembelajaran matematika dan memberikan
manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, antara lain:
1. Bagi siswa, pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran PMR diharapkan dapat melatih siswa untuk menylesaikan
masalah sehari-hari dengan proses berpikir kritis matematis dan bisa
meningkatkan kepercayaan dirinya dalam proses pembelajaran matematika.
2. Bagi guru, dapat menjadi alternatif pilihan bagi para guru matematika dalam
memilih pendekatan pembelajaran dalam pengajaran matematika.
3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan dan wawasan tentang alternatif
pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran
matematika, khususnya pendekatan PMR, dan juga dapat dikembangkan
penelitian lebih lanjut terkait kemampuan berpikir matematis.
E. Definisi Operasional
Variabel-variabel perlu diperjelas agar tidak menimbulkan perbedaan
penafsiran rumusan masalah dalam penelitian ini, oleh karena itu variabel-variabel
tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir matematis tingkat
tinggi yang meliputi: mengidentifikasi dan menjastifikasi konsep,
menggeneralisasi, menganalisis algoritma, dan memecahkan masalah.
membandingkan atau menghubungkan suatu konsep dengan konsep lain, dan
memberikan alasan terhadap penggunaan konsep. Menggeneralisasi adalah
kemampuan melengkapi data atau informasi yang mendukung dan
menentukan aturan umum berdasarkan data yang teramati. Menganalisis
algoritma adalah kemampuan mengevaluasi atau memeriksa suatu algoritma,
dan mengklarifikasi dasar konseptual yang digunakan dalam setiap langkah
pemecahan. Memecahkan masalah adalah kemampuan mengidentifikasi
unsur yang diketahui, ditanyakan, dan memeriksa kecukupan unsur yang
diperlukan dalam soal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya;
serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
2. Tingkat Kepercayaan Diri (Self Efficacy)
Self-Efficacy adalah kepercayaan diri terhadap: kemampuan
merepresentasikan dan menyelesaikan masalah matematika, cara
belajar/bekerja dalam memahami konsep dan menyelesaikan tugas, dan
kemampuan berkomunikasi matematika dengan teman sebaya dan pengajar
selama pembelajaran. Self-Efficacy dapat digali dari empat sumber, yaitu (1)
Pengalaman otentik (authentic mastery experiences), suatu indikator tentang
kemampuan berdasarkan pada kinerja dalam penilaian dan pelajaran pada
masa yang lalu. Kegagalan/keberhasilan pengalaman yang lalu Akan
menurunkan/meningkatkan Self-Efficacy seseorang untuk pengalaman yang
serupa kelak. (2) Pengalaman orang lain (vicarious experience), yang dengan
memperhatikan keberhasilan/kegagalan orang lain, seseorang dapat
tentang kemampuan dirinya sendiri berdasarkan kompetensi dan
berbandingan informasi dengan pencapaian orang lain. (3) Pendekatan sosial
atau verbal, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meyakini seseorang
bahwa ia memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, misal umpan balik
dari guru atau orang lain., (3) Indeks psikologis, di mana status fisik dan
emosi akan mempengaruhi kemampuan seseorang. Emosi yang tinggi, seperti
kecemasan akan matematika akan merubah kepercayaan diri seseorang
tentangkemampuannya.
3. Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
Pendekatan Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan
pem-belajaran matematika yang memiliki karakteristik: menggunakan masalah
kontekstual, menggunakan model, menggunakan kontribusi siswa, terjadinya
interaksi dalam proses pembelajaran, menggunakan berbagai teori belajar
yang relevan, saling terkait, dan terintegrasi dengan topik pembelajaran