• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarakat Penutur Bahasa Austronesia

Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Masyarakat Austronesia (BDS 3545) Semester 7 2016/2017

Dosen Pengampu : Ronnie Hatley

Dikerjakan Oleh :

Wastu Hari Prasetya (13/350211/SA/17083)

Tanggal Pengumpulan Tugas:

(2)

Relasi Sosial Antara Perahu dan Masyarakat Penutur Bahasa Austronesia

Pendahuluan

Proses perpindahan yang dilakukan masyarakat penutur bahasa Austronesia bisa dikatakan sebagai proses yang terstruktur. Anthony (1990) mengemukakan fitur utama migrasi jarak jauh yang dilakukan para penutur Austronesia adalah “lompat katak”. Terlebih dahulu terdapat komunitas yang akan bermigrasi mengirimkan tim pendahulu (advancescouts) yang bertugas sebagai pengumpul data mengenai kondisi sosial dan potensi sumber daya-sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk bertahan hidup. Kemudian tim pendahulu ini akan menyampaikan informasi tersebut kepada kelompok di daerah asal yang berpotensi akan melakukan migrasi. Tentu saja dapat dibayangkan dalam konteks masa itu proses penyampaian informasi antara tim pendahulu dan kelompok yang akan bermigrasi tidak secepat masa kini. Tim pendahulu membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun atau bahkan ratusan tahun untuk memastikan bahwa kondisi tempat yang cukup layak baru kemudian kembali ke daerah asal. Ini lah yang disebut sebagai migrasi balik (return migration).

Dibalik proses perpindahan atau migrasi yang begitu kompleks dan terstruktur, para penutur bahasa Austronesia tentu membutuhkan suatu media untuk berpindah-pindah dalam rangka mencari tempat yang ideal untuk tinggal setelah bermigrasi dari daerah asal. Media itulah yang kemudian disebut perahu. Menurut Blust-Bellwood, masyarakat penutur bahasa Austronesia berasal dari Taiwan yang kemudian bermigrasi ke Filipina lalu menyebar ke selatan yakni Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dari ketiga tempat di Nusantara itu kemudian bergerak hingga ke Australia dan Kepulauan Pasifik seperti Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. Perahu yang digunakan oleh penutur bahasa Austronesia telah memiliki teknologi yang kompleks seperti layar dan cadik. Terlebih kemampuan akan perahu dan navigasi mereka tentu sudah sangat mumpuni karena jika tidak memiliki kemampuan seperti yang disebut sebelumnya penutur bahasa Austronesia tidak akan bisa melakukan perpindahan ke tempat yang mereka tuju.

(3)

membentuk suatu sistem atau struktur sosial di dalam perahu tersebut. Lalu apakah struktur sosial dalam perahu masa kini masih sama dengan struktur sosial pada perahu Austronesia? Dan bagaimana relasi sosial tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat laut yang merupakan generasi penerus dari penutur Austronesia? Melalui tulisan ini akan dibahas tentang perahu sebagai budaya khas penutur Austronesia yang mampu membentuk suatu sistem sosial di masyarakat dan relasi yang tercipta antara perahu dengan masyarakat hingga mampu memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat penerus dari penutur Austronesia. Contoh yang diambil sebagai gambaran nyata adalah masyarakat di Kepulauan Kei di Maluku Tenggara dan Pulau Morotai di Maluku Utara sebagai salah satu wilayah yang menjadi tujuan migrasi para penutur Austronesia.

Pembahasan

Mengutip pernyataan dari Pierre Yves Manguin dalam karyanya “Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political System in Insular Southeast Asia” bahwa di dalam masyarakat-masyarakat Nusantara dapat ditemukan suatu relasi kompleks antara kapal, rumah dan kesatuan kelompok sosial. Kapal sering direpresentasikan sebagai rumah mereka. Di berbagai daerah di Indonesia terdapat berbagai macam pemaknaan kapal seperti di Bugis yang menganggap membuat perahu seperti membuat rumah. Di Sumba untuk upacara penyembuhan, kepala rumah disebut sebagai tuan kapal. Dalam masyarkaat Bajo tatanan kelompok sosial yang terdiri dari keluarga inti diibaratkan tinggal dan berlayar bersama dalam sebuah kapal. Lalu pemimpinnya disebut sebagai nakura yang berasal dari kata

nahkoda (bahasa Persia) yang berarti tuan kapal (Refo, 2015).

Di Sawu, Kepulauan Kei sebagaimana yang ditulis Manguin bahwa rumah-rumah memliki korelasi kongkret dengan kapal. Bagian-bagian rumah disebut seperti bagian-bagian kapal, seperti lunas, tiang kapal, dan layar. Dalam masyarakat tradisional Kei terdapat istilah kapal desa yang disebut belan yang mana istilah ini juga diwujudkan dalam bentuk nyata yang menggambarkan struktur desa. Belan merupakan perahu komunal yang digunakan untuk acara-acara khusus seperti perkawinan yang melibatkan dua desa dan untuk perang. Para pemimpin desa memiliki tempat-tempat khusus dalam perahu tersebut sekaligus representasi tempat-tmpat duduk para pemimpin desa dalam pertemuan di rumah adat.

(4)

Pelayaran pertama dari sebuah kapal diiringi dengan perasayaan yang melibatkan seluruh masyarakat desa. Dalam karya Cecile Barraud yang lain yakni “Tanebar Evav une societe de maisons tournee vers le large”, dituliskan bahwa dalam masyarakat Kei ada beberapa fungsi tradisional dalam struktur masyarakat yang memiliki kesamaan dengan struktur kerja di dalam kapal seperti malin ankod dan orang kaya.

Menurut Refo (2015) ungkapan malin ankod digambarkan sebagai kapitan atau nahkoda dari kapal layar. Ankod berasal dari kata nahkoda dan Malin terdiri dari kata ma

yang mengindikasikan gerakan dan lin yang berasal dari kata nablin berarti menjadikan tenang. Jika dimaknai secara utuh malin ankod merupakan kapitan kapal yang memahami cara menghadapi dan menghindari bada, mengarahkan kapal, dan memilih waktu yang tepat untuk sebuah pelayaran. Sementara itu pemaknaan malin ankod ketika di darat merupakan seorang kepala atau pemimpin yang bertanggung jawab atas masyarakatnya untuk selalu megupayakan hidup damai dan harus dibawa ke pelabuhan yang baik dalam artian menciptakan kemakmuran. Dengan dua konsep pemaknaan seperti itu maka dibuat dua fungsi jabatan malin ankod yakni malin ankod nangan (nahkoda di darat) dan malin ankod roa

(nahkoda di laut).

Malin ankod nangan atau disebut juga Tuan Tan (tuan tanah). Akan tetapi tuan tanah disini bukan dalam arti yang sering didengar dalam masyarakat pada umumnya yang merupakan pemilik tanah atau juragan tanah. Tuan Tan adalah pelindung yang melaksanakan semua fungsi dalam hubungan dengan tanah desa seperti penanggung jawab dalam pelaksanaan ritual, penengah dalam masalah tanah dan hal lain yang berhubungan dengan tanah desa. Tugas Tuan Tan seperti penjaga tanah dan warga desa. Dia akan memastikan panen berlimpah di setiap tahun, menentukan kekayaan desa dan memohon persetujuan kepada para leluhur desa. Posisi Tuan Tan dalam struktur desa sangat penting karena jika tidak ada Tuan Tan, desa tidak makmur karena tidak ada benih yang diberkahi oleh leluhur sehingga desa tidak mampu memanen hasil pertanian dan kemakmuran akan hilang dari desa. Sementara untuk malin ankod roa (nahkoda laut) disebut oleh masyarakat Kei sebagai

Ten Ya’an Ndir u atau Mar u, yang jika diterjemahkan berarti sulung dari para tetua yang berdiri di depan. Ndir u atau Mar u adalah nama juru haluan yang bertugas mengamati karang-karang. Posisi ini sangat penting untuk menghindari kapal dari kerusakan akibat menabrak karang. Ndir u selain sebagai juru haluan juga sebagai kapten atau nahkoda yang menentukan dan mengarahkan arah kapal.

(5)

Melayu tersebut tidak memiliki persamaan dalam bahasa lokal Kei. Dalam cerita di masyarakat Kepulauan Kei, Orang Kaya merupakan kelompok-kelompok pendatang paling akhir di Kepeulauan Kei. Mereka kemudian bercampur dengan masyarakat yang telah terlebih dahulu tiba di Kei dan membentuk suatu sistem sosial. Setelah ada Tuan Tan yang mengurus internal desa dan Ndir u yan mengurus wilayah perairan, maka tugas dari Orang Kaya adalah sebagai penghubung dengan dunia luar atau pengurus eksternal. Hal ini dikarenakan Orang Kaya merupakan pendatang yang awalnya bertujuan untuk berdagang dan memiliki koneksi atau jaringan perdagangan yang luas di luar Kepulauan Kei. Jadi sangat pas jika Orang Kaya dijadikan perantara antara desa dan dunia luar.

Selain relasi berupa struktur pemerintahan desa, relasi antara manusia dan perahu dalam masyarakat Kei terepresentasi dalam ritual-ritual tradisional yaitu ritual perkawinan dan kematian. Ritual perkawinan dianggap masyarakat Kei sebagai sebuah perpisahan. Seorang perempuan harus meninggalkan rumah, desa bahkan pulaunya ketika sudah menikah. Mereka tidak akan selamanya menggunakan nama (fam) dari ayahnya karena ketika menikah mereka akan menjadi bagian dari rumah atau kapal suaminya. Ketika akan menikah pihak pria akan memberikan mas kawin berupa meriam yang dianggap lunas perahu untuk mengganti tubuh1 perempuan sebagai pertukaran perkawinan. Hal ini memunculkan ide bahwa perempuan yang dianggap sebagai inti dari perahu keluarga yang telah pergi karena perkawinan harus diganti dengan meriam yang dianggap sebagai lunas perahu atau ibu perahu agar perahu keluarga yang ditinggalkan bisa tetap berlayar.

Dalam ritual kematian, masyarakat tradisional Kei menggambarkan peti mati sebagai sebuah perahu. Maka dari itu keluarga harus membuat sebuah peti (perahu) yang kuat dan baik untuk anggota keluarga yang meninggal agar dia bisas selamat dalam pelayarannya di dunia yang tak terlihat atau dunia roh. Gambaran tersebut memunculkan gagasan bahwa kematian diibaratkan sebuah pelayaran, dan rumah yang berduka (rumah dari ibu dan nenek yang meninggal) mempersiapkan sebuah peti (perahu) untuk perjalanan almarhum.

***

(6)

Pemaknaan perahu dalam masyarakat di Pulau Morotai yang juga menjadi daerah tujuan migrasi Austronesia di Halmahera Utara selain memiliki persamaan juga memiliki perbedaan dengan di Kepulauan Kei. Masyarakat Pulau Morotai membagi jenis kapal ke dalam tiga jenis yakni fonae (bahasa Ternate) untuk kapal berukuran besar dan berfungsi untuk memancing, bodi yang berukuran sedang untuk tranportasi antar-jemput dan angkutan barang, serta katinting perahu bercadik berukuran kecil dan digunakan untuk memancing solo. Dari ketiga perahu tersebut tercipta sebuah sistem sosial yang sesuai dengan masing-masing perahu.

Perahu fonae biasanya dimiliki oleh sebuah keluarga besar dalam satu nama fam yang sama. Seluruh awak kapal biasanya juga terdiri dari anggota keluarga besar. Namun terkadang juga awak kapal bisa dari fam yang berada dalam satu desa. Kapten atau nahkoda kapal harus berasal dari pemilik kapal atau fonae. Struktur kerja dalam fonae terdiri dari nahkoda, juru haluan, dan juru tangkap. Jumlahnya paling sedikit empat orang dan paling banyak bisa lebih dari 10 orang. Struktur dalam fonae tidak mempengaruhi struktur pemerintahan di desa.

Sementara untuk perahu bodi kurang lebihnya mirip seperti fonae yang dimiliki oleh sebuah keluarga besar dalam satu fam. Bedayanya dalam bodi pembagian kerjanya tidak sekompleks fonae. Pada bodi hanya ada nahkoda dan navigator untuk mengarahkan kapal agar tidak mengahantam karang. Kapten kapal harus sesuai dengan pemiliknya. Jumlah kru kapal tidak lebih dari lima orang. Lain halnya dengan kantinting yang berukuran paling kecil. Fungsinya hanya untuk memancing perorangan dengan sasaran tangkapan yang berukuran kecil-sedang. Kru perahu paling banyak hanya dua orang. Kantinting biasanya dimiliki oleh masing-masing keluarga. Kru kapal hanya terdiri dari anggota keluaga pemilik katinting.

(7)

masyarakat Pulau Morotai tidak menganjurkan perempuan untuk melaut. Perempuan seperti konsep dasar manusia hanya menunggu di rumah sampai kelompok laki-laki kembali dari melaut. Baru setelah sampai di darat perempuan mengambil alih tugas untuk mengolah hasil laut yang dibawa oleh kelompok laki-laki.

Penutup

Keberadaan perahu dalam proses migrasi para penutur Austronesia menjadi unsur budaya yang tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan budaya Austronesia di Kepulauan Indonesia. Perahu yang terus eksis hingga saaat ini pasti memiliki sebuah relasi dengan masyarakat sebagai penggunanya. Berangkat dari relasi sosial dalam pembagian kerja di dalam perahu, kemudian beberapa kelompok masyarakat yang menjadi penerus generasi Austronesia memaknai perahu dalam kehidupan keseharian mereka. Contohnya di Kepulauan Kei dimana masyarakatnya memaknai perahu sebagai seorang perempuan yang terdiri dari beberapa anggota tubuh. Selain itu masyarakat Kei juga membuat gagasan relasi antara kapal dengan struktur pemerintahan desa yang terdiri dari malin ankod nangan (mengurus internal desa wilayah daratan), malin ankod roa (mengurus wilayah perairan), dan orang kaya

(mengurus eksternal desa dan penghubung dengan dunia luar). Relasi lain yang dimiliki orang Kei terhadap kapal dalam hal ritua perkawinan dan kematian. Ketika akan menikah pihak laki-laki harus memberi meriam sebagi mas kawin untk menggantikan perempuan yang dianggap lunas kapal di perahu (rumah) keluarganya. Sementara untuk ritual kematian, masyarakat Kei memaknai bahwa peti mati sama dengan perahu yang akan mengantar yang meninggal mengarungi pelayaran di dunia roh.

(8)

berbeda. Di satu sisi sangat menjunjung tinggi nilai simbolis dan filosofis dalam membentuk relasi sosial antara perahu dan masyarakat. Namun di sisi lain mengedepankan konsep dasar dari manusia yang memaknai perahu sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Referensi

Barraud, Cecile. 1995. Le Bateu Dans la Societe ou la Societe en Bateu?. Dans L’Anthropolgie Maritime, Cahier No.5.

____________. 1979. Tanebar-Evav. Une Societe de maisons tournee vers le large. Cambridge-Unversity Press: Paris.

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Gramedia Pustaka Utama: Indonesia.

Manguin, Pierre-Yves. 1986. Shipshape Societies: Boat Symbolism and Political Systems in Insular South-East Asia pp.187-213. Institute of Southeast Asian Studies: Singapore.

Refo, Ignasius. 2015. Dari Kapal Menuju Masyarakat. Diakses dari

http://ignasiusrefo.blogspot.co.id/2015/10/dari-kapal-menuju-masyarakat-nenek.html

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat ketentuan NBD yang sementara ini mengacu kepada ICRP 26 (DEST/tahun sebesar 50 mSv) dan akan berubah acuannya berdasarkan ICRP 60 (DEST/tahun sebesar

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya

Pengembangan Alternatif Teknologi Bioproses Pembuatan Bioetanol Dari Ubi Kayu Menggunakan Trichoderma viride, Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae.. Dibimbing oleh

Social networking site – site on which you post information about yourself, create a network of friends, read about other people, share content such as photos and videos,

Pembimbing : (I) Siti Khusnul Khotimah (II) Elga Ahmad Prayoga Kata kunci : emansipasi, feminisme, jender, paralelisme horisontal. Feminisme dapat dikatakan sebagai gerakan

Program ini bertujuan untuk menjaring potensi berwirausaha di kalangan mahasiswa IPB untuk dikembangkan menjadi wirausaha yang sukses dengan memberikan bantuan

Hambatan yang dihadapi seorang penyidik dalam memberikan bantuan hukum cuma–cuma selama ini antara lain datang dari klien sendiri yaitu apabila tersangka atau keluarga

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Perawatan Pencegahan ( Preventive Maintenance ) Alat Berat Big Bulldozer yang mencakup persyaratan dan ruang