• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas IV PERWIL Identifikasi permasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas IV PERWIL Identifikasi permasa"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS IV – PERENCANAAN WILAYAH IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN KULONPROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH :

BAYU ARIFIANTO MUHAMMAD 3612100052

RENNY RATNA DEWI 3612100054

KURNIAWAN DWI WIJAYA 3612100055

DOSEN PEMBIMBING : EMA UMILIA, ST., MT

KETUT DEWI MARTHA ERLI HANDAYENI, ST., MT.

(2)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang membahas tentang identifikasi permasalahan

perencanaan wilayah dengan judul “Identifikasi permasalahan pengembangan wilayah kawasan agropolitan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan

lancar.

Selama proses penulisan penulis banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak lain

sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian paper ini yaitu:

1. Ibu Ema Umilia, ST., MT dan Ibu Ketut Dewi Martha Erli Handayeni, ST., MT.

selaku dosen mata kuliah perencanaan wilayah.

2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi,

3. Teman-teman yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan paper ini.

Sekian, semoga paper ini dapat bermanfaat secara luas. Penulis menyadari bahwa paper

ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan.

Surabaya, 25 Mei 2015

(3)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 1

1.4 Sistematika Penulisan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Pengertian Dikotomi Desa – Kota ... 3

2.2 Pengertian Kawasan Agropolitan ... 6

2.4 Analisis SWOT ... 9

BAB III GAMBARAN UMUM... 10

3.1 Gambaran Umum Wilayah ... 10

3.2 Potensi Pembangunan Wilayah ... 10

3.2.1 Potensi Komoditas Unggulan ... 10

3.2.2 Potensi Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan ... 11

3.2.3 Potensi Sumber Daya Manusia ... 12

3.2.4 Potensi Struktur Tenaga Kerja ... 13

3.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah ... 13

BAB IV ANALISIS ... 14

BAB V PENUTUP ... 16

5.1 Kesimpulan ... 16

5.2 Lesson Learned ... 16

(4)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Keterkaitan Desa - Kota ... 5 Tabel 2 Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan Padi, Melon, dan Ketela Pohon ...11 Tabel 3 Jumlah Penduduk Kawasan Agropolitan Fase II dan Kab. Kulonprogo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012 ...12 Tabel 4 Struktur Ketenagakerjaan Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo Tahun 2009-2012 ...13 Tabel 5 Pengelompokan hasil SWOT ...15

DAFTAR GAMBAR

(5)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Salah satu konsep perencanaan pengembangan wilayah yang cukup populer pada beberapa dekade di negara-negara berkembang dan agraris seperti Indonesia, adalah konsep pengembangan agropolitan. Friedmann dan Douglass (1975) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Kawasan perdesaan di Kabupaten Kulonprogo masih didominasi oleh aktivitas pertanian karena memang sektor ini masih menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Pada akhirnya di Kabupaten Kulonprogo ditetapkan dua kawasan potensi pertanian menjadi kawasan agropolitan, yaitu Kawasan Agropolitan Fase I (Kecamatan Kalibawang, Samigaluh dan Nanggulan) dan Kawasan Agropolitan Fase II (Kecamatan Temon, Wates dan Kokap).

Semenjak ditetapkannya kawasan ini sebagai agropolitan pada tahun 2010, pemerintah daerah belum secara signifikan memberikan dorongan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis dari hulu sampai hilir. Minimnya daya dukung tersebut menyebabkan lemahnya peran kawasan agropolitan Fase II terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kulonprogo, serta lemahnya peran sentra-sentra industri pertanian pada kawasan agropolitan yang belum memberikan trickle-down effect terhadap sektor-sektor di bawahnya terutama pada hulu dan hilirnya sistem agropolitan.

Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi terhadap faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya peran serta kawasan agropolitan ini, sehingga nantinya dapat disusun beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengatasi persoalan pengembangan wilayah di Kabupaten Kulonprogo.

1.2 Rumusan Masalah

Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan sejak tahun 2010 yang lalu. Namun, pemerintah daerah belum secara signifikan memberikan dorongan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis dari hulu sampai hilir. Minimnya daya dukung tersebut menyebabkan lemahnya peran kawasan agropolitan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kulonprogo, serta lemahnya peran serta sentra-sentra industry pertanian pada kawasan agropolitan yang belum memberikan trickle-down effect terhadap sektor-sektor di bawahnya terutama pada hulu dan hilirnya sistem agropolitan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan

dalam penulisan makalah ini yaitu “Apakah faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya peran kawasan agropolitan di Kabupaten Kulonprogo?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

(6)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

2 pengembangan wilayah. Sedangkan manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah ini

yaitu :

1. Mampu mereview beberapa referensi yang terkait dengan faktor penyebab timbulnya persoalan pembangunan wilayah, dampak dan implikasinya, serta upaya dan rekomendasi penanganan persoalan pembangunan wilayah

2. Mampu mengidentifikasi faktor penyebab timbulnya persoalan pengembangan wilayah dan mampu menilai dampak / implikasi persoalan pengembangan wilayah

3. Mampu menyusun upaya dan rekomendasi untuk mengatasi persoalan pembangunan wilayah

4. Mampu menyusun lesson learned terkait dengan upaya untuk mengatasi persoalan pembangunan wilayah yang telah dirumuskan

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tentang kajian terhadap referensi-referensi yang terkait dengan persoalan pembangunan wilayah

BAB III GAMBARAN UMUM

Berisi tentang gambaran umum kasus yang terjadi dalam pengembangan wilayah serta potensi dan permasalahan yang terjadi

BAB IV ANALISA

Berisi tentang analisis mengenai persoalan yang terjadi dalam pengembangan wilayah sehingga kemudian dapat disusun konsep penanganan persoalan pengembangan wilayah

BAB V PENUTUP

(7)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dikotomi Desa – Kota

Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya kreasi pencerahan yang dilaksanakan secara terencana dan sistematis serta dilakukan oleh segenap aktor dalam suatu negara untuk mencapai suatu kehidupan masyarakat yang dipandang lebih baik. Menurut Amartya (1999), pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi juga saling mendukung.

Pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) yang selama ini diterapkan negara-negara berkembang termasuk negara-negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan yang cukup signifikan. Disamping berbagai prestasi yang berhasil diraih, tercatat pula sejumlah potret kelam yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi di atas. Semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, beban hutang luar negeri, dan berbagai ketimpangan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan itu sendiri. Orientasi pertumbuhan hanya mendorong perkembangan usaha dan industri skala besar, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha menengah-besar (UMB). Tidak ketinggalan pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan ternyata telah menumbuhkan ego sektoral yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral.

Sejalan dengan berbagai permasalahan tersebut, terdapat persoalan yang sebetulnya memerlukan penanganan serius dan sangat penting, yakni adanya kesenjangan antar desa-kota (khususnya antara sektor pertanian dan industri) serta kesenjangan antar daerah. Kesenjangan desa-kota yang selama ini terjadi merupakan salah satu hambatan bagi suatu daerah untuk ikut terjun ke dalam mainstream economy. Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1. Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjangan pendapatan antara rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan;

2. Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik) ;

3. Potensi regional (SDA, SDM, Dana, Lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerah-daerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar ; dan

(8)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

4 mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli

(Bintoro, 2002).

Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pertumbuhan (growth), turut pula memperparah ketimpangan wilayah khususnya antara desa-kota. Investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) mayoritas diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.

Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas, Bab IX Pembangunan Daerah dengan tegas menyebutkan : sebagian besar masyarakat perdesaan saat ini masih berada pada pola kehidupan dan budaya perdesaan yang mengandalkan sumber kehidupan dari pertanian subsisten atau buruh tani yang pendapatannya tidak pasti dan rendah. Disamping itu, kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan relatif tertinggal dibanding daerah perkotaan yang disebabkan oleh lapangan kerja dan kegiatan usaha yang tidak kompetitif dan tidak memberikan pendapatan masyarakat yang layak, kondisi pelayanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana permukinan, adanya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh kelompok pengusaha besar, serta peraturan-peraturan yang menghambat.

Desa dan Perdesaan

Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village, dan sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut S. Wojowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di

desa” dan perkotaan (urban) diartikan “seperti kota atau seperti di kota”. Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa.

Menurut Roucek & Warren (1962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. peranan kelompok primer sangat besar;

2. faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; 3. hubungan lebih bersifat intim dan awet;

4. struktur masyarakat bersifat homogen; 5. tingkat mobilitas sosial rendah;

(9)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

5 Pitinn A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T. L. Smith & P.E. Zop, 1970)

mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial.

Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.

Isu dan Konsep

Desa dan kota mempunyai peran yang sama-sama penting dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik, hubungan keterkaitan (ekonomi) antara desa dan kota dapat tercapai. Pentingnya keterkaitan desa-kota ini dalam jaringan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dikemukakan oleh Mike Douglass (1998) melalui konsep Agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota dalam wilayah tersebut. Fungsi kota lebih dititik beratkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru yang memiliki fungsi sebagai unit pengembangan.

Isu tentang keterkaitan desa-kota sudah lama mendapat perhatian kalangan analis pembangunan. Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris akan ketidakterpisahannya keterkaitan antara desa dan kota yang juga mencakup masalah urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai level, baik antara desa dan kota itu sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar, antar desa, dan antar kota yang merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Keterkaitan antara desa-kota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola keterkaitan yang terbangun, interaksi antara desa-kota bersifat saling menguntungkan dalam suatu iklim simbiosis mutualisme (Lo & Salih, 1978). Keterkaitan-keterkaitan tersebut digambarkan oleh Mike Douglass (1998) sebagaimana yang terdapat pada pada tabel dibawah.

Tabel 1 Keterkaitan Desa - Kota

Fungsi Kota Interdependensi Fungsi Desa

Pusat transportasi & perdagangan pertanian Produksi & produktivitas

pertanian.

Pelayanan pendukung pertanian (semakin

(10)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

6

- Jasa pemeliharaan/perbaikan

- Kredit produksi

- Informasi tentang metode produksi (inovasi)

- Pendidikan dan kapasitas

untuk menerima inovasi

Pasar konsumen non-pertanian (semakin

kompleks):

- Produksi pertanian olahan

- Pelayanan privat

- Pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan

administrasi)

Peningkatan pendapatan

pedesaan akan menambah

permintaan (daya beli dan pilihan konsumen):

- Untuk barang2 non-pertanian

- Jasa/pelayanan

Industri berbasis pertanian

(mempertahankan/mengembalikan bagian

terbesar nilai tambah di suatu daerah)

Produksi pertanian dan

diversifikasi pertanian

Pekerja non-pertanian (meningkat bersamaan dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan di desa)

Melibatkan semua fungsi di atas

Sumber: old.bappenas.go.id

2.2 Pengertian Kawasan Agropolitan

Friedmann dan Douglass (1975) menawarkan konsep agropolitan sebagai solusi atas terjadinya pembangunan yang tidak berimbang antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Desa dan kota mempunyai peran yang sama dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika peran kota dan desa tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, Rustiadi (2006) menjelaskan bahwa agribisnis merupakan bisnis yang berbasis usaha pertanian yang mengedepankan kekuatan pasar (market driven) yang terdiri atas sub sistem hulu, sub sistem usaha tani, sub sistem hilir dan sub sistem penunjang. masyarakat desa (kesejahteraan masyarakat), pengurangan pengangguran masyarakat desa, penyediaan lapangan kerja di perdesaan, pengurangan kemiskinan masyarakat desa, dan pengurangan kesenjangan antar wilayah.

Kunci keberhasilan pembangunan agropolitan adalah memberlakukan setiap distrik agropolitan

sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri tetapi terintegrasi secara sinergik dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya. Secara spasial penerapan konsep agropolitan sebagai pilihan alternatif dari terjadinya kegagalan pembangunan industri masa lalu, dihadapkan kepada beberapa persyaratan (Harun, 2004, hlm. 3), yaitu:

 Dilibatkannya ratusan hingga jutaan petani perdesaan bersama-sama pengembangan kota-kota pusat pertanian;

 Tidak ada pilihan lain selain berjalannya secara simultan keterlibatan setiap instansi sektoral di perdesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroindustri;

 Tercapainya keserasian, kesesuaian dan keseimbangan antara pengembangan komoditas unggulan dengan struktur dan skala ruang yang dibutuhkan;

(11)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

7  Realisasi dari pengembangan otonomi daerah untuk mengelola kawasan pertanian

secara mandiri termasuk kewenangan untuk mempertahankan keuntungan komparatif bagi penjaminan pengembangan kawasan pertanian;

 Dalam kondisi “infant-agroindustry” diperlukan adanya kemudahan-kemudahan dan proteksi terhadap jenis komoditas yang dihasilkan baik di pasar nasional maupun luar negeri;

Di Indonesia, agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Kementerian Pertanian, 2002, hlm. 5). Tujuan dari pengembangan kawasan agropolitan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di kawasan agropolitan. Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Kawasan agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan, yaitu satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis.

Pendekatan pembangunan kawasan agropolitan menggunakan pendekatan pembangunan sistem agribisnis. Sistem agribisnis ini mencakup 6 sub sistem (Sutawi, 2002, hlm. 12-13), yaitu :

1) Sub sistem agribisnis hulu (up stream agribusiness), yakni industri-industri yang menghasilkan

2) barang-barang modal bagi pertanian;

3) Sub sistem usaha tani (on farm agribusiness), yaitu kegiatan yang menggunakan barang-barang modal dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas primer; 4) Sub sistem pengolahan (down stream agrobusiness), yaitu industri yang mengolah

komoditas primer menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir; 5) Sub sistem pemasaran, yaitu kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran

komoditas pertanian baik segar maupun olahan di dalam dan luar negeri;

(12)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

8 Soenarno (2003), mendefinisikan daerah agropolitan sebagai sistem fungsional pada

desa-desa, yang ditujukan dengan keberadaan hirarki ruang diperdesaan, pusat agropolitan dan desa-desa disekitarnya yang membentuk daerah agropolitan.

(13)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

9

2.4 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah suatu bentuk analisis di dalam manajemen perusahaan atau di dalam organisasi yang secara sistematis dapat membantu dalam usaha penyusunan suatu rencana yang matang untuk mencapai tujuan, baik itu tujuan jangka panjang maupun jangka pendek. Analisa SWOT ini semata-mata sebagai suatu sebuah analisa yang ditujukan untuk menggambarkan situasi yang dihadapi. SWOT merupakan singkatan dari

1. S = Strength, yaitu analisis kekuatan ataupun kondisi yang merupakan kekuatan dari suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini. Yang perlu di lakukan di dalam analisis ini adalah setiap perusahaan atau organisasi perlu menilai kekuatan-kekuatan dan kelemahan di bandingkan dengan para pesaingnya.

2. W = Weakness, yaitu analisi kelemahan, situasi ataupun kondisi yang merupakan kelemahan dari suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini. Merupakan cara menganalisis kelemahan di dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi yang menjadi kendala yang serius dalam kemajuan suatu perusahaan atau organisasi. 3. = Opportunity, yaitu analisis peluang, situasi atau kondisi yang merupakan peluang

diluar suatu organisasi atau perusahaan dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi dimasa depan. Cara ini adalah untuk mencari peluang ataupun terobosan yang memungkinkan suatu perusahaan ataupun organisasi bisa berkembang di masa yang akan depan atau masa yang akan datang.

4. T = Threat, yaitu analisis ancaman, cara menganalisis tantangan atau ancaman yang harus dihadapi oleh suatu perusahaan ataupun organisasi untuk menghadapi berbagai macam faktor lingkungan yang tidak menguntungkan pada suatu perusahaan atau organisasi yang menyebabkan kemunduran.

(14)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

10

BAB III

GAMBARAN UMUM

3.1 Gambaran Umum Wilayah

Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten/kota di Propinsi D.I. Yogyakarta yang terletak paling barat, dengan batas wilayah sebagai berikut:

 Barat : Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah

 Timur : Kabupaten Sleman dan Bantul, Propinsi D.I. Yogyakarta

 Utara : Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah

 Selatan : Samudera Hindia

Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan suatu wilayah yang tertinggal, hal ini terlihat dari sarana prasarana dan jasa-jasa lingkungan belum dapat dimanfaatkan secara optimal jika dibandingkan dengan Kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Kulonprogo merupakan Wilayah yang sangat potensial dikembangkan dikarenakan memiliki berbagai jenis sumberdaya alam serta didukung oleh keberadaan aktivitas ekonomi yang menempati ruang wilayahnya. Jenis aktivitas ekonomi yang ada saat ini terdiri atas aktivitas pertanian, aktivitas industri dan aktivitas pertambangan.

Kabupaten Kulonprogo yang terletak antara Bukit Menoreh dan Samudera Hindia dilalui Sungai Progo di sebelah timur dan Sungai Bogowonto dan Sungai Glagah di Bagian barat dan tengah. Keberadaan sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun di wilayah Kabupaten Kulonprogo tersebut membantu dalam menjaga kondisi permukaan air tanah. Keberadaan Waduk Sermo di Kecamatan Kokap didukung dengan keberadaan jaringan irigasi yang menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan, menunjukkan keseriusan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk meningkatkan produksi pertanian dan perikanan di wilayah Kabupaten Kulonprogo.

3.2 Potensi Pembangunan Wilayah 3.2.1 Potensi Komoditas Unggulan

(15)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

11 Gambar 1 Sebaran dan Produksi Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Fase II

Kabupaten Kulonprogo merupakan Wilayah yang sangat potensial dikembangkan dikarenakan memiliki berbagai jenis sumberdaya alam serta didukung oleh keberadaan aktivitas ekonomi yang menempati ruang wilayahnya. Jenis aktivitas ekonomi yang potensial saat ini terdiri atas aktivitas pertanian, aktivitas industri dan aktivitas pertambangan. Adapun beberapa potensi yang dimiliki oleh Kawasan Agropolitan Fase II dalam mengembangkan wilayahnya sebagai kawasan agropolitan yaitu :

3.2.2 Potensi Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan

Adapun jaringan pemasaran komoditas unggulan merupakan gambaran permintaan konsumen terhadap hasil produksi pertanian di kawasan ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2 Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan Padi, Melon, dan Ketela Pohon

Komoditas Unggulan Lokasi Permintaan

Padi Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar

Kramatjati-Jakarta, Purworejo, Surakarta, Semarang.

Melon Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar

Kramatjati-Jakarta

Ketela Pohon Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar

Kramatjati-Jakarta, Semarang Sumber: Dinas Pertanian Kab. Kulonprogo, Dinas Pertanian Prov. DIY, 2013

(16)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

12 maupun Kawasan Sentral Agropolitan (KSA), maka dari itu, perlu adanya dukungan dari

pihak pemerintah selaku pemangku jabatan dan pemilik kekuasaan.

3.2.3 Potensi Sumber Daya Manusia

Pada tahun 2012, kawasan Agropolitan II ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 99.932 jiwa atau sekitar 25,69% dari jumlah penduduk Kabupaten Kulonprogo. Besarnya proporsi tingkat pendidikan dari jumlah penduduk tersebut cukup mempengaruhi produktivitas masyarakat dalam pengelolaan kawasan agropolitan ini. Untuk jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3 Jumlah Penduduk Kawasan Agropolitan Fase II dan Kab. Kulonprogo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kulonprogo, 2013

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa penduduk yang mengenyam pendidikan SLTA merupakan yang terbanyak diantara yang lainnya dengan jumlah 51.071 orang atau sekitar 51% dari jumlah seluruh penduduk yang ada. Untuk pendidikn dengan tingkat kesarjanaan dari jenjang strata 1 sampai strata 3 masih tergolong sangat minim dengan jumlah 6.761 orang atau sekitar 6% dari jumlah penduduk yang ada dengan asal daerah tertinggi di Kecamatan Wates atau pusat kota. Selebihnya tingkat SLTP sebanyak 2.4.548 orang (24%), kemudian sisanya adalah jenjang terendah yaitu SD ke bawah sebanyak 13.310 orang (13%). Dari hasil ini dapat diketahui bahwa masih minimnya pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat Kawasan Agropolitan Fase II ini, maka dari itu perlu adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten ini, untuk meningkatkan hasil produktivitas di komoditas unggulan.

(17)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

13

3.2.4 Potensi Struktur Tenaga Kerja

Semakin besar populasi penduduk yang menggantungkan ekonominya pada sektor pertanian, maka semankin besar pula suatu wilayah dikembangkan menjadi kawasan agropolitan. Berikut ini dapat kita lihat trend mata pencaharian masyarakat di Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo :

Tabel 4 Struktur Ketenagakerjaan Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo Tahun 2009-2012

sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kulonprogo, 2013

Trend ketenagakerjaan di atas memperlihatkan bahwa semua sektor kegiatan utama mata pencaharian masyarakat di Kawasan Agropolitan Fase II ini selalu mengalami peningkatan walaupun belum terlalu signifikan. Dimulai dari sektor kegiatan utama pertanian yang sampai saat ini masih mendominasi sebagai mata pencaharian utama masyarakat Kawasan Agropolitan Fase II dengan 20.155 orang atau sekitar 63,74%, dan setiap tahunnya terus meningkat.

3.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah

Lemahnya peran kawasan agropolitan Fase II terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kulonprogo, serta lemahnya peran sentra-sentra industri pertanian pada kawasan agropolitan disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis hulu-hilir seperti bahan baku, alat mesin pertanian, irigasi, pemasaran, dan kondisi jalan. Beberapa permasalahan tersebut menjadi hambatan utama bagi petani dalam peningkatan produktivitas serta daya beli petani.

(18)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

14

BAB IV

ANALISIS

Berikut ini merupakan tabel SWOT atau hal – hal yang menjadi kekuatan, le;emahan, peluang, dan juga ancaman terkait pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 2 Bagan Analisis SWOT Sumber: analisis penulis, 2015

Selanjutnya dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut dikelompokkan

sesuai tabel di bawah ini :

Strength

1) Mayoritas penduduk bermata

pencahariaan di sektor

pertanian.

2) Produktivitas pada sektor

pertanian tergolong tinggi. 3) Tersedianya lahan yang cukup

untuk pertanian. Opportunity

1) Komoditas utama pada sektor

pertanian (Padi, Melon,

Ketela).

2) Terbukanya kesempatan

kerjasama dengan pihak

pemerintah/swasta dalam

pemenuhan sarpras dan

pengembangan sub sistem

agribisnis.

3) Mayoritas populasi masih

bergantung pada pertanian, dapat dibina untuk konsep agropolitan

Weakness

1) Kualitas pendidikan masyarakat

masih rendah, dengan

mayoritas lulusan SLTA

2) Kurangnya peran pemerintah

dalam persebaran jaringan

pemasaran.

3) Kurangnya peran pemerintah dalam peningkatan kualitas pendidikan masyarakat.

4) Ketersediaan sarana dan

prasarana yang kurang

menunjang pada sektor hulu hilir.

Threat

1) Adanya pengaruh globalisasi

termasuk dalam sektor

pertanian.

2) Kemajuan teknologi dalam

peningkatan produktivitas

sektor pertanian.

(19)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

15

Tabel 5 Pengelompokan hasil SWOT

Perumusan Strategi

Utama

INTERNAL KEKUATAN (S)

1)Mayoritas penduduk bermata pencahariaan di sektor pertanian.

2)Produktivitas pada sektor pertanian tergolong tinggi. 3)Tersedianya lahan yang cukup

untuk pertanian.

KELEMAHAN (W)

1)Kualitas pendidikan masyarakat masih rendah, dengan mayoritas lulusan SLTA

2)Kurangnya peran pemerintah dalam persebaran jaringan pemasaran. 3)Kurangnya peran pemerintah dalam

peningkatan kualitas pendidikan masyarakat.

4)Ketersediaan sarana dan prasarana yang kurang menunjang pada sektor hulu hilir. sektor pertanian (Padi, Melon, Ketela).

2)Terbukanya kesempatan kerjasama dengan pihak pemerintah/swasta dalam pemenuhan sarpras dan pengembangan sub sistem agribisnis.

3)Mayoritas populasi masih bergantung pada pertanian, dapat dibina untuk konsep agropolitan

1.S1-O1 : komoditas utama pada sektor pertanian dapat dipertahankan sebagai matapencahariaan utama dan diperluas jangkauan kawasannya.

2.S2,S3-O2,O3 : penerapan konsep agropolitan yang ditunjang dengan adnaya agribisnis dapat dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan pihak swasta.

1. W1,W3-O2 : pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam hal peningkatan kualitas SDM yang dapat menunjang tingkat produktivitas dengan melakukan pembangunan saraan pendidikan.

2. W2,W4-O2,O3 : penerapan konsep agroplitan dapat didukung dengan jumlah SDM pada bidang pertanian yang tinggi dan dengan kerjasama pemerintah swasta dapat meningkatkan sarana prasarana di sektor pertanian.

ANCAMAN (T)

1)Adanya pengaruh globalisasi termasuk dalam sektor pertanian.

2)Kemajuan teknologi dalam peningkatan produktivitas masyarakat yang tinggi, pemerintah perlu memperkuat kualitas masyarakat dengan cara melakukan pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung produktivitas

2. W2,W3-T1,T2 : kerjasama dengan pihak swasta untuk menyediakan sarana prasarana penunjang pada sektor pertanain.

Sumber: analisa penulis, 2015

(20)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

16

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisa dan pembahasan mengenati kajian pengembangan Kawasan Agropolitan

di Kabupaten Kulonprogo di Yogyakarta, maka kesimpulan yang dihasilkan adalah sebagai

berikut :

 Produktivitas masyarakat masih bergantung kepada sektor pertanian dalam tulang

punggung perekonomian namun tidak didukung oleh SDM yang handal maka perlu

peningkatan kapasitas dalam pengelolaan sarana dan prasarana sub sistem agribisnis

serta inovasi teknologi pertanian untuk mewujudkan penerapan kawasan agropolitan ini

 Keterbatasan sarana dan prasarana sub sistem hulu merupakan hambatan utama dalam

pengembangan kawasan agropolitan, sehingga perlu pembenahan sarana sub sistem

hulu seperti penyediaan bibit unggul, pupuk, obat-obatan dan alat mesin pertanian

Penerapan konsep Agropolitan diharapkan dapat mempercepat pembangunan perdesaan dan mampu memberikan pelayanan sosial ekonomi serta berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

5.2 Lesson Learned

(21)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

17

DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, A. (2011). "Rural - Urban Economic Linkages". Konsep & Urgensi dalam Memperkuat Pembangunan Desa.

Tri, B., & Handayani, W. (2014). Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakatra. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 243-261.

Gambar

Tabel 1 Keterkaitan Desa - Kota
Tabel 2 Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan Padi, Melon, dan Ketela Pohon
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kawasan Agropolitan Fase II dan Kab. Kulonprogo Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012
Tabel 4 Struktur Ketenagakerjaan Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo Tahun 2009-2012
+3

Referensi

Dokumen terkait

a) Fungsi informatif, yaitu organisasi dipandang sebagai suatu sistem proses informasi. Bermakna seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang

Padahal di DKI Jakarta Sendiri, terdapat 3(tiga) Instansi Badan Narkotika Nasional yaitu Badan Narkotika Nasional Pusat, Badan Narkotika Nasional Provinsi DKI Jakarta,

Fungsi penting sebuah transistor adalah kemampuannya untuk menggunakan sinyal yang sangat kecil yang masuk dari satu terminal transistor tersebut untuk

Untuk ZOM 126 Denpasar, hubungan antara PMH dengan masing-masing nilai Indonesia SSTA, Nino3.4 SSTA, dan IODM SSTA bulan Juni disajikan pada gambar 5... 3.5 Simulasi

Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Warmadewa (PSPD Unwar) http://www.warmadewa.ac .id/fakultas/fak- kedokteran/. Kampus Universitas Warmadewa,

Karekteristik UKM yang dapat meningkatkan efikasi diri diantara- nya adalah: (1) UKM memiliki tingkat kesuka- ran soal yang dapat dipilih oleh siswa, (2) UKM memiliki pilihan

Alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi pearson yang bertujuan untuk menguji hubungan antara harga spot dengan futures pada saat melakukan hedging ataupun cross

Konsep desain (Gambar 1) ditentukan berdasarkan problematika yang diangkat. Dari kesulitan komunikus pemula dalam membuat komik, kurangnya pengetahuan dasar