• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Perdagangan Senjata Di Asia Ten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Perdagangan Senjata Di Asia Ten"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PERDAGANGAN SENJATA DI ASIA TENGGARA

2004-2008 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEAMANAN

KAWASAN

M. Sya’roni Rofii*, IIS UGM, roni080@gmai.com

Abstrak - Perdagangan senjata ibarat pedang bermata dua, di satu sisi berguna untuk pertahanan diri, tetapi di sisi lain dapat juga memicu ketegangan antar negara. Pandangan seperti itu bisa dilihat dari pengalaman negara-negara di sejumlah kawasan, termasuk Asia Tenggara. Belanja besar-besaran oleh satu atau dua negara biasanya menimbulkan efek spiral bagi negara lain dan bahkan kawasan sekitarnya. Hal menarik lainnya adalah pembelian senjata memiliki relevansi dengan entah tingkat konflik di masing-masing negara yang bersangkutan, pertumbuhan ekonomi cukup baik, ataupun didorong oleh upaya peningkatan hubungan kerjasama dengan negara produsen senjata. Tulisan ini mencoba menguraikan fenomena tersebut dengan menggunakan analisis data secara komprehensif.

Abstract - Arms trade is like a double-edged sword, on the one hand are useful for selfdefense,but on the other hand can also lead to tensions between countries. Such a view can be seen from the experience of countries in various regions, including Southeast Asia. Large-scale spending by one or two states usually cause a spiral effect for other countries and even the surrounding region. Another interesting point is the purchase of weapons have relevance to either the level of conflict in each country concerned, economic growth, or driven by efforts to increase cooperation with the state arms manufacturer. This paper tried to describe this phenomenon by using a comprehensive data analysis.

Kata Kunci : arm race, military expenditure, keamanan kawasan.

PENDAHULUAN

Membahas tentang pengeluaran atau belanja militer (military expenditure) sebuah negara memang selalu menarik.Ia menarik karena secara otomatis menimbulkan efek spiral terhadap pilihan-pilihan tindakan negara lain, khususnya negara tetangga pada tingkat kawasan.Pengeluaran militer untuk membeli senjata biasanya menjadi fokus perhatian karena secara kasat mata bentuknya dapat

dilihat dan memungkinkan semua pihak melakukan kalkulasi kekuatan berdasarkan harga senjata di pasaran. Kegiatan belanja persenjataan sebuah negara semacam ini lantas memicu kecurigaan negara tetangga dan merambah menjadi kecurigaan dikawasan, kecurigaan ini seringkali direspon dengan menganalisa postur kekuatan negara tersebut untuk kemudian dilanjutkan dengan mengimbangi apa yang dimiliki negara

(2)

tetangga-kemungkinan tindakan perimbangan di sini bisa dalam arti menyamai atau bahkan melampaui [1].

Sebuah negara mengalokasikan anggaran tinggi untuk keperluan militer disebabkanpaling tidak karena beberapa hal, diantaranya adalah

pertama, negara tersebut sedang berada dalam kondisi yang meniscayakannya untuk memiliki infrastruktur militer yang memadai karena kebutuhan di lapangan: ancaman separatis, medan juang, efektifitas, dll. Kedua,

hal ini terjadi karena perekonomian negara tersebut sedang berada dalam kondisi positif (surplus). Ketiga, disamping perekonomian sedang dalam kondisi positif ia terjadi juga karena negara yang bersangkutan memiliki ambisi untuk menjadi aktor penting di kawasannya.

Dari sekian faktor tersebut terdapat garis demarkasi terkait hubungan antara pengeluaran militer dan implikasi yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Esai ini hendak menjawab pertanyaan perihal, sejauh mana implikasi perdagangan senjata di Asia Tenggara terhadap keamanan di Kawasan? Seperti apa negara-negara merespon dinamika perdagangan senjata?

Kondisi Objektif Internasional

Perang Dingin dalam konteks hubungan internasional oleh banyak kalangan diang-gap sebagai salah satu titik penting menga-nalisa periodisasi evolusi kekuatan militer negara-negara di dunia. Era pra 1990-an dan setelahnya memang merupakan era dimana kekuatan militer dihadapkan pada persoalan perlombaan senjata (arm race) [2]. Setelah Perang Dunia II kemudian dilanjutkan dengan Era Perang Dingin. Kondisi yang ada (Perang Dingin) kemudian secara otomatis menye-babkan kekuatan militer diistirahatkan sejen-ak atau dikembalikan ke “barsejen-ak” karena tidsejen-ak banyak peperangan yang harus dihadapi [3].

Sementara kekuatan militer diistirahatkan

tidak lantas membuat aktifitas menyangkut mi-liter terhenti, sebab setelah itu ada semacam upaya recovery, evaluasi, dan pengemban-gan. Recovery dalam arti memulihkan kekua-tan yang tadinya diterjunkan ke medan per-ang, tambal sulam infrastruktur militer yang cacat atau rusak dan upaya recovery lainnya; evaluasi terhadap kemajuan-kemajuan dan kegagalan dalam peperangan; kemudian ten-tu, beralih kepada proses jangka panjang dan ini bisa disebut sebagai upaya pengem-bangan.

Dari sudut pandang pengembangan bisa diartikan bahwa sebuah negara yang memiliki industri pertahanan melakukan inovasi. Setelah terjadi inovasi tentu saja sebagai sebuah sayap bisnis akan mencari lahan bisnis untuk menjajakan hasil produksinya. Sementara di sisi lain negara-negara berkembang yang secara militer belum mapan memiliki kecenderungan untuk terus menerus “mengkonsumsi” persenjatan dari negara-negara maju yang memiliki industri pertahanan. Akibatnya, arus perdagangan senjata atau dalam arti luas diistilahkan dengan “arm transfer” terus mengalami peningkatan. Jika dalam kondisi normal “arm transfer” tetap mengalami peningkatan, bagaimana jika konstelasi geopolitik dalam situasi tegang?

Dalam beberapa dekade terakhir dunia memang sedang dihadapkan pada beberapa persoalan serius dan rumit. Rumit dalam arti keadaan dunia yang sebelumnya dapat diprediksi karena aktor tradisional memainkan peranan penting, namun belakangan dengan adanya aktor non-negara dalam konteks hubungan internasional maka kalkulasi tidak hanya fokus pada aktor tradisional seperti negara tetapi juga kepada aktor non negara.

(3)

dalam spektrum pertahanan-keamanan,

“Some European ountries have decided to increase their defends budgets. There are now encouraging signs of defense industry consolidation within Europe” [4].

Untuk lebih memudahkan melakukan pemetaan terkait impor senjata dan letak penggunaannya, menurut hemat penulis paling tidak ada beberapa faktor dominan yang menciptakan trend dan mempengaruhi ko telasi geopolitik terkait tahun-tahun sebelumnya dan untuk beberapa tahun ke depan diantaranya adalah: pertama, ancaman aktor tradisional, hal ini berarti negara-negara membangun persepsi sendiri tentang potensi ancaman terhadap negara tetangga ataupun pada wilayah kawasan. Seperti serangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ke Irak dan Afghanistan pada tahun 2003 menjadi catatan tersendiri bahwa di era yang demokratis seperti sekarang ternyata tidak menjamin perang bakal usai. Irak untuk kawasan Timur Tengah barangkali oleh negara tetangga akan dianggap sebagai titik api yang suatu saat akan menjalar ke negara negara tetangganya.

Kedua, ancaman non-tradisional,

seperti terorisme, bajak laut, dan kejahatan transnasional lainnya. Serangan jaringan terorisme yang diduga Al-Qaeda pada tahun 2001 menjadi catatan sendiri bagi setiap negara. Bahwa negara sekuat AS masih memiliki celah untuk diserang, apalagi serangan tersebut tidak memandang target apakah militer atau sipil, sehingga ketiadaan pembedaa semacam ini menjadikan terorisme sebagai salah satu ancaman berbahaya bagi kemanan manusia (human security). Begitu juga dengan kejadian terkait bajak laut di kawasan lepas pantai Afrika, Somalia, dimana sekelompok perompak melakukan aksi serangan bersenjata untuk menggagalkan atau menghalangi kapalkapal barang yang melintas di kawasan tersebut. Jika ancaman

seperti inidibiarkan maka otomatis akan menghambat iklim ekonomi Negara - negara yang menggunakan jasa penyebarangan dari kawasan pantai Afrika. Hal ini tentu akan menjadi salah satu pertimbangan negara dalam mengembangkan sistem pertahanannya.

Ketiga, penjagaan kedaulatan,

secara tradisional negara-negara telah membangun paradigma bahwa kedaulatan wilayah adalah harga mati, setidaknya doktrin itu yang ditanamkan oleh negara-negara terhadap personil militer mereka [5]. Secara internasional negara-bangsa melalui Piagam PBB telah mengakui masing-masing kedaulatan wilayah. Di beberapa kawasan, wilayah territorial seringkali menjadi pemicu ketegangan. Untuk menyebut beberapa contoh, misalnya, kawasan Ambalat yang merupakan zona panas antara Indonesia-Malaysia, sebab bagi Indonesia Ambalat [6] adalah bagian dari wilayah Indonesia sementara Malaysia pun ikut mengklaim bahwa Ambalat juga bagian dari wilayahnya. Kasus serupa juga terjadi antara Israel-Mesir terkait aliran Sungai Nil, atau hubungan antara Malaysia-Singapura terkait wilayah. Ini juga berarti menjaga kedaulatan negara dari ancaman separatisme kelompok tertentu, seperti gerakan separatis PKK bagi pemerintah Turki, OPM bagi pemerintah Indonesia.

(4)

“insinyur” rekonstruksi pasca perang. PBB melalui instrument Peace Keeping Operation datang bersama pasukan multinasional melibatkan negara-negara yang memiliki iktikad dalam menciptakan perdamaian dunia. Seperti operasi perdamaian di Irak, Libanon, Palestina dan beberapa kawasan yang masih rentan akan aksi kekerasan bersenjata. Negara-negara yang terlibat operasi seringkali memiliki perbedaan struktur geografis [7] sehingga antara suplai dan kebutuhan pertahanan harus disesuaikan. Operasi seperti ini otomatis menjadi faktor berikutnya dalam agenda revitalisasi sistem pertahanan.

Trend dan Anomali Perdagangan Senjata

Kita bisa mengatakan faktor-faktor seperti di atas atau yang serupa dengan di atas sangat mempengaruhi arus transfer senjata dari negara satu ke negara lain, dari kawasan satu ke kawasan lain. Senjata dalam berbagai bentuknya yang berpotensi membunuh manusia terbukti masih menjadi obyek bisnis yang menarik. Beberbagai jenis persenjataan terus dikembangkan, mulai dari senapan kecil yang daya mematikannya kecil hingga bom nuklir yang daya bunuhnya sangat massif dan berlangsung lama [8].

Laporan tahunan Institut Riset Perdamaian Internasional Stockholm (Stockholm International Peace Research Institute/SIPRI), yang dirilis secara berkala di Swedia menjadi indikator bagaimana fenomena global mempengaruhi peningkatan arus transaksi persenjataan.

Untuk wilayah kawasan misalnya, SIPRI mencatat bahwa jangka waktu tahun 1980-1984 lima besar penerima perlengkapan per-senjataan militer adalah :Irak, India, Libya, Syria, dan Mesir, tercatat 25 persen impor secara keseluruhan mengalir ke kawasan ini. Untuk periode 2004-2008 besar importir

sen-jata adalah: China, India, UEA, Korea Se-latan dan Yunani, menyedot sekitar 35 persen total impor senjata di dunia. Data ini sekaligus mengilustrasikan bagaimana perubahan iklim keamanan yang mengalami pergeseran dari Timur Tengah ke kawasan Asia [9].

SIPRI juga mencatat kawasan Asia mengalami peningkatan anggaran belanja militer atau impor senjata tertinggi pada periode 2004-2008 [10]. Hal ini disebabkan oleh kembali menguatnya perekonomian Asia Tenggara setelah diterpa krisis 1997, sehingga negara-negara memilih untuk memperbaharui senjata [11]. Selain itu, faktor yang menyebabkan tingginya angka transaksi senjata disebabkan oleh tensi ketegangan internasional di kawasan (seperti, di Semenanjung Taiwan, Semenanjung Korea, antara India dan Pakistan, dan Laut China Selatan) termasuk kasus antara China dan India yang berambisi untuk menjadi kekuatan penting di kawasan atau kekuatan dunia. Modernisasi juga dilakukan secara ekstensif oleh Australia, China, India, Japan, Korea Selatan, Malaysia, Pakistan, Singapura, Taiwan dan Viet Nam. Negara-negara ini telah mengumukan rencana jangka panjang memodernisasi kapabilitas militernya dengan mengimpor senjata [12].

Atau bahkan menjadi permulaan perlom-baan senjata di kawasan, sebab, sebagaima-na dihadirkan oleh Dr. Tim Huxley [13] dalam kuliah umum yang diselenggarakan Asia Re-search Center, Murdoch University, bahwa negaranegara di kawasan Asia Tenggara tengah melakukan modernisasi besar-besa-ran, tidak hanya pada alutsista tetapi juga mengembangkan sektor lain yang sangat modern.

(5)

Indonesia-Rusia pada 2006, Indonesia mer-encanakan membeli skuadron tempur udara berupa 12 jet, tipe Su-27SK dan Su-30MKM; hal yang sama dilakukan juga oleh Singapura dengan membeli 12 jet tempur baru F- 15SG dari AS; Thailand di bawah kepemimpinan Thaksin Shinawatra saat itu, bertemu Putin bersepakat untuk membeli 12 jet tempur Su-30 MKM; Malaysia sepakat untuk membeli 18 Su-30MKM dalam jangka waktu dua ta-hun; sedangkan Vietnam membeli jet tempur sejumlah 36 buah tipe SU-27SK [14].

Hideak [15] melihat kecederungan yang terjadi di Asia Tenggara bahwa di Asia, China sedang membangun kekuatan militer untuk jangka panjang agar mampu menjadi salah satu kekuatan penting militer dunia. Begitu juga dengan Indonesia, yang, menurutnya pasca embargo AS pada 1999 akibat tudin-gan melanggar HAM di Timor Timur perlahan mulai memperbaiki persenjataan militernya dengan membeli transportasi udara tipe C130, dengan tujuan untuk kebutuhan patr-oli cepat untuk mencegah “anti-terorism and anti-piracy measures” [16].

Graik terkait impor senjata di kawasan pada 2004-2008. Sumber: SIPRI,2009.

Bisa dikatakan kawasan Asia Tenggara termasuk kawasan yang rentan terhadap ancaman militer negara-negara besar. Indonesia, misalnya, mau tidak mau harus berhadapan dengan dua kepentingan besar China dan AS [17]. China memiliki kepentingan untuk menggenggam peraian selat Malaka karena dari situlah suplai energi, migas dan komoditas lainnya dikirim, termasuk kebutuhan China menggunakan jalur laut Indonesia sebagai jalur untuk kepentingan ge-strategis militer. Sedangkan AS tengah menjajaki kemungkinan menguasai seluruh kawasan Samudra Pasifik “focus on Pacific Ocean”, [18] sekaligus sebagai strategi menghadang kekuatan armada laut China.

Data periodik yang dirilis SIPRI dan data-data para analis strategi lainnya merupakan data mentah yang diolah dari sejumlah transaksi oleh negara-negara yang terlibat dalam jual-beli senjata khususnya senjata besar. Sejumlah negara membuka sedikit data tentang transaksi mereka untuk dikonsumsipublik, sementara data pasti adalah bagian dari kerahasiaan, seperti dilakukan Israel dan China. Belum lagi melihat kenyataan bahwa disamping aktor negara, ternyata aktor non-negara juga ikut aktif dalam meramaikan konsumsi besar-besaran sejumlah senjata. Akibatnya, persebaran senjata kepada aktor illegal atau tidak bisa dideteksi dari tahun ke tahun berada pada

angka signiikan, 51 % [19].

(6)

Jordan. Hampir sebagian besar AK-47 saat ini berada pada pihak yang tidak berwenang. Menurut laporan PBB, hanya 18 juta (atau sekitar 3 persen) dari sekitar 550 senjata ringan dan kaliber kecil yang digunakan oleh pemerintah, militer, polisi. Perdagangan gelap jenis senjata itu mencakup hampir 20 persen dari keseluruhan perdagangan senjata kecil dan menghabiskan dana sekitar 1 milyar dollar AS setiap tahunnya. Dalam satu dasawarsa terakhir, senjata ringan dan kaliber kecil telah memperburuk 46 dari 49

konlik di dunia, pada tahun 2001 diperkirakan

senjata itu bertanggung jawab terhadap 1000 kematian setiap harinya; 80 persen korban adalah wanita dan anak-anak. Apalagi kalau melihat kecenderungan dunia dewasa ini yang memperlihatkan bagaimana militer juga bisa dijadikan komoditas bisnis, para analis menyebutnya dengan private military/security company (PMC/PSC) atau private military

irms (PMF) [22].

Artinya, transfer atau perdagangan senjata bukan merupakan sesuatu yang “terlarang”

dalam konteks internasional, setiap negara boleh saja memilikinya. Dari data statitik yang ada kita bisa melihat bagaimana persebaran senjata di kawasan Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi sebuah negara dan tensi ketegangan di sekitarnya. Namun demikian, yang ingin penulis garis bawahi adalah bahwa konsumsi berlebihan senjata tanpa ada pembatasan berpotensi memicu ketegangan intra dan antar kawasan, ibarat pepatah, “asap tidak akan muncul manakala tidak ada api (ketegangan)”, agar ketegangan dapat diatasi tentu hal itu bisa diredam dengan pendekatan yang lebih damai pada tingkat kawasan dengan regulasi-regulasi, agar stabilitas dapat dijaga.

Regulasi PBB

Pada tingkatan internasional, negara-negara melihat arus transfer persenjataan yang sangat tinggi dengan kontrol rendah, sehingga negara-negara anggota Perserika-tan Bangsa Bangsa mulai memberikan per-hatian pada isu ini. Pada tahun 1991 PBB melalui Majelis Umum membentuk lembaga UN Register of Register Conventional Arms (UNROCA) sebagai tindakan preventif atas ekses negatif persebaran senjata. Konsen-sus yang sama juga dilanjutkan dengan Arms Trade Treaty (ATT) [23] yang diupayakan un-tuk menciptakan kontrol yang lebih baik ter-kait transfer senjata internasional, rencana ini didukung oleh Uni Eropa, Lembaga Pelucu-tan Senjata PBB (UNIDIR), dan secara garis besar rencana ini ditujukan untuk meningkat-kan kewaspadaan terkait ATT yang diusulmeningkat-kan anggota PBB, organisasi regional, civil soci-ety, dan industri.

Regulasi yang ada sejauh ini memang me-nyesuaikan dengan kondisi saat dibuatnya masing-masing aturan.Beberapa kesepaka-tan internasional yang memiliki komitmen untuk mencegah destabilisasi akumulasi sen-jata konvensional antara lain adalah [24] :

• Five Powers Communiqué, 8–9 July 1991;

• Five Power Guidelines for Conventional Arms Transfers, 17-18 October 1991; • OSCE Principles Governing Con ventional Arms Transfers, 23 November 1993;

(7)

Prinsip yang ditanamkan pada guidelines

di atas meliputi kebutuhan untuk mengantisi-pasi transfer senjata yang mungkin berdam-pak pada destabilisasi pada ranah pengem-bangan militer, mencegah merebaknya

konlik bersenjata, atau khawatir jatuh ke tan

-gan kelompok teroris [25]. Standar transpar-ansi yang digunakan PBB sebagaimana pada laporan PBB tahun 2001 yakni: (a) Suplier dan penerima; Pengguna akhir; (c) Tanggal kesepakatan dan/atau tanggal pengiriman; (d) Tipe senjata, komponen, transfer jasa atau pengetahuan;(e) Karakteristik Performa dasar senjata atau komponen yang ditrans-fer; (f) Kuantitas senjata atau komponen yang ditransfer; (g) Term keuangan; (h) Support teknis dan kesepakatan training [26].

Kawasan Asia Tenggara sendiri memiliki iktikad baik menyesuaikan dengan masyara-kat internasional lainnya, melalui ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF), komunitas kawasan melalui ARF pada 2001 bersepakat untuk secara berkala mempublikasikan buku putih pertahanan (White Papers) [27]. Ada yang secara konsisten menerbitkan ada juga yang tidak, kelemahan dari mekanisme sep-erti ini juga terletak pada gambaran postur yang terlalu general untuk alasan rahasia pertahanan.

Sejauh ini, sebagaimana disebut Bantarto, pemerintah tidak cukup efektif menekan suplai maupun permintaan dari senjata jenis terse-but [28]. Upaya multilateral untuk menekan manufaktur dan distribusi jenis senjata seperti tersebut di atas tidak efektif, antara lainkare-na ada beberapa negara yang tidak bersedia menerima pengekangan terhadap kegiatan mereka sendiri. Pada tahun 2001, misalnya, AS memblokade perjanjian global untuk men-gawasi peredaran senjata ringan dan kaliber kecil, karena khawatir akan terjadinya retriksi

terhadap hak warga negranya untuk memi-liki senjata. Tanpa legislasi dan enforcement yang efektif, hukum ekonomi akan mendikte penjualan senjata dengan harga yang mu-rah.

KESIMPULAN

Kawasan Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir bisa dibilang mampu melewati ketegangan antar negara dengan jalur meng-hindari ketegangan bersenjata. Meskipun ma-sih ada benih-benih ketegangan di kawasan.

Benih ketegangan itu bisa dalam arti ke-curigaan yang wajar terjadi antar negara di dalam kawasan yang masingmasing memiliki kepentingan sendiri. Tensi ketegangan yang diselesaikan dengan tanpa menggunakan pendekatan militer bisa jadi menjadi modal berharga bagi negara kawasan Asia Tengga-ra untuk terus menerus memupuk kemitTengga-raan dengan menjadikan ARF sebagai payung ko-munikasi untuk kebaikan kawasan.

Kedepan tentu ASEAN sekaligus ARF sebagai organisasi regional memiliki modal berharga untuk menjaga stabilitas kawasan dari ancaman eksternal manakala bersatu menangkal setiap ancaman potensial dari luar. Sementara pada wilayah internal, aturan yang telah ada dengan mekanisme White Papers paling tidak bisa menjadi simbol sal-ing percaya (trust) antar sesama penghuni kawasan.

DAFTAR REFERENSI

(8)

increase in armamaents by two states or coalitions of state resulting from conflicting purpose or mutual fears’, dalam Barry Buzan, An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations, Part II (London: MacMillan Press, 1987), Hlm 41. [3]. Sebab Era Perang Dingin, ditandai dengan peperangan yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat di Vietnam bisa dianggap sebagai perang asimetris. Berbeda halnya jika AS berhadapan dengan kekuatan besar lain seperti Uni Soviet barangkali membutuhkan kekuatan ekstra.

[4]. “Threat Assesment and the future of global defense industry,” dalam http://www. nato.int/docu/speech/2002/so210142.htm, akses tanggal 18 Desember 2009.

[5]. Di beberapa pos penjagaan Tentara Nasional Indonesia, kita sering melihat tulisan “NKRI Harga Mati”, menjadi symbol tersendiri bagi personil TNI untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negaranya.

[6]. Laporan terakhir menyebutkan bahwa kasus Ambalat oleh kedua negara bakal dibicarakan dalam perundingan oleh dua belah pihak dengan tanpa melibatkan mahkamah internasional seperti kasus Sipadan-Ligitan. [7]. Indonesia secara berkala ikut dalam Peace Keeping Operation dengan mengirimkan kontingen Garuda (Konga). TNI yang biasanya berlatih tempur di kawasan tropis harus berhadapan dengan kondisi berbeda, seperti daerah gurun pasir atau kalau ke kawasan Eropa akan bertemu iklim musim salju, begitu juga dengan perbedaan lainnya; terkait dengan pasukan Konga XIII yang bertugas di Lebanon yang kemudian meraih penghargaan dari pemerintah karena dinilai berhasil menjalankan misi bisa dilihat dalam, “TNI Di Lebanon Terima Medali Kehormatan” sumber kantor berita Antara, dalam http:// www.dephan.go.id, akses 10 Agustus 2000. [8]. Rakaryan Sukarjaputra, “Dunia Semakin Penuh Senjata”, Kompas, 25 Juni 2007. Sukarjaputra dalam tulisannya berkesimpulan,

dengan semakin banyaknya beredar senjata maka harapan akan dunia lebih aman dan damai menurutnya semakin jauh.

[9]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper, April 2009. Hlm. 4.

[10]. Siemon T Wezeman, “Arm Transfer to Asia and Indochina,” SIPRI Background Paper, Oktober 2009.

[11]. Hideaki Kaneda, “Southeast Asia’s Growing Arm Race,” Taipei Times, 12 Juni 2006. Dalam http://www.taipeitimes.com/ News/index_most_read_story, akses 12 Desember 2009.

[12]. Mark, Ibid.

[13]. Tim Huxley, “An Arm Race in the Region? Southeast Asian Defense Policies, Military Spending and Weapons Procurement,” dalam http://www.google.com/wwarc.murdoch.edu.

au%2Fimg%2FHuxley%2520Seminar.pdf+ arm+race+in+south+east+asia&hl=id&gl=id,

akses 20 Desember 2009.

[14]. Hideaki, “Southeast Asia’s”. Data yang dihadirkan oleh Hideaki ini merupakan data dan analisa pada tahun 2006.

[15]. Hideaki merupakan mantan Wakil Laksamana Japan Self Defense Forces, Direktur Okazaki Institute di Tokyo. Pada akhir tulisan, secara eksplisit ia mengharapkan agar China mereposisi diri di bidang pertahanan, dengan tujuan menjadi counter-balance kekuatan China di Kawasan.

[16]. Ibid. [17]. Ibid. [18]. Ibid.

[19]. Statistik tentang persebaran ini bisa dilihat dalam Mark Bromley, dkk.”Recent,” hlm. 5.

[20]. Lihat Bantarto Bandoro, “Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggaran oleh BPHN Depkumham, Denpasar 12-18 Juli 2003.

(9)

senjata jenis AK-47 telah laku terjual lebih dari 100 juta unit di seluruh dunia. Tidak mengherankan memang, sebab angkatan bersenjata di 55 negara menggunakan AK-47 sebagai senjata organik mereka, termasuk Angkatan Bersenjata Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Akan tetapi disamping itu, AK-47 sebagaimana diakui produsen resminya di Rusia, Izhsmash, bahwa senjata ini banyak dipalsu dan diproduksi di Bulgaria, China, Polandia, dan AS. Produsen palsu tersebut dikahwatirkan bakal memasok kepada kelompok-kelompok non-negara. Lebih jelas tentang AK-47 sebagai prototype oleh penemunya bisa dibaca dalam, “Kalashnikov, AK-47 demi Tanah Air”, Kompas, 25 November 2009. [22]. Terkait persoalan meningkatnya perusahaan jasa militer dan keamaan disertai sepak terjang mereka dalam spektrum pertahanan-keamanan inter-nasional bisa dibaca dalam Veronika Sintha Saraswati, Imperium Perang Militer Swasta: Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer, (Yogyakarta: Resist Book, 2009); Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter, (eds), La Empressa Guerra: Bisnis Perang dan Kapitalisme Global, (Yogyakarta: Penerbit Insist Press, 2005).

[23]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper, April 2009. Hlm. 1.

[24]. Ibid. Hlm 20. [25]. Ibid.

[26]. Ibid. Hlm 22.

[27]. Simon T. Weizemen, “Arms Transfer to Asia and Indochina,” hlm. 8.

[28]. Khususnya senjata tipe kecil dan caliber.

[29]. Bantarto Bandoro, “Masalah-masalah Keamanan Internasional Abad 21”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggaran oleh BPHN Depkumham, Denpasar 12-18 Juli 2003.

[30]. Barry Buzan, An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations, Part II. London: MacMillan Press, 1987.

[31]. Dario Azzelini dan Boris Kanzleiter, (eds), La Empressa Guerra: Bisnis Perang dan Kapitalisme Global. Yogyakarta: Penerbit Insist Press, 2005.

[32]. Hideaki Kaneda, “Southeast Asia’s Growing Arm Race,” Taipei Times, 12 Juni 2006. Dalam http://www.taipeitimes.com/ News/index_most_read_story, akses 12 Desember 2009.

[33]. Mark Bromley, dkk. “Recent Trends In The Arm Transfer”, SIPRI Background Paper, April 2009.

[34]. Rakaryan Sukarjaputra, “Dunia Semakin Penuh Senjata”, Kompas, 25 Juni 2007. [35]. Siemon T Wezeman, “Arm Transfer to Asia and Indochina,” SIPRI Background Paper, Oktober 2009.

[36]. Tim Huxley, “An Arm Race in the Region? Southeast Asian Defense Policies, Military Spending and Weapons Procurement,” dalam http://www.google.com/wwarc.murdoch.edu.

au%2Fimg%2FHuxley%2520Seminar.pdf+ arm+race+in+south+east+asia&hl=id&gl=id,

akses 20 Desember 2009.

[37]. Veronika Sintha Saraswati, Imperium Perang Militer Swasta: Neoliberalisme dan Korporasi Bisnis Keamanan Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book, 2009.

[38]. “Kalashnikov, AK-47 demi Tanah Air”, Kompas, 25 November 2009.

[39]. “Threat Assesment and the future of global defense industry,” dalam http://www. nato.int/docu/speech/2002/so210142.htm, akses tanggal 18 Desember 2009.

[40]. “TNI Di Lebanon Terima Medali Kehormatan” sumber kantor berita Antara, dalam http://www.dephan.go.id, akses 10 Agustus 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Arah kebijakan pembangunan daerah ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, revitalisasi pertanian dan kelautan, perluasan

Dalam prinsip kesederhanaan, diharapkan masyarakat miskin membuat skala prioritas, menggunakan harta secara wajar dan tidak berlebih-lebihan dalam artian tidak

Penambahan fitur masukan suara (voice recognition) bertujuan untuk lebih memudahkan masyarakat menggunakan sistem ini. Sistem akan menarik kesimpulan dengan metode decision

Game edukasi doa-doa harian ini sesuai dengan kurikulum yang diajarakan di PAUD Aisyiyah Pabelan berisi menu materi doa-doa harian kemudian menu permainan menebak

Praktik Pengalaman Lapangan yang selanjutnya di sebut PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa, sebagai pelatihan untuk menerapkan

 Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru

Dilihat dari konteksnya, penulis merasakan adanya perasaan berupa rasa simpulan, menyimpulkan dan rasa simpulan atas apa yang dirasakan seorang tokoh atas

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang bertujuan mengetahui efek dan menentukan dosis ekstrak etanol daun sendok terhadap penurunan kadar darah pada tikus