• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta Masalah dan Solusi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jakarta Masalah dan Solusi yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !

Jakarta: Masalah dan Solusi

Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa MURP

NIP. 19630726 199203 1 001

(2)

Abstract

During the last several decades there has been rapid growth in the world’s population, particularly in the urban areas. In 2008, the psychological threshold of 50 percent of the urban population was exceed. It is even predicted that by 2030 the number of people living in cities will reach 60 percent of the total population. Among the indicators of such prediction is the high rate of urbanization in the last ten years, making cities with a population of over one million people to experience a significant jump. At the turn of the twentieth century only 16 cities in the world is populated by more than one million people. Today there are 400 cities with such population size, and around 70 percent of them are in developing countries.

Along with their growth, management of cities have become an ever more complex business. The speed and scale by which cities in developing countries are changing have raised various unforeseen challenges. Among these are risks on the environment and natural resources, health, social interaction, and individual rights.

As a metropolitan city, Jakarta has not been exempt from this phenomena and have shown similar effects. Among the problems the city is facing are the rapid growth of population, sharp decline of environmental quality, traffic congestion, more frequent flooding, worsening pollution, increasing number and severity of crimes, more slum areas growing in all parts of the city, and many other issues.

Discussions on issues and problems of the Jakarta metropolis have been held and documented by many. However, the discussions presented in this document on the issues and problems faced by Jakarta as well as their proposed solutions are focused on spatial planning and the environment, given that the purpose of this paper is as a requirement to participate in the tender of the position of Deputy Governor of the Special Capital Region of Jakarta for Spatial Planning and the Environment.

The materials presented herein are a compilation of the concepts offered by a number of experts and complemented by ideas of the author. This combination is expected to result in a fresh perspective aimed towards resolving Jakarta’s problems and challenges, particularly in the aforementioned areas.

Issues and problems related to these subjects that are currently faced by Jakarta can be viewed from two aspects, namely (i) empirical issues such as pollution (surface water, ground water, air), traffic congestion, floods, and (ii) issues relating to climate change, spatial utilization management. In general, some of the issues and problems presented in this paper have already been identified and are not newly discovered.

The solutions described herein can be divided into three tiers: (i) national, (ii) sub-national; and (iii) local. Further, where possible, the period by which the solution can be implemented is given, which can be in the short, medium or long term.

(3)
(4)

DAFTAR ISI

Abstract ……… ii

Daftar Isi ……….. iv

I. Pendahuluan ………. 1

II. Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup .. 2

2.1 Banjir ……… . 2

2.2 Kemacetan ……….. 2

2.3 Pencemaran ……… 3

2.4 Wilayah Pesisir ………... 5

2.5 Perubahan Iklim ………. 6

2.6 Tata Ruang ……….. 6

III. Solusi ……… 7

3.1 Lingkup Penanganan ………. 7

3.2 Banjir ..………. 7

3.3 Kemacetan ……….. 9

3.4 Pencemaran Sungai ……….. 9

3.5 Perubahan Iklim ……….. 10

3.6 Tata Ruang ……….. 11

IV Penutup ……… 12

Daftar Pustaka ……… 13

(5)

!

I. Pendahuluan

Sejak beberapa dekade terakhir, terjadi perkembangan penduduk dunia yang demikian pesat. Tercatat populasi penduduk dunia saat ini telah mencapai 6,5 miliar jiwa. Jumlah tersebut akan terus bertambah sehingga pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 9 miliar. Hal yang menarik bahwa perkembangan penduduk perkotaan ternyata juga meningkat tajam. Pada tahun 2008, batas psikologis 50 persen proporsi penduduk perkotaan telah terlampaui. Bahkan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penduduk perkotaan akan mencapai 60% dari total penduduk dunia (PBB, 2008 dalam Mungkasa, 2012)

Tingkat urbanisasi dalam 10 tahun terakhir dan jumlah kota dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada awal abad XX, hanya 16 kota di dunia dengan jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa. Namun saat ini, hampir 400 kota dengan ukuran tersebut, dan sekitar 70 persen di negara berkembang. Diperkirakan pada tahun 2017, karakter perkotaan akan dominan di negara berkembang (PBB, 2004 dalam Mungkasa, 2012). Meskipun demikian, seiring pertumbuhan kota, mengelola kota menjadi berubah semakin rumit. Kecepatan dan skala perubahan kota dari negara berkembang menghasilkan tantangan yang tak terbayangkan. Diantaranya resiko terhadap lingkungan dan sumber daya alam, kondisi kesehatan, kekerabatan sosial, dan hak individual.

Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia juga mengalami fenomena dan dampak yang relatif sama. Pertumbuhan penduduk tinggi, kualitas lingkungan hidup menurun tajam, kemacetan sepanjang hari, banjir semakin sering, polusi udara meningkat, tingkat dan kualitas kejahatan meningkat, kawasan kumuh terlihat hampir di seluruh bagian kota, dan seterusnya.

Pembahasan mengenai isu dan permasalahan metropolitan Jakarta telah sering disampaikan dan ditulis oleh berbagai pihak. Namun pada kesempatan kali ini, isu dan permasalahan kota Jakarta berikut solusinya akan terfokus hanya pada aspek tata ruang dan lingkungan hidup. Pemokusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan penulisan sebagai persyaratan mengikuti lelang terbuka jabatan Deputi Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup,

(6)

II. Masalah Jakarta terkait Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

2.1 Banjir

Sekitar 40 persen dari luasan DKI Jakarta merupakan dataran rendah, yang ketinggiannya berada di bawah muka air laut pasang 1 sampai dengan 1,5 meter, dan dari 40 persen lahan tersebut baru 11.500 Hektar yang dilayani dengan Polder. Sementara terdapat 13 aliran sungai menuju laut diantaranya Kali Mookervart, Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Grogol, Kali Cipinang, Kali Jatikramat, Kali

Cakung dan Kali Sunte) yang dan terjadinya perubahan tata guna lahan di hulu sungai, yang menjadi penyebab penambahan debit air pada musim penghujan yang melebihi batas maksimum, Pada tahun 2013 total area terendam seluas 5 Ha dengan perkiraan kerugian langsung mencapai Rp.117 Milyar.

Secara keruangan, penyebab utama banjir dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) sumber yaitu (i) kawasan hulu Jakarta; (ii) lokal Jakarta; (iii) laut. Fungsi hidro-orologis daerah hulu untuk menyimpan air sudah menurun. Akibatnya fluktuasi debit sungai Ciliwung sangat besar. Perkembangan alih fungsi lahan pertanian dan hutan menjadi kawasan terbangun menjadi penyebabnya. (Dahuri, 2012).

2.2 Kemacetan

Kemacetan menjadi keseharian penduduk Jakarta, bahkan Jakarta diberi gelar sebagai kota termacet di Dunia. Hal ini tidak terbantahkan. Coba kita simak data jumlah kendaraan. Pada tahun 2010, jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 11,4 juta unit, yang terdiri dari 8,2 juta unit kendaraan roda dua dan 3,1 juta unit kendaraan roda empat. Tercatat kerugian yang diderita mencapai Rp.46 Triliun/tahun, yang kira-kira setara dengan 92% APBD DKI Jakarta. Belum lagi dampaknya terhadap pencemaran udara dan konsumsi BBM (Ibrahimy, 2011).

(7)

Apa yang menjadi penyebab kemacetan ini?. Setidaknya ditengarai 4 (empat) faktor penyebabnya, yaitu (i) bangkitan lalulintas, yang dimaksudkan sebagai jumlah perjalanan yang terjadi pada satu waktu yang sama di Jakarta. Tingginya bangkitan lalulintas ini dipicu oleh banyaknya penduduk baik penduduk lokal Jakarta maupun pendatang, masih buruknya kondisi layanan transportasi publik, tata ruang Jakarta yang tidak optimal; (ii)

kapasitas jalan. Rasio pertambahan infrastruktur jalan sangat rendah

dibanding pertambahan kendaraan sehingga daya tampung jalan terlampaui, rekayasa lalulintas yang belum optimal, pemanfaatan badan jalan oleh berbagai kegiatan; (iii) perilaku manusia/pengguna. Tingkat disiplin pengguna jalan masih sangat rendah; (iv) lainnya. Kebijakan pemerintah kurang tepat, banjir, dan perbaikan jalan (Ibrahimy, 2011).

Sementara itu, upaya penanganan masih belum optimal, diantaranya berupa (i) Area Traffic Control System (ATCS). Ini salah satu bentuk rekayasa lalulintas yang memungkinkan pengaturan fase lampu lalu lintas di seluruh Jakarta. Solusi ini belum optimal karena banyaknya hambatan pada ruas jalan dan persimpangan; (ii) aturan 3 in 1. Aturan yang mewajibkan mobil berpenumpang 3 orang ketika melewati jl. Sudirman-jl. Thamrin pada pagi dan sore hari. Pada dasarnya dampak aturan ini hanya mengurangi lalu lintas pada jl. Sudirman-jl. Thamrin, tetapi membebani jalan di luar area 3 in 1. Jadi secara keseluruhan bersifat zero sum game. (iii) busway. Penyediaan bus pada jaur khusus yang menghubungkan beberapa koridor. Namun, hasilnya belum optimal karena kualitas layanan yang menurun, dan belum mampu menarik pemilik mobil memanfaatkan busway; (iv) pembangunan ruas tol

dalam kota. Pada kenyataannya keberadaan jalan tol malah meningkatkan

keinginan masyarakat untuk memiliki mobil (Susantono, 2008); (v) Kereta

listrik. Secara umum berdampak mengurangi bangkitan lalulintas tetapi

kapasitas KRL tidak dapat ditingkatkan karena terkendala banyaknya persimpangan sebidang dengan jalan darat sehingga frekuensi KRL tidak dapat ditambah lagi. Selain itu, sistem moda terpadu belum tersedia.

2.3 Pencemaran

Tingkat kepadatan penduduk dan daerah terbangun yang tinggi berdampak pada menurunnya daya dukung, fungsi dan kualitas lingkungan hidup kota Jakarta. Beberapa kondisi pencemaran lingkungan yang terdeteksi diantaranya

(i) pencemaran air disebabkan pembuangan limbah domestik dan limbah

industri. Salah satu dampak yang patut diperhitungkan adalah terhadap

(8)

Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada air permukaan. Sebagai ilustrasi, baku mutu air bagian hulu sungai Ciliwung terpantau telah melewati batas ambang aman. Kondisi ini diperparah dengan belum tersedianya instalasi pengolahan air limbah skala kota, sehigga limbah cair langsung dibuang ke badan sungai dan/atau laut.

Dilain pihak, hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (2005) menunjukkan intrusi air laut telah mencapai 10 kilometer dari garis pantai. Peningkatan signifikan dibanding kondisi tahun 1980-an yang masih pada radius 2 km dari garis pantai. Kondisi ini dipicu oleh pengambilan air tanah yang tidak terkendali. Sebagai dampak intrusi air laut adalah terjadinya penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah ini cukup signifikan berkisar antara 30-50 cm per tahun.

(ii) pencemaran udara akibat banyaknya kendaraan bermotor ditambah

tingkat kemacetan yang parah. Kualitas udara Jakarta saat ini berada

pada urutan ke tiga terburuk dunia. Komponen terbesar penyumbang polusi udara adalah kendaraan bermotor (80%) dan industri (20%). Data tahun 2006 menunjukkan hanya 37 hari dalam setahun kualitas udara Jakarta dikategorikan baik. Sementara kerugian ekonomi pada tahun yang sama diperkirakan mencapai setidaknya Rp.5 Triliun setahun. Dampak terhadap kondisi kesehatan terlihat dari proporsi kasus penyakit gangguan pernapasan mencapai 46% dari keseluruhan kasus penyakit.

Berdasarkan data Ditlantas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta bertambah setiap tahunnya sebesar 10 persen sedangkan pertambahan jalan hanya sebesar 0,01 persen, yang berdampak pada kemacetan jalan dan menimbulkan emisi gas buang yang besar. Emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara kota Jakarta.

Kegiatan industri dengan cerobongnya menghasilkan emisi yang sangat tinggi. Dengan semakin banyaknya jenis kegiatan industri maka emisi cerobong yang dihasilkan akan semakin besar, terutama untuk kegiatan industri yang menghasilkan bahan berbahaya dan beracun.

Selain pencemaran yang sifatnya mikro (atmosfir Jakarta), juga terdapat dampak udara yang sifatnya global yaitu menipisnya lapisan ozon pelindung bumi.

(iii) pencemaran lingkungan akibat pengelolaan sampah dan limbah B3

(bahan berbahaya dan beracun) yang belum baik. Hal ini ditandai oleh

penerapan 3R (daur ulang sampah) belum optimal sehingga sampah masih bercampur, masih kurangnya fasilitas pengolahan sampah, tingkat pengangkutan sampah yang belum 100%.

Salah satu dampak dari pengelolaan sampah yang belum optimal, sekitar 80% sampah langsung dibuang ke badan sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Sejak tahun 1970-an, tingkat pencemaran Teluk Jakarta telah melampaui ambang batas (Kumurur, 2010).

(9)

adalah 12 persen tercemar sedang dan 88 persen tercemar berat (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).

2.4 Wilayah Pesisir

Perkembangan kota Jakarta ternyata berdampak juga terhadap kondisi wilayah pesisir. Wilayah pesisir berada dalam tekanan yang besar, ketika eko sistemnya menghadapi ancaman kerusakan dan penurunan kualitas yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan fungsional ekosistem pesisir teluk Jakarta.

Beberapa ancaman potensial terhadap ekosistem pesisir teluk Jakarta adalah (i) sedimentasi dan pencemaran. Kegiatan pembukaan lahan atas (hulu) dan pesisir untuk pertanian, pertambakan, permukiman, industri dan pengembangan kota merupakan sumber beban sedimen dan pencemaran perairan pesisir. Adanya penebangan hutan dan pembukaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimen serius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir teluk Jakarta. Disamping itu, sampah padat yang berasal dari rumah tangga dan kota merupakan sumber pencemar perairan pesisir yang sulit dikendalikan, akibat perkembangan permukiman dan pusat-pusat perdagangan yang pesat. Demikian pula pembukaan lahan pesisir untuk pertambakan dan industri berkontribusi terhadap peningkatan pencemaran baik organik maupun anorganik di perairan teluk Jakarta. Sumber pencemar lain di pesisir teluk Jakarta berasal dari kegiatan reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dapat mengakibatkan perubahan pada lingkungan pesisir, berupa peningkatan kekeruhan air dan pengendapan sedimen; (ii) degradasi Habitat. Erosi pantai merupakan salah satu masalah serius degradasi garis pantai. Selain dari proses alami seperti angin, arus dan gelombang, aktivitas manusia juga menjadi penyebab penting erosi pantai. Kebanyakan erosi pantai yang diakibatkan oleh aktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisir dan reklamasi pantai untuk kepentingan permukiman, industri dan pembangunan infrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Ancaman lain terhadap habitat adalah degradasi terumbu karang di pesisir teluk Jakarta yang disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, komoditas perdagangan (ikan hias) dan obyek wisata (keindahan dan keanekaragaman hayati); (iii) degradasi Sumberdaya Alam dan Keanekaragaman Hayati. Salah satu degradasi sumberdaya alam pesisir teluk Jakarta yang cukup menonjol adalah degradasi hutan mangrove sebagai akibat pembukaan lahan/konversi hutan atau reklamasi pantai menjadi kawasan permukiman, pertambakan dan industri. Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati di perairan pesisir teluk Jakarta diduga antara lain berasal dari pembangunan infrastruktur (pelabuhan, industri,dan lainnya) di pinggir pantai dan juga reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi di pesisir Jakarta, diperkirakan dapat merubah struktur ekologi pesisir bahkan dapat menurunkan keanekaragaman hayati perairan (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).

2.5 Perubahan Iklim

(10)

Manila dalam daftar kota di Asia yang paling terancam akibat naiknya permukaan air laut, badai dan perubahan iklim lainnya. Dhaka berada di peringkat pertama.

Ancaman ini dapat menjadi kenyataan bahwa Jakarta tenggelam pada tahun 2030 apabila pembangunan tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya hujan ekstrim yang berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air. Akibatnya tanah menjadi jenuh.

Perubahan iklim mengakibatkan di lapisan atmosfir paling bawah terjadi kenaikan muka air laut. Perubahan iklim global telah dan akan terus terjadi sejalan dengan peningkatan aktivitas manusia yang mengonsumsi energi, khususnya energi dari bahan bakar fosil, aktivitas deforentasi yang meningkatkan emisi karbon yang ada di atmosfir.

Pada saat ini, di DKI Jakarta telah mengalami dampak dari perubahan iklim diantaranya dengan meningkatnya permukaan air laut. Menurut IPCC

(Intergovernmental Panel on Climate Change), panel ahli untuk isu perubahan

iklim, dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10-25 cm, sementara diperkirakan bahwa pada tahun 2100 mendatang akan terjadi peningkatan air laut setinggi 15-95 Cm (Greenpeace,

1988). Ini berarti Jakarta yang masuk dalam dataran rendah akan ikut menuai

akibatnya (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013).

Dari hasil pemantauan suhu yang dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika pada titik pemantauan Stasiun Meteorologi Kemayoran menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di Jakarta pada tahun 2012 telah menunjukkan peningkatan baik suhu terendah maupun suhu tertinggi dibanding beberapa tahun terakhir. Selain suhu, yang memengaruhi iklim adalah curah hujan.

Fenomena terjadinya banjir rob yang akhir-akhir ini sering terjadi di DKI Jakarta, bisa diakibatkan dari adanya perubahan iklim. Selain oleh penurunan permukaan tanah.

2.6 Tata Ruang

Perkembangan kota yang pesat telah mengurangi kawasan hijau (ruang terbuka hijau/RTH) DKI Jakarta secara signifikan. Pada tahun 1970, luasan RTH masih 70% dari luas kota, dan saat ini menjadi hanya berkisar 10%. Jadi dalam waktu 40 tahun lalu telah terjadi penurunan luasan RTH hampir 60 persen. Berdasar standar yang berlaku, luasan RTH minimal 30 persen dari luas kawasan terbangun.

Sementara itu, walaupun alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan terbangun terjadi di luar Jakarta tetapi perubahan tersebut secara langsung berdampak terhadap kondisi lingkungan hidup di Jakarta khususnya banjir. Alih fungsi lahan ini sangat signifikan jumlahnya. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1992, kawasan terbangun di hulu masih 100 ribu ha, saat ini telah menjadi 225 ribu ha. Dengan demikian, keberadaan Rencana Tata Ruang Jabodetabekjur sebagai alat pengendali pemanfaatan ruang menjadi vital. Saat ini RTR Jabodatebekjur sedang dalam proses peninjauan kembali.

(11)

Pulau-Pulau Kecil masih dalam tahap penyelesaian. Belum terselesaikannya rencana tata ruang ini berdampak pada lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya pada wilayah pesisir.

Sementara itu, disadari sepenuhnya bahwa banyak masalah yang terjadi di Jakarta ini berawal dari belum optimalnya penerapan rencana tata ruang. Masih banyak pelanggaran tata ruang yang berdampak pada meningkatnya bangkitan lalulintas, kemacetan, banjir, pencemaran dan seterusnya. Untuk itu, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi suatu keniscayaan.

III. SOLUSI

3.1 Lingkup Penanganan

Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota tentunya mempunyai posisi yang istimewa, termasuk dalam konteks penanganan masalah. Setidaknya terdapat 3 (tiga) lingkup penanganan masalah yaitu (i) lingkup nasional. Penanganan lingkup nasional terkait urbanisasi yang diakibatkan tingginya daya tarik Jakarta. Untuk itu, sesuai dengan pengaturan tata ruang nasional (PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN yang saat ini sedang di revisi) perlu dilakukan peningkatan pemerataan wilayah secara nasional. Ini saat yang tepat dengan adanya Nawacita yang mengedepankan pembangunan dari pinggiran. Untuk itu, perlu didorong percepatan pembangunan Kawasan Strategis Nasional (KSN) lainnya, dan peningkatan konektivitas; (ii) lingkup regional. Mempertimbangkan keterkaitan Jabodetabekjur sebagai suatu kawasan metropolitan, maka penanganan tata ruang, infrastruktur, kependudukan, kelembagaan pengelolaan kawasan metropolitan harus dalam lingkup regional Jabodetabekjur. Hal mendasar yang perlu disikapi adalah pengendalian pemanfaatan ruang mengacu kepada Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur; desentralisasi pusat kegiatan ke wilayah Bodetabek; pengembangan sistem dan jaringan transportasi terpadu antarwilayah; dan pengembangan kerjasama jasa lingkungan; (iii) lingkup lokal, diantaranya rekayasa lalu lintas.

3.2 Banjir

Sebagaimana masalah lainnya, banjir yang terjadi sebagian disebabkan oleh perilaku masyarakat yang tidak tertib dengan membuang sampah ke saluran air, sungai. Disamping juga perubahan fungsi lahan menjadi budi daya di kawasan hulu sungai.

Langkah awal penanganan banjir adalah upaya perubahan perilaku baik melalui sosialisasi, maupun pemberian insentif dan sanksi. Sosialisasi tentunya dapat dilakukan secara bersama dalam satu paket kegiatan penyadaran masyarakat. Materinya dapat mencakup perubahan iklim, tata ruang, pencemaran dan sebagainya. Bentuk sosialisasi dapat melalui temu muka langsung, film, ceramah dan seterusnya. Agar sosialisasi berjalan efektif, dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang menjadi panduan bagi semua pihak. Ditunjang oleh tenaga fasilitator yang telah dilatih. Bentuk insentif dan sanksi seyogyanya merupakan hasil kesepakatan di tingkat masyarakat.

(12)

biopori.

Banjir pada dasarnya dapat diperkirakan waktunya sehingga pemasangan early warning system khususnya di sungai-sungai yang sering menjadi tampungan air hujan perlu diperbanyak dan menjangkau areal yang lebih luas. Sistem peringatan dini ini sebaiknya dilengkapi Standar Operasi dan Prosedur (SOP) yang dipahami semua pihak. Termasuk juga dilengkapi dengan hot line darurat.

Tanpa banyak disadari, sebenarnya upaya penanganan banjir dapat dimulai dari rumah masiang-masing. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi sebanyak mungkin volume air hujan yang mengalir ke saluran air maupun sungai. Upaya ini dapat dilakukan melalui (i) pembuatan Sumur Resapan. Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang berfungsi sebagai penampung air hujan, dapat berupa sumur, parit atau taman resapan. Manfaat Sumur Resapan antara lain dapat menampung dan menahan air hujan baik yang melalui atap rumah maupun yang langsung ke tanah sehingga tidak langsung keluar dari pekarangan rumah, tetapi mengisi kembali air tanah dangkal sebagai sumber air bersih; (ii) pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) Manfaat LRB adalah untuk meningkatkan laju peresapan air hujan ke dalam tanah, sehingga tidak terbuang percuma mengalir dipermukaan yang dapat menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, serta menghindari terjadinya genangan yang menyebabkan merebaknya penyakit yang dibawa oleh nyamuk, seperti demam berdarah Dengue (DBD), malaria (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013). Pembangunan sumur resapan, lubang resapan seharusnya diwajibkan. Peraturan Gubernur yang telah dikeluarkan seyogyanya mulai diterapkan.

Di area publik, upaya menampung air dilakukan melalui pembangunan waduk/embung dan revitalisasi waduk yang telah ada. Upaya pemeliharaan waduk menjadi keniscayaan mempertimbangkan banyaknya waduk yang saat ini kondisinya kurang baik. Selain itu, pengerukan sungai juga dapat meningkatkan daya tampung air. Sejalan dengan upaya ini, memperbanyak ruang terbuka hijau berikut penanaman pohon juga menjadi sebuah solusi mengurangi air limpasan.

Sebagai solusi bersama pencegahan pencemaran air, relokasi warga sepanjang bantaran sungai juga sebaiknya dilakukan.

Alih fungsi lahan non budi daya menjadi kawasan terbangun di hulu sungai dapat dicegah dengan pengendalian pemanfatan ruang yang ketat. Untuk itu, kerjasama antarpemerintah daerah perlu digalakkan. Sebaiknya disepakati skema jasa lingkungan, yaitu pemerintah DKI Jakarta memberi kompensasi pada pemerintah daerah yang mengendalikan hulu sungai. Selain itu, upaya penghutanan baik oleh masyarakat maupun pemerintah perlu didorong.

Setelah itu, tentu saja pemerintah DKI Jakarta tetap perlu juga membangun infrastruktur seperti tanggul, waduk, menyediakan pompa dan mengimplementasikan drainase dengan sistem polder.

(13)

3.3 Kemacetan

Pada dasarnya solusi penanganan kemacetan bersifat menyeluruh. Penggunaan istilah kemacetan hanya untuk memudahkan menggambarkan masalah transportasi di Jakarta. Memperhatikan faktor penyebab kemacetan, beberapa solusi yang ditawarkan diantaranya adalah

(i) pengurangan bangkitan lalulintas, berupa (i) penerapan skema Electronic

Road Pricing (ERP), yang merupakan manajemen permintaan perjalanan

(travel demand management) untuk mendorong pengguna jalan

mengurangi perjalanan yang tidak perlu dan mendorong penggunaan moda transportasi publik. Penerapan skema ini mencakup penyiapan

regulasi, kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat, penerapan

insentif/disinsentif dapat berupa road pricing. Penerapan berupa road toll,

congestion pricing (ERP), cordon fees (pengenaan biaya pada ruas

tertetu), HOV lames (dikenakan pada kendaraan dengan daya muat kecil) dan lainnya (Susantono, 2008); (ii) pengenalan skema pooling. Berupa mobil antar jemput karyawan, atau anak sekolah; (iii) pembatasan usia

kendaraan; (iv) penyediaan transportasi publik terpadu (KRL, busway,

MRT, LRT); (v) peningkatan tarif pajak kendaraan bermotor; (vi)

penyiapan sistem park and ride pada stasiun KRL; (vii) optimalisasi

sistem on line

(ii) pengalihan lalu lintas mencakup (i) memindahkan kegiatan besar ke luar kota (membangun convention centre di luar kota); (ii) pemindahan kantor

pemerintah dan swasta skala besar ke luar Jakarta; (iii) menerapkan

skema transit-oriented development (TOD).

(iii) meratakan distribusi volume lalu lintas melalui (i) pembedaan jam masuk

kantor dan jam masuk sekolah; (ii) memperbanyak jalur satu arah dan contra flow pada jam sibuk; (iii) pembatasan kendaraan besar pada jam sibuk (Ibrahimy, 2011).

(iv) optimalisasi kapasitas jalan mencakup (i) larangan parkir on street (badan jalan); (ii) penerapan rekayasa lalulintas pada fase lampu lalu lintas; (iii) pembayaran tol secara elektronik; (iv) optimalisasi pedestrian

(v) penambahan luas jalan (dilakukan secara terbatas) (vi) penegakan hukum

(vii) regulasi dan kelembagaan berupa pembentukan otoritas transportasi

Jabodetabek, dan pengembangan Rencana Induk Sistem Transportasi Publik Jabodetabek

3.4 Pencemaran Sungai

Memerhatikan penyebab pencemaran sungai dan air tanah yang sebagian terbesar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang membuang sampah dan air limbah ke sungai, maka fokus utama penanggulangannya adalah berupa

(i) peningkatan kesadaran masyarakat melalui

a. sosialisasi baik pada kegiatan pengajian, peringatan kemerdekaan, arisan dan lainnya

b. pelibatan aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan sungai melalui pembentukan komunitas ‘peduli sungai’.

(14)

d. penerbitan bulletin, newsletter sederhana tentang pengelolaan lingkungan sungai

e. perayaan festival sungai secara berkala

f. sosialisasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik yang menegaskan bahwa bangunan instansional maupun non-instansional harus mengolah limbah domestik sebelum dibuang ke badan air atau ke sungai.

(ii) relokasi warga yang tinggal di bantaran sungai, khususnya pada permukiman kumuh sepanjang bantaran sungai. Hal ini memaksa mereka untuk tidak lagi membuang sampah dan limbah ke sungai; (iii) pembangunan sanitasi komunal pada beberapa lokasi percontohan

dengan memanfaatkan keberadaan proyek yang sudah berjalan seperti SANIMAS (Sanitasi oleh Masyarakat). Selain mencegah pencemaran sungai, langkah ini juga dapat mengurangi potensi pencemaran air tanah.

(iv) memperkenalkan sanksi sosial bagi para pelanggar

3.5 Perubahan Iklim

Belajar dari pengalaman selama ini, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami isu perubahan iklim. Masih sulit buat mereka membedakan antara mitigasi dan adaptasi. Untuk itu, langkah awal dan terpenting adalah melakukan upaya peningkatan kesadaran. Peningkatan kesadaran ini, sebagaimana biasanya dilakukan melalui sosialisasi baik melalui saluran informal seperti pengajian, arisan dan lainnya, maupun saluran formal lewat sekolah. Peningkatan kesadaran ini harus sampai pada terbentuknya komitmen, dapat berupa kesepakatan maupun rencana kerja di berbagai tingkatan.

Untuk menjamin keberlanjutan dari peningkatan kesadaran dan menjaga komitmen ini, dipandang perlu untuk melakukan pendampingan pada masyarakat. Pendampingan ini dilakukan melalui penyediaan fasilitator di tingkat kelurahan yang bertugas mendampingi masyarakat dalam memenuhi rencana kerja maupun komitmen mereka. Fasilitator ini dapat berasal dari masyarakat sendiri maupun dari LSM atau bahkan staf kelurahan.

Selain itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan pemerintah pusat maupun pihak lain. Dengan demikian, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melanjutkan kerjasama yang telah dibina selama ini dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Program Adiwiyata

(Green School). Program ini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya ilmu

pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan. Kegiatan ini dibangun dari komitmen/Kesepakatan Bersama. Dengan demikian, diharapkan terwujud kepedulian baik siswa, maupun guru tanpa paksaan. Selain itu, diharapkan sekolah yang terlibat dapat menjadi

center of excellence’ (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013)

(15)

melalui penghijauan dan pengelolaan sampah mandiri (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013)

Untuk itu, pemerintah DKI Jakarta sebaiknya melakukan kampanye besar-besaran agar program Jakarta Green and Clean (JGC) yang telah dirintis pada tahun 2006 bersama PT. Unilever Indonesia, Tbk. dan Jaringan Delta FeMale Indonesia (JDFI) dapat terlaksana dalam skala yang lebih besar lagi.

Perubahan iklim tidak hanya berbicara tentang iklim saja tetapi juga terkait pada segala hal yang baik secara langsuang maupun tidak langsung mempengaruhi atau mendorong terjadinya perubahan iklim. Telah lama disadari bahwa keberadaan gedung dengan materialnya dapat berdampak pada perubahan iklim. Saat ini telah dikenal konsep Green Building yaitu perencanaan dan pembangunan gedung atau rumah tinggal dengan menggunakan material yang tidak banyak menimbulkan efek Global

Warming, sedikit penggunaan/pemakaian energi (baik itu energi listrik

ataupun energi pemanasan atau yang lainnya), memerhatikan pelestarian lingkungan baik itu dari segi ekosistem flora dan fauna dan sebagainya (BPLH Provinsi DKI Jakarta, 2013). Kemitraan dengan Green Building

Council di Indonesia perlu dilakukan untuk mendorong agar gedung di Jakarta

dapat memenuhi kualifikasi gedung hijau.

Kemitraan dengan Green Building Council juga dalam rangka penegakan hukum terkait keberadaan Pedoman Teknis Peraturan Gubernur KDKI Jakarta tentang Bangunan Ramah Lingkungan. Dengan demikian, setiap bangunan di DKI Jakarta yang ingin mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dapat diwajibkan

(mandatory) untuk memenuhi persyaratan bangunan ramah lingkungan

(Green Building).

3.6 Tata Ruang

Dari sisi tata ruang, telah diatur secara jelas bahwa luasan ruang terbuka hijau adalah minimal 30% dari luasan kawasan terbangun. Ketika hal ini dapat terwujud, maka secara langsung dapat mengurangi pemanasan global. Untuk itu, keberadaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi suatu keniscayaan. RDTR menjadi acuan dalam pemberian izin lokasi. RDTR DKI Jakarta telah disahkan dan termasuk RDTR generasi pertama di Indonesia. Saatnya untuk mulai melakukan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai alat pencegahan pemanasan global. Dibutuhkan kesiapan sistem informasi tata ruang, dan ditunjang oleh keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang menjadi garda depan pengendalian pemanfaatan ruang di lapangan. Menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah untuk memperbanyak PPNS tata ruang.

Jakarta termasuk dalam jalur patahan dan gunung berapi aktif (ring of fire), sehingga menjadi suatu keniscayaan rencana tata ruang Jabodetabekjur, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana detail tata ruang mengakomodasi aspek pengurangan resiko bencana.

(16)

Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang. Kawasan yang masih menjadi perdebatan dapat dikeluarkan (dideliniasi) dan tidak termasuk dalam kawasan yang diatur melalui Perda. Dengan demikian, acuan pengelolaan ruang wilayah pesisir dan pulau kecil dapat segera tersedia.

Sejalan dengan itu, penyelesaian peninjauan kembali RTR Jabodetabekjur seyogyanya dapat diselesaikan bersamaan dengan penyelesaian RZWP3K Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian keseluruhan dokumen RTR DKI Jakarta telah lengkap dan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan dengan optimal.

Selain itu, untuk mengefektifkan pengendalian tata ruang Jabodetabekjur, dipandang perlu dibentuk sebuah unit pengendali yang bersifat lintas daerah. Kewenangannya setidaknya mencakup koordinasi pengelolaan transportasi terpadu Jabodetabekjur, dan pengelolaan sumberdaya air DAS di Jabodetabekjur.

Memasuki tahap pengendalian pemanfaatan ruang saat ini, diperlukan terbangunnya sebuah sistem informasi tata ruang yang sampai tingkat kelurahan untuk memudahkan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu, juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penataan ruang.

IV. Penutup

Dalam penanganan masalah kota Jakarta, aspek tata ruang dan lingkungan hidup terlihat sangat terkait satu dengan yang lain. Penataan ruang menjadi faktor pendukung upaya penanganan masalah lingkungan hidup. Dengan demikian, pengendalian pemanfaatan ruang menjadi keniscayaan dalam penanganan masalah lingkungan hidup di DKI Jakarta.

Secara umum, fokus bahasan masalah Jakarta terkait tata ruang dan lingkungan hidup mencakup (i) lingkup penanganan baik nasional, regional dan lokal; (ii) banjir; (iii) kemacetan; (iv) pencemaran sungai; (v) perubahan iklim; (vi) tata ruang.

Solusi yang ditawarkan sebagian besar mencakup non struktural seperti (i) peningkatan kesadaran pemangku kepentingan; (ii) pelibatan masyarakat secara lebih intensif; (iii) pengembangan kemitraan bersama swasta, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat; (iv) penyempurnaan regulasi dan penegakan hukum; (v) pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan tata ruang; (vi) pengembangan kerjasama antardaerah. Solusi struktural lebih bersifat kegiatan fisik yang sebagian besar telah dilaksanakan seperti pembangunan waduk, rehabilitasi situ, pembangunan polder dan lainnya.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMEN PEMERINTAH

Dinas Kebersihan Pemerintah DKI Jakarta. Masterplan dan Kajian

Akademis Persampahan DKI Jakarta. Jakarta , 2012.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Laporan Nasional. Evaluasi

Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun 2014. Jakarta, 2015.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Telaahan Bappenas terhadap

Permasalahan Ibukota Jakarta dan Solusi Penanganannya. Policy Brief.

Bahan Tayangan. Jakarta 2012.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Status Lingkungan Hidup Daerah

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013. Laporan. Jakarta, 2014.

BUKU

Gunawan, Restu. Gagalnya Sistem Kanal. Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Kompas, Jakarta 2010.

Kumurur, Veronica A. Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan

Perempuan. PPLH-SDA Unsrat Press-Manado, Universitas Sam

Ratulangi Manado-Indonesia, 2010.

MAKALAH-KARYA ILMIAH-ARTIKEL

Dahuri, Rokhmin. Banjir Jakarta dan Solusinya. Koran Sindo 21 Januari 2014.

Djakapermana, Ruchyat Deni. Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur: Upaya Menyeimbangkan Pertumbuhan Ekonomi

dengan Kelestarian Lingkungan Hidup. Buletin Tata Ruang, Edisi

Juli-Agustus 2008, BKPRN.

Djakapermana, Ruchyat Deni. Reklamasi Pantai sebagai Alternatif

Pengembangan Kawasan. Buletin Tata Ruang, Edisi Juli-Agustus 2010,

BKPRN.

Handayani, Sarwo. Implikasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau dan

Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang

Edisi Maret-April 2008, BKPRN

Hudalah, Delik dan Pratama, Yudistira. MRT: Angkutan Perkotaan Masa Depan. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2010, BKPRN. • Ibrahimy, Dhaifi. Permasalahan dan Solusi bagi Urbanisasi dan

Over-Populasi di Kota Megapolitan. Pasca Sarjana Sosiologi Universitas

Airlangga, Semarang, 2011.

Mungkasa, Oswar. The Sustainable Cities. Graduate School of Public

(18)

Mungkasa, Oswar. Cost Benefit Analysis of Sticker Policy in Central Business Jakarta. Graduate School of Public and International Affairs,

University of Pittsburgh, USA, 1998.

Mungkasa, Oswar. Menuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh. Republika 6 Oktober 2010.

Mungkasa, Oswar. Pembangunan Perumahan pada Penerapan Model ‘Compact City’ di DKI Jakarta. Buletin Tata Ruang dan Pertanahan Tahun 2012, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas, Jakarta, 2012. • Mungkasa, Oswar. Mengurangi Timbulan Sampah Perkantoran sebagai

Bagian dari Upaya Pemecahan Masalah Sampah Perkotaan. Majalah

Kelola. Sumber Informasi Kelola Sampah dengan Bijak. Edisi I Tahun 2013. Inswa, Jakarta, 2013.

Nainggolan, Azas Tigor. Pembenahan Transportasi Jakarta/Sembilan

Langkah untuk Revitalisasi Angkutan Umum Jakarta. Jakarta, 2011.

Diakses dari situs Wikibuku.

Parasati, Hayu. Kebijakan Perkotaan terkait Perubahan Iklim. Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.

Prasetijaningsih, Chris D. Ruang Terbuka Hijau dalam Kota yang Sehat. Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2012, BKPRN.

Putra, Rian Permana. Resume Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Fakultas Politik Pemerintahan,

Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, 2014.

Sekretaris Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek.

Kerjasama Antardaerah dalam Penataan Ruang Kawasan

Jabodetabekpunjur. Buletin Tata Ruang Edisi September-Oktober 2008,

BKPRN.

Soegijoko, Budhy Tjahjati S. Smart Growth dalam Pengembangan Perkotaan. Buletin Tata Ruang Edisi Januari-Februari 2011, BKPRN. • Susantono, Bambang. Electronic Road Pricing (ERP). Salah Satu Solusi

Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. Buletin Tata Ruang

September-Oktober 2008, BKPRN.

Susantono, Bambang. Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di

Jakarta. Buletin Tata Ruang September-Oktober 2008, BKPRN.

Tarigan, Antonius. Kerjasama Antardaerah untuk Peningkatan

Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah. Buletin

Tata Ruang Edisi Maret-April 2009, BKPRN.

Tim Redaksi Butaru. Pembatasan Kendaraan untuk Mengurangi

Kemacetan Jakarta. Buletin Tata Ruang Edisi Maret-April 2008, BKPRN.

Widiantono, Doni J. Green Transport: Upaya Mewujudkan Transportasi

yang Ramah Lingkungan. Buletin Tata Ruang Edisi Mei-Juni 2009,

BKPRN.

KLIPING BERITA

(19)

INTERNET

• Pembenahan Transportasi Jakarta. Wikibuku (id.wikibooks.org/wiki/

Pembenahan_Transportasi_Jakarta/Transportasi_Kota_Jakarta). Diakses

tanggal 1 Juni 2015 pukul 20.45 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dalam penjabaran diatas adalah bagaimana tentang shalat tahajud dengan cara yang baik dan benar serta khusyuk dapat mengakibatkan akal dan fikiran manusia

Dalam penelitian ini akan dibedakan nilai kepedulian lingkungan, keterampilan pro- ses dan pemahaman konsep untuk peserta didik yang diajar menggunakan perangkat

Pada akhirnya, Farid Esack ingin mengatakan bahwa manusia tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu

„urf „amali dan „ urf lafzhi. „ Urf lafzhi bisa diterima. Maka nash dengan suatu redaksi harus difahami sesuai „urf lafzhi yang berlaku saat itu kecuali ada

Seorang konselor yang profesional tidak hanya harus menguasai kompetensi konseling saja, tetapi juga harus “multi skill”, artinya mempunyai banyak kemampuan-kemampuan lain

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa MSPE merupakan ukuran yang lebih tidak reliabel untuk mengevaluasi kecocokan suatu model regresi dibandingkan dengan MSE, terutama

yang akan dilakukan adalah pengukuran aktivitas antioksidan sebagai salah satu parameter yang mewakili keadaan teh daun kersen Muntingia calabura L., total asam dan pH medium

Perbandingan hasil uji mutagenisitas mutagen standar (4-nitrokuinolin-N- oksida), dan efek antimutagenisitas ekstrak aseton dari kulit batang sesoot (Garcinia picrorrhiza