Perilaku dan Budaya Etis dalam Organisasi
Apa yang menyusun perilaku etis yang aik belum pernah terdefinisikan dengan jelas. Namun, secara umum perilaku etis merupakan suatu reaksi dari sikap individu yang didalamnya harus menentukan tindakan yang benar dan yang salah. Penilaian mengenai yang benar dan yang salah didasarkan pada seperangkat keyakinan individu ataupun kelompok dalam suatu organisasi.
Tindakan manusia (human action) merupakan subyek utama pertimbangan etis. Perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh individu secara sadar dan sengaja memiliki tanggung jawab atas aktivitas yang dipilih. Perilaku dapat menimbulkan isu etika ketika perilaku tersebut bermanfaat atau merugikan pihak lain. Contoh: Pakai dasi warna merah? Mencontek pekerjaan orang lain? Berselingkuh? Dan sebagainya, merupakan suatu tindakan yang memerlukan pertimbangan etis dengan didasakan pada keyakinan tentang manfaat dan kerugian yang akan diperolehnya. Dalam suatu organisasi, seorang pemimpin harus menciptakan iklim yang diwarnai dengan perilaku-perilaku etis tersebut dan dikembangkan menjadi suatu budaya dalam organisasinya. Perilaku etis dalam suatu organisasi akan tercermin pada tiga hal, yaitu: 1) adanya keadilan (fairness); 2) asas kemanfaatan (profitability); dan 3) tidak melanggar hak orang lain (rights).
Masalah budaya organisasi (Organization Culture) akhir-akhir ini telah menjadi suatu tinjauan yang sangat menarik terlebih dalam kondisi kerja yang tidak menentu. Budaya organisasi kembali digali guna menggali kekuatan-kekuatan diri yang telah dimiliki namun cenderung diabaikan. Pada saat lingkungan eksternal dianggap kurang mampu mengatasi masalah yang timbul, maka orang kembali menengok kekuatan yang ada meskipun hal itu diyakini pula tidak dapat menyelesaikan masalah secara
keseluruhan. Namun dengan menggali budaya yang ada, maka diharapkan dapat menggali kekuatan yang dimiliki.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.
Ada begitu banyak definisi mengenai budaya yang pada hakekatnya tidak jauh berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Budaya oleh Robbins (2003) diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos dan praktek-praktek yang terus berlanjut; mengarahkan orang untuk berperilaku dan dalam upaya memecahkan masalah. Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada kapasitas manusia untuk belajar dan mentarnsmisikannya bagi keberhasilan generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-nilai yang mereka anut.
Deal dan Kennedy menambahkan bahwa nilai pada hakekatnya merupakan inti dari suatu budaya. Nilai memberikan suatu sence of common direction bagi semua anggotanya dan petunjuk bagi perilaku sehari-harinya. Semakin kuat nilai-nilai itu diinternalisasi maka semakin kuat pula budaya etis tersebut mempengaruhi kehidupan mereka. Terkadang budaya itu sedemikian kuat dan kohesif, sehingga setiap orang tahu tujuan organisasi dan mereka mau bekerja untuk mencapainya.
kokoh, maka betapapun bagusnya suatu bangunan, ia tidak akan cukup kokoh untuk menopangnya. Ada sejumlah tahapan bila suatu perusahaan ingin membentuk budaya yang etis. Pertama-tama perusahaan harus melihat ke depan mengenai apa visinya, kemudian sistem nilai apa yang dimiliki, selanjutnya bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam organisasi itu sendiri, dan akhirnya melihat bagaimana sumber dayanya. Dalam hal ini Susanto (1997) memiliki pendapat bahwa budaya organisasi dapat dihidupkan pertama-tama melalui seleksi, yaitu memperoleh anggota yang setidak-tidaknya memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya organisasi yang ada; manajemen atas, dalam hal ini manajemen atas mempunyai peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui tindakan-tindakannya; sosialisasi, budaya yang ada hendaknya terus-menerus disosialisasi baik anggota baru maupun anggota lama, prosesnya dapat berupa orientasi dan pelatihan melalui cerita-cerita tentang pendiri, ritual-rital yang ada, simbol-simbol dan sebagainya.
Lebih lanjut, Schein (dalam Hesselbein, Goldsmith dan Beckhard, 1996) menambahkan bahwa proses terjadinya budaya perusahaan (organisasi) melalui tiga cara, yaitu:
1)Para wirausahawan mengambil dan mempertahankan bawahan-bawahan (anggota-anggota) yang berpikir dan merasakan cara yang mereka lakukan.
2)Mengindoktrinasi dan mensosialisasikan cara berpikir dan cara merasakan mereka.
3)Perilaku mereka sendiri adalah model peran yang mendorong anggota untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi keyakinan, nilai-nilai dan asumsi-asumsi mereka.