• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demokrasi dan Relasi Negara Kapital di I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Demokrasi dan Relasi Negara Kapital di I"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 1

Demokrasi dan Relasi Negara

Kapital di Indonesia

David Widihandojo

Abstrak

Relasi negara dan kapital merupakan variabel signifikan bagi eksistensi sebuah negara karena menentukan stabilitas ekonominya. Makala ini membahas bagaimana Indonesia demi menstabilkan ekonominya membentuk kapital serta bagaimana kapital yang semula berada diluar negara secara bertahap bergerak masuk kedalam negara. Masalah ini disoroti dengan memperhatikan kontradiksi-kontradiksi elemen-elemen yang membentuk negara, tekanan kapitalisme global serta pergeseran ideologi yang terjadi pada elit politik.

I.

Pendahuluan

Apakah Indonesia sebuah demokrasi? Jawabnya sangat jelas “ya,” dengan pengecuali

-an Filipina serta memperhatik-an perkemb-ang-an terakhir di Thail-and, Indonesia adalah y-ang

paling demokratis di kawasan Asia Tenggara. Lihat saja berita surat kabar dan majalah, talk

show radio dan televisi, diskusi politik jalanan di warung-warung tegal dan suasana kampung

saat pilkada. Kita dengan mudah mendengar kritik rakyat dalam bentuk omelan para bakul

atas kebodohan pemerintah mengatur pasar dan terbahak-bahak melihat perilaku para ibu

yang “buta politik” tetapi pandai menambah uang belanja dengan rajin berkeliling kampung

mengumpulkan uang serangan fajar, kemudian berceloteh santai dan ceria:”Duitnya oke,

nyoblosnya? Nanti dulu yaaa….” Ini menunjukkan betapa tingginya kesadaran politik serta

betapa bebasnya mereka membicarakan aspirasi politiknya, sangat berbeda dengan kebekuan

politik di masa Orde Baru. Namun demokrasi Indonesia memiliki sisi yang sangat berbeda;

jika kita perhatikan wajah para tokoh politik di televisi atau dalam foto-foto di lembar

pemilihan umum, kita segera sadar ini bukan orang-orang baru. Di masa Orde Barupun

mereka sudah tampil ke publik, hanya saja saat itu adalah generasi muda yang memegang

posisi sebagai asisten wali kota, wakil bupati, asisten jenderal, pebisnis yang akrab dengan

pejabat bahkan preman. Kini mereka adalah bagian dari rejim Orde Baru yang memegang

posisi –posisi kunci dalam rejim Reformasi.

Demikian pula dengan otonomi daerah setelah satu dekade lebih diterapkan hanya

segelintir daerah yang mampu memanfaatkan otonomi ini secara optimal sehingga tidak lagi

(2)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 2 utama sehingga pekerjaan pokok pimpinan daerah adalah “tugas dinas” di Jakarta yang diisi

dengan nongkrong di café hotel-hotel berbintang untuk koordinasi dengan calo-calo

anggaran berebut anggaran proyek Pusat, situasinya jauh lebih buruk dibandingkan di masa

Orde Baru. Jika dulu para calo hanya aktif disekitar Kementerian Keuangan, kini merekapun

bekerja di Senayan sehingga dana lobby melonjak menyerap sebagaian besar Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang seharusnya hanya untuk kemandirian daerah.

Lebih jauh turun ke akar rumput, kita temui bahwa organisasi yang seharusnya

menjadi platform perjuangan bersama petani atau nelayan tetap lumpuh dibajak birokrat, politisi dan pensiunan jenderal sebagai panggung tebar pesona mengumbar janji-janji usang.

Padahal untuk mengatasi permainan pasar dibutuhkan aksi bersama (collective action)

sehingga sebuah organisasi nasional sebagai platform perjuangan bersama mutlak

dibutuhkan petani dan nelayan, akibatnya petani dan nelayan tetap miskin karena selalu men

-jadi korban permainan pasar. Bahkan dalam konflik tanah jumlah petani yang mati

ditembak ataupun disiksa hingga cacat tiap tahun terus menerus meningkat dengan tajam,

sebuah cara penyelesaian masalah model Orde Baru yang tetap langgeng sampai saat ini. 1

Demikian pula dengan para buruh industri, sekalipun memiliki organisasi buruh nasional

tetapi tetap terjerembab di bawah dominasi koalisi penguasapengusaha. Memang demon

-strasi buruh kini makin sering terjadi tetapi keputusan politik tidak pernah diambil dijalanan,

melainkan didalam negara dimana kepentingan buruh memang tidak terwakili. Para preman

masih tetap berkeliaran, bebas bekerja, didanai pengusaha dilindungi penguasa dipersenjatai

militer, mengancam bahkan kalau perlu mengeliminasi elemen-elemen radikal dikalangan

buruh.

Inikah demokrasi yang kita banggakan? Demokrasi yang dikatakan jalan menuju pem

-bangunan sejati bagi rakyat karena hanya melalui demokrasi rakyat dapat bangkit memiliki

posisi tawar, dipimpin oleh pemimpin yang mereka pilih sendiri serta memperjuangkan

kepentingan mereka. Jika impian demokrasi itu benar, mengapa organisasi-organisasi rakyat

tidak bangkit, tetap tidak memiliki posisi tawar, tetap tidak dipimpin oleh pemimpin yang

mereka pilih sendiri serta tidak menjadi platform perjuangan bersama? Jika reformasi politik ditempuh dengan menyingkirkan rejim lama yang otoritarian untuk digantikan rejim

baru yang sepenuhnya demokratis. Mengapa yang terjadi adalah hanyalah reorganisasi rejim

lama untuk berintegrasi dengan rejim baru? Apa sebenarnya yang terjadi dengan demokrasi

Indonesia?

(3)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 3 Sebelum melangkah lebih jauh perlu digaris bawahi bahwa Indonesia tidak sendiri.

Semua negara sedang berkembang di dunia ini yang mengikuti jalan demokrasi liberal Barat

mengalami permasalahan sama. Seluruh negara-negara demokrasi di Asia; India, Srilanka,

Filipina, Indonesia dan Bangladesh, dari segi pembangunan prestasinya buruk, ketimpangan

sosial parah, tidak memiliki organisasi rakyat yang efektif memperjuangkan kepentingan

bersama serta kemiskinan amat parah; bahkan di India kemiskinan jauh lebih buruk

daripada di Sub Sahara Afrika, bukan hanya jumlahnya yang lebih banyak tetapi juga kondisi

kehidupan kaum miskin jauh lebih buruk.2 Jika kita cermat memahami data maka sebenar

-nya sangat berlimpah bukti yang menunjukkan bahwa tidak ada relasi signifikan antara

penerapan demokrasi liberal Barat dengan prestasi pembangunan termasuk pemberantasan

kemiskinan.

II.

Kata-Kata Kunci

Sebelum melangkah lebih lanjut perlu diperjelas kata-kata kunci yang digunakan

dalam makala ini yaitu: negara (state) adalah tatanan sosial, budaya, politik, ideologi dan

ekonomi yang terbentuk dalam perilaku tertentu; dengan demikian negara bukanlah suatu

subyek nyata. Jessop mengemukakan, the state is not a realsubject that exercise power [but

that] the state powercertainly exist.3 Dalam konteks ini, aparatur negara adalah perwujud -

an serta bentuk institusional dari kekuasaan negara. Negara dan aparatur negara bukanlah

satu-satunya pusat kekuasaan didalam masyarakat tetapi arena utama bagi pertarungan

politik. Sedangkan pemerintah (government) adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudi

-katif yang mengatur negara. Rejim (regime) diartikan sebagai pola tertentu dalam meng -

organisasi aparatur negara. Ada berbagai pola pengorganisasian aparatur negara misalnya

model demokrasi liberal, otoritarian, sosialistik, konfusian, dsb. Atas dasar pengertian ini

maka pemerintah dapat berganti-ganti tetapi negara dan rejim cenderung tetap, seperti di

Thailand dan Italia. Namun dapat juga terjadi bahwa untuk mempertahankan negara, rejim

digantikan seperti yang terjadi di Indonesia dengan kudeta Soeharto, Chile dengan kudeta

Pinochet dan demokratisasi Korea Selatan oleh Roh Tae Woo.

2 . Kemiskinan di India adalah yang terburuk di dunia berdasarkan standar pengukuran kemiskinan ter -baru, the Multidimensional Poverty Index,konsentrasi kemiskinan terbesar di dunia berada di India, jumlah penduduk miskin India (prosentase dari total penduduk) melebihi 26 negara Afrika yang termiskin, bukan hanya itu tetapi kondisinya juga sangat menyedihkan. 50% anak-anak di India kekurangan gizi dan 40% dari total anak-anak kekurangan gizi dunia berada di India. Kondisi ini jauh lebih buruk daripada apa yang terjadi di negara-negara Sub Sahara Afrika. Lihat laporan, Long, Simon. 2005. “India and China: The Tiger in Front,” The Economist, 5 March; Pilling, David. 2008. “India Hits Bottleneck on the Way to Prosperity” Financial Times, 24 September; “India: New Poverty Index Unveiled,” Time, July 26, 2010, hal. 8; “Child Malnutrition in India: Putting the Smallest First,” The Economist, September 25th 2010, hal. 30-32.

(4)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 4 Negara dipahami sebagai negara kapitalis (capitalist state); ini tidak berarti bahwa

negara didominasi secara fisik oleh kaum kapitalis. Pengertian ini didasarkan pada posisi

yang diambil oleh negara yaitu mendukung capitalist mode of production demi memper -tahankan stabilitas ekonomi negara. Berarti, pengertian negara kapitalis dilihat pada relasi

obyektif antara negara dan kapital seperti dikemukakan Poulantzas,

The relation between the bourgeois and the state is an objective relation. This means that if the function of the state in a determinate social formation and the interest of the dominant class in this formation coincide, it is by reason of the system itself...the direct participation of members of the ruling class in the state apparatus is not the cause but the effect. 4

Dengan demikian penulis tidak mendasarkan diri jargon-jargon politik dalam menetapkan

sebuah negara; misalnya menetapkan China sebagai sebuah negara komunis. Berdasarkan

logika Poulantzas maka China dan Russia – dari dulu sampai sekarang – adalah negara

kapitalis yaitu Kapitalisme Negara (State Capitalism). Apa yang terjadi dengan China dan

Russia bukannya mereka berubah dari sosialis menjadi kapitalis tetapi mereka mereformasi

diri sendiri, memperbaiki dirinya sendiri menjadi sebuah kapitalisme yang lebih baik, sebuah

kapitalisme yang disempurnakan sehingga sangat unggul dalam kompetisi global. Reformasi

diri inilah yang tidak terjadi dengan kapitalisme di dunia Barat. Dunia Barat justru

menempuh jalan ortodoksi sehingga terjadi pelapukan (decaying), sebuah kehancuran dari

dalam.

III.

Hampiran Teoritik

Hampiran teoritik (theoretical approach) sosial-politik yang paling banyak dipakai di

Indonesia adalah Determinisme Budaya (Cultural Determinism); Clifford Geertz sangat berperan membuat populer hampiran ini. Geertz yang melakukan penelitian di Mojokuto,

Jawa Timur mengajukan tesis bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga kelompok

yaitu santri, abangan dan priyayi. Dasar pemilahan Geertz ini rancu karena campur-aduk

antara pembagian kelompok atas dasar kesalehan dengan kelas sosial. Sekalipun demikian

tesis Geertz ini diterima begitu saja secara luas dan karya-karyanya dijadikan acuan dalam

kuliah-kuliah sosial-politik sehingga hampiran yang digunakannya sangat berpengaruh

dalam analisis sosial-politik di Indonesia. Beriringan dengan Geertz adalah Lance Castles

yang melakukan penelitian di Kudus, Jawa Tengah. Castles menggunakan kacamata yang

sama dengan Geertz sehingga melihat penyebab hancurnya para pengusaha kretek pribumi di

Kudus adalah pada nilai-nilai religius Islami yang dianut mereka. Castles melihat bahwa

(5)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 5 nilai-nilai religius Islami tsb tidak sejalan dengan spirit kapitalisme yang sangat dibutuhkan

untuk bekerja dalam sebuah perekonomian pasar. Sedangkan para pengusaha Tionghoa

keturunan yang keyakinan religiusnya tidak bertentangan dengan spirit kapitalisme jauh

lebih bebas bekerja serta mudah beradaptasi dengan perekonomian pasar sehingga jauh lebih

unggul.5 Sejak itu para analis sosial-politik Indonesia cendrung memakai kacamata

Determinisme Budaya dalam memahami akar masalah dari problema sosial; jawab yang

diberikan selalu terletak pada individu dengan nilai, moral dan kompetensi.6 Demikian pula

dengan peneliti sosial – politik yang sangat berpengaruh di Indonesia, Ben Anderson meng

-gunakan Determinasi Budaya serta filosofi negara statis (state qua state) dimana negara

adalah sesuatu yang pasti dan tetap sehingga fokus analisis Anderson pada individu, para

pemangku jabatan/birokrat, termasuk perilaku dan kepentingan-kepentingannya.7 Oleh

karena tekanan analisis pada individu, determinisme budaya dan psikologi sosial menjadi

alat utama untuk menjelaskan perilaku dan kepentingan individu tsb.

Kelemahan utama Determinisme Budaya adalah fokusnya yang mutlak hanya pada

individu dan perilakunya. Sebagai contoh, Anderson melihat sosok Soeharto lengkap dengan

kultur feodal Jawanya sebagai sumber otoritarianisme Orde Baru. Analisis dengan fokus

mutlak pada individu semacam ini memberi ilusi bahwa penyelesaian masalah hanya

terletak pada individu ybs. Pada saat hari-hari terakhir rejim Soeharto, kaum Reformis

melihat bahwa jatuhnya Soeharto pasti akan membawa angin segar demokrasi dimana rakyat

akan bangkit untuk ikut berperan dalam pembangunan. Demikian pula saat ini berbagai

artikel di surat kabar, majalah dan jurnal beserta diskusi-diskusi politik di Indonesia; hampir

semuanya melihat bahwa problem utama bagi Indonesia terletak pada lemahnya

kepemimpinan SBY sehingga jika SBY digantikan otomatis masalahnya selesai, tanpa pernah

menyadari bahwa ini hanyalah ilusi. Sangat benar kualitas kepribadian dan kemampuan

kepemimpinan penting tetapi siapapun yang akan menggantikan SBY, sekalipun memiliki

kualitas kepribadian yang mumpuni, memiliki kemampuan kepemimpinan yang hebat dan

didukung rakyat, begitu dia duduk di kursi kepresidenan pasti menyadari negara yang

dipimpinannya tercabik-cabik kedalam berbagai kelompok yang saling tarik-menarik demi

5. Geertz, Clifford. 1963. Peddlers and Princess: Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, the University of Chicago Press, Chicago; Castles, Lance. 1967. Religion, Politics and Economic Behaviour in Java: the Kudus Cigarette Industry, Southeast Asian Studies, Yale University.

6 . Kacung Marijan. 2010. “Biaya Demokrasi,” Kompas, 24 Agustus, hal. 7. Sindhunata. 2012. ”Reformasi yang Ironis,” Basis, No. 05-06, Th. 61, hal. 2-3.

7. Anderson, B. R. O’G. 1972. “ The Idea of Power in Javanese Culture”, in Holt, C (ed.) Culture & Politics in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca; 1978. “Last Day of Indonesia’s Suharto?”Southeast Asia Chronicle, no. 63; 1983. “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical

(6)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 6 kepentingan-kepentingan sempit yang berbeda-beda. Sekalipun Obama mendapat dukungan

rakyat dan memimpin negara yang memiliki demokrasi matang tetap tidak dapat berbuat

banyak untuk mengubah negaranya. AS tetap terpuruk tanpa perubahan yang berarti serta

tidak ada terobosan yang dapat dilakukan karena lebih dari separuh masa jabatannya habis

hanya untuk menyelesaikan berbagai pertarungan politik, bernegosiasi dengan berbagai

kelompok yang bermain dalam negara. Para pemimpin yang mengubah sebuah negara seperti

Aung San Suu Kyi, Lee Kuan Yew, Deng Xiaoping, Mahathir Mohamad, Ho Chi Minh, Kemal

Ataturk atau Bismarck, tidak ada seorangpun yang bekerja sendiri. Semuanya bekerja

didalam kelompok dan kelompok pendukung itu merupakan variabel yang signifikan dalam

menentukan keberhasilannya. Dengan demikian sangat menentukan untuk mengkaji iklim

pertarungan antar kelompok di dalam negara. Justru disinilah titik lemah hampiran Deter

minisme Budaya, analisisnya tidak menjelaskan adanya pertarungan antar kelompok di

-dalam negara serta pilihan-pilihan rasional yang ditempuh.

Selain itu analisis Anderson yang melihat Soeharto dengan nilai-nilai feodal Jawa

sebagai sumber otorianisme Orde Baru menunjukkan posisi argumennya bahwa otoritarian

-isme Orde Baru bukan pilihan rasional tetapi merupakan naluri primordial belaka sehingga

penyelesaian atas problema otoritarianisme Indonesia cukup menggantikan Soeharto. Ini

sebuah argumen yang sangat sederhana tanpa analisis yang sistematis dan mendalam.

Huntington memberikan catatan atas kesederhanaan argumen Determinisme Budaya ini,

sebagai berikut:

Just exactly how culture is responsible for the political and economic differences one is attempting to explain is often left extraordinarily vague. Cultural explanations are thus often imprecise or tautological, or both, at the extreme coming down to a more

sophisticated rendering of ‘the French are like that! “8

Anderson tidak melihat bahwa otoritarianisme Indonesia lahir merupakan pilihan

rasional; melalui diskusi dan perdebatan, didasarkan pada alasan-alasan spesifik-obyektif

serta dalam kerangka filosofi politik yang jelas, jadi jelas bukan naluri primordial kesukuan

semata. Pilihan Soepomo pada Negara Kesatuan dimana posisi negara kuat dan sentral

beserta sistem presidensial sebagai bentuk yang tepat bagi Indonesia didasarkan pada filosofi

Negara Organik (Organic Statism) dimana negara dan masyarakat Indonesia dilihat sebagai satu kesatuan utuh, bukan dua elemen yang kontradiktif seperti dalam konsep demokrasi

liberal. Soepomo dalam pidatonya di BPUPKI mengajukan alternatif bentuk pengorganisasi

8. Huntington, Samuel, 1987.”The Goals of Development”, in Weiner, Myron & Huntington, Samuel

(7)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 7 an negara yang tepat bagi Indonesia adalah integralisme (integralism), yang menurutnya

digali dari Adam Muller, Hegel & Spinoza.9 Konsisten dengan usulnya, Soepomo meng

-emukakan visinya tentang Indonesia yang digambarkannya sebagai sebuah komunitas yang

harmonis. Dengan demikian, Konstitusi Negara tidak boleh merefleksikan dualisme negara

dan masyarakat dengan kekuasaan yang besar ditangan Presiden, bukannya Parlemen.10

Gagasan ini dimanifestasikan dalam UUD 1945 dimana kekuasaan Presiden begitu besar

sedangkan hak-hak sipil amat terbatas.11

Filosofi politik Negara Organik (Organic Statism) ini diperkenalkan di Indonesia oleh Jacques Oppenheim, Ketua Komisi Konstitusi Negara Kolonial Hindia Belanda dan

berpengaruh dalam pemikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia.12 Bagi Indonesia

faktor yang mendorong diterimanya filosofi Negara Organik adalah kuatnya nationalist

cultural relativism yang muncul dalam bentuk penolakan terhadap segenap bentuk tradisi Barat.13 Filosofi Negara Organik lahir dan berkembang secara luas diberbagai bangsa di

-muka bumi ini. Sekitar tiga ribu tahun yang lalu Konfusius di China (551 – 479 SM) mendasar

- kan diri pada filosofi Negara Organik dalam mengembangkan Konfusianisme yaitu filosofi

dan etika tentang bagaimana mengatur sebuah negara serta perilaku para pejabat sebagai

pemangku kekuasaan, yang masih digunakan saat ini dalam mengatur China, Korea, Jepang

dan Taiwan. Filosofi Negara Organik adalah sebuah konsep politik pra-Weberian yang

normatif. Konsep ini sama sekali tidak menjelaskan secara analitis konstelasi politik, eko

-nomi dan sosial antar kelas, kelompok maupun antara masyarakat dan negara. Jadi sangat

berbeda dengan konsep negara yang analitis seperti halnya capitalist state, welfare state,

9. Organic Statism adalah filosofi politiknya, sedangkan teknik pengorganisasian negaranya adalah

Corporatist State/Corporatism. Integralism atau Integralist State adalah nama yang dipilih Soepomo untuk mengacu pada Corporatist State.

10. Lihat pidato Soepomo dalam, Yamin, Mohammad. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, vol. I, hal. 263.

11. Logemann dan Nasution, dalam karya yang terpisah, mengemukakan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas hak-hak sipil namun justru memberikan kekuasaan mutlak kepada Presiden. Lihat, Logemann, J. H. A 1982. Keterangan-Keterangan Baru Tentang Terjadinya UUD 1945, diterjemahkan oleh Darji Darmodiharjo, Aries Lima, Jakarta. Nasution, Adnan Buyung. 1993. “Adakah Hak Asasi Manusia di Dalam UUD 1945?” Forum Keadilan, No. 20, Januari.

12. Oppenheim, Jacques. 1893. De Theorie van den Organischen Staat en Haare Waarde voor Onzen Tijd

(The Theory of the Organic State and its Value for Our Times), Wolters, Groningen. David Bourchier menemukan pokok-pokok pikiran Oppenheim berpengaruh di Indonesia modern ini dan banyak dikutip didalam tulisan-tulisan politik. Lihat, Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi Doktor Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta; Besar, Abdulkadir. 1984. “Negara Persatuan Citra Negara Integralistik Anutan UUD 1945" di Guru Pinandita: Sumbangsih Untuk Prof. Djokosoetono SH, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Untuk tulisan Bourchier, lihat, Bourchier, David. 1993. Contradictions in the Dominant Paradigm of State Organisation in Indonesia, paper presented in ARC Conference on Indonesia Paradigms for the Future, Fremantle.

13. Robison, Richard.1993. “Indonesia: Tensions in State and Regime”, in Hewison, Robison & Rodan: hal.

(8)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 8

authoritarian-militarist state, dsb. Alfred Stepan dalam penelitiannya di Peru, menemukan

bahwa filosofi ini muncul sebagai manifestasi tradisi Katolik Roma. Stepan mengemukakan

bahwa ada tiga unsur utama dari negara organik yaitu: a mode of governance, a tradition of political thought and a normative framework. 14 Dalam filosofi ini tersirat dengan tegas

diktum Aristoteles bahwa kepentingan negara harus diatas kepentingan keluarga dan

individu. Masyarakat dilihat bukan sebagai totalitas individu yang masing-masing memiliki

kebebasan tetapi lebih sebagai satu komunitas yang kohesif dan terintegrasi demi ketertiban

sosial. Negara dan masyarakat dilihat sebagai satu kesatuan bagaikan sebuah organisme yang

tidak memiliki garis pemisah, tidak memiliki perbedaan kepentingan namun hanya memiliki

perbedaan peran serta fungsi yang logis.

Di Eropa filosofi ini hidup selama berabad-abad yaitu pada saat Vatikan menguasai

hampir seluruh Eropa. Pada awal abad ke 19 di Jerman, Adam Heinrich Muller (1779 – 1829)

ahli ekonomi politik mengembangkan filosofi ini. Gagasannya ditulis dalam Die Elemente

der Staatskunst ( Elements of Statecraft), buku ini merupakan kumpulan materi kuliahnya di

depan Prince Bernhard of SaxeWeimar beserta politisi dan diplomat Jerman yang ter

-kemuka di Dresden tahun 1808. Dalam Die Elemente Muller mengemukakan bahwa sistem

pengorganisasian negara Jerman yang cocok adalah Standestaat (Corporatist State) yang

didasarkan pada filosofi Negara Organik atau dalam istilah Muller Medieval Feudalism dimana negara dan masyarakat dilihat sebagai sebuah organisme yang dipersatukan oleh

budaya, bahasa, hukum dan spirit (volksgeist). Bagi Muller inilah model yang terbaik untuk

pengorganisasian sebuah negara modern.15 Sekalipun keduanya bekerja dijaman yang ber

-beda tetapi Muller memiliki gagasan yang sama dengan Konfusius yaitu fokus pada kewajib -

an etis negara untuk mensejahterakan rakyat termasuk dalam mengelola sumber-sumber

daya ekonomi dan meregulasi pasar. Muller sepenuhnya menolak gagasan pasar bebas (free market) Adam Smith dengan mengemukakan kritik bahwa pasar bebas adalah sebuah

ekonomi tanpa etika (an economy without ethics). Gagasan Muller ini sangat berpengaruh di

Jerman, negara-negara Eropa dan di negara-negara dengan tradisi politik Iberian sampai

saat ini. Dimasa Eropa modern pada saat negara-negara di Eropa Barat menerapkan model

Welfare States dimana negara berperan kuat, aktif dan intervensionis mengatur perekonomi

- an demi kesejahteraan warganya adalah manifestasi dari gagasan Adam Muller.

14. Stepan, Alfred. 1978. The State and Society: Peru in Comparative Perspective, Princeton University Press, Princeton, New Jersey.

(9)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 9 Dengan demikian konsep politik Negara Integralistik yang dilahirkan Soepomo adalah

hasil pemikiran yang mendalam dari para pendiri (the founding fathers) negara ini.

Sedangkan peran Soeharto adalah dengan tekun, teliti dan konsisten menterjemahkan filosofi

Negara Organik menjadi sebuah negara Korporatis Indonesia. Soeharto membentuk dan

menata lembaga-lembaga negara dan politik secara sistematik, rapi, efisien dan efektif

lengkap dengan Sistem Operasional Prosedurnya sehingga setiap orang jika berurusan

dengan pemerintah tahu secara pasti apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh

dilakukan. Inilah Negara Korporatis Indonesia dimana posisi negara kuat dan intervensionis

seperti yang terjadi di Jerman, Jepang, Korea dan China.

Hampiran teoritik lainnya yang populer di Indonesia adalah Fungsional Struktural

-isme (Structural Functionalism) yang dikenal di Indonesia melalui tulisan-tulisan Samuel

Huntington dan William R. Liddle.16 Baik Liddle maupun Huntington melihat dua variable

yang akan membawa perubahan ke arah demokrasi, yaitu nilai (value) yang berubah serta

mempengaruhi perdebatan di lingkungan elit politik. Pandangan ini didasarkan pada asumsi

bahwa perubahan akan tercipta melalui proses pendekatan persuasif, yang akan menciptakan

perubahan pada nilai, tingkah laku dan institusi. Variabel lain adalah munculnya elit baru

yaitu sebuah kelas menengah yang terbentuk sebagai akibat adanya proses pembangunan.

Kelas menengah terdiri dari para profesional yang akan mempertanyakan kemampuan rejim

untuk mengakomodasi kepentingan mereka.17

Bagi Huntington, otoritarianisme merupakan respons fungsional untuk mencegah

disintegrasi sosial. Rejim otoriter dibutuhkan untuk menciptakan integrasi antar berbagai

elemen dalam masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketertiban

politik. Pada saat masyarakat mengalami transisi sosial dan ekonomi dari masyarakat

tradisional ke masyarakat industri modern akan mengalami suatu kelabilan sosial politik.

Untuk menyelamatkan masyarakat dari situasi chaos dibutuhkan suatu hegemoni kekuasaan

politik (political power) yaitu sebuah rejim otoritarian. Rejim ini memiliki tugas khusus yaitu

mengelola fase transisi sosial-politik sampai terbentuknya sebuah kelas menengah yang

mapan untuk memegang kendali hegemoni politik. Bagi Huntington, sistem politik otoriter

16. Liddle, William, R. 1985. “Soeharto’s Indonesia: Personal Rule and Political Institutions,” Pacific Affairs, Vol. 58, No.1, hal. 68-90; 1989.”The National Political Culture and the New Order”, Prisma, No. 46, March, 1989, hal. 4-20; 1990. ”The Middle Class and New Order Legitimacy: A Response to Dan Lev”, in Tanter & Young, (eds), The Politics of Middle Class Indonesia, Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies Monash University; 1992. “Indonesia Democratic Past & Future”, Comparative Politics, July. “Can All Good Things Go

Together? Democracy, Growth and Unity in Post-Soeharto Indonesia”. Paper for Conference on Indonesian Democracy, Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, Melbourne, December 17-20.

(10)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 10 merupakan suatu instrumen yang tepat untuk mencegah disintegrasi masyarakat. Sekaligus

menciptakan iklim yang stabil bagi investasi sehingga dalam jangka panjang akan tercipta

kelas borjuasi dan menengah baru yang mendorong terciptanya demokrasi. Artinya, sistem

politik otoriter dibutuhkan demi terciptanya basis bagi akumulasi modal serta dalam jangka

panjang bagi demokrasi. Dengan kata lain, rejim otoriter bertugas untuk mengintegrasikan

seluruh elemen dalam masyarakat hingga pada suatu saat nanti akan menyerahkan kendali

kekuasaan yang dipegangnya kepada elit baru yang terbentuk yaitu kepada sebuah kelas

menengah baru.

Di Indonesia argumen semacam ini cukup populer. Adanya sebuah kekuatan sosial &

politik yang dominan serta cenderung otoriter, tidak dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan

menekan tetapi bermanfaat seperti yang ditegaskan oleh Siswono bahwa,

“…untuk mencapai stabilitas, diperlukan partai/orsospol yang dominan; dalam hal Indonesia, kekuatan sosial politik yang dominan itu GOLKAR dan ABRI;

walaupun seringkali oleh sementara pihak dirasakan terlalu dominan hingga terasa kurang mengembangkan partisipasi dari kekuatan-kekuatan sosial politik yang lain. Bagaimanapun, manfaatnya lebih banyak dari pada kerugian- nya”18

Satu setengah dekade kemudian, Huntington melihat bahwa transisi ke demokrasi yang di –

prediksikan tidak terjadi; rejim-rejim otoritarian Asia Timur & Tenggara tetap bertahan deng

an kukuh sekalipun telah terbentuk kelas borjuasi dan menengah yang mapan. Dalam me

-revisi tesisnya, Huntington mencari jawab pada nilai kultural dan mengajukan argumen tran

-sisi ke demokrasi hanya terjadi dalam sistem budaya yang kondusif bagi demokrasi. Hunting

- ton menunjuk nilai-nilai Protestan lebih menekankan kompromi dan persamaan sehingga

kondusif bagi transisi ke demokrasi. Berbeda dengan Islam dan Konfusianisme yang hirar

-khis (hierarchical) sehingga menciptakan hambatan bagi transisi ke demokrasi. Dengan me -makai Determinisme Budaya, merupakan titik balik bagi Huntington, Huntington me-makai

comparative & functional analysis yang sistematis dalam tesis sebelumnya.19 Dengan Deter -minisme Budaya, Huntington tidak memberikan jawab atas pertanyaan yang ada karena De

-terminisme Budaya hanyalah tautologikal (tautological), jawaban atas pertanyaan utama, mengapa otorianisme tetap bertahan? Hanya dijawab dengan menunjuk pada nilai budaya

18. Yudohusodo, Siswono. 1996. Dinamika Demokrasi Politik Dalam Pembangunan Berwawasan Ke -bangsaan. Makala dalam seminar Dinamika Demokrasi Politik Dalam Pembangunan Berwawasan Kebangsaan, Salatiga 26-27 Nopember. Pokok-pokok pikiran Ir. Siswono Yudohusodo adalah cukup menarik untuk diikuti oleh karena ybs merupakan salah satu unsur pemimpin muda politik Golkar dari unsur sipil dengan latar belakang bisnis yang kuat. Salah satu buku yang ditulisnya adalah, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia, Yayasan Penebitan Padamu Negeri, Jakarta, 1985.

(11)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 11 tertentu yang diduga sebagai penghambat tetapi tidak menjelaskan mengapa dan bagaimana

prosesnya sehingga menghambat sehingga bukan sebuah jawaban yang analitis. Tiga tahun

kemudian Huntington mengakui kesalahan ini.20

Diawal dekade 1980an para ahliahli ilmu sosial jenuh, gelisah dan ragu atas ke

mampuan teoriteori global dalam menyelesaikan problema negaranegara sedang ber

-kembang. Pada tahun 1985, tiga ahli ilmu sosial (social scientist) Eropa yang terkemuka yaitu

Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer dan Theda Skocpol mengajukan argumen untuk kembali

ke State Theory yang mendasarkan diri pada evolusi sosial-politik negara serta responsnya kepada tekanan global.21 Ini adalah sebuah hampiran teoritik yang kontekstual dimana tiap

negara dianalisis secara spesifik serta mempertimbangkan karakteristik khas yang dimiliki

-nya dan pertumbuhan-nya tidak akan menuju ketitik yang sama. Atas dasar hampiran teoritik

ini para ahli meyakini bahwa kapitalisme Asia bukan sekedar suatu tahap transisi atau

penyimpangan atau bentuk inferior melainkan model lain dari kapitalisme itu sendiri yang

terjadi sebagai akibat kematangan kapitalisme global. 22

Ini amat melegakan para pemimpin negara-negara industri Asia, yang yakin bahwa

membangun sebuah perekonomian negara yang kuat, berdisiplin dan mendasarkan diri pada

nilai-nilai kolektif jauh lebih baik bagi kemapanan basis pertumbuhan bangsa daripada

mengambil bentuk demokrasi liberal.23 Para penganut hampiran teoritik ini meyakini bahwa

dalam membangun negaranya para pemimpin Asia berupaya mencari bentuk struktur sosial – politik yang sesuai dengan karakter spesifik sosial-politik negaranya serta efektif mengatasi tekanan kapitalisme global sehingga mereka menolak Neo Liberalisme yang diajukan IMF

/World Bank. Jeffrei D. Sachs juga yang meyakini bahwa model pembangunan Asia,

khususnya Cina, sangat tepat karena efektif mengatasi kemiskinan setelah teruji selama lima

dekade berturut-turut dan berhasil menurunkan jumlah orang miskin dengan signifikan.24

Dengan demikian pilihan rasional bagi bagi negara-negara sedang berkembang untuk

membangun negaranya tidak lagi otoritarianisme atau demokrasi, kapitalisme atau sosialis

20. Huntington. 1987.

21 . Evans, P; Rueschemeyer, D & Skocpol, T. 1985. Bringing the State Back In. Cambridge: Cambridge University Press.

22 . Amsden, A. 1990. “Third World Industrialization: Global Fordism or New Model?” New Left Review, 182, hal. 5-31; Zysman, J. 1994. “How Institutions Create Historically Rooted Trajectories of Growth”

Industrial and Corporate Change, 3, 1, hal. 243-83; Burkett, Paul & Hart-Landsberg, Martin. 2005. “Thinking

About China: Capitalism, Socialism, and Class Struggle,” Critical Asian Studies, 37, 3, September, hal. 433-40.

23 . Mabhubani, Kishore. 1993. “The Danger of Decadence,” Foreign Affairs, 72, 4, hal 4-14; Kim, Dae Jung. 1994. “Is Culture Destiny? The Myth of Asia’s Anti-Democratic Values”, Foreign Affairs, 73,6: hal.189-94; 1995. “On Asian Democracy. Its Roots Go Back to the Ancients; its Future Could Change the Globe”, Asiaweek, 28 April: hal. 32-4; Lee Kuan Yew. 2000. From Third World To First: The Singapore Story. Singapore: Times Media Limited

(12)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 12 me/komunisme tetapi sistem sosial-politik yang kontekstual dan efektif mengatasi

permasalahan bangsa dan tekanan kapitalisme global serta melindungi sumber-sumber daya

yang dimilikinya.

Bagi tulisan ini penulis mendasarkan diri pada hampiran Structural Statism yaitu

secara spesifik dan kontekstual menganalisis transformasi sosial politik yang muncul dari

berbagai elemen yang membentuk negara serta elemenelemen koalisi sosial yang men

-dukung eksistensi negara. Kontradiksi struktural dalam elemen yang membentuk negara

serta koalisi sosial pendukung negaralah yang mendorong terjadinya transformasi

sosial-politik.25 Berarti analisis fokus pada negara serta kontradiksi-kontradiksi struktural yang

terjadi sehingga tercipta celahcelah yang memungkinkan perimbangan kekuasaan. Per

-tarungan kekuasaan dalam transisi sosial-politik bukanlah sesuatu yang hitam-putih, negara

lawan masyarakat, buruh lawan pemilik modal dsb. Bukti-bukti menunjukkan bahwa transisi

selalu melibatkan berbagai kelompok secara komprehensif, kompleks dan kontradiktif,

misalnya, ada berbagai elemen dalam kelas buruh yang mendukung hadirnya negara yang

konservatif dan otoritarian. Sebaliknya, ada elemen-elemen dalam kelas pemilik modal yang

mendukung gerakan progresif untuk perubahan sekalipun perubahan tsb berarti memotong

dominasi kelas pemilik modal.

IV.

Demokrasi: Sebuah Perdebatan Teori

Bagi negara-negara sedang berkembang salah satu tekanan yang dihadapinya adalah

paksaaan untuk melakukan liberalisasi politik/demokratisasi dan ekonomi yang dilakukan

oleh rejim Neo Liberal negara-negara Barat dan IMF/World Bank. 26 Tekanan politik Barat

ini dikaitkan dengan bantuan bagi pembangunan; negara sedang berkembang penerima

bantuan wajib melakukan liberalisasi politik dan ekonomi. Akibatnya negara-negara sedang

berkembang menjalankan liberalisasi secara tergesagesa. Liberalisasi ini mendapat dukung

-an dari elit politik liberal di negara-negara sed-ang berkemb-ang karena mereka yakin bahwa

demokrasi adalah kunci bagi keberhasilan pembangunan, demokrasi memberikan kebebasan

25. Robison, Richard. 1985. “Class, Capital and the State in New Order Indonesia” in Higgott, Richard & Robison, Richard (eds.). Southeast Asia: Essays in the Political Economy of Structural Change, Routledge, London; 1986. Indonesia: The Rise of Capital, Allen & Unwin, Sydney; 1988. “Authoritarian States,

Capital-Owning Classes and the Politics of Newly Industrialising Countries: the Case of Indonesia”, World Politics, 41, 1, pp. 52-74.

(13)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 13 bagi rakyat.

Dalam masterpiece-nya The Wealth of Nation terbit 1776, Adam Smith mengajukan

argumen bahwa pasar diatur oleh invisible hand yaitu akumulasi insting egoistik individual untuk memaksimumkan keuntungan dan meminimalkan kerugian; ini adalah perilaku

rasional sesuai sifat kemanusiaan (human nature). Bagi Smith ambisi egoistik individual ini dengan sendirinya mengatur pemanfaatan sumber-sumber daya secara efisien. Jika tiap

individu menjadi kaya secara efisien maka masyarakatpun akan menjadi kaya dan efisien.

Dengan demikian apa yang dilakukan negara adalah tinggal mengikuti logika pasar demi ter

-ciptanya efisiensi penggunaan sumber daya dan kemakmuran ekonomi. Gagasan liberalisasi

Neo Liberal mengikuti logika ini; hanya saja kaum Neo Liberal mengembangkan gagasan ini

menjadi kebijakan politik global untuk diterapkan keseluruh negaranegara sedang ber

-kembang di dunia ini. Kerangka dasar logika Adam Smith adalah filosofi Barat yang melihat

inti masyarakat adalah individu, bukannya keluarga atau kelompok. Dalam konsep filosofi

Barat negara adalah pelindung dari apa yang disebut Thomas Hobbes “hutan rimba dimana yang kuat akan menindas yang lemah.” Konsep filosofi inilah yang membedakan Barat dan Timur, bagi negara-negara Asia Timur inti masyarakat adalah keluarga dan negara bukan

sekedar pelindung tetapi rumah bersama dimana berbagai keluarga tinggal sehingga

eksistensi kelompok hanya mungkin dengan adanya negara.

Bagi Indonesia, salah satu sumber gagasan liberalisasi politik dan ekonomi adalah

tulisan Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man yang menyatakan bahwa

kapitalisme dan demokrasi liberal adalah produk kejeniusan peradaban Barat yang melahir

-kan sebuah sistem ekonomi dan politik yang memberi-kan kebebasan bagi umat manusia.27

Sekalipun dalam buku ini Fukuyama lebih merupakan seorang nabi yang bernubuat daripada

ilmuwan sosial yang dengan hati-hati mengajukan argumen atas dasar bukti-bukti tetapi

pendapat Fukuyama ini diterima luas sebagai sebuah kebenaran yang sedang dan telah

terjadi. Fukuyama melihat bahwa hanya ada satu jalan bagi modernisasi yaitu jalan yang

telah ditempuh oleh Eropa Barat dan AS dan hanya ada satu sistem sosial-politik yang tepat

bagi masyarakat modern yaitu demokrasi dan kapitalisme liberal. Dengan demikian seluruh

bangsa-bangsa dimuka bumi ini perlu mengambil jalan yang sama dengan yang telah

ditempuh negara-negara Barat dan menerapkan sistem sosial-politik yang sama pula yaitu

kapitalisme dan demokrasi liberal. Kesamaan ini menyeluruh termasuk lembaga-lembaga

yang dibentuk, pola kerja dan sistemnya; jadi kapitalisme dan demokrasi liberal adalah

(14)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 14 nostrum untuk semua bangsa di dunia ini, one fits all. Kapitalisme dan demokrasi liberal

adalah universal sehingga berjalan dengan modus yang sama di semua negara dan bangsa

dan dalam semua tahapan evolusi masyarakat. Negara-negara sedang berkembangpun

melihat dirinya sendiri sedang menempuh perjalanan dengan masa depan berada di Barat

sehingga mereka cenderung untuk begitu saja melakukan copy and paste teori dan model pembangunan Barat tanpa mempertimbangkan kekhasan teori dan model tsb serta kondisi

kontekstual yang ada.

Penerapan demokrasi di negara-negara sedang berkembang selalu bermasalah; namun

karena pengaruh Determinisme Budaya para elit melihat bahwa permasalahannya terletak

pada pelaksana yang tidak bermoral dan kompeten. Konsep semacam ini sangat populer di

Indonesia dan dengan mudah dapat kita temui dalam berbagai diskusi, artikel di media

massa ataupun tulisan ilmiah di jurnal.28 Dalam konteks pengertian ini jika pelaku kompeten

dan bersih, seluruh permasalahan beres dengan sendirinya. Konsep ini hanya melihat bahwa

penerapan demokrasi adalah masalah teknis belaka; tidak ada nuansa bahwa demokratisasi

adalah merubah tatanan sosial-politik. Akibatnya kompleksitas permasalahan yang terjadi

tidak dapat dikenali. Jika kompleksitas ini di pertimbangkan nampak jelas bahwa permasalah

an yang terjadi sangat serius karena terjadi perpecahan yang menghambat efektifitas peng -ambilan keputusan, seperti di kemukakan Crawford,“One would expect better decision-making in democracy. But there is an effective division of labour than in authoritarian

states.”29 Pernyataan ini menunjukkan kerumitan dalam pengambilan keputusan akibat me

-lemahnya kepemimpinan negara dan meluasnya perpecahan yang terjadi.

Kombinasi dan keyakinan dogmatis dan konsep demokratisasi yang amat teknis ini

menyebabkan para elit liberal di negara-negara sedang berkembang tidak dapat menerima

kritik tajam Joseph Stiglitz yang melihat bahwa liberalisasi yang tergesa-gesa dan dipaksakan

penyebab utama keterpurukan negara-negara sedang berkembang.30 Mereka bahkan tidak

mau belajar dari kebangkrutan Chile dan Islandia yang terjadi diawal dekade 2000 an;

sebagai negaranegara pertama yang menerapkan resep Neo Liberal keberhasilan pem

-bangunan Chile dan Islandia hanyalah seumur jagung, sekitar 5 tahun kemudian mereka

bangkrut terbelit hutang, pengangguran, kemiskinan dan resesi yang berkepanjangan.

Mereka juga tidak dapat melihat jika gagasan Neo Liberal diterapkan secara penuh terbentuk

28 . Marijan, Kacung. 2010. “Biaya Demokrasi,” Kompas, 24 Agustus, hal. 7; Sindhunata. 2012. ”Reformasi

yang Ironis,” Basis, No. 05-06, Th. 61, hal. 2-3.

29 . Crawford, Neta C. 2000. “The Passion of World Politics,” International Security, 24, No. 4, Spring, hal. 139.

(15)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 15 -lah tatanan sosial-politik yang sesuai kebutuhan para kapitalis global karena kelompok

nasionalis tersingkir dan akses ke sumber-sumber daya alam serta pasar domestik terbuka

lebar sehingga para pemilik modal globalpun dapat mengeksploatasinya. Neo Liberalisme

yang sering dikaitkan dengan Washington Consensus bukanlah teori ataupun resep

Pembangunan yang ilmiah serta relatif lepas dari kepentingan politik namun merupakan

upaya politik negara-negara Barat untuk mempertahankan dominasi global serta membuka

pasar dan sumber-sumber daya negara-negara sedang berkembang. John Williamson

mengemukakan;

The Washington Consensus as I originally formulated was not written as a policy prescription for development: it was a list of policies that I claimed were widely held in Washington to be widely desirable in Latin America.”31

Selama bertahun-tahun otak kita dijejali oleh propaganda Barat bahwa demokrasi

akan mempercepat kemakmuran ekonomi sehingga kita tidak mampu lagi untuk secara kritis

melihat bahwa di dunia Barat yang demokratis itu justru standard of living terus menerus

memburuk dan menurun secara drastis dalam dua dekade ini.32 Dalam tradisi politik Barat

demokrasi tidak pernah terkait langsung dengan kemakmuran. Di Athena tempat demokrasi

dilahirkan, demokrasi hanyalah untuk kaum kaya yang memiliki waktu lebih untuk ber

-kumpul dan berdebat masalah-masalah kehidupan, politik dan filosofi sedangkan rakyat

jelata tetap berpeluh setiap hari demi mendapatkan makanan. Demikian pula dengan dunia

Barat modern, demokrasi adalah hanya untuk the haves; politisi, senator, para pemilik

modal, CEO multi nasional yang memiliki waktu cukup untuk berkumpul dan berdebat serta

memiliki uang yang cukup untuk membiayai kampanye politik. Bagi rakyat jelata setiap hari

harus bekerja keras mati-matian sambil menyaksikan pendapatannya tergerus habis oleh

inflasi yang terus memburuk dan membayar tagihan-tagihan yang terus melambung. Hal

yang sama juga terjadi di India, Fillipina, Bangladesh dan negara kita sendiri dimana

demokrasi hanyalah pesta-posta para milyarder untuk tebar pesona sambil mengobral

janji-janji yang semua orang tahu dengan pasti bahwa janji-janji-janji-janji itu tidak akan pernah dipenuhi.

Rakyat pasif, hanya hadir dalam “pesta demokrasi,” nyoblos, pulang kemudian

31 . Nama The Washington Consensus dilahirkan oleh John Williamson, lihat, Williamson, John. 2003. ”From Reform Agenda to Damaged Brand Name.” Finance and Development, September; hal. 10 – 13; 2004.

“The Washington Consensus as Policy Prescription for Development,” a lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, oleh the Institute for International Economics. Nama ini mengacu pada kesepakatan antara tiga organisasi yang seluruhnya berada di Washington yaitu IMF yang berkantor di 19th Street, the World Bank yang berkantor di 18th Street dan the US Treasury yang berkantor di

15th Street atas kebijakan politik yang akan diterapkan pada negara-negara sedang berkembang penerima

bantuan bagi pembangunan.

(16)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 16 ngomel selama lima tahun karena melihat wakil yang dipilihnya nyeleweng begitu saja. Lima

tahun kemudian rakyatpun tidak memilih wakil yang nyeleweng tsb tetapi sambil

tertawa-tawa sang wakilpun tampil kembali, tebar pesona, terpilih untuk nyeleweng lagi karena kini sang wakil tampil dengan lebih percaya diri, tidak lagi tergantung pada konstituen tetapi

sudah pandai bermain di arena kekuasaan bersama para elit politik lain untuk melakukan

dagang sapi dan mengatur aturan permainan sedemikian rupa supaya bisa mempertahankan

kekuasaan yang sudah dipegangnya. Inilah wajah sebenarnya demokrasi yang kita banggakan

itu.

Demokrasi liberal Barat adalah sebuah sistem sosial politik yang sarat dengan ke

-pentingan para pemilik modal (bourgeoisie); Barrington Moore dengan diktumnya, “No

Bourgeoisie, No Democracy” menuliskan bahwa kaum borjuasi adalah agen yang meng –

hantar masyarakat menuju demokrasi.33 Moore mendasarkan diri pada pengalaman Eropa

dan Amerika Serikat dimana tumbuhnya kelas pemilik modal menghantar ke liberalisasi

politik. Bagi Eropa dan Amerika Serikat borjuasi tumbuh atas dasar akumulasi modalnya

sendiri sehingga relatif independen terhadap negara serta tidak membutuhkan proteksi

negara, dalam konteks sosial inilah gagasan demokrasi liberal lahir. Karl Marx mengkritik

demokrasi liberal Barat ini karena rentan ditunggangi koalisi negara-kapital untuk kepenting

- an politiknya sendiri. Berdasarkan analisisnya terhadap revolusi Perancis tahun 1789 dan

Bonapartist State dimasa Louis Bonaparte tahun 1844 - 1846, Marx melihat bahwa koalisi

pedagang-pedagang kaya, pemilik modal industri dan petani-petani kayalah yang

membentuk koalisi untuk mengkudeta para pendukung kerajaan sehingga semboyan:

Liberte’, E’galite’, Fraternite’ sangat tepat untuk kepentingan politik mereka. Sedangkan rakyat miskin dibayar dan dipersenjatai oleh koalisi untuk dikorbankan dalam pertempuran

melawan tentara kerajaan. Dalam Bonapartist State Marx melihat bagaimana koalisi kaya raya ini ditekan oleh kelompok liberal dan kaum buruh; kemudian demi menyelamatkan

posisi politiknya melakukan kudeta dan menggantikan demokrasi perlementer dengan rejim

Bonaparte yang otoritarian.34 Di Eropa modernpun apa yang disaksikan Marx tetap terjadi,

James Kurth menemui hal yang sama terjadi di Jerman dan Austria sedangkan Ralph

Milliband menemukan hal yang sama juga terjadi di berbagai negara di Eropa; pada saat

terdesak oleh tekanan kaum liberal dan buruh kaum borjuasi membentuk koalisi dengan

negara dan sekali aliansi kekuasaan ini terbentuk cenderung otoritarian serta membatasi

33. Barrington Moore. 1969. Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. London: Peregrine Books. Hal. 418.

(17)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 17 peran oposisi.35 Konteks sosial-politik di Eropa membuktikan bahwa demokrasi sangat

rentan diotak-atik untuk memenuhi kebutuhan spesifik dan pemain utamanya adalah koalisi

negara dan kapital. Hal yang sama tetap terjadi sampai saat ini, Loretta Napoleoni, ekonom

Cambridge Business School, saat meneliti kebangkrutan Lehman Brothers menemukan

keterlibatan intensif para pebisnis Wall Street dalam perumusan kebijakan pemerintah AS,

Napoleoni menulis:

” ….a select group of people with fabulous offices on Wall Street, people who know

how to whisper the right words in the president’s ear...this elite transformed Western high finance into a small and extremely powerful oligarchy, which operates today

…and dictating the new rules of the game are no longer government institutions but a

handful of banks…”36

Selanjutnya, Napoleoni mengkritik keras ortodoksi Barat yang terlalu meyakini konsep

demokrasi liberal yang hanya menekankan dimensi politik dari sebuah demokrasi sehingga

tidak dapat melihat bahwa dibelahan dunia yang lain telah dikembangkan berbagai model

demokrasi yang justru menyentuh kebutuhan oleh rakyat jelata. Berdasarkan studinya di

negara-negara sedang berkembang, Napoleoni akhirnya menyimpulkan bahwa:”It’s not

elections the people are dreaming of, but economic freedom.” 37 Kesimpulan Napoleoni ini bukanlah hal baru karena inilah inti kritik Marx kepada demokrasi liberal Barat yang hanya

menekankan demokrasi politik; bagi Marx demokrasi ekonomi harus dijalankan dahulu

untuk mendasari demokrasi politik. Demokrasi ekonomi atau dalam bahasa Napoleoni

kebebasan ekonomi (economic freedom) adalah kebebasan dari kemiskinan. Kemiskinan

perlu dihapuskan supaya posisi ekonomi rakyat jelata lebih mapan, stabil dan mandiri

sehingga tidak hanya menjadi alat politik kelas borjuis dan/atau elit politik.

Bagi Fukuyama, Gilley, Mann, Lam dan siapapun yang terperangkap kedalam

ortodoksi Barat. Melihat kemajuan China, sebuah komunisme, tidaklah bernilai karena China

bukan sebuah demokrasi. Bagi mereka demokrasi dan mekanisme pasar hanya dapat terjadi

dalam sebuah kapitalisme liberal dengan sistem sosial-politik Barat. Inilah pengertian

demokrasi yang amat sempit, terbatas hanya pada right to vote. Parameter yang digunakan

untuk mengukur keberhasilan demokrasi juga amat terbatas yaitu hanya variabel-variabel

35. James Kurth. 1979. “The Industrial Change & Political Change: A European Perspective” in David Collier (ed). 1979. The New Authoritariansm in Latin America. New Jersey: Princeton; Ralph Milliband. 1989.

Divided Societies: Class Struggle in Contemporary Capitalism, London: Oxford University Press.

36. Napoleoni, Loretta. 2011. Maonomics: Why Chinese Communists Make Better Capitalist Than We Do?

New York: Seven Stories Press. Hal. 110.

(18)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 18 politik dan tidak didasarkan pada analisis sosial yang historis-kontekstual. 38 Akibatnya

mereka tidak dapat melihat dimensi kebebasan yang lain yang sangat dibutuhkan rakyat

jelata. Dalam seminar yang dihadiri diplomat dan politisi senior Eropa, Napoleoni dengan

tegas berupaya membongkar ortodoksi Barat ini, dia menyatakan; ”Here we arrive at the

heart of the problem if we estimate of the Chinese population’s lack of political freedom,

once again it is the fruit of conceptual misunderstanding.”39

Conceptual misunderstanding inilah penyebab utama mereka tidak bisa melihat

bahwa bagi rakyat China demokrasi bukanlah sesuatu yang asing, bukan sesuatu yang datang

dari Barat. Sebaliknya, baik Napoleoni, Mahbubani dan Jacques dapat melihat bahwa rakyat

Chinalah yang saat ini benar-benar merasakan demokrasi, suatu pembebasan yang sejati.

Rakyat China sepenuhnya telah menikmati kebebasan dari ketakutan tidak dapat makan,

ketakutan tidak mampu membeli pakaian, ketakutan tidak mampu memiliki tempat tinggal,

ketakutan tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya, ataupun ketakutan tidak dapat

membayar biaya berobat bagi anaknya yang sakit serta berbagai ketakutan lainnya yang

selalu dialami oleh si miskin, pembebasan inilah yang ditegaskan Napoleoni sebagai: ”It’s not

elections the people are dreaming of, but economic freedom.”40 Pembebasan semacam

inilah yang diimpikan ratusan juta rakyat miskin di India, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka

dan Fillipina; negara-negara yang begitu bangga akan demokrasi politiknya tetapi tidak

mampu memberikan memberi makan rakyatnya sendiri.

Namun apakah dari segi politik rakyat China menikmati demokrasi? Jawabnya adalah “Ya” yaitu sebuah demokrasi yang mirip dengan apa yang di tulis Jean Jacques Rousseau dalam The Manifesto of Social Contract yaitu Participatory/Deliberative Democracy; yaitu rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan. Model demokrasi ini kini sedang dikembang

-kan pemerintah China dan sedang diujicoba-kan diseluruh propinsi.41 Rousseau mengajukan

gagasan yang mirip dengan yang dikemukakan Confucius dua ribu lima ratus tahun sebelum

- nya yaitu disatu sisi menekankan kewajiban tiap warga negara untuk memiliki nasionalisme

yang kuat atau bagi Confucius “kewajiban berbakti pada negara,” sedangkan bagi Roussseau

38. Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and the Last Man. New York: the Free Press; Gilley, Bruce. 2004. China Democratic Future: How It Will Happen and Where It Will Lead: New York: Columbia University Press. Mann, James. 2007. The China Fantasy: How Our Leaders Explain Away Chinese Repres -sion. New York: Viking; Lam, Willy. 2009.”China’s Political Feet of Clay,” Far Eastern Economic Review, October, hal. 10-14.

39. Napoleoni. 2011. Hal. 8.

40. Napoleoni. 2011. Hal. 5. Mahbubani, Kishore. 2011. The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East. New York: Perseus Book. Jacques, Martin. 2009. When China Rules the World: the Rise of the Middle Kingdom and the End of the Western World. London: Penguin Books.

(19)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 19 nasionalisme. Namun disisi lain setiap penguasa memiliki tanggungjawab etis kepada rakyat

yaitu memberikan kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, keadilan dalam hukum dan

berbagai bentuk fasilitas kehidupan.Hubungan timbal balik antara nasionalisme dan

tanggungjawab etis penguasa inilah yang disebut Rousseau sebagai kontrak sosial.

Kita lebih mengenal model demokrasi yang dikemukakan oleh James Mill yang

dikembangkan oleh anaknya John Stuart Mill, filsuf dan ekonom politik Skotlandia. 42

Berbeda dengan Rousseau dan Confucius, Mill melihat inti masyarakat adalah individu

dengan demikian demokrasi adalah jalan menuju kebebasan individu secara penuh. Bagi

Confucius dan Rousseau, inti masyarakat adalah kolektif (Rousseau) atau keluarga (Confu

-cius) dan demokrasi adalah untuk memperkuat eksistensi kelompok. Bagi Mill, negara

(authority) dan individu adalah kekuatan yang saling bertentangan (conflicting forces) deng

- an demikian demokrasi sejati hanya akan terbentuk dengan mengurangi peran negara. Bagi

Confucius dan Rousseau, negara dan kelompok bukan sesuatu yang bertentangan tetapi

saling mendukung, negara hadir untuk memperkuat eksistensi kelompok. Dengan demikian

dalam demokrasi yang perlu ditata ulang adalah hubungan negara dan kelompok sehingga

terbentuk - dalam bahasa Confucius – harmoni; harmoni disini bukan berarti tidak ada

konflik tetapi tidak ada relasi yang eksploatatif.

Selain pengertian filosofis dari demokrasi; faktor yang signifikan untuk dipertimbang

kan oleh negaranegara sedang berkembang adalah tekanan kapitalisme global. Jauh ber

beda dengan negaranegara Eropa yang memulai revolusi industrinya saat pasar global ter

-buka sehingga mereka membangun negaranya tanpa tekanan global yang berarti. Dalam

situasi semacam ini saja, negara-negara Eropa dan AS baru menerapkan demokrasi setelah

memasuki tahap tinggal landas dan bukannya di tahap primitive accumulation. Inggris baru

memberikan hak memilih kepada laki-laki seratus tiga puluh tahun setelah Revolusi Industri

yaitu di tahun 1880 dan wanita di tahun 1913 dengan demikian demokrasi penuh baru di

terapkan Inggris 163 tahun sejak Revolusi Industri. Jerman ditahap primitive accumulation

memiliki pemerintahan yang totalitarian yaitu rejim Bismarck dan demokrasi baru mulai

diterapkan di masa republik Weimar yaitu setelah Jerman memasuki masa kemakmuran dan

industrialisasi telah mapan, itupun hanya bagi kaum pria, demokrasi penuh dimana wanita

ikut memilih baru diterapkan setelah PD 2 yaitu sekitar 120 tahun setelah revolusi industri.

AS baru memberikan hak memilih kepada wanita tahun 1925 dan hak memilih kepada

(20)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 20 segenap kaum kulit berwarna tahun 1965, jadi demokrasi penuh baru diterapkan di AS

sekitar 125 tahun sejak dimulainya industrialisasi.43 Ini dapat dimengerti sebab setelah

memasuki tahap lepas landas, kemiskinan relative telah diatasi dan masyarakat lebih solid

karena telah sepenuhnya ditransformasikan ke masyarakat industri.

Negara-negara sedang berkembang adalah para Pendatang Akhir (late-comers) dalam industri dan pada umumnya masih berada ditahap primitive accumulation.44 Dalam situasi

demikian, para Pendatang Akhir membangun dibawah tekanan kapitalisme global yang keras

dan menekan negara untuk membuka pasar dalam negeri, mempengaruhi kebijakan negara,

meminta hakhak pengolahan hutan, kelautan, tambang, mencuri hak cipta, hasilhasil pen

-elitian dsb. Dibawah tekanan global yang keras ini maka para Pendatang Akhir harus:

1. Cepat dan efektif memberantas kemiskinan. Jika kemiskinan tidak dipecahkan secara

tepat dan cepat akan terjadi krisis SDM, negara kekurangan otak-otak yang cerdas

untuk merebut pengetahuan, teknologi dan menguasai lapangan kerja. Kegagalan pada

titik ini menyebabkan posisi bangsa tsb menjadi kelas dua (the second class) baik

secara global maupun didalam negerinya sendiri.

2. Cepat mengatasi perpecahan yang berbasis primordial (suku, ras, agama) baik yang

terjadi di masyarakat maupun yang berbentuk produk hukum. Kegagalan dititik ini

bangsa terpecah-pecah dan terjadi brain-drain yang menguras otak-otak terbaik. 3. Cepat membangun sistem pendidikan dan pelatihan untuk mendidik generasi muda

menjadi cerdas, trampil, menguasai bahasa global serta percaya diri. Jika ini tidak

dilakukan maka berbagai kemajuan ilmu dan teknologi akan dikuasai asing.

4. Cepat dan cermat mengikuti the capitalist mode of production supaya dapat mem -fasilitasi pembangunan ekonomi yang berkesinambungan.

5. Cepat dan cermat mengumpulkan modal dalam jumlah yang sangat besar supaya

dapat terus menerus mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi sehingga

menyerap kemiskinan.

6. Tegas, jika dibutuhkan gunakan kekerasan, untuk melindungi sumber-sumber daya

supaya dapat dikelola dengan efisien dan optimal.

7. Pro aktif memfasilitasi pasar sehingga tercipta iklim investasi yang kondusif supaya

modal di pasar global dapat ditarik masuk untuk memperlancar pembangunan.

Melihat tuntutan untuk mengatasi tekanan global ini, jelas dibutuhkan para Pendatang Akhir

43 . Peter Nolan. 2004. China at the Crossroads. Cambridge: Cambridge Polity Press; Zheng Yongnian. 2004. Will China Become Democratic? Elite, Class and Regime Transition. Singapore: EAI.

(21)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 21 adalah kepemimpinan negara yang kuat untuk menembus bottleneck pembangunan. Jadi,

apakah sebuah keputusan rasional jika sistem sosial politik para Pendatang Akhir adalah

negara yang lemah? Apakah rasional jika masalah-masalah yang begitu penting bagi eksis -

tensi sebuah bangsa dan negara diserahkan begitu saja kepada pasar?

Itulah sebabnya tetangga kita di Asia Timur memilih jalan berbeda dengan yang di

-paksakan World Bank/IMF dan negara-negara Barat. Mereka menetapkan sistem

sosial-politik sendiri yaitu hibrida antara demokrasi dan negara yang kuat serta intervensionis,

yaitu Confucianism State. Hanya negara yang memiliki struktur kekuasaan sentralistik, aparat yang kompeten serta memiliki kemampuan mengorganisasi elemen-elemen

masyarakat secara rapi dan berdisiplin akan mampu bertahan secara efektif dan tumbuh

secara optimal dalam tekanan persaingan global. Bentuk kekuasaan negara yang kuat,

berdisiplin dan intervensionis adalah yang paling tepat untuk memenangkan persaingan

global. Model demokrasi Asia, yang bagi kaum liberal disebut Jalan Asia (the Asian Way),

bukanlah sebuah respons fungsional (Struktural-Fungsional) atau penyimpangan (Liberal &

Neoliberal) atau nilai budaya termasuk agama (Kultural – Determinis). Jalan Asia adalah

pilihan rasional untuk menghadapi tekanan kapitalisme global. Para pemimpin politik Asia

memahami benar pilihan-pilihan politiknya. Lee Kuan Yew dengan keras meyatakan bahwa

demokrasi liberal dalam era global ini tidaklah lebih dari “pakaian usang.”45 Pernyataan

keras yang senada juga dikemukakan Mahathir Mohammad yang memilih secara radikal

mundur dari sistem demokrasi liberal Barat warisan Inggris dan membentuk oligopoli politik

yang kuat serta relatif bersih dipuncak struktur kekuasaan negara demi kebangkitan kaum

Melayu dari kemiskinan yang mengungkungnya selama berabad-abad. Mahathir berhasil,

kini Malaysia berada dikelompok upper middle income countries bersama dengan Thailand,

Bulgaria, Russia, China, Brazil, Argentina dan South Africa, meninggalkan Indonesia, India,

Filipina, Bangladesh, Timor Leste dan Afghanistan yang masih berada di kelompok lower

middle income countries. 46

V.

Demokrasi, Negara dan Kapital: Pengalaman Indonesia

Salah satu ciri yang menonjol dari the Asian Way adalah fokusnya pada demokrasi ekonomi dimana kedaulatan ekonomi sepenuhnya ditangan rakyat, inilah bentuk nyata dari

nasionalisme ekonomi, sehingga salah satu ciri yang menonjol dari kapitalisme Asia Timur

adalah penggerak ekonominya (the driving force) adalah industri kecil dan menengah termasuk industri rumah tangga, inilah yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan

45 . “The Man Who Saw It All,” Time, 12 Desember 2005, hal. 38-47.

(22)

david widihandojo/indonesia-state & capital/august’13 22 China. Konsep politik demokrasi ekonomi semacam ini dengan peran negara yang kuat dan

intervensionis ternyata tidak asing bagi Indonesia.

5.1. Masa Keemasan Nasionalisme Ekonomi

Sejak Indonesia merdeka sampai dengan jatuhnya rejim Soeharto ciri yang menonjol

dalam perekonomian Indonesia adalah dominasi negara sedangkan bisnis swasta bekerja di

bawah bayangbayang negara. Oleh karena gagasangagasan ekonomi sosialistik tetap diper

-tahankan oleh para pejabat negara; mereka tidak mempercayai ekonomi pasar dan gagasan

liberalisme ekonomi. Selain itu dukungan melimpah dari uang minyak makin memperkuat

keyakinan para pemimpin politik bahwa negara mampu menangani seluruh proses pem

-bangunan ekonomi.

Kondisi struktural dan sejarah perekonomian nasional ikut membentuk tradisi di

terimanya dominasi serta intervensi negara oleh masyarakat luas. Bangsa dan negara Indo

-nesia mewarisi sistem perekonomian kolonial yang didasarkan pada perkebunan-perkebunan

komoditi ekspor yang dikuasai oleh pemodal asing Barat. Sedangkan para pengusaha domes

-tik terpecah dua antara perdagangan besar dan perantara yang dikuasai oleh

pedagang Cina dan perekonomian lokal atau pedesaan yang dikuasai oleh

pedagangpedagang pribumi. Dalam kondisi perekonomian yang terpecah semacam ini proses ter

-bentuknya kelas borjuasi baik dari unsur pribumi maupun Cina sangat terhambat.

Pada saat para pemimpin politik nasional mulai membangun perekonomian nasional;

mereka menemui masalah yaitu tidak adanya domestik borjuasi yang mapan. Untuk dapat

menjalankan sebuah industrialisasi dibutuhkan suatu kelas borjuasi yang handal serta

mampu menjalankan bisnis modern untuk mengakumulasikan modal dengan effektif.

Satu-satunya unsur dalam perekonomian domestik yang dapat diharapkan hanyalah para peng -

usaha Cina karena telah memiliki jaringan bisnis nasional dan internasional; namun kelom

-pok ini menghadapi tekanan sosial dan politik yang serius. Dalam situasi semacam ini tidak

ada pilihan lain terkecuali negara melakukan intervensi langsung kedalam perekonomian

untuk membangun stabilitas ekonomi nasional yaitu mengembangkan industri nasional deng

-an memanfaatkan kehadiran para pebisnis Cina sekaligus menjamin hasil akumulasi

modalnya dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian peran aktif negara melakukan inter

vensi, monopoli dan proteksi dalam untuk perekonomian domestik dari intervensi modal

asing sepenuhnya dapat diterima, inilah salah satu upaya negara menjabarkan gagasan demo

-krasi ekonomi

Nasionalisme ekonomi Indonesia dilahirkan berdasarkan pemikiran yang mendalam

Referensi

Dokumen terkait

Strategi perbaikan yang bisa dilakukan PTI PDAM Tirta Moedal Kota Semarang untuk mencapai tingkat kematangan V dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)

(5) The existence of significant influence on the industry changes in the social structure of society through corporate social responsibility (CSR) as an

NIKSARPUR POS IV <EMPAT= DALAM RANGKA UTP UMUM KOMPI SENAPAN D YONIF

Tugas Pokok Membantu Sekretaris Daerah dalam penyusunan kebijakan daerah di bidang pemerintahan, hukum dan kerjasama, dan pengoordinasian penyusunan kebiajakan daerah

Demak perlu lebih intens dalam melakukan kerja sama dalam melaksanakan kegiatan agama dengan melibatkan da’i dari syi’ah dan da’i dari organisasi yang bekerja sama dalam setiap

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Perawatan Pencegahan ( Preventive Maintenance ) Alat Berat Big Bulldozer yang mencakup persyaratan dan ruang

Bapak Abraham Salusu, Drs., MM, selaku Dosen Pembimbing kesatu yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan yang diberikan selama masa penyusunan skripsi ini serta

Permasalahannya adalah bagaimana peneliti menyusun dan merancang suatu sistem pakar yang dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit kulit berdasarkan gejala yang di