• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Ilmu topik topik epistemologi (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat Ilmu topik topik epistemologi (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TOPIK-TOPIK EPISTEMOLOGI

(Book Review)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah, M.A.

Disusun oleh:

Rifqi Aulia Rahman (1320411182)

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB PRODI PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

(2)

I. BELIEF, INQUIRY, AND MEANING ; Charles Shander Pierce

Sebagai pengantar, akan dijelaskan sejarah dan latar belakang singkat munculnya epistemologi/teori di atas. Dulunya, hegemoni kefilsafatan memang diemban dan dikuasai penuh oleh filsuf eropa. Dimulai sejak era filsafat klasik, modern, hingga postmodern. Masing-masing fase pada jaman tersebut mempunyai kiblat dan tokoh. Dalam hal teori, pemikiran dan gagasan, hampir tidak ada filsuf yang setuju 100% dengan filsuf sebelumnya. Semuanya saling merespon bahkan mencounter. Nah hegemoni filsuf Eropa yang seakan menjadi poros berpikir bagi ilmuwan sedunia ternyata mendapat tanggapan tidak sepihak dari filsuf amerika. Berangkat dari pembebasan benua Amerika oleh Colombus, seiring berlalunya masa, muncul istilah era filsafat kontemporer yang disandangkan kepada tokohnya, di antaranya Charles S.Pierce, John Dewey, dan William James.

Judul di atas merupakan alur, fase dan proses berpikir ilmiah yang digagas oleh Charles Shanders Pierce, seorang filosof asal Amerika. Dia memotret ihwal keilmuwan yang dibawa oleh orang Eropa yang masuk ke dataran Amerika sejak masa Colombus, tepatnya selama 250 tahun (1600-1850). Dia mengkritik keras pemikiran filsafat modern yang didalangi oleh Rene Descartes dengan semboyannya corgito ergo sum, pierce tidak setuju bahwa segala sesuatu harus dan bisa diragukan, karena ada terminolog “belief” yang semua orang pasti punya dasar itu. Juga kepada David Hume dan Immanuel Kant. Dia mencounter gagasan-gagasan filsuf tersebut dengan mencoba teori darwin untuk kemudian dibuktikan kepada nenek moyangnya di Eropa bahwa dia mampu survive dalam kondisi lingkungan yang baru, bahkan akan melampaui masa kejayaan kebudayaan di Eropa.

(3)

Sebagai pemeluk agama tertentu, penulis cenderung ingin menyoroti salah satu dari tahap berfikir ‘belief’ ini. Percaya atau yakin di sini menempati tahap pertama dalam metode berpikir Pierce. Pertanyaan yang lantas muncul, kenapa justru yakin yang menjadi pijakan awal dalam proses pencarian dan penyelidikan ilmiah? Dan kenapa tidak berpikir bahwa ‘yakin’ lah yang berada di titik finish untuk menyudahi rentetan pencarian itu? Menurut asumsi penulis, ada argumen-argumen yang merespon penyangkalan tadi.

- ‘yakin’ inilah bukti yang menunjukkan kerendahan hati manusia, bahwa mereka itu lemah, hanya mengetahui setetes air dari bengawan yang begitu luas. Makanya, yakin di sini menjadi pondasi asasi dalam tahap berfikir, dengan maksud mereka hanya mengetahui sesuatu yang dalam jangkauan radar berpikir mereka. Di luar itu, mereka dengan ‘kerendahan hatinya’ meyakininya saja. - Jikalau yakin ini menjadi puncak dari sistem pencarian tersebut, kecenderungan

yang terjadi adalah kukuhnya dogma-dogma yang bersandar kepada hal yang metafisik, dan ini menjadi sesuatu yang berlawanan dengan mindset dan cara berfikir ilmiah. Implikasinya adalah mandeg dan stagnannya ranah empiris-positivis dan kalau itu benar terjadi, ilmu yang telah ada jadi pari purna, karena tak ada yang merespon apalagi mengkritik. Ilmu yang ada jadi absolut, karena tidak ada koreksi, verifikasi, dan penemuan-penemuan baru lanjutan.

(4)

ditemukan dari penjelajahan itu suatu makna atau konklusi ilmiah yang bersifat relative (tidak absolut, menerima keberadaan interpretasi orang lain) dan dapat dikoreksi, direspon bahkan diperbaiki oleh generasi selanjutnya.

Inilah jalan dan alur berpikir ilmiah menurut Pierce. Dia menegaskan bahwa kesimpulan dari inqury pun tidak merupakan capaian yang final, dan mungkin akan terus disusul oleh capaian-capaian selanjutnya yang lebih sesuai dengan kondisi pada masa tersebut. Ini yang disebutnya dengan istilah process of philoshopy.

II. REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN

Menurut Kuhn, sedikitnya ada 4 fase dalam konstalasi keilmuan. Yaitu Pra ilmu – Normal Science – Anomali – Revolution of science - ….Sebenarnya kalau dilanjutkan, fase-fase tersebut tidak akan ada muaranya, karena setelah ilmu itu direvolusi, jadilah produk dari proses revolusi dan selanjutnya timbul anomali lagi dari produk revolusi, dan begitu seterusnya.

Yang menarik untuk disoroti lebih jauh di sini – menurut penulis – adalah dua konsep dari rantai fase di atas yaitu Normal science and Anomali. Normal science merupakan produk awal keilmuan empiris dan ilmiah. Seperti kita kenal sekarang ini, bahwa ilmu biasa adalah ilmu yang parsial, berdiri sendiri, tidak bertautan dengan disiplin keilmuan yang lain, langsung diambil dari sumber primer baik kitab suci maupun alam, seperti fikih, tauhid, biologi, geografi, dan lain sebagainya. Kalau ilmu-ilmu ini dipelajari seseorang, mungkin yang akan terjadi di otak adalah terkotak-kotak nya akal kita untuk menyimpan itu di bagian sini dan sana. Yang menjadi problem adalah ketika masing-masing teori dalam keilmuan itu saling bertubrukan dan berlawanan arah, padahal sama-sama empirik dan dapat dibuktikan. Kan bisa saja objek alam nya sama tapi cara pandangnya berbeda, dan hal itu sangat memungkinkan tidak sejalannya visi antar disiplin keilmuan. Bahkan, hal itu diperparah ketika teori yang final untuk satu masalah tertentu ternyata tidak lantas cocok dan dapat diterapkan untuk masalah yang sama pada kurun waktu yang berbeda.

(5)

Seiring dengan perkembangan ikhwal realitas, tuntutan untuk menggali sifat asli dari ilmu itu sendiri mutlak dilakukan. Yaitu relativitas, ilmu harus mampu menjawab masalah lalu, kini dan yang akan datang. Tidak lantas memaksakan dogma-dogma ilmu klasik untuk menyelesaikan semua perkara. Banyak pertanyaan yang muncul perihal pengetahuan ‘biasa’ itu karena tingkat complicated nya zaman sekarang. Salah satunya adalah sensitivitas dan responsifitas dari paradigma ilmuwan itu sendiri, apakah mereka menyadari betul adanya anomali? Lantas bagaimana respon mereka terhadap anomali yang merupakan fakta di lapangan, apakah ilmu -dengan relativitasnya- menanggapinya dengan mengubah paradigma kolot menjadi humanis misalnya? Ataukah mereka tetap memaksakan norma-norma normal science untuk diaplikasikan kepada masalah-masalah yang ada (walaupun tidak lagi compatible)?? Kalau seperti itu masalahnya, yang perlu diubah bukan materi keilmuan yang telah ada, bukan pula menggusur dan menggeser ilmuwannya. Namun paradigma, sudut pandang, dan kerangka berpikir nya yang harus direcovery ulang. Wawasan yang luas, progresif dan tanggap terhadap perubahan, menjadi tuntutan.

III. KETERUJIAN TEORI ; Ian G Barbour ;

Menyambung pembahasan lebih lanjut, yang kali ini mengambil sari hikmah dari kajian Ian G. Barbour. Hal yang membuat penulis tertarik untuk menelusuri lebih jauh adalah dalam aspek perumusan teori sains yang menurut Ian ada 3, yaitu deduksi, induksi, dan imajinasi kreatif. Untuk penjelasan mengenai deduksi dan induksi, barang tentu, sudah banyak dibahas dalam disiplin-disiplin ilmu lain. Tetapi yang menjadi ciri khas dari penemuan Ian dalam kasus mendialogkan agama dan sains, adalah aspek imajinasi kreatif.

(6)

ditambah isu-isu feminis dan gender yang berkoar-koar tak henti-hentinya. Karenanya penalaran yang di luar rasio – walaupun dalam konteks keilmuan – pun menjadi urgen. Dalam hal ini imajinasi kreatif menjadi solusi. Kalau menilik kasus wanita tadi, cara menalar imajinasi kreatif seumpama begini, wanita itu bebannya berat dan susah, karena dia yang mengasuh anak dari dalam kandungan sampai setelah lahir, membesarkan dan mendidik anak dengan kasih sayang, masih mau mengembangkan kemampuan intelektualnya dengan bersekolah sampai berjenjang-jenjang, juga mau diajak kompromi dalam hal ekonomi dengan berdagang, berkarir di kantor-kantor, dan lain sebagainya. Dari argumen imajinatif tersebut, otomatis memunculkan rasa simpati bahkan empati kepada mereka. Yang pada akhirnya, dogma-dogma penafsiran yang kaku dan semena-mena pun jadi luwes nan humanis.

Kemudian penulis jadi berpikir dan beranalogi kepada keilmuan lain. Misal dalam ranah hukum, seorang pengadil atau hakim dituntut untuk memutuskan suatu perkara seadil-adilnya. Artinya, dia tidak hanya expert dalam hal pasal-pasal hukum (teori deduktif), tetapi juga lihai berimajinasi terhadap realita objek hukum yang ada. Semisal ada pencuri 5 ekor ayam diadili. Maka jangan sampai hukuman pencuri 5 ekor ayam sama dengan 10 ayam. Kemudian jangan hanya mengadili si pencuri hanya berdasarkan pasal-pasal yang ada. Buat apa gunanya keberadaan hakim di pengadilan kalau hanya membacakan pasal-pasal, cukup petugas pencatat saja kalau hanya begitu. Hakim di situ bukan hanya menguasai pasal hukum, tetapi harus kompeten berimajinasi tentang keadilan. Jadi data-data yang didapat dan dirumuskan bukan hanya bagaimana dan apa motif mencuri, melainkan juga kenapa dia mencuri?apakah dia mencuri itu karena tekanan kondisi-sosial yang lebih luas di masyarakat?bagaimana tingkat depresi rakyat kecil dalam skala nasional? Dan sebagainya...

IV. INTER-SUBJEKTIF MENJADI SOLUSI ; Ian G Barbour

Dalam tuturan singkat ini, penulis ingin membuka celah-celah paradigma dengan suatu ungkapan :

(7)

ini), nash al-Qur’an yang keluar dari mulut dan tergores oleh tinta seseorang, sudah tidak objektif lagi, karena proses membicarakan dan menuliskan pasti penuh interpretasi dalam akal pikiran orang tersebut, dan makna yang menjadi produk dari penafsiran seseorang akan sangat subjektif. Kenapa subjektif??karena seseorang akan memaknai sesuatu yang ditangkap dari nash sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya saat itu, dan kemungkinan dalam waktu semenit kemudian muncul penafsiran lain dari pikirannya sendiri. Maka tidak aneh ketika melihat Imam Syafi’i mempunyai Qoul Qadim dan Jadid, padahal dari akal pikiran yang sama.

Kalau ingin lebih mengena lagi, penulis akan mengubah arah ke ideologi negara (yang dianggap lebih “suci” dari ideologi agama)...yaitu demokrasi. Mungkin ideologi bentuk kenegaraan ini sangat mulia karena bertujuan menjunjung rakyat pada level tertinggi kedaulatan. Itu dalam tataran teoretis yang objektif. Namun, ketika demokrasi disuarakan oleh cades, cabub, cagub, caleg, dan cal-cal yang lain, hati-hati terhadap pemaknaan demokrasi yang mulia itu. Bisa jadi ide itu berubah total menjadi sangat feodalis dan permisif seketika dengan dalih memprioritaskan suara rakyat. Dan begitu seterusnya.

Hal yang ingin disampaikan penulis sebenarnya adalah tawaran dari Ian untuk mempertimbangan kebenaran solutif antara yang objektif (sakral, tidak ada daya tawar, dan mutlak benar adanya) dan yang subjektif (interpretatif, pemihakan, dll), yaitu kebenaran inter-subjektif, kebenaran yang mempercayai adanya objektivitas yang murni namun menampung berbagai subjektivitas yang ada, kemudian mempertimbangkannya sebagai upaya untuk mendekati kebenaran universal.

V. MEREDUKSI FANATISME SAINTIS-AGAMAWAN ; Holmes Rolston III Dalam resume tematik ini, penulis menyoroti urgensi dari proses penyelidikan Holmes,

(8)

adalah tidak ilmiah, tidak masuk akal, dan bahkan hal yang tidak bisa dibenarkan. Terlebih ketika sang ilmuwan yang over science-minded menganggap kebenaran ilmiah adalah satu-satunya kebenaran.

- Pembahasaan yang kedua adalah Ilmu Agama, yang dianggap sangat subjektif, kebenarannya berdasarkan keyakinan dan intuisi yang transenden, dan tidak boleh tersentuh oleh campur tangan dan kepentingan manusia (usaha ilmiah), karena kesucian tidak boleh larut dan tercampur dengan ranah profanitas.

Nah dari ungkapan-ungkapan itulah muncul gagasan Rolston untuk menelusuri lebih lanjut dan detail, bagaimana proses dan pencapaian metode ilmiah dan agama tersebut. Hasil yang diperoleh mungkin bisa jadi peredam keegoisan masing-masing pihak yang merasa super power dan memiliki kebenaran mutlak. Sains dengan hegemoni kebenaran empirisnya ternyata setelah ditelusuri lebih dalam, ditemukan aspek-aspek yang absurd dalam proses pembuahan teorinya, di antaranya ialah dalam hal objektivitas dan logika jika-maka. Okelah, dua aspek tersebut akan sangat bagus jika diaplikasikan dalam ilmu alam dan eksak. Namun, hal itu akan menjadi berbeda penilaiannya ketika yang dihadapi adalah ilmu sosial-kemanusiaan, karena manusia itu dinamis-progresif dan sangat subjektif (karena mungkin observer mengamati dirinya sendiri yang juga manusia). Maka tidak menutup kemungkinan ada hal-hal yang empiris sebagai akibat, namun tidak ditemukan penyebabnya.

Begitu juga agama sebagai ilmu, yang konon tidak boleh tersentuh oleh penyelidikan ilmiah, ternyata dalam realita peradaban keberagamaan yang ditemukan Rolston, banyak yang saling melebur antara dualisme profan-transendental. Budaya manusia yang beragama sekarang ini, justru lebih cenderung menuntut dibuktikannya teori keyakinan secara kasat mata. Alhasil, agama sudah tidak menjadi sakral lagi ketika sudah memuai dalam kemasan produk budaya manusia.

(9)

berdiri sendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Keduanya saling menunjang untuk mendekati kebenaran hakiki. Agama (yang menurutnya bertujuan menemukan makna) harus dapat dibuktikan juga melalui aspek sebab akibat dan dengan metode ilmiah. Sementara itu, sains (yang menurutnya bertujuan mencari sebab akibat dari realitas) harus juga mempunyai makna dalam kehidupan manusia sebagai peneliti kealaman.

VI. PRODUK PENALARAN YANG ‘KUNO’ ; Josef Van Ess

Seorang peneliti dari Jerman ini coba menguak secara detail keterkaitan antara logika dalam teologi dan hukum Islam dengan logika Yunani kuno. Upaya tersebut dilakukan olehnya karena munculnya statmen yang menyatakan bahwa logika dalam teologi dan hukum Islam sama sekali tidak terpengaruh dan tidak tertarik dengan logika ‘sekuler’ Yunani, kecuali pandangan sekte Mawardi. Dan peneliti ini, agaknya tidak terlalu percaya dengan asumsi tersebut. Maka, dilakukanlah penelitian.

Hasil yang diperolehnya mungkin akan sedikit mencengangkan untuk sebagian kelompok Islam ekstrimis, karena semua kajian keislaman, entah itu Tauhid, fikih, bahasa Arab, dll yang sudah menjadi produk keilmuwan/ilmiah pasti mengacu kepada logika Yunani. Hal ini dibuktikan oleh Van Ess dalam beberapa manuskrip teologi dan fikih, yang mendasarkan penalaran dan cara berpikir kajiannya kepada logika Aristoteles dan Stoik. Konsep seperti premis mayor-minor dan jika-maka ,secara sadar ataupun tidak, dipungut ‘mentah-mentah’ dari konsep logika Yunani. Bukan hanya itu, Van Ess juga menemukan persamaan bahasa-bahasa logika antara kedua peradaban tersebut.

(10)

dinamis, dan responsif terhadap perkembangan jaman??.. inilah yang menjadi kekhawatiran Van Ess, bahwa orang Islam kok masih mau saja terjebak dalam logika kuno yang membuat mereka menjadi defent and attact, yang justru merugikan mereka sendiri ketika siklus perkembangan jaman ini begitu cepatnya berganti??..

VII. KOMPARASI PENALARAN ARAB-EROPA ; Muhammad Abied Al-Jabiry Sebelum pembahasan tentang produk epistemologi yang dimunculkan Abied dalam bentuk Bayani, Burhani, dan Irfani, penulis lebih tertarik menyoroti latar belakang dari kemunculannya. Penelitian yang difokuskan untuk mencari persamaan nalar Barat (eropa,Yunani) dan Arab agaknya menjadi penting untuk dipaparkan sekaligus perbedaannya. Sedikitnya ada 3 aspek yang perlu diperbincangkan, namun barangkali bisa dirangkum dalam dua aspek saja

- Cara pandang terhadap Akal, Alam , dan Tuhan

Menurut nalar Arab, alam atau realita kehidupan, menjadi petunjuk primer dalam usaha menyingkap keberadaan Tuhan. Akal, dalam hal ini hanya sebatas media interpretasi alam. Karenanya, objek dan prioritas yang dituju dalam upaya penyingkapan segala sesuatu adalah Tuhan. Padahal meraka tahu, bahwa Tuhan adalah zat yang tidak masuk dalam ruang dan waktu, tak terbatas, dan absolut. Kenapa justru titik pencapaian usaha manusiawi mereka malah diarahkan kepada sesuatu yang jelas dan pasti tidak mampu mereka capai. Ibarat mencari sesuatu, tahap pencariannya langsung diarahkan ke barangnya, tidak mempedulikan bukti-bukti dan password lain yang mendukung ditemukannya barang tersebut. Apalagi dalam hal ini, barang yang dicari pun belum jelas. Kalaupun ditemukan, apa memang itu barang yang dicari??...

(11)

kuasai. Mereka terus termotivasi untuk meneliti dan mengungkap fenomena-fenomena yang belum diketahuinya.

Kemudian kalau kita gali dari ranah yang lain, cara pandang di atas bisa tersemai pula dalam keberadaan akhlaq dan ilmu. Nalar arab jelas mengedepankan Akhlaq, yang konon disebutnya etika ilahiyah, daripada ilmu. Karena menurut mereka, ilmu tanpa didasari akhlaq akan sia-sia dan tak akan sampai (tak diterima) kepada Tuhan. Sementara itu nalar barat berkebalikan, mereka melandasi akhlaqnya dengan pengetahuan-pengetahuan empiris, bukti-bukti ilmiah, dan ilmu yang bisa dipertanggungjawabkan.

Namun yang terjadi sekarang, kalau penulis boleh berasumsi, di satu sisi Arab dengan nalar yang kolot terhadap hal-hal transenden, suci, irrasional, mistis dan – malangnya – belum bisa tercapai, tetap tidak mau terbuka terhadap realita-realita tantangan global yang ada di depan matanya. Yang ada, mereka dan pengikutnya hanya sebagai penikmat produk dari barat, bahkan mereka secara tidak sadar disetir oleh arus kemajuan barat. Sementara di sisi lain, barat dengan nalarnya, mungkin karena keasyikan dengan usaha pencarian empiris yang tak berpenghujung, lupa bahwa ada hal lain yang lebih abadi di luar itu.

- Rasionalitas dan realitas

Kalau mengacu kepada zaman awal dulu, baik arab (masa awal Islam) maupun eropa (peradaban filsafat), keduanya mengakui bahwa manusia mencari ketentuan hukum atau pembenaran bagi suatu kasus setelah sebuah peristiwa terjadi. Artinya peristiwa itu sebagai referensi utama dalam menentukan kasus sebuah hukum. Kita tahu bahwa dalam Islam ada istilah asbab nuzul/wurud dalam setiap ada regulasi yang turun, baik al-Qur’an maupun hadis. Tetapi masalah timbul ketika masuk ke masa selanjutnya, muncul disiplin ilmu fikih yang menghasilkan lebih kepada teori dan asumsi daripada pertimbangan realitas dan aktivitas. Dan dalam proses asumsi, para fuqaha tidak terikat dengan kemungkinan realistis, tetapi kepada kemungkinan rasional. Hal ini juga terjadi dalam disiplin ilmu matematika dalam kebudayaan eropa.

(12)

Kalau boleh dikata, semua sumber hukum Islam sekarang ini terfokus pada teks/nash, baik teks al-Qur’an, Hadis, Ijma, Qiyas, dll. Secara urutan, al-Qur’an sebagai dasar segala sumber hukum menempati posisi awal, kemudian hadis sebagai penjelas dan pengkondisi teks al-Qur’an di masyarakat, kemudian ijma sahabat nabi ketika masa beliau telah lewat, dan begitu seterusnya. Yang perlu digarisbawahi adalah ketika teks-teks itu sampai kepada kita, pemaknaan, interprestasi, dan rasionalitasnya menjadi perdebatan panjang kaum ulama. Mayoritas ulama menyamakan pemahaman dan pemaknaan teks dengan masa-masa sebelumnya, dengan dalih bahwa teks/nash itu suci, tidak bisa dimaknai sesukanya. Padahal realita yang dihadapi pada masa itu dengan sekarang sangat jauh berbeda. Kayaknya mereka juga lupa, bahwa apa yang diketahuinya sebagai suci itu kan juga hasil dari untaian panjang interpretasi ulama-ulama sebelumnya.

Hal itulah yang menjadi salah satu pendorong peneliti dari Kuwait, Khalid, untuk merumuskan metode hermeneutika dalam hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam selama ini memasukkan segala jenis pengaplikasian yang otoriter. Dan itu merupakan produk dari penafsiran/interpretasi seseorang terhadap teks. Hal yang coba ditelusurinya adalah bagaimana teks suci dan objektif, yang merupakan wakil dari kehendak Tuhan, yang memuat hukum-hukum universal, itu tidak terintervensi oleh pendapat seseorang?

Hal yang harus diperhatikan menurutnya ada 3, yaitu Autentisitas, penetapan makna, dan perwakilan. Yang ingin disoroti penulis adalah yang terakhir, perwakilan. Karena persoalan untuk mewakili kehendak Tuhan ini tidak main-main. Memang kehendak Tuhan secara murni tidak dapat diwakili oleh siapa pun. Namun, Tuhan menjanjikan sendiri konsep yang ada pada manusia, yaitu khilafah. Sosok perwakilan, dalam hal ini penulis memahaminya sebagai mujtahid, dituntut untuk selalu objektif terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Menghindarkan otoritarianisme pada diri pribadinya sehingga kehendak Tuhan yang lewat dalam tutur dan tulisannya tidak semena-mena menurut ambisi dirinya. Sehingga dalam kasus ini, Khalid menawarkan lima standar yang menjadi syarat bagi wakil, yaitu jujur, kesungguhan, komprehensif, rasional dan rendah hati.

(13)

Pada kesempatan kali ini penulis berusaha mencerap beberapa poin penting hasil dari penelitian Jasser Auda terkait dengan Maqasid shariah, di antaranya:

Latar belakang yang diusung dalam penelitiannya mengacu kepada dua fenomena menggemparkan akhir-akhir ini, yaitu violence dalam pemahaman agama dan keterbelakangan pengetahuan intelektual masyarakat muslim berdasarkan survei dari HDI (Human Development Index). Dalam penjelasan latar belakang itu, masalah yang ikut menjadi biang keladi terhadap dua fenomena tadi adalah pandangan terhadap disiplin ilmu Fikih yang disetara-padankan al-Qur’an-Hadis. Hal inilah yang menjadi gejala mayoritas masyarakat muslim dunia. Fikih ini dipandang mereka sakral, suci dan dogmatis serta harus diterima apa adanya. Oleh karenanya, materi yang dipaparkan di dalam kajiannya tidak dirunut dari pertanyaan semacam ‘mengapa’, tetapi hanya apa dan bagaimana, semisal pemaknaan Jihad dalam fikih hanya sebatas definisi, tipologi-tipologi, dan sebagainya, tidak dituntaskan sedalam-dalamnya mengapa jihad didefinisikan dan dikelompokkan seperti itu. Nah, itu problem pertama. Selanjutnya setelah didalami sedetail-detailnya oleh Jasser, ditemukan bahwa tujuan aplikasi regulasi Fikih adalah personal/individual, tidak memandang kemaslahatan sosial, nah ini problem kedua. Barangkali mereka lupa, bahwa fikih itu juga disiplin keilmuwan yang, walaupun ia mendasarkan pokok kajiannya kepada al-Qur’an dan hadis, juga merupakan interpretasi dari seseorang secara subjektif.

Selanjutnya, solusi apa yang ditawarkan Jasser kepada Fikih? Ia memaparkan, kalau memang fikih masih dianggap ilmu, cara berpikir dan logika nya harus mempunyai sistem yang mampu mengontrol alur interpretasi materi kajiannya, tidak semena-mena menjastifikasi pernyataan-pernyataan dengan otoritas yang tanpa batas. Jasser membagi aspek dalam sistem berfikir fikih itu menjadi enam, dan kesemuanya bukan tipologi yang parsial dan terpisah, namun menyatu-padu dan tidak dapat berdiri sendiri. Aspeknya yaitu cognitive, wholeness, openness, inter-relatedness, multi-dimentionality, purposefullness. Semua aspek tadi sangat urgen, namun penulis hanya menyoroti satu aspek saja, yaitu multi-dimensi.

(14)

permasalahan dalam bidang fikih, penyelesaian dan penentuan kasus nya harus didalangi oleh berbagai macam sudut pandang disiplin keilmuwan. Kalau pun terpaksa digambarkan alur berpikirnya, multi-dimensional ini bukan hanya linear dengan jika-maka umpamanya, tetapi memungkinkan terjadi gerak zig-zag, spiral, dan bahkan siklikal. Jadi, ada banyak argumentasi yang mendasari suatu pemahaman, kita ambil contoh permasalahan dalam negara ini, misalnya membumbungnya harga beras, jikalau akal sehat kita masih bersahabat dengan metode berpikir yang multi-dimensional, kita mampu berimajinasi untuk merespon masalah itu mulai dari petani, keahlian mereka dalam bertani, swadaya tani, budaya bertani yang tereduksi, sawah, pupuk, regulasi tentang pupuk, perusahaan penggilingan padi, kebijakan impor dan ekspor pemerintah terhadap beras, perda dan perpu tentang harga beras, dan banyak hal lain yang turut menikam pemahaman dan persepsi mengenai naiknya harga beras.

Kemampuan berimajinasi yang multi-dimensional seperti itu sangat dibutuhkan untuk kasus tersebut. Karena kalau salah dalam antisipasi suatu masalah yang disebabkan kurang jernihnya sudut pandang, solusi dari masalah justru menjadi tangga dan media untuk menjemput masalah berikutnya. Yang ada masalah-masalah itu malah semakin menumpuk, untuk menyebutnya bukan lagi dengan deret hitung tapi sudah sampai kepada deret ukur. Dan hal ini sudah disuri-tauladankan oleh pendahulu-pendahulu bangsa kita dalam lagu dolanan Jawa, cuplikan baitnya seperti ini:

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, hukum progresif sebagai sebuah wacana cukup menarik minat dan perhatian masyarakat ilmiah, karena semangat pembaharuan dan pengembangan atas teori hukum yang selama ini

Metode ilmiah adalah sebuah sistem untuk menemukan sesuatu melalui observasi yang cermat, tetapi banyak proses yang dikaji oleh para ilmuwan tidak

Ciri kritis yang dimiliki mampu membuat filsafat mempunyai cara pandang yang baru terhadap sesuatu melalui diskusi dan dialog dalam sebuah diskursus yang dapat dikatakan sudah

Jika demikian, maka meyakini ayat poligami secara empirik atau rasional adalah sama-sama hal yang dibenarkan asal berangkat dari proposisi persepsi inderawi terhadap al-Qur’an

Namun demikian Archie masih mensyaratkan Ziga karakteristik yang harus dipenuhi, jika sesuatu disebut pengetahuan ilmiah, yaitu Pertama, berlangsung tcrus dan

Filsafat keilmuan harus menunjukkan bagaimana pengetahuan ilmiah sebenarnya dapat diaplikasikan yang kemudian menghasilkan pengetahuan alam semesta, dalam hal ini

Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan biasa dapat menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas,

Jika demikian, maka meyakini ayat poligami secara empirik atau rasional adalah sama-sama hal yang dibenarkan asal berangkat dari proposisi persepsi inderawi terhadap al-Qur’an