• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat sebagai Ilmu yang Dinamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat sebagai Ilmu yang Dinamis"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA

Filsafat seringkali dipandang sebagai sebuah ilmu yang “sulit”. Hal ini dikarenakan filsafat selalu berusaha mendapatkan jawaban yang sejati dengan cara berpikir yang rasional, metodis, sistematis, memberi tanggapan kritis melalui kritik, menuntut sebuah tanggapan melalui alasan yang rasional dan objektif, serta bertanggungjawab, melakukan perdebatan bahkan menentang pandangan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Berdasarkan pandangan inilah, penelusuran secara mendalam mengenai ciri filsafat dapat menjadi sebuah pembahasan yang menarik. Dalam tulisan sederhana ini akan dibahas mengenai ciri filsafat sebagai ilmu yang kritis, dialektis, dan historis. Ketiga ciri ini memperlihatkan filsafat sebagai ilmu yang senantiasa bergerak secara dinamis. Tulisan akan ditutup dengan tanggapan atas ketiga ciri filsafat ini dalam konteks budaya Timur. Perbedaan antara budaya Barat dan Timur tidak berarti bahwa kedua budaya ini bergerak dalam arah yang berbeda, namun keduanya bergerak menuju proses pencarian kebenaran secara bersama-sama.

Ciri Kritis Filsafat

Filsafat memiliki ciri kritis. Ciri kritis filsafat mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi eksternal yang dapat ditemukan ketika filsafat berhadapan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dan mengajaknya untuk “beranjak” dari kemapanannya dengan cara bertanya dan mempertanyakan sesuatu secara terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Kemudian, dimensi internal yang dapat ditemukan ketika filsafat selalu merasa tidak puas diri, selalu siap mempertanyakan diri, dan tidak pernah “berhenti” dalam mencapai sebuah kebenaran.

Ciri kritis filsafat yang terlihat begitu jelas adalah selalu mencari sesuatu yang mendasar (fundamental), selalu bertanya dan mencari sesuatu untuk mendapatkan jawaban yang rasional secara objektif dan dapat dipertanggung jawabkan.1 Dalam dimensi eksternal, ilmu-ilmu pengetahuan lain

mempunyai bidang-bidang kajian dan metodenya masing-masing yang sangat spesifik, namun ilmu pengetahuan ini tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab berbagai pertanyaan di luar objek kajiannya, seperti siapakah manusia, dlsb. Berdasarkan hal inilah, filsafat berperan sebagai ilmu yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental tentang manusia secara rasional dan bertanggung jawab. Dari hal ini terlihat bahwa filsafat mengajak ilmu-ilmu lain untuk keluar dan beranjak dari kemapanannya.

Kemudian dalam dimensi internal yang merupakan karakter dialektisnya yang terlihat dalam usaha pencarian jawaban secara terus-menerus dengan menggunakan metode yang tidak terbatas. Filsafat terbuka atas berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan jawaban. Sifat keterbukaan atau ‘kerendahan hati’ ini memiliki arti bahwa filsafat dapat mendebat suatu pendapat dan memberi jawaban tetapi pandangan dan jawabannya juga dapat didebat/mau (terbuka) menerima kritik. Dengan ciri ini, filsafat berusaha untuk tidak menjadi sebuah ideologi yang mengandung unsur

1 Hal ini semakin ditegaskan oleh Magnis dalam Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, hal 10 dengan kutipan: “berbeda dengan jawaban spontan dan jangka pendek, filsafat berusaha memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, artinya terbuka terhadap segala sangkalan dan berani memberikan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.”

(2)

kemutlakan dan tidak dapat dipertanyakan, tetapi menjadi sebuah usaha kritik ideologi. Filsafat menjadi sebuah ilmu yang tidak cepat puas diri, tidak cepat menganggap selesai suatu perkara melainkan selalu terbuka untuk memulai perdebatan baru atas suatu perkara dan permasalahan terhadap suatu hal. Ciri kritis filsafat ini kemudian diejawantahkan dalam ciri dialektis dan historis filsafat.

Ciri Dialektis Filsafat

Filsafat memiliki ciri dialektis. Ciri dialektis filsafat ini akan dibahas dalam dua tokoh filsuf, yaitu Platon dan Hegel. Dialektis ini berasal dari akar kata “dia-legein” yang berarti melalui kata-kata atau perbincangan. Dialektika menjadi sebuah proses pencarian kebenaran melalui dialog-dialog antar pandangan yang ada. Dalam buku Lysis, dialektika Platon nampak dalam mencari arti persahabatan. Perdebatan dimulai dari pandangan bahwa persahabatan merupakan relasi antara “sesuatu yang sama” kemudian “sesuatu yang berlawanan” dan terus menerus berlanjut hingga mencapai sebuah pandangan bahwa dalam persahabatan, relasi yang ingin dicapai bukanlah relasi antara dua orang, melainkan relasi kepada pihak ketiga. Akan tetapi, pandangan ini bukanlah sebuah pandangan yang final. Hingga akhir bukunya, Platon tetap tidak dapat menemukan arti dari persahabatan (mencapai jalan buntu atau aporia). Namun, melalui proses dialog ini terjadi sebuah pemurnian ide dari yang sekadar inderawi dan partikular menjadi idea yang murni dan noetik. Pencarian arti persahabatan mulai memasuki ranah abstraksi (relasi dengan pihak ketiga).

Dalam konsep dialektika Hegel, tidak ada bidang-bidang realitas maupun bidang-bidang pengetahuan yang terisolasi dan semuanya saling terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran. Menurut Hegel, dialektika adalah sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya dengan berupa negasi dan melalui negasi inilah kita dapat maju dan mencapai keutuhan serta dapat menemukan diri sendiri. Dari dialektika menurut Hegel inilah dapat dilihat bahwa dialektika ini memandang apa pun yang ada sebagai “kesatuan dari apa yang berlawanan”, sebagai “perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan”, sebagai “hasil dari, dan unsur dalam, sebuah proses yang maju lewat negasi atau penyangkalan”. Kata negasi menjadi kata kunci dalam dialektika menurut Hegel, karena menurut Hegel, “gerak pemikiran itu sendiri selalu ber-negasi.”

Struktur dasar dialektika terlihat bukan dalam susunannya yang triadik (berstruktur tiga: tesis, antitesis, sintesis), melainkan menggunakan susunan yang dual (berstruktur dua: tesis dan antitesis dan antitesis antitesisnya, dst.). Sebuah pandangan (tesis) dinegasi sehingga menghasilkan sebuah antitesis yang kemudian dinegasi kembali sehingga menjadi antitesis antitesisnya, dst. Proses penegasian ini mempunyai kekhasan, yaitu bahwa apa yang dinegasi tidak dihancurkan atau ditiadakan, melainkan yang disangkal hanyalah segi yang salah, tetapi kebenarannya tetap diangkat dan dipertahankan.

Dalam sebuah proses penegasiannya, Hegel menawarkan sebuah logika “organis” dengan istilah khusus “pelampauan sekaligus pelestarian” (overcome and preserved). Momen-momen pengangkatan inilah yang disebut dengan istilah aufheben. Konsep dialektika Hegel bergerak dari sesuatu yang abstrak dan menuju ke yang konkret. Kebaikan konkret ini didapat dari proses penegasian kebaikan abstrak (momen I) sehingga menjadi kebaikan konkret partikular (momen II) yang kemudian juga dinegasikan kembali menjadi sebuah kebaikan konkret yang universal (momen konkret) yang disadari dengan sungguh segala konsekuensinya.

Ciri Historis Filsafat

(3)

sebelumnya. Dalam peninjauan ulang ini diberikan tanggapan dan kritik atasnya. Bentuk tanggapan dan kritik ini terlihat dari cara Aristoteles dalam menyusun teori empat (4) causa-nya. Dari hal ini terlihat bahwa Aristoteles perlu “mengutip” pemikiran pendahulunya secara runut (berdasarkan urutan waktu mereka hidup) yang memberi tekanan pada causa material, efisien, dan formal. Pemikiran ini kemudian dikritik dan ditanggapi oleh Aristoteles dengan menambahkan causa finalis sebagai ciri khas Aristoteles. Hal ini juga nampak dalam usaha Plotinus menyusun ajarannya. Ia banyak dipengaruhi oleh Platon, Anaxagoras, Aristoteles, dll.

Tidak hanya pemikiran para pemikir sebelumnya dan situasi zaman yang mempengaruhi filsafat. Dialog dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya atau diskursus juga turut mempengaruhi filsafat. Dan melalui diskursus inilah filsafat menyadari, mengambil, dan menghargai temuan-temuan ilmu-ilmu lain secara kritis.

Kemudian, ciri historis filsafat ini yang tidak hanya mengandung unsur kritis, namun juga dialektis. “Ia tidak pernah mulai dari nol. Metodenya selalu bersifat dialogal atau menurut ungkapan tradisional dialektik.”2 Dari kalimat tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa filsafat tidak pernah

memulai sesuatu dari nol, melainkan selalu berdasarkan pemikiran-pemikiran yang sudah ada, namun ditanggapi serta dikritik melalui cara yang berbeda-beda namun khas dari tiap perjalanan waktu. Pada Platon, tanggapan dan kritik dilakukan melalui dialog atau diskusi antara guru dan murid. Pada Aristoteles, metode dialektis merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan, dan penilaian kritik dari semua opini yang didapatkan tentang suatu masalah yang dikemukakan. Dari hal ini dapat dilihat bahwa ciri historis berkaitan erat dengan ciri kritis dan ciri dialektis.

Tanggapan

Saya sebagai orang Timur melihat dan menyikapi filsafat yang mempunyai ciri kritis, dialektis, dan historis sebagai ilmu yang dinamis. Ciri-ciri filsafat ini dapat dikatakan selalu memperbarui dirinya dan berkembang dengan metode-metode yang dimilikinya. Ciri kritis yang dimiliki mampu membuat filsafat mempunyai cara pandang yang baru terhadap sesuatu melalui diskusi dan dialog dalam sebuah diskursus yang dapat dikatakan sudah mencapai kemapanannya dan dapat memperkaya ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Ciri dialektis yang dimiliki mampu membuat filsafat semakin diperkaya melalui sangkalan berupa negasi pada bagian yang salah saja, namun yang benar tetap dipertahankan. Kemudian, ciri historis yang selalu merujuk kepada peninjauan kembali pemikiran-pemikiran para filsuf melalui cara mengkritisi dengan kritik dan berusaha mendapatkan jawaban yang pasti dengan cara dialog/dialektis.

Menurut saya, ketiga ciri filsafat ini dirasa akan sangat sulit untuk diterapkan dan diwujudkan dalam budaya Timur. Hal ini dikarenakan dalam budaya Timur masih memegang dan menjaga keharmonisan/adanya sebuah harmoni agar tidak terjadi perdebatan yang dapat menggoncangkan, merusak, bahkan menghancurkan harmoni tersebut. Budaya Timur berupaya untuk tetap dan senantiasa menjaga harmoni tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang dapat menghancurkan harmoni tersebut dengan cara menghindari cara berpikir yang kritis dengan mengkritik. Berbeda dengan budaya Barat yang senantiasa berpikir secara kritis untuk memberi pandangan yang baru dan berusaha untuk mencapai sebuah kebenaran, dsb. Akan tetapi, kondisi ini tidak berarti bahwa budaya Timur tidak dapat bersikap kritis dan melakukan sebuah dialog dalam sebuah diskursus untuk mendapatkan pandangan yang baru serta mencapai sebuah kebenaran. Kenyataannya adalah bahwa budaya Timur berbeda dengan budaya Barat, namun perlu dilihat juga bahwa kedua budaya ini senantiasa terus menerus bergerak untuk mencapai sebuah kebenaran dengan caranya masing-masing dan berbeda-beda.

Daftar Pustaka

2 Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri, Hal 16.

(4)

Anh, To Thi. Eastern and Western Cultural Values: Conflict or Harmony. California: USA, 1974. Aristotle. Metaphysics I.

Gregory, John. The Neoplatonists: a Reader. New York: Routledge, 1992.

Hartman, Robert S (transl). Reason in History: A General Introduction to Philosophy of History. The Liberal Arts Press Inc., 1837.

Leahy, Louis. Siapakah Manusia?. Yogyakarta: Kanisius, 2001. ___________. Manusia, Sebuah Misteri. Jakarta: Gramedia, 1989.

Mueller, Gustav Emil (transl.). Hegel Encyclopedia of Philosophy. New York: Philosophical Library, 1959.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.

___________________. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Wibowo, A. Setyo. Mari Berbincang Bersama Platon: Persahabatan (Lysis). Jakarta: Ipublishing, 2009. _________________. “Persahabatan Selalu Segitiga: Platon dalam LysisBasis 01-02 (2014): 14-23.

Referensi

Dokumen terkait

Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena pengetahuan tentang kebenaran

Dengan demikian dapat disarikan, bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan yang bersifat ontologis, epistemologis,

Dengan demikian, dapat dikatakan hermeneutika merupakan seni pemahaman sebagai bagian dari filsafat ilmu yang dapat digunakan dalam interpretasi untuk menjelaskan bahasa teks

Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua; pertama, filsafat ilmu dalam arti luas yaitu yang menampung semua permasalahan yang berkaitan dengan hubungan keluar dari

Namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial

Agama memberikan penjelasan yang terang berderang tentang hakekat Allah, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh filsafat maupun ilmu... Melalui

Tidaklah mengherankan jika salah satu sifat dari filsafat sosial adalah “pemberontakan.” Bahan material filsafat sosial adalah sesuatu yang dapat menyelidiki berbagai bidang dalam

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat karena merupakan hasil penerungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia, selain itu juga