• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Globalisasi Ketimpangan di Teng (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradoks Globalisasi Ketimpangan di Teng (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Ekonomi di Chile

Alfionita Rizky Perdana

Departemen Hubungan Internasional

Universitas Airlangga

ABSTRACT

Globalization is seen as the cause of increasing economic growth in many countries. Country

which adopts economic globalization values such as free trade is also seen as a success story

in reducing poverty and creating equality among its society. However based on the facts,

these are not always true. In many countries, economic globalization cannot bring prosperity

to each person. Inequality still can be found ; the rich people control most capital, access to

public service, and get higher salary than those poor people. This is also happened in Chile

where economic growth keeps growing higher since the neoliberalism globalization took

place in 1974. Even though they have reached a good economic growth each year, but

inequality still exists. Based on this fact, in this paper the writer will explain that

globalization may increase economic growth but it does not mean that globalization

eradicates inequality. In this paper the writer will use the arguments proposed by scholars

such as Robert Wade, David Harvey, Branko Milanovic, and Kavaljit Singh in which they

opposed that globalization can eradicate inequality.

Keywords: economic globalization, Chile, economic growth, inequality.

Globalisasi dinilai sebagai penyebab partumbuhan ekonomi meningkat pesat di banyak

negara. Seringkali pula negara-negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi misalnya

dalam dinilai mampu menurunkan angka kemiskinan dan menciptakan masyarakat yang

sejahtera. Akan tetapi, pada faktanya tidak selalu demikian. Di banyak negara yang terjadi

justru globalisasi ekonomi tidak membawa kesejahteraan bagi tiap individu. Ketimpangan

pada kenyataannya masih banyak ditemui terjadi ; golongan kaya menguasai kapital, akses

pelayanan, dan perolehan gaji yang lebih besar dibanding golongan miskin. Seperti yang

(2)

2

ekonomi tahun 1974. Meski demikian, ketimpangan di Chile juga masih dapat ditemui. Pada

paper ini penulis akan menjelaskan bahwa globalisasi tidak menghilangkan ketidaksetaraan

di tengah pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih suatu negara . Di dalam

membuktikannya penulis akan merujuk pada penggunaan argumen-argumen ilmuwan seperti

Robert Wade, David Harvey, Branko Milanovic, dan Kavaljit Singh yang keempatnya

menolak pandangan globalisasi menciptakan pemerataan di suatu negara.

Kata-Kata Kunci: globalisasi ekonomi, Chile, pertumbuhan ekonomi, ketimpangan.

Globalisasi secara sederhana didefinisikan oleh Baylis & Smith (2001, 7) sebagai sebuah

proses peningkatan keterhubungan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya di

belahan bumi lain. Globalisasi menyebabkan ruang dan waktu menjadi menyempit. Akibat

penyempitan ini, maka akan terjadi keterhubungan antarmasyarakat. Dengan adanya

keterhubungan antarmasyarakat di belahan bumi mana pun, akan ada kemudahan yang

diterima oleh masyarakat maupun negara dan aktor-aktor lainnya. Termasuk dalam bidang

ekonomi, globalisasi dipandang oleh masyarakat dapat membawa manfaat. Tetapi juga tidak

jarang ada yang memandang jika globalisasi sebenarnya tidak membawa keuntungan bagi

masyarakat atau negara.

Globalisasi ekonomi dapat dikarakterkan dengan adanya liberalisasi perekonomian suatu

negara dan beriringan dengan prinsip neoliberalisme. Ini dapat dilihat dari upaya negara

untuk terintegrasi dalam perdagangan internasional dan meliberalisasi finansial serta catatan

modalnya (Singh 2005, 24). Ada beberapa kisah sukses negara-negara di dunia yang berhasil

mencapai kemakmuran ekonomi setelah meliberalisasi ekonominya, seperti Tiongkok dan

India di tahun 1970-1980-an (Wolf 2005, 141-3). Melihat fenomena kesuksesan tersebut,

seringkali ada asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa globalisasi berkontrbusi pada

peningkatan pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam pemerataan ekonomi. Akan tetapi,

ada pula yang menilai sebaliknya. Perhitungannya, jika Tiongkok tidak dikutsertakan dalam

penghitungan angka kemiskinan dan pemerataan ekonomi di tingkat global tahun 2001 maka

terjadi peningkatan angka kemiskinan dari tahun 1981 sebesar 2,4 juta menjadi 2,7 juta

(Ravallion 2004, dalam Wade 2006, 109). Sehingga, jika ditarik ke masing-masing negara,

maka fakta tersebut benar adanya. Seperti yang terjadi di Chile, negara ini adalah salah satu

negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia stabil di Amerika Latin

(3)

3 pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut. Tingkat upah di masyarakat belum sepenuhnya

merata, setidaknya 9 dari 10 tenaga kerja di Chile mendapat gaji di bawah rata-rata minimum

gaji yang seharusnya di negara-negara maju (Durán 2011, dalam Council on Hemispheric

Affairs 2011).

Para ilmuwan telah banyak berargumen mengenai kaitan globalisasi dengan pertumbuhan dan

ketimpangan ekonomi. Salah satunya adalah Kavaljit Singh (2005) yang mengatakan bahwa

globalisasi telah menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi di antara negara-negara.

Pendapat ini juga didukung oleh ilmuwan lainnya yaitu Branko Milanovic (2007) yang

menyatakan bahwa globalisasi belum sepenuhnya menciptakan pemerataan ekonomi di

seluruh dunia. Begitu pula dengan Robert Wade (2006) yang menyatakan bahwa dalam

implementasinya, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan pasar bebas tidak berjalan secara

seimbang. Sementara itu David Harvey (2007) berpandangan bahwa neoliberalisme tidak

menciptakan pemerataan ekonomi dan selain itu pertumbuhan ekonomi di tingkat global

justru menurun. Sehingga, penulis akan membuktikan bahwa globalisasi memang dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara tetapi tidak menghilangkan ketimpangan

di suatu negara dan tingkat internasional. Penulis akan mengambil contoh kasus bagaimana

Chile yang sejak tahun 1974 mengalami globalisasi ekonomi, memang mengalami

pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi permasalahan muncul karena masih ada

ketimpangan di sana.

Perekonomian Chile Sebelum Globalisasi Ekonomi

Sebelum dikenal sebagai negara paling stabil perekonomiannya di Amerika Latin, Chile

menjadi negara yang menerapkan sistem Sosialisme. Seperti halnya negara-negara Amerika

Latin lainnya, Chile menerapkan strategi import substitution industry (ISI) sepanjang tahun

1960-an (Hourton 2012, 3). Dengan cara ini, pemerintah menggerakkan perindustrian dalam

negeri untuk berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Konsepsi kemandirian

dilakukan untuk memutus ketergantungan Chile dengan negara-negara maju lainnya. Meski

Chile tergolong sebagai negara dengan perekonomian yang masih rendah, namun negara ini

terbilang berani dalam menerapkan proteksionisme (Buc 2006, 2). Akan tetapi, ketika

memasuki tahun 1973, pemerintahan Salvador Allende mulai mengalami instabilitas

perekonomian domestik. Tingkat inflasi di Chile mencapai 286 persen di tahun 1973 (Buc

(4)

4

yang dahulu mampu membeli 5 galon susu kini hanya mampu membeli 1 galon susu (Buc

2006, 2). Ini diakibatkan oleh mahalnya harga Dollar di Chile, sehingga menyebabkan

harga-harga di Chile menjadi naik (Buc 2006, 2). Dengan harga-harga Dollar AS yang mahal, maka pasar

gelap di Chile pun ikut menjadi berkembang. Pemerintah pun mengontrol ketat harga-harga

di pasaran sehingga ini berakibat pada kelangkaan barang-barang kebutuhan masyarakat di

pasar (Buc 2006, 2). Kelangkaan ini juga berkaitan dengan harga Dollar AS yang mahal di

Chile. Mengetahui adanya kenaikan nilai tukar Dollar yang tinggi, masyarakat kemudian

menjadi panik dan berbondong-bondong untuk membeli barang-barang kebutuhannya

(Schatan 2001, 60).

Salah satu fitur penting dalam perekonomian Chile sebelum adanya globalisasi ekonomi

adalah pemberian social safety kepada masyarakat sebagai bentuk implementasi komitmen

sosialisme (Schatan 2001, 58). Sebagai negara yang menerapkan sistem sosialisme maka

Chile berkewajiban untuk menyediakan social safety kepada masyarakat mereka. Dapat

dikatakan jika kehidupan masyarakat Chile saat itu berjalan stabil sebelum terjadinya

instabilitas di tahun 1970-an tersebut. Untuk melakukan pembiayaan social safety bagi

masyarakat Chile ini, salah satu sumbernya adalah melalui pencetakan uang (Buc 2006, 2).

Pencetakan uang berlebih ini nantinya akan menyebabkan terjadinya inflasi berlebih di dalam

negeri.

Globalisasi Ekonomi dalam Kebijakan dan Strategi Pemerintah Chile Sesudah Tahun 1974

Seiring dengan keruntuhan pemerintahan Allende di Chile tahun 1973, di tahun berikutnya

Chile dikuasai oleh junta militer (Schatan 2001, 57). Junta militer yang dikomandoi oleh

Jenderal Augusto Pinochet mendapat dukungan dari pihak CIA dan pemerintah Amerika

Serikat (AS) saat itu. Sebagai umpan balik atas kejatuhan Allende, maka CIA dan pemerintah

AS bersedia untuk mempersiapkan rancangan program ekonomi yang akan menjadi

keputusan pemerintahan berkuasa di Chile saat itu, yakni junta militer Pinochet (Schatan

2001, 57). Beberapa langkah diambil oleh pemerintahan berkuasa saat itu berdasar preskripsi

yang diberikan AS seperti pembukaan pasar dan penerapan pasar bebas, pengaturan suplai

uang untuk mengatasi inflasi, privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah, dan juga

termasuk mencabut social safety yang diberikan pemerintah Chile kepada masyarakat di sana

(5)

5 Harga-harga produk di pasar mulai dibebaskan ke pasar. Karena pasar dianggap sebagai

pihak yang tepat dalam menentukannya (Schatan 2001, 62). Ini berbeda dibanding

pemerintahan di Chile sebelumnya yang mengontrol ketat harga-harga di pasar sehingga

tidak ada perubahan harga barang-barang (Schatan 2001, 61). Berikutnya, kebijakan

neoliberalisme yang diterapkan oleh pemerintah Chile adalah melakukan privatisasi

perusahaan-perusahaan milik negara. Caranya adalah dengan menjadikan petinggi-petinggi

perusahaan negara tersebut sebagai pemilik penuh perusahaan. Sebelumnya, perusahaan

negara dikelola oleh orang-orang yang berasal dari kalangan sipil, pemerintahan, maupun

anggota militer yang kepemilikannya diatasnamakan kepada negara (Schatan 2001, 61-2).

Akan tetapi, dengan kebijakan pemerintahan baru di Chile ini, maka kepemilikan perusahaan

negara menjadi sepenuhnya menggunakan nama personal, bukan lagi atas nama negara.

Privatisasi perusahaan negara di Chile ini juga dilakukan dengan penentuan gaji pegawai

secara bebas sesuai pasar. Begitu pula dengan harga jual produk-produk yang dihasilkan oleh

perusahaan tersebut, sepenuhnya diserahkan pada pasar.

Selain di tingkat domestik, pembaruan juga dilakukan dalam konteks integrasi Chile ke

perdagangan internasional. Sebagai kelanjutan dari kebijakan pasar bebas, Chile kemudian

mengikuti banyak perjanjian perdagangan bebas baik regional maupun tingkat global.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Tokman (2010, 3-4) ada sekitar 29 perjanjian

perdagangan bebas baik regional maupun bilateral yang diikuti Chile. Ini menunjukkan

bahwa Chile begitu besar niatnya untuk terintegrasi dalam perdagangan internasional.

Keadaan ini juga dilatarbelakangi kebutuhan Chile untuk membuka perekonomiannya agar

dapat menarik investor asing serta lebih memudahkan ekspor produk mereka yang mulai

masif digalakkan. Beberapa langkah lanjutan juga dilakukan seiring dengan adanya

perjanjian perdagangan internasional ini yaitu dengan liberalisasi catatan modal. Penurunan

tarif ekspor dan impor serta halangan dalam perdagangan dihapuskan untuk dapat

meningkatkan pemasukan Chile kembali setelah sebelumnya di masa ISI, Chile menerapkan

proteksionisme yang tinggi dengan tarif sebesar 94 persen untuk impor (Tokman 2010, 2). Di

tahun 1979 pemerintah Chile menurunkan tarif impor menjadi 10 persen (Buc 2006, 4). Ini

merupakan angka terendah pada masa itu. Oleh sebab itu, impor menjadi begitu mudah

dilakukan. Pemerintah Chile di tahun 1990-an juga menerapkan kebijakan baru dalam

(6)

6

15 persen kemudian menjadi 11 persen dan selanjutnya menjadi hanya 6 persen (Buc 2006,

5).

Pemerintahan junta militer di Chile juga bukan tanpa masalah ketika menjalankan kebijakan

ekonomi bersifat neoliberalismenya ini. Pemerintah menetapkan exchange rate secara tetap

selama beberapa tahun (Schatan 2001, 62). Ini kemudian berakibat pada peningkatan hutang

luar negeri Chile yang besar. Besarnya hutang luar negeri Chile menyebabkan pemerintah

saat itu kemudian meminjam dana ke IMF dan memenuhi persyaratan IMF (Schatan 2001,

62). Beberapa persyaratan yang diajukan oleh IMF sebagai imbal balik atas dana pinjaman ke

Chile di antaranya penghapusan atau liberalisasi foreign exchange dan kontrol impor,

memfasilitasi masuknya investasi luar negeri secara baik, menaikkan suku bunga untuk

mencegah membanjirnya pengajuan kredit dari masyarakat, menaikkan pajak, mencabut

social safety dari masyarakat, kontrol peningkatan gaji masyarakat, dan menghentikan

kontrol harga (Schatan 2001, 62). Kebijakan neoliberalisme semacam ini juga bertujuan

untuk mengendalikan suplai uang berlebih di Chile yang menyebabkan inflasi dan

permasalahan ekonomi di domestik di era pemerintahan sebelumnya. Selain itu, pemerintah

Chile kemudian mengubah kebijakan penerapan nilai tukar yang tetap tersebut untuk

kemudian didevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor Chile dan menjaga kualitas

ekspornya serta produk domestik agar mampu bersaing dengan produk-produk impor

(Tokman 2010, 2).

Selain menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, pembaruan strategi dalam perdagangan

internasional, Chile juga melakukan liberalisasi finansial. Kebijakan liberalisasi finansial

yang dilakukan oleh Chile di antaranya mergers and accusations (M&As), privatisasi

bank-bank milik pemerintah, penghilangan restriksi masuknuya bank-bank asing, dan deregulasi industri

perbankan (Singh 2005, 37-41). Tujuan dari adanya liberalisasi finansial ini adalah untuk

memfasilitasi bisnis dan ekonomi Chile sehingga pembangunan negara ini akan terus

berlanjut. Dengan liberalisasi finansial, implikasi lanjutannya adalah peranan pemerintah

menjadi berkurang dan pasar memegang kendali kuat atas kegiatan bisnis, investasi, dan

(7)

7 Pertumbuhan Ekonomi Chile : Efek Globalisasi ?

Meskipun telah diterapkan kebijakan ekonomi yang baru, namun untuk dapat mencapai

pertumbuhan ekonomi yang baik memerlukan waktu lama sejak diberlakukannya

kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut. Sekitar 10 tahun sejak globalisasi ekonomi Chile tahun 1974,

negara ini masih harus mengatasi permasalahan seperti besarnya hutang luar negeri mereka

(Buc 2006, 5). Selain itu, ada krisis yang melanda Chile sehingga PDB mereka kian merosot

meskipun globalisasi ekonomi sudah terjadi. Di kurun waktu ini sebenarnya menggambarkan

titik lemah globalisasi ekonomi yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonominya. Chile

meskipun telah membuka pasarnya dan menerapkan berbagai fitur-fitur globalisasi, pada

kenyataannya negara ini tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang bagus. Investasi asing

belum berani ditanamkan di Chile meskipun negara ini sudah menerapkan kebijakan yang

memfasilitasi investasi tersebut. Keadaan ini seperti yang dikatakan oleh Singh bahwa tidak

selamanya liberalisasi finansial berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara

(Singh 2005, 24).

Selain itu, liberalisasi finansial yang dilakukan di Chile justru berakibat pada adanya krisis

yang dialami oleh Chile di tahun 1980-an (Buc 2006, 2). Krisis ini disebabkan oleh

melonjaknya jumlah pinjaman yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan di Chile saat itu.

Industri di Chile tengah berkembang pesat dan untuk memenuhi kebutuhan ekspor, maka

perusahaan pun mengajukan pinjaman ke bank-bank untuk membiayai biaya produksinya.

Akan tetapi, yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan ini tidak dapat membayar

hutang-hutangnya saat jatuh tempo hingga berakibat pada krisis yang meningkatkan inflasi dan

pengangguran tinggi. Krisis di Chile ini hampir sama dengan yang terjadi di Asia Tenggara

tahun 1997 yang juga diakibatkan oleh liberalisasi finansial. Adanya krisis ini kemudian

berimplikasi pada penurunan pertumbuhan ekonomi di Chile selama dua tahun. Krisis juga

kembali terjadi di Chile di tahun 1990-an yang berdampak pada penurunan pertumbuhan

ekonomi dan peningkatan pengangguran (De Gregorio 2004, 4). Sehingga dari sini didapat

gambaran bahwa globalisasi ekonomi bukan tanpa celah karena telah berkontrbusi dalam

penurunan pertumbuhan ekonomi. Globalisasi juga berpotensi membuat pertumbuhan

ekonomi suatu negara bersifat volatil dan rentan. Seperti di Chile, Pertumbuhan ekonomi di

(8)

8

Di periode tahun 1984 hingga 1997, perekonomian Chile mengalami perbaikan dan

bertumbuh sebesar 7,3 persen per tahun dan kemudian bertambah 3 persen menjadi sekitar

7,6 persen di tahun berikutnya (Solimano 2009, 9). Selanjutnya sepanjang tahun 1998 hingga

2005, pertumbuhan ekonomi rata-rata di Chile sebesar 3,5 persen dan di tahun 2011 menurut

Chile’s Central Bank menunjukkan angka peningkatan sebesar 8,4 persen (Council on Hemispheric Affairs 2011). Namun sayangnya angka sebesar ini disebutkan oleh Durán

(2011, dalam Council on Hemispheric Affairs 2011) 75 persennya dinikmati oleh 10 persen

masyarakat kaya di Chile. Sementara menurut IMF, PDB Chile berdasarkan purchasing

power parity (PPP) di pertengahan 2011 mencapai angka US$ 250 juta dan untuk PDB per

kapita pada waktu yang sama sebesar US$ 15.900 (IMF 2011, dalam Council on Hemispheric

Affairs 2011). Capaian ini menjadi gambaran bahwa pertumbuhan ekonomi di Chile begitu

pesat sejak diberlakukannya kebijakan neoliberalisme di sektor ekonomi. Kemudian untuk

foreign direct investment, di tahun 2012 Chile meraih US$ 26,4 juta (Heine 2013, dalam

Centre for International Governance Innovation 2013). Menelusuri sumber pertumbuhan

ekonomi di Chile juga tidak hanya karena kebijakan neoliberalisme, namun juga obyek atau

komoditas yang dijual oleh Chile dalam perdagangan internasional. Chile merupakan negara

dengan kekayaan alam timah sebagai komoditas ekspor utama mereka yang telah

menyumbang pemasukan bagi Chile. Oleh sebab itu, bagi para ilmuwan, pertumbuhan

ekonomi Chile akan terus meningkat seiring pula dengan ekspor timah ke berbagai negara

(Council on Hemispheric Affairs 2011).

Ketimpangan di Chile di Tengah Globalisasi Ekonomi

Melihat fakta di Chile yang masih mengalami ketimpangan, tentunya peernyataan globalisasi

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan ketimpangan patut dipertanyakan

kembali. David Harvey (2007, 156) menyatakan satu-satunya capaian terbaik neoliberalisme

adalah reduksi dan kontrol inflasi, tetapi gagal dalam menghapus ketimpangan. Di Chile,

inflasi berhasil dikontrol oleh pemerintah, reduksi tarif dan halangan dalam perdagangan

internasional berhasil diturunkan, namun masih ada permasalahan ketimpangan ditemukan di

negara ini. Selain itu, mengutip penjelasan Harvey (2007, 156), globalisasi yang dinilai

menciptakan ketimpangan dipandang oleh para globalis sebagai sebuah momen untuk

“menyalahkan” mereka yang kalah dalam sistem dan mendesak untuk tetap terjun dalam

usahanya, membiarkan kompetisi di pasar berjalan, maka proses pertumbuhan ekonomi akan

(9)

9 Branko Milanovic (2007, 33) pernah berujar bahwa 20-25 tahun terakhir tren yang muncul

adalah semua negara Amerika Latin menurun dan semakin miskin dalam konteks pendapatan

per kapitanya. Ekonomi terbuka Chile akibat globalisasi memengaruhi perusahaan dalam

negeri kesulitan dalam menjual produk-produk mereka. Kedatangan investor dan perusahaan

asing ke Chile mendorong dihasilkannya produk yang lebih inovatif dan menarik masyarakat

Chile. Akibatnya, produk-produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif, dampak lanjutannya

adalah adanya pengangguran tercipta karena perusahaan domestik tidak sanggup lagi

beroperasi. Pemerintah Chile juga tetap memberlakukan impor barang dari luar negeri. Ini

juga menambah tingkat persaingan produk-produk yang dipasarkan di Chile. Produk-produk

impor lebih menarik pembeli dan harganya juga lebih murah dibanding produk keluaran

dalam negeri Chile.

Ketimpangan yang terjadi di Chile juga berlanjut terjadi ketika memasuki tahun 1980-an.

Pada tahun ini terjadi krisis ekonomi di Amerika Latin yang dikenal sebagai Latin American

Debt Crisis (Hourton 2012, 5). Krisis ini menimbulkan tingginya angka pengangguran di

negara-negara kawasan Amerika Latin, tidak terkecuali di Chile (Hourton 2012, 5). Krisis

ekonomi ini ditambah dengan sedikitnya peranan pemerintah dalam perekonomian di Chile

menyebabkan angka pengangguran saat itu meningkat. Privatisasi yang dilakukan di Chile

juga menambah panjang faktor penyebab globalisasi ekonomi tidak serta merta membawa

pemerataan dalam masyarakat. Sepanjang tahun 1974 hingga 1990 atau saat era

market-oriented di Chile, koefisien Gini selalu menunjukkan peningkatan sebesar 4,3 poin pada

periode tersebut (Schmidt-Hebbel 2006, 28). Ini menandakan jika koefisien Gini terus

meningkat, maka ketimpangan ekonomi dan sosial serta kemiskinan terus mengalami

kenaikan angka. Hal ini juga dapat dipahami karena pemerintah Chile di bawah kekuasaan

junta militer lebih berfokus pada market-oriented dan menghapus pengeluaran pemerintah

untuk keperluan sosial masyarakat (Schatan 2001, 57). Keadaan ini yang kemudian

dipandang sebagai alasan pendukung mengapa globalisasi ekonomi tidak bisa menciptakan

pemerataan ekonomi.

Selanjutnya, di periode demokrasi Chile tahun 1990, Chile memang memulai

program-program yang berlandaskan growth with equity (Council on Hemispheric Affairs 2011). Akan

tetapi, permasalahan yang muncul adalah kebijakan di Chile tidak bisa berjalan dengan baik.

(10)

10

golongan menengah atas di Chile. Pemerintah Chile mulai menyadari bahwa neoliberalisme

globalisasi di negara ini tidak serta merta membawa pemerataan ekonomi meskipun PDB

Chile terus naik dan negara ini menjadi negara paling stabil ekonominya di Amerika Latin.

Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah Chile kemudian adalah dengan

memberlakukan reformasi pajak (Council on Hemispheric Affairs 2011). Kebijakan fiskal ini

diambil dengan mekanisme peningkatan jumlah tagihan pajak per orang sebagai alternatif

pemerataan distribusi pendapatan di masyarakat. Akan tetapi, kebijakan ini tidak berjalan

secara efektif. Hal ini disebabkan oleh dua hal yakni pertama kebijakan ini tidak dilaksanakan

oleh warga negaranya. Masyarakat Chile enggan untuk membayar pajak terlalu tinggi

(Council on Hemispheric Affairs 2011). Akibatnya kemudian pemerataan distribusi

pendapatan tidak terjadi dan masih terus terkonsentrasi pada golongan menengah atas.

Bahkan meskipun telah diterapkan kebijakan ini, namun Chile masih tercatat sebagai negara

dengan angka pajak terendah di antara negara-negara Organization for Economic

Cooperation and Development (OECD) lainnya. Misalnya saja angka pajak yang dikenakan

pada kalangan bisnis di Chile hanya sebesar 17 persen sementara negara-negara OECD

lainnya telah memberlakukan penarikan pajak pada kalangan bisnis sebesar 35 persen

(Council on Hemispheric Affairs 2011). Sementara itu untuk pajak per orangan, Chile hanya

memberlakukan sebesar 5 persen, padahal di negara-negara OECD lainnya sudah mencapai

angka 45 persen (Council on Hemispheric Affairs 2011).

Kemudian penyebab kedua ketidakefektifan kebijakan reformasi pajak ini adalah

ketimpangan proporsi pembayaran pajak di Chile. Masyarakat golongan menengah bawah

atau yang bergaji rendah mendapat tagihan pajak yang sama besarannya dengan yang bergaji

tinggi dan atau golongan menengah ke atas. Sebagai gambaran menurut Kenzo Asahi (2011,

dalam Council on Hemispheric Affairs 2011) 20 persen masyarakat menengah ke bawah di

Chile harus membayar 15 persen total pajak mereka, sementara 20 persen golongan

menengah di Chile hanya membayar 12 persen tanggungan pajak mereka. Ini menjadi sebuah

ketidakadilan, sehingga yang terjadi masyarakat masih enggan untuk membayar pajak sesuai

ketentuan pemerintah. Selain soal ketidakefektifan kebijakan reformasi pajak, sebenarnya

kebijakan ini juga dipandang sebagai bukti dari kegagalan globalisasi ekonomi dalam

menciptakan pemerataan.

Berikutnya, kebijakan kedua yang dalam implementasinya kurang efektif adalah pendidikan.

(11)

11 mengenyam pendidikan tinggi dengan harapan mereka bisa memeroleh pekerjaan dengan gaji

tinggi (Reuters 2013). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi masih golongan menengah

atas yang mampu menikmati pendidikan berkualitas. Mereka yang bergaji rendah atau

golongan menengah ke bawah hanya mampu untuk menempuh pendidikan di

sekolah-sekolah biasa atau dalam beberapa kasus mereka mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah swasta

yang biayanya lebih mahal dibanding sekolah negeri di Chile (Council on Hemispheric

Affairs 2011).

Ketidaksetaraan upah yang diterima masyarakat memperburuk keadaan masyarakat

menengah ke bawah karena sistem yang hanya dikuasai dan diatur oleh kalangan menengah

ke atas (Wade 2006). Sekolah-sekolah berkualitas baik dan sekolah yang tergolong sebagai

sekolah negeri lebih banyak dikuasai oleh golongan menengah ke atas. Keadaan seperti ini

turut menjadi indikator gambaran bagaimana ketimpangan ekonomi di Chile. Akses

pendidikan yang masih mahal dan hanya bisa diakses oleh golongan menengah atas ini juga

menggambarkan bahwa ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengkomodifikasi

pendidikan di sana (Council on Hemispheric Affairs 2011). Sehingga kemudian yang terjadi

adalah pendidikan menjadi sulit diakses semua kalangan. Anggaran pemerintah Chile untuk

pendidikan pun tercatat hanya sebesar 3,4 persen di tahun 2007 dan ini dirasa belum

sepenuhnya cukup untuk memfasilitasi pendidikan masyarakat di sana (Council on

Hemispheric Affairs 2011).

Selanjutnya ada pula penyebab adanya ketimpangan di Chile sepanjang periode sejak

globalisasi ekonomi hingga sekarang. Chile begitu tergantung dengan timah sebagai

komoditas ekspor mereka ke luar negeri (Council on Hemispheric Affairs 2011).

Permasalahan yang muncul adalah timah menyumbangkan banyak pemasukan bagi Chile,

akan tetapi ini tidak diiringi dengan pembukaan kesempatan kerja baru di bidang timah

(Council on Hemispheric Affairs 2011). Ada dua hal yang menjadi penyebabnya, pertama

Chile masih lebih banyak mengekspor timah secara mentah sehingga tidak banyak proses

pengolahannya. Kedua adalah tidak banyak perusahaan atau usaha-usaha ekspor timah yang

berniat untuk memperluas penyerapan tenaga kerjanya di Chile (Council on Hemispheric

Affairs 2011).

Penyebab lain adanya ketimpangan di Chile adalah adanya pergeseran tren di Chile yaitu

(12)

12

tenaga kerja high skill (Council on Hemispheric Affairs 2011). Ini terjadi karena adanya

pandangan efisiensi dari perusahaan-perusahaan ini, sehingga akan lebih efisien untuk

merekrut tenaga kerja low skill karena gaji mereka yang murah. Dengan gaji murah ini

perusahaan dinilai akan tetap mempertahankan keuntungan perusahaan mereka. Gaji rendah

tidak sebanding jika harus dialokasikan pula untuk membayar pajak yang lebih besar dari gaji

mereka sendiri (Council on Hemispheric Affairs 2011). Belum lagi untuk memenuhi

kebutuhan pribadi dan keluarga, maka jelas gaji rendah yang dibayarkan perusahaan menjadi

sumber ketimpangan di Chile. Sebagai data, dari survei CASEN 2009 (dalam Council on

Hemispheric Affairs 2011), 76 persen masyarakat Chile memeroleh penghasilan kurang dari

350.000 Peso atau setara US$ 700 per bulan, sementara 90 persen masyarakat Chile yang

bekerja memeroleh gaji kurang dari 650.000 Peso atau setara US$ 1300 per bulan, atau

dengan kata lain 9 dari 10 pekerja di Chile memeroleh gaji di bawah gaji minimum rata-rata

di negara-negara maju. Golongan menengah ke atas di Chile menurut Duran (2011, dalam

Council on Hemispheric Affairs 2011) menjadi “pemilik” Chile berdasarkan fakta bahwa sekitar 4000 keluarga di Chile memeroleh penghasilan per bulan sebesar 18.000.000 Peso

atau setara dengan US$ 38.000.

Kesimpulan

Globalisasi ekonomi dimulai di Chile di tahun 1974 saat junta militer berkuasa. Kebijakan

yang mengadopsi prinsip-prinsip neoliberalisme diterapkan di Chile seperti misalnya

integrasi pasar bebas, penghapusan social safety, pengaturan suplai uang, penurunan tarif

impor, serta membuka Chile untuk masuknya investasi maupun pembukaan

perusahaan-perusahaan asing di negara ini. 10 tahun awal penerapan neoliberalisme di Chile, negara ini

belum mengalami peningkatan ekonomi signifikan. Baru di tahun 1984 Chile mengalami

pertumbuhan ekonomi sebesar 7,3 persen. Akan tetapi meski globalisasi ekonomi lewat

perdagangan besar memengaruhi pertumbuhan ekonomi Chile tetapi ketimpangan ekonomi di

Chile tetap terjadi hingga saat ini. Pemerataan pendapatan belum terjadi dan masih banyak

masyarakat golongan menengah ke bawah di Chile yang kesulitan untuk memeroleh akses

pendidikan misalnya. Meskipun berbagai kebijakan untuk mengatasinya telah dilakukan

seperti menarik pajak tinggi serta mendorong masyarakatnya untuk memeroleh pendidikan,

namun masih ditemui implementasi yang salah dari kebijakan-kebijakan tersebut. Golongan

menengah ke bawah di Chile seringkali pula mengalami ketidakadilan dalam pembayaran

(13)

13 kemudian globalisasi tidak serta merta mampu menciptakan pemerataan di antara

masyarakat. (3900)

Daftar Pustaka

Buku dan Artikel dalam Buku

Baylis, John & Steve Smith, (eds.), 2001. The Globalization of World Politics, 2nd Edition.

Oxford : Oxford University Press, pp. 1-12.

Harvey, David, 2007. “Neoliberalism on Trial”, dalam A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, pp. 152-182.

Milanovic, Branko, 2007. “Globalization and Inequality”, dalam Held, David & Ayse Kaya

(eds.), Global Inequality. Cambridge: Polity, pp. 26-49.

Singh, Kavaljit, 2005. “Does Financial Globalization Stimulate Investment and Growth?”, dalam Questioning Globalization. London: Zed Books, pp. 21-54.

Wolf, Martin, 2005. “Incensed about Inequality”, dalam Why Globalization Works. New Haven: Yale Notabene, pp. 138-172

Artikel Jurnal dan Jurnal Elektronik

Buc, Hernan Buchi, 2006. “How Chile Successfully Transformed Its Economy”,

Backgrounder, No. 1958, 18 September.

Contreras, Dante, 2007. “Poverty, Inequality, and Welfare in a Rapid-Growth Economy The

Chilean Experience”, 2020 Focus Brief on the World’s Poor and Hungry People, 27 Desember.

De Gregorio, Jose, 2004. “Economic Growth in Chile : Evidence, Sources, and Prospects”,

Central Bank of Chile Working Paper, No. 298, Desember.

Hourton, Alain, 2012. “Income Inequality in Chile : 1990-2006”, Discussion Paper Graduate

(14)

14

Schatan, Jacobo, 2001. “Poverty and Inequality in Chile : Offspring of 25 Years of Neoliberalism”, Development and Society, 30 (2) : 57 – 77.

Schmidt-Hebbel, Klaus, 2006. “Chile’s Economic Growth”, Cuadernos de Economia, 43 : 5-48.

Solimano, Andres, 2009. “Three Decades of Neoliberal Economics in Chile Achievements,

Failures, and Dilemmas”, UNU-WIDER Research Paper, No. 2009/37, Juni.

Tokman, Victor E., 2010. “Globalization in Chile : A Positive Sum of Winners & Losers”,

International Center for Trade and Sustainable Development, No. 14, Desember.

Wade, Robert H, 2006. “Should We Worry About Income Inequality”, dalam Held, David, & Ayse Kaya (eds.), Global Inequality. Cambridge: Polity, pp. 104-131.

Artikel Online

Centre for International Governance Innovation, 2013. Will Inequality Hamper Chile’s

Economic Prospects [online]. dalam :

https://www.cigionline.org/articles/2013/02/will-inequality-hamper-chiles-economic-prospects [diakses 18 Juni 2015] .

Council on Hemispheric Affairs, 2011. The Inequality Behind Chile’s Prosperity [online].

dalam : http://www.coha.org/the-inequality-behind-chiles-prosperity/ [diakses 18 Juni

2015].

Media Massa Online

Reuters, 2013. Chile Must Combat Income Inequality, Despite Outlook. [online]. dalam

http://www.reuters.com/article/2013/10/23/chile-oecd-idUSL1N0ID0RO20131023

(15)

15 Lain-Lain

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa auditor internal pemerintah daerah yang sebelumnya telah melaksanakan peran konsultasi akan mengalami kesulitan untuk

Di Indonesia, salah satu kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas udara di perkotaan antara lain dengan memberlakukan kebijakan Hari Bebas Kendaraan Bermotor

Perkembangan pada setiap anak tentunya berbeda-beda dalam masa pertumbuhannya, banyak faktor yang membentuk anak berkembang terutama implikasi dari pendidikan pertama

Guru yang sejahtera secara psikologisnya, adalah guru yang ramah terhadap orang lain, pintar dalam menjaga lingkungan sosialnya, mau terbuka terhadap hal-hal baru, menerima saran

ingin dibeli, kemudian memasukkannya ke dalam keranjang belanja. Di keranjang belanja pengunjung masih memilih hak akses untuk memilih barang, menambah jumlah kuantitas

Pemerintah berupaya untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah, Dana Desa merupakan salah satu program yang dibuat oleh pemerintah untuk mengurangi ketimpangan dan

Penelitian ini berawal dari munculnya pandangan negatif siswa terhadap pembelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Peran kepemimpinan guru SKI diharapkan dapat

Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai Respons Dokter pada Implementasi Program