• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur. Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun (1992: 59). Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.

Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan (Rahman, 2003: 41).

Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih saying, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman (Rahman, 1992: 59). Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari pelbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam (A’la, 2003: 34).

Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain

mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir (A’la, 2003: 34).

Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal (1996: 80), ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya.

Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University.

(2)

Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar pelbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan Urdu (Sutrisno, 2006: 62). Penguasaan pelbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran pelbagai literatur.

Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat (Rahman, 1992: 60).

Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut Moosa (2000: 2), permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah (Rahman, 1992: 63).

Kursi panas yang diduduki oleh Fazlur Rahman akhirnya menuai pelbagai reaksi. Para ulama tradisional menolak jika Fazlur Rahman mendudukinya, ini disebabkan oleh latar belakang pendidikannya yang ditempuh di Barat. Penentangan atas Fazlur Rahman akhirnya mencapai klimaksnya ketika jurnal Fikr-o-Nazar menerbitkan tulisannya yang kemudian menjadi dua bab pertama bukunya yang berjudul Islam. Pada tulisan tersebut, Fazlur Rahman mengemukakan pikiran kontroversialnya mengenai hakikat wahyu dan hubungannya dengan Muhammad saw. Menurut Fazlur Rahman, Alquran sepenuhnya adalah kalam atau perkataan Allah swt, namun dalam arti biasa, Alquran juga merupakan perkataan Muhammad saw. (Rahman, 2003: 33). Akibat pernyataan-pernyataannya tersebut, Fazlur Rahman dinyatakan sebagai munkir-i-Quran (orang yang tidak percaya Alquran). Menurut Amal (1994: 14-15), kontroversi dalam media masa Pakistan mengenai pemikiran Fazlur Rahman tersebut berlalu hingga kurang lebih satu tahun, yang pada akhirnya kontroversi ini membawa pada gelombang demonstrasi massa dan mogok total di beberapa daerah Pakistan pada September 1968. Menurut hampir seluruh pengkaji pemikiran Fazlur Rahman berpendapat bahwa penolakan atasnya bukanlah ditujukan kepada Fazlur Rahman tetapi untuk menentang Ayyub Khan. Hingga akhirya pada 5 September 1968 permintaan Fazlur Rahman untuk mengundurkan diri dari pimpinan Lembaga Riset Islam dikabulkan oleh Ayyub Khan.

Pada akhir tahun 1969 Fazlur Rahaman meninggalkan Pakistan untuk memenuhi tawaran Universitas California, Los Angeles, dan langsung diangkat menjadi Guru Besar Pemikiran Islam di universitas yang sama. Mata kuliah yang ia ajarkan meliputi pemahaman Alquran, filsafat Islam, tasawuf, hukum Islam, pemikiran politik Islam, modernism Islam, kajian tentang al Ghazali, Shah Wali Allah, Muhammad Iqbal, dan lain-lain. Salah satu alasan yang menjadikan Rahman memutuskan untuk mengajar di Barat disebabkan oleh keyakinan bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak akan menemukan lahan subur di Pakistan. Selain itu, Rahman menginginkan adanya keterbukaan atas pelbagai gagasan dan suasana perdebatan yang sehat, yang tidak ia temukan di Pakistan (A’la, 2003: 40).

Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencurahkan seluruh kehidupannya pada dunia keilmuan dan Islam.

(3)

internasional. Pengakuan tersebut salah satunya ialah pada tahun 1983 ia menerima Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles.

Pada pertengahan dekade 80-an, kesehatan tokoh utama neomodernisme Islam tersebut mulai terganggu, dintaranya ia mengidap penyakit kencing manis dan jantung. Konsistensi Rahman untuk terus berkarya pun ditandai oleh lahirnya karya yang berjudul Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Walaupun baru diterbitkan setelah beliau wafat, namun pengerjaannya dilakukan ketika sakit beliau makin parah dengan dibantu oleh puteranya. Akhirnya, pada 26 Juli 1988 profesor pemikiran Islam di Univesitas Chicago itu pun tutup usia pada usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya dirawat di rumah sakit Chicago.

Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karya

Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya

menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw (Amal, 1996: 116).

Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini ialah.

1. Adanya kontroversi yang akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu,

2. Kontak yang intens dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada hakikat tantangan Islam pada periode modern,

3. Posisi penting sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis (Sutrisno, 2006: 71-72).

Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam (Sibawaihi, 2007: 21). Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963. Menurut Açikgenç (dalam Saleh 2007: 27), sebenarnya pada periode kedua ini Rahman sudah berkeinginan mengembangkan metodologi yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Alquran dan Hadis.

Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic

(4)

Buku kedua Rahman yang lahir pada peridoe kedua ini ialah berjudul Islam. Buku ini memaparkan perkembangan umum agama Islam selama empat belas abad, oleh karena itu menjadi wajar ketika buku ini menjadi dasar

pengantar umum tentang studia Islam. Dua buah artikel pertama yang tersusun dalam buku ini , yakni artikel yang berjudul Muhammad dan Alquran, ketika dipublikasikan di Pakistan sempat menuai pelbagai kontroversi.

Kontroversi terjadi berkenaan padangan Rahman mengenai hakikat Alquran dan proses pewahyuannya kepada Muhammad saw. Rahman memandang bahwa Alquran secara keseluruhannya adalah kalam Allah swt. dan dalam artian biasa merupakan perkataan Muhammad saw (Rahman, 2003: 33). Adapaun tulisan-tulisan Rahman yang difokuskan untuk memberi definisi Islam di Pakistan diantaranya ialah Some Reflection on the Reconstruction of Muslim Society in Pakistan, Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milieu, dan The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems.

Perkembangan dan periode pemikiran Fazlur Rahman berikutnya ialah periode Chicago yang terhitung dari kepindahannya ke Chicago. Seluruh karya Rahman yang dihasilkan pada periode ini mencakup kajian Islam historis dan normatif. Adapun karya-karya yang berhasil ia hasilkan pada periode ini diantaranya The Philosophy of Mulla Shadra, Major Themes of The Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, dan Health and Medicine in Islamic Tradition.

Buku yang pertama penulis sebut di atas murni merupakan karya yang bertemakan Islam historis dan tidak

memiliki hubungan dalam kajian-kajian Islam normatif. Sedangkan buku kedua karya Rahman pada periode kedua ini membahas mengenai delapan tema pokok Alquran, yakni Tuhan, Manusia sebagai Individu, Manusia Anggota Masyarakat, Alam Semesta, Kenabian dan Wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan, serta Lahirnya Masyarakat Muslim. Buku yang kerap kali disebut sebagai magum opus Fazlur Rahman ini mengkaji pelbagai ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan tema-tema yang telah disebut sebelumnya dan kemudian ditafsirkan dengan cara menghubungkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, buku karya Rahman ini merupakan sikap atau tanggapannya atas pelabagai buku atau tulisan yang dibuat oleh para orientalis (seperti Richard Bell, Montgomery Watt, John Wansbrough, dal lain sebagainya) yang kerap kali menghubungkan atau beranggapan bahwa Alquran merupakan kelanjutan atau terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang pernah ada sebelumya (seperti Yahudi dan Nasrani). Melalui karya ini, Rahman berhasil membangun landasan filosofis yang terga untuk perenungan kembali makna dan pesan Alquran bagi kaum Muslim kontemporer.

Buku berikutnya yang Rahman hasilkan pada periode Chicago ini ialah Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Buku ini sangat jelas memperlihatkan intensitas Rahman dalam menata masa depan Islam dan umatnya. Dengan demikian, buku ini tidak melulu membahas Islam historis yang tidak memberikan solusi kongkrit bagi pembangunan umat Islam dan bekal untuk umat Islam dalam menghadapi periode modern. Berikutnya ialah buku yang berjudul Helath and Medicine in Islamic Tradition, buku ini berusaha menangkap kaitan organis antara Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan dan Islam sebagai sebuah tradisi pengobatan manusia.

Setelah mengkaji perkembangan pemikiran Rahman yang didasarkan pada buku-buku yang ia hasilkan sepanjang karir intelektualitasnya, maka dapat dikatakan bahwa Rahman mengalami perubahan concern pemikiran serta kajiannya. Perubahan yang cukup signifikan ini disebabkan oleh kesadaran Rahman bahwa Islam dewasa ini tengah menghadapi krisis yang sebagian akarnya terdapat dalam Islam sejarah, pengaruh-pengaruh Barat dengan tantangan-tantangan modernitasnya, kemudian membuatnya berupaya membuat atau merumuskan soluai terhadap krisis tersebut (Amal, 1996: 148-149).

Secara keseluruhan buku-buku yang Rahman hasilkan berjumlah sepuluh buah. Namun demikian, bukan berarti bahwa Fazlur Rahman hanya menghasilkan buku-buku an sich. Sepanjang karir intelektualitasnya, doctor lulusan Oxford University tersebut menulis pelbagai artikel di beberapa jurnal ilmiah dan sebagian dari artikel-artikel tersebut dikumpulkan menjadi beberapa buku. Adapun buku-buku yang dihasilkan olehnya ialah sebagai berikut.

1. Avicenna’s Psycology

2. Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy

(5)

4. The Philosophy of Mulla Shadra 5. Islamic Methodology in History 6. Islam

7. Major Times of the Qur’an

(6)

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan.[1] Fazlur Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Dengan demikian tidak dapat di pungkiri Fazlur Rahman juga rasional di dalam berfikirnya, meskipun ia mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan sunnah.

Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak pemikiran modern, bahkan Ayahnya berkeyakinan bahwa islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempurnaan. [2]

Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. [3] Dimana dia menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.

Pada awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya

(7)

Tidak kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di operasi. Operasi ini berhasil se tidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia Intelektual Islam.[4]

B.Karya-karya Fazlur Rahman

a. am Is l996.

b. Islamic Methodology in History 1965. c. Prophecy in Islam.

d. Major Themes of The Qur’an ( 1980 ). e. The Philosophy of Mulasadra.

f. Islam and Modernity Transformative of on Intelektual Tradition ( 1982 ). Artikel Fazlur Rahman :

a. Some Islamic Issues In the Ayyub Khan Era. b. Islamic Challenges and Opportunist.

c. Forwards Reformulating The Methodology of Islamic Law : Syaikh Yamani on Public Interest in Islamic Low.

d. Islam Legacy and Contemporary Challenges e. Islam in The Contemporary World

f. Root of Islamic Neo Fundamentalism. g. Change and The Muslim World. h. The Impact of Modernity on Islam.

i. Islamic Modernism It’s Scope, Method and Alternative. j. Divines Revelation and The Prophet.

k. Interpreting the Qur’an.

l. The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man. m. Some Key Ethical Concept of the Qur’an.[5]

C.Pemikiran Fazlur Rahman

(8)

tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain.

Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :

a. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an.

b. Seseorang harus mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.

c. Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah. d. Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya

mensistematiskan materi ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.[6]

ANALISIS

Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat.

Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup.

Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam.

Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di sampaikan.

(9)

Segala bentuk pemikiran filsafat Fazlur Rahman sangatlah penting dan menjadi suatu arahan pengetahuan yang mengajarkan tentang islam, filsafat, Muhammad al-Qur’an dan sebagainya yang bermanfaat bagi kita semua.

PENUTUP

Fazlur Rahman adalah seorang intelektual yang tinggi, ia banyak memberikan warisan yang bermanfaat bagi manusia dari zaman ke zaman. Ia juga meninggalkan sejarah kehidupan pribadinya yang dapat menjadi suatu dokumen penting bagi kita.

DAFTAR PUSTAKA

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1999 Fazlur Rahman Dalam Islam, PT. Raja Grafindo, Persada, 2001, Gelombang Perubahan

Ali Safyan, Skripsi Kritik Fazlur Rahman Terhadap Uzlah, Semarang, Fakulatas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang,2001

Fatah Rosihan Affandi, Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia, Semarang, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002

[1] Fazlur Rahaman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal.1-2

[2] Ali Safyan, Skripsi Kritik Fazlur Rahman Terhadap Uzlah, Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2001

[3] Fazlur Rahman, op. cit, hal.1-2

[4] Ali Shofyan, op. cit. hal.43-44

[5] Fatah Rosihan Affandi, Skripsi Study Analisis Fazlur Rahman Tentang Manusia. Semarang : Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2002, hal.33-34

(10)

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual

Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.

Sejak kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [1] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern. Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.

Selain itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad Iqbal:

Dengan demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses psikologis wahyu.[3]

2. Latar Belakang Pendidikan dan Pengalaman

Setelah menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.

Sekembalinya ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research. Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[5]

(11)

dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.

Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.

3. Perkembangan Pemikiran dan Karya-karyanya

Dari selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya ke dalam tiga babakan utama, yang di dasarkan pada perbedaan karakteristik karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan seterusnya).[6]

Ada tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan mutakallimun tidak begitu keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.

Rahman sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7]

Pada periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic Methodology in History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan untuk memperlihatkan: (I) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai advanced introduction tentang Islam.

Pada periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).

Kalau karya-karya Rahman pada periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis, pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya, setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara neomodernis.

B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad

Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.

(12)

dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.[9]

Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah tertutup.[10] Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:

Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan. [12]

Akan tetapi, justru persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman menegaskan:

bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[13]

C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi Tafsir

Pandangan Rahman mengenai Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam Islam:

Bagi Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[14]

Konsepsinya mengenai Al-Qur’an secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut: 1. Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[15]

(13)

3. Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.

4. Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.

5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[18] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.

6. Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon. [19]

Sampai pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.

Dengan demikian, dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.

D. Metodologi Tafsir Rahman

Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.

(14)

sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.

Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.

Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.

Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[20]

Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.

Bila gerakan yang pertama mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.

Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.[21] Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.

Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:

(15)

gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.

Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis:

Kemudian seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.

Mengenai butir ketiga, Rahman menulis:

Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.

Metodologi tafsir Rahman ini bisa dilihat dalam bagan sebagai

KEBERANIAN mengungkapkan prinsip kebenaran yang dilandasi ketajaman berpikir, ingatan luar biasa, dan kemampuan unik menyatukan berbagai persoalan kompleks dalam gaya cerita yang koheren, telah mengantar Fazlur Rahman pada jajaran pemikir-pemikir Islam kontemporer ternama abad ke-20.

Fazlur Rahman-lahir tahun 1919 di Pakistan dan meninggal tahun 1988 di Chicago-sebagaimana para pemikir muslim abad ke-20 lainnya, mengarahkan perhatian pada fenomena modernisasi dan perubahan dunia yang dipahami dalam dunia Islam sebagai janus-faced (berwajah ganda, seperti wajah Dewa Janus). Di satu sisi ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manfaat, tetapi di sisi lain berpengaruh besar pada nilai-nilai etis kebudayaan transenden. Yang terakhir ini merupakan alasan kaum tradisional-konservatif muslim untuk menolak perubahan yang dihasilkan modernisasi budaya dan intelektual.

Fazlur Rahman dan lain-lain yang sealiran menganggap, penolakan itu sebagai langkah "membabi-buta" yang hanya akan merugikan, di mana masyarakat muslim akan semakin tertinggal di belakang masyarakat kontemporer lain yang telah menjadi penguasa di bidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. Fazlur mengagumi tradisi intelektual sophiscated yang diwariskan ulama masa lalu, dan mengeluh pada realitas ulama masa kini (pasca-Al Gazali) yang cenderung membuang nilai-nilai kritis dan pembaharuan dari peninggalan tersebut.

Berdasarkan pokok pikiran tersebut (kata pengantar oleh Ibrahim Moosa) melalui buku ini Fazlur mencoba menggali kembali wacana telaah historis gelombang perubahan yang dihasilkan para pemikir Islam masa lalu. Walaupun nuansa sejarah terlihat sedikit kental, tetapi tidak menghalanginya untuk mengangkat sebuah pemikiran kritis tentang gelombang perubahan tersebut.

Secara khusus Fazlur mengupas paham Irja' (paham penundaan segala keputusan dan dikembalikan kepada otoritas Tuhan) sebagai cikal-bakal kelahiran dua aliran Islam terbesar saat ini (Sunni dan Syi'ah).

Irja' lahir dari reaksi terhadap gerakan Khawarij yang men-"cap" Ali, Utsman, dan Muawiyah, sebagai kafir. Menurut pemahaman mereka, segala keputusan ada dalam kekuasaan Tuhan. Maka mereka meyakini diam adalah pilihan terbaik dalam menyikapi dilematika kehidupan.

Walaupun selanjutnya muncul reaksi dari golongan Qadariyah dan Mu'tazilah yang berpaham free will (kebebasan berkehendak) yaitu bahwa Tuhan tidak punya otoritas apa-apa dalam menentukan nasib seorang manusia, namun kenyataannya Irja' semakin berkembang dan menjadi "ruh" kelahiran Sunni dan Syi'ah.

Dalam pandangan Fazlur Rahman, Irja' merupakan penyebab utama kelesuan moral dan spiritual masyarakat Islam, yang bukan hanya mempengaruhi karakter teologi, tetapi juga ajaran-ajaran predeterminisme yang mempengaruhi sikap konkret (hal 138).

(16)

Sedangkan masyarakat Syi'ah, khususnya Syi'ah 12, keberadaannya tidak lebih baik dari masyarakat Sunni. Imam Syi'ah tidak ada yang memiliki - bahkan tidak bisa memiliki - pengaruh terhadap ahli-ahli hukum dan teologi Syi'ah. Selama berabad-abad Syi'ah memberikan penghargaan yang sedikit kepada Alquran, meskipun menghasilkan banyak komentar dan penafsiran yang luar biasa penuh kiasan. Syi'ah telah menempatkan Al Quran ke dalam pelupaan sistematis dan bergantung kepada imam, tapi ketika imam dihilangkan, yang tertinggal hanya kekeringan hukum dan teologi kalam (hal 135).

***

TIDAK ketinggalan buku ini juga membahas perjalanan tasawuf yang-sebagaimana Asy'ariyah - mengecilkan akal vis a vis wahyu. Ketika para sufi mengecilkan akal, mereka mengangkat intuisi (rasa) sebagai pengetahuan yang dinyatakan bebas dari kesalahan karena tidak tertutup (kasyf), (hal 147).

Namun demikian, Ibnu Taimiyah memberikan penilaian pahit dengan menyatakan bahwa ketika seorang sufi melepas pikirannya untuk mencurahkan dirinya secara utuh kepada Tuhan, maka setan datang mendiami kekosongan pikirannya dan bebas melalukan tugasnya di sana (hal. 150). Walaupun para sufi tidak bisa disebut murji'ah dalam arti teknis, tetapi pengaruh keseluruhan mereka pada kehidupan moral masyarakat sangat terasa, bahkan lebih berbahaya daripada Irja' (hal. 150).

Buku itu dalam dua bab terakhir mengulas gejolak pembaharuan akhir abad petengahan yang dimotori Ibnu Taimiyah serta pemikiran pembaharuan India oleh Syekh Ahmad Sirhindi dan Syekh Wali Allah.

Karya terakhir Fazlur Rahman ini merupakan cerminan kepribadiannya yang merepresentasikan rasionalitas Arab-Islam dan pencerahan pemikiran Barat. Uraiannya memang menguatkan bahwa ia memang guru besar wacana Islam dengan tekanan pada pemikiran, ide, dan perenungan. Ia tidak begitu saja menerima istilah-istilah komoderenan, pembaharuan, dan kemajuan, kecuali di dalamnya terdapat teologi rasional.

Akhirnya, penghargaan tinggi patut ditujukan kepada pemikir satu ini, sebab harus diakui-terlepas dari pro-kontra terhadapnya Fazlur Rahman telah melengkapi khasanah intelektual Islam dengan satu sikap pasti terhadap pembaharuan ke arah yang lebih baik. *

Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat.

Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam.

Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura.

Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan.

(17)

akan dirumuskan ke dalam undang undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi social masing-masing negeri

Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik.

Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus.

Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (wahdah diniyyah ’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (wahdah diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius.

Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim.

Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali.

Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini

(18)

PENDIDIKAN PERSPEKTIF FAZLU RAHMAN

BAB I

PENDAHULUAN

Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan, baik yang bersifat teoritis konseptual maupun praktis. Di antara masalah teoretis konseptual yang paling memerlukan pemikiran lebih mendalam adalah persoalan epistemologi.

Fazlur Rahman, seorang pembaharu yang paling bertanggung jawab pada abad ke-20 yang berpengaruh besar dipakistan, Malaysia, Indonesia dan Negara-negara lain (di dunia Islam), serta di Chicago Amerika (di dunia barat) memiliki berbagai pemikiran yang terkait dengan persoalan tersebut. Ia berhasil bersikap kritis baik terhadap warisan Islam sendiri maupun terhadap tradisi barat. Ia berhasil mengembangkan suatu metode yang dapat memberi solusi alternatif atas problem-problem umat Islam kontemporer.

Tinjauan Pustaka

Ahmad Syafi’i Maarif menulis dengan judul ”Mengenal Fazlur Rahman dan Pemikirannya tentang Islam” di dalam tulisannya, Maarif mengategorikan Rahman sebagai salah seorang yang bertanggung jawab dalam masalah pembaharuan pemikiran Islam secara total dan tuntas.

Tulisan Maarif yang kedua adalah ”Fazlur Rahman, al-Qur’an dan Pemikiran Islam”. Menurut Ma’arif seseorang baru mampu membaca membaca posisi pemikiran Rahman secara tepat dan jujur dalam mata rantai revolusi intelektual dunia Islam setelah seseorang memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh disamping as-Sunnah, sejarah Islam, terutama periode awal, dan dunia modern.

Tulisan Ma’arif yang ketiga berjudul ”Fazlur Rahman” yang dimuat dalam bukunya Islam Kekuatan Doktrindan Kegamangan Umat. Dalam tulisan tersebut Ma’arif bermaksud menganalisis wawancara antara Fazlur Rahman dan profesor Hamid Algar dari Universitas California, tentang berbagai persoalan Islam kontemporer.

Sampai di sini dapat diketahui bahwa menurut Ma’arif, Rahman dalam memahami Islam dan al-Qur’an selalu mengaitkan dengan bingkai peradaban masa depan. Yang paling penting untuk selalu dipegangi adalah bahwa al-Qur’an mengajarkan doktrin kesatuan kehidupan dan kesatuan ilmu pengetahuan.

Nurcholish Madjid menulis dengan judul ”Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika al-Qur’an”. Ia menilai bahwa Rahman sangat kritis terhadap pemikiran Islam yang tidak berakar dalam sejarah dan tidak relevan bagi

perkrmbangan masyarakat. Seluruh karya Rahman menurut Nurcholish dialirkan untuk bermuara kepada

penyingkapan kandungan kitab suci. Selain itu juga dapat dipandang sebagai sari pati penyimpulan yang dibuatnya berdasarkan pengetahuannya yang mendalam dan luas tentang pemikiran Islam.

Ebrahim Moosa menjadi editor dan pemberi kata pengantar pada karya Rahman yang berjudul ”Revival and Refrom in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism” inti dari kata pengantar ini adalah bahwa Rahman sangat antusias untuk mendaptkan kembali al-Qur’an. Oleh karena itu buku tersebut harus dipandang sebagai kelanjutan dari proyek pengembangan hermeneutika al-Qur’an oleh Rahman. Moosa memandang bahwa pemikir-pemikir modern seperti Fazlur Rahman sangat penting karena mengartikan wahyu dalam term sejarah.

Metode Penulisan Buku

(19)

karya-karya orang lain mengenai pemikiran Fazlur Rahman, terutama dalam diskursus epistemologi, metodologi, dan pendidikan Islam.

Dalam pengumpulan data digunakan metode dokumentasi. Sumber-sumber data yang sudah terkumpul baik sumber primer maupun sumber sekunder dijadikan sebagai dokumen. Dokumen-dokumen tersebut kemudian dibaca dan setelah itu diklasifikasikan. Selanjutnya data yang sudah tersistematisasi dianalisis dengan analisis bahasa, hermeneutika, dan koherensi internal.

Kerangka Teori

Kerangka teori atau kerangka konseptual di sini berisi pengertian, deskripsi teori, konsep dan metode yang terkait dengan judul buku ini, dan sekaligus berfungsi sebagai alat analisis terhadap metodologi, epistemologi, dan pendidikan Fazlur Rahman.

Sistematika penulisan buku

Keseluruhan buku ini terdiri atas lima bab dan setiap bab terbagi atas beberapa subbab. Kelima bab yang masing-masingnya terbagi menjadi beberapa subbab ini merupakan satu kasatuan yang bulat dan utuh. Bab pertama dalah pendahuluan, yang memberikan gambaran secara singkat mengenai keseluruhan buku ini dan memberikan rambu-rambu untuk masuk pada bab-bab seanjutnya. Bab kedua membahas biografi Fazlur Rahman yang merupakan titik sentral dari pembahasan buku ini. Bab ketiga membahas epistemologi dan metodologi Fazlur Rahman.

Pembahasan ini didasarkan pada temuan struktur dasar dari tiga sistem epistemologi Islam yang terdapat pada bab 1. pada bab empat dengan judul neomodernisme dalam pendidikan Islam. Tema ini dipilih karena tema tersebut telah lama melekat pada diri Fazlur Rahman. Penulisan buku ini diakhiri pada bab lima yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Subbab kesimpulan berisi berbagai temuan dalam penulisan buku ini, yang tidak hanya berupa

rumusan epistemologi dan metodologi pemikiran Fazlur Rahman, tetapi juga berupa konsep atau teori-teori pendidikan Islam yang dapat diaplikasikan di Indonesia.

BAB II

BIOGRAFI FAZLUR RAHMAN

Penulisan biografi Rahman ini meliputi pendidikan, perkembangan pemikiran dan karya-karyanya. Pendidikan Fazlur Rahman

Rahman lahir pada tanggal 21 september 1919 didaerah Hazara, (anak benua india) yang sekarang terletak disebelah barat laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam sebuah keluarga muslim yang taat beragama.

Ayahnya, Maulana Sahab al-din adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Rahman kecil beruntung memiliki seorang ayah yang betul-betul memperhatikan pendidikannya. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal

mengaji dan menghafak al-Qur’an. Sehingga, pada usia sepuluh tahun, rahman telah hafal al-Qur’an seluruhnya. Pendidikan dalam keluarganya benar-benar efektif dalam membentuk watak dan kepribadiannya untuk dapat menghadapi kehidupan nyata. Menurut Rahman, ada beberapa factor yang telah membentuk karakter dan kedalaman dalam beragama. Diantara factor-faktor tersebut yang penting adalah ketekunan ayahnya dalam mengajarkan agama padanya dirumah dengan disiplin tinggi sehingga dia mampu menghadapi berbagai macam peradaban dan tantangan dialam modern, disamping pengajaran dari ibunya, terutama tentang kejujuran, kasih sayang, serta kecintaan sepenuh hati darinya. Hal penting lainnya bahwa ia dididik dalam sebuah keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi.

(20)

Empat tahun kemudian Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina. Ketika kuliah di Universitas Oxford Rahman mempunyai kesempatan mempelajari bahasa-bahasa barat seperti bahasa Ltin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab, dan Urdu. Penguasaan bahasa yang bagus sangat membantunya dalam memperdalam dan memperluas keilmuannya.

Setelah selesai kuliah di Oxford ia tidak langsung pulang kenegerinya, tetapi Rahman mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, dan selanjutnya di Institute of Islamic Studies, McGill University Canada. Pada awal tahun 1960-an, Rahman pulang kenegerinya, Pakistan. Kemudian dua tahun berikutnya, ia ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam setelah sebelumnya ia menjabat sebagai staf di lembaga tersebut selama beberapa saat. Selama kepemimpinannya, lembaga ini berhasil menerbitkan dua jurnal ilmiah, yaitu Islamic Studies dan Fikru-Nazhr (berbahasa Urdu).

Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 Rahman ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideology Islam pemerintah Pakistan. Setelah melepas kedua jabatannya di Pakistan, Rahman hijrah kebarat. Ketika itu, ia diterima sebagai tenaga pengajar di Universitas California, Los Angeles, Amerika. Kemudian, pada tahun 1969, ia mulai menjabat sebagai Guru Besar kajian Islam dalam berbagai aspeknya di Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Ia menetap di Chicago kurang lebih selama 18 tahun, sampai akhirnya tuhan memanggilnya pulang pada tanggal 26 Juli 1988.

Perkembangan pemikiran dan Karya-Karya Fazlur Rahman

Perkembanga pemikiran dan karya-karya Rahman dapat diklasifikasikan kedalan tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode kematangan.

1.

1. i.

1. Periode pertama (Periode Pembentukan)

Periode pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang kepulangan kenegerinya, Pakistan, setelah mengajar selama beberapa saat di Universitas Durham, Inggris. Secara epistemologis, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini didominasi oleh pendekatan historis.

Pada periode ini, Rahman berhasil menulis tiga karya intelektualnya, yaitu: (1) Avecinna’s Psychology, berisi kajian dari pemikiran Ibn Sina yang terdapat pada kitab al-Najat; (2) Avecinna’s De Anima, being the psychology part of kitab al-Shifa’ merupakan suntingan dari kitab al-Nafs yang merupakan bagian dari kitab al-Shifa’;(3) Prophecy in Islam: Philoshophy and Orthodoxy, merupakan karya orisinil Rahman yang paling penting dalam periode ini. Karya ini dilandasi oleh rasa keprihatinannya atas kenyataan bahwa sarjana-sarjana muslim modern kurang menaruh minat dan perhatian terhadap doktrin-doktrin kenabian.

1.

1. i.

1. Periode kedua (Periode Perkembangan)

(21)

bagi Pakistan. Secara epistemologis, pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini mulai beranjak dari pendekata historis menuju kependekatan normatif.

Periode ini ditandai oleh sesuatu perubahan yang radikal. Dalam periode pertama, Rahman tidak memprlihatkan minatnya untuk memahami kajian-kajian islam normatif. Disamping itu, karya-karya yang ditelurkannya lebih menampakkan dirinya sebagai orientalis muslim yang cukup berkualitas. Maka, pada periode kedua ini, ia terlibat secara intens dalam upaya-upaya untuk merumuskan kembali islam dalam rangka menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim kontemporer, bagi Pakistan khususnya.

Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran islam ditandai dengan dipublikasikannya serangkaian artikel-artikelnya dalam jurnal Islamic Studies mulai bulan maret 1962 hingga Juni 1963. rangkaian artikel ini, dengan tambahan bab “Ijtihad pada abad-abad kemudian”, belakang diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Islamic Methodology in History, Central Istitute of Islamic Research, Karachi, 1965. buku ini disusun dengan tujuan untuk

memperlihatkan (a) evolusi historis perkembangan empat prinsip dasar pemikiran islam yang memberi kerangka bagi seluruh pemikiran islam yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan ijma’, dan (b) peran actual prinsip-prinsip tersebut terhadap perkembangan islam itu sendiri.

Buku kedua yang dihasilkan oleh Rahman dalam periode ini adalah berjudul Islam. Buku ini merupakan upaya Rahman dalam menyajikan sejarah perkembangan islam secara umum, yaitu kira-kira selama empat belas abad keberadaan islam. Dalam buku ini, Rahman lebih dominan mengemukakan kritik historis, disampinh sedikit memberikan harapan dan saran-saran.

1.

1. i.

1. Periode ketiga (Periode Kematangan)

Karya-karya intelektual Rahman sejak kepindahannya ke Chicago (19670) mencakup hamper seluruh kajian islam normatif maupun historis. Ia banyak menulis artikel dalam berbagai jurnal internasional dan ensiklopedia. Dalam periode ini ia berhasil menyelesaikan beberapa buku; pertama, Philosophy of Mulla Sadra Shirazi. Buku ini merupakan kajian histories Rahman terhadap pemikiran Shdr al-Din al-Syrazi (Mulla Shadra). Kalau dalam buku islam ia menyanggah bahwa tradisi filsafat islam telah mati setelah diserang bertubi-tubi oleh al-Ghazali pada abad ke 12, dalam buku ini, tesis tersebut kembali diungkapkan untuk membantah pandangan para sarjana barat modern yang keliru tentangnya.

Buku kedua adalah Major Themes of the Qur’an. Buku ini berisi delapan tema pokok al-Qur’an, yatu: Tuhan, manusia sebagai individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta, kenabian dan wahyu, eskatologi, setan dan kejahatan, serta lahirnya masyarakat muslim. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan sebuah pengantar tentang tema-tema pokok al-Qur’an. Metode yang digunakan Rahman dalam buku ini mensintesiskan berbagai tema secara logis ketimbang kronologis dan membiarkan al-Qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri. Sementara itu, penafsiran hanya digunakan untuk “merangkaikan ide-ide”.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan nilai gain dengan threshold adalah jika semakin besar nilai gain maka nilai threshold akan semakin kecil sehingga semakin banyak target atau pun clutter

Penerapan algoritma vigenere cipher dan One Time Pad (OTP) dalam keamanan data teks dilakukan dengan cara mengenkripsi data teks yang akan diamankan agar tidak dapat

Begitu juga, ulama fikih, ulama tasawuf, ulama hadis, ulama pesantren dan ulama majlis ta’lim, ada yang tradisional dan ada juga yang modern, tetapi mayoritas mereka adalah

Kedua, pembatasan kelahiran menurut Ali Yafie dan Mujiono Abdillah tidak secara langsung disebutkan dalam teori mereka, namun dari analisis fikih lingkungan tersebut

Dari hasil analisis statistik inferensial menggunakan analisis regresi berganda, maka hipotesis yang menyatakan terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara variabel

Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda didapat variabel Kompensasi Finansial memiliki koefisien regresi yang menunjukan nilai sebesar 0,342 nilai

Faktor pendukung dari strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rokan Hulu dalam meningkatkan kunjungan wisatawan yaitu objek

Kebudayaan Kota Batam melakukan upaya massif dan berkesinambungan dalam kegiatan sosialisasi dan promosi destinasi wisata pada masyarakat agar terciptanya