• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Kelola Pertanian Tentang Lahan Pert

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tata Kelola Pertanian Tentang Lahan Pert"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tata Kelola Pertanian

Tentang Lahan Pertanian dalam Pandangan Islam

November 27, 2015 Leave a comment 1,188 Views

Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia, yaitu : pertama, luas kepemilikan lahan petani yang sempit, sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga petani. Kedua, produktivitas lahan yang menurun terus, akibat intensifikasi berlebihan dan penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Ketiga, terjadinya alih fungsi (konversi) lahan yang bertambah besar untuk keperluan non-pertanian, misalnya untuk keperluan industri (pabrik) dan pemukiman. Keempat, belum optimalnya implementasi pemetaan komoditas terkait dengan agroekosistem. Kelima, masih banyaknya lahan tidur (idle land). (Anton Apriyantono, Pembangunan Pertanian di Indonesia, hlm. 13).

Solusi masalah-masalah itu, memang sudah digagas dan sebagiannya sudah diimplementasikan. Tetapi solusi tersebut nampaknya hanya solusi yang sifatnya teknis belaka, tanpa memasukkan Syariah Islam sebagai hukum yang mampu mengatasi masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, masalah kepemilikan lahan petani yang sempit. Data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun sensus 2003, petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan, di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak menggunakan Syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan.

Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, yaitu misalnya memanfaatlan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Tapi bagaimana caranya, dan apakah Syariah Islam punya solusi untuk masalah itu, tidak dijelaskan. Padahal Syariah Islam punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya. Tulisan ini bertujuan menerangkan hukum-hukum syariah Islam terkait lahan pertanian dan kebijakan pertanian dalam Islam.

Hukum-Hukum Seputar Lahan Pertanian

(2)

al-ardh), (2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh), dan (3) hukum menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59-69).

Hukum Kepemilikan Lahan

Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan? Syariah Islam menjelaskan bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan, yaitu : pertama, melalui jual beli. Kedua, melalui waris. Ketiga, melalui hibah. Keempat, melalui Ihya`ul Mawat (menghidupkan tanah mati). Kelima, melalui Tahjir (membuat batas pada suatu lahan). Keenam, melalui Iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 59).

Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya`ul Mawat, adalah upaya

seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maitah), yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati, artinya melakukan upaya untuk

menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat, misalnya bercocok tanam pada tanah itu, menanam pohon padanya, membangun bangunan di atasnya, dan sebagainya. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati, menjadi sebab baginya untuk memiliki tanah tersebut. Sabda Rasulullah SAW :

 

 

 

 

 

هل يهف ةتيم اضرأ ايحأ نم

“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 79).

Adapun Tahjir, artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya. Sama dengan Ihya`ul Mawat, aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir, sesuai sabda Rasulullah SAW :

 

 

 

 

 

 

هل يهف ضرأ ىلع اطئاح طاحأ نم

“Barangsiapa memasang batas pada suatu tanah, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 72).

Sedangkan Iqtha’, adalah kebijakan negara Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tapi karena suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Maka tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah al-daulah) bukan tanah mati (al-ardhu al-maitah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya`ul Mawat atau Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (iqtha’) oleh negara. Rasulullah SAW pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini

menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 60).

Hukum Mengelola Lahan Pertanian

(3)

berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 61).

Maka dari itu, Syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tapi lahannya tidak produktif. Islam menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin Khaththab berbicara di atas mimbar :

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

نينس ثلث دعب قح رجتحمل سيلو هل يهف ةتيم اضرا ايحا نم

“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan orang yang melakukan tahjir tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar).” (Disebut oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 45).

Pidato Umar bin Khaththab itu didengar oleh para shahabat dan tak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka terdapat Ijma’ Shahabat bahwa hak milik orang yang melakukan tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.

Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil alih secara paksa oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid meriwayatkan dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni dari kakeknya, dia berkata,”Bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan kepadanya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata,’Maka pada masa Umar, berkatalah Umar kepada Bilal,’Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak memberikan tanah itu agar kamu membatasinya dari orang-orang, namun Rasulullah SAW memberikan tanah itu agar kamu mengelolanya. Maka ambillah daripadanya yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.” (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` Al-Aradhi Al-Mawat fi Al-Islam, hlm. 73).

Namun gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat tahjir, tapi dapat diqiyaskan juga pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual beli atau waris. Hal itu karena gugurnya hak milik orang yang melakukan tahjir didasarkan pada suatu illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). Maka berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 140).

Hukum Menyewakan Lahan Pertanian

Akad menyewakan lahan pertanian (ta`jir al-ardh) dalam fiqih disebut dengan istilah Muzara’ah atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya akad tersebut. Namun pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya. Pentarjihan dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab

Muqaddimah Al-Dustur, Juz II hlm. 46-63.

Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim disebutkan :

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ظح وأ رجأ ضرلل ذخؤي نع ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر ىهن

(4)

Hadits tersebut dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa : maro). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 68).

Tapi yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li az-zira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan, dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm.143)

Kebijakan Pertanian dalam Islam

Selain hukum-hukum seputar lahan di atas, Islam juga telah menggariskan kebijakan pertanian (as-siyasah az-zira’iyyah), yaitu sekumpulan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian (al-intaj al-zira’iy) dan meningkatkan kualitas produksi pertanian. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 185-190).

Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode; pertama, intensifikasi (at-ta’miq), misalnya dengan menggunakan pembasmi hama kimiawi, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul. Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan) hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).

Kedua, ekstensifikasi (at-tausi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya`ul Mawat, Tahjir, dan Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun lalu memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.

Syaikh Abdurrahman Al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensikasi di atas, kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi negara-negara Barat yang imperialis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 187).

Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian di atas diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit misalnya, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum Ihya`ul Mawat. Seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme Ihya`ul Mawat. Atau dapat pula dengan menerapkan hukum iqtha’, yaitu negara memberikan tanah miliknya kepada rakyat. Dari mana negara memperoleh lahan ini? Negara memiliki tanah dari lahan-lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil alih lahan-lahan tidur yang terlantar itu secara paksa, lalu diberikan secara gratis kepada petani yang mampu mengelolanya. Negara pun akan membantu petani jika mereka tidak mampu mengelolanya.

(5)

melainkan pro-kapitalis (imperialis). Kebijakan yang didiktekan IMF dan Bank Dunia itu pada faktanya sangat destruktif. Antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam

perdagangan bahan pangan (contohnya mengubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).

(6)

ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

ZAKAT

ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PEREKEBUNAN Oleh

Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam kenikmatan,

diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya beragam, ada hasil pertanian dan buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang harus ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat yang benar agar jangan sampai mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atasnya.

Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.

KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN

Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’. Diantara dasar tersebut :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يييننغغ هغليغلا نيغأغ اومملغععاوغ هنيفن اوضممنغعتم نعأغ اليغإن هنيذنخنآبن معتمسعلغوغ نغوقمفننعتم همنعمن ثغيبنخغلعا اوممميغيغتغ الغوغ ضنرعأغلعا نغمن معكملغ انغجعرغخعأغ اميغمنوغ معتمبعسغكغ امغ تنابغيينطغ نعمن اوقمفننعأغ اونممغآ نغيذنليغا اهغييمأغ ايغ دييمنحغ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau

mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

هندناصغحغ مغوعيغ همقيغحغ اوتمآوغ رغمغثعأغ اذغإن هنرنمغثغ نعمن اولمكم ههبناشغتغمم رغيعغغوغ اههبناشغتغمم نغاميغريملاوغ نغوتميعزيغلاوغ هملمكمأم افهلنتغخعمم عغرعزيغلاوغ لغخعنيغلاوغ تهاشغورمععمغ رغيعغغوغ تهاشغورمععمغ تهانيغجغ أغشغنعأغ يذنليغا وغهموغ

نغيفنرنسعمملعا بيمحنيم الغ همنيغإن اوفمرنسعتم الغوغ

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141]

3. Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

: :

رنشمعملعا فمصعنن حنضعنيغلانب يغقنسم امغوغ ،رمشمعملعا اهييرثغعغ نغاكغ وعأغ ،نموعيمعملعاوغ ءمامغسيغلا تنقغسغ امغيعفن

Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]

4. Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

: :

رنشمعملاع فمصعنن ةنيغنناسيغلابن يغقنسم امغيعفنوغ ،رموعشمعملعا مميعغغلعاوغ رماهغـنعلغا تنقغسغ امغيعفن

(7)

5. Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

هنللا لموعسمرغ ييننثغعغبغn رنشمعملعا فغصعنن يعلناوغديغلانب يغقنسم امغيعفنوغ ،رغشمعملعا ءمامغسيغلا تنقغسغ اميغمن ذغخمآ نعأغ يعننرغمغأغفغ ننمغيغلعا ىلغإن : :

Rasûlullâh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]

Sedangkan Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma

sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu Qudâmah rahimahullah.[1]

SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.

Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:

قهسموعأغ ةغسغمعخغ غغلمبعيغ ىتيغحغ ةيقغدغصغ رهمغثغ لغوغ بيهحغ يعفن سغيعلغ…

Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq) [HR Muslim]

Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]

b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits diatas. Syarat ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyanggah

persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “dapat ditakar” itu hanya ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku dalam masalah zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat wajib zakat pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan (al-Iddikhâr), karena adanya pengertian yang sesuai dengan kewajiban zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran semata dan timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab zakat hasil pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân – hafizhahullâh- menyatakan, “Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering dan sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr). [al-Mulakhash al-Fiqh 1/233].

c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa komoditi yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. (lihat al-Kâfi, 2/132).

d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya, karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan istilah:

ةناكغزيغلا بنوعجمومتغقعوغ هملغ اهكوعلممعمغ بماصغنينلا نغوعكميغ نعأغ رمبغتغععيموغ

Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat [lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].

e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :

قهسموعأغ ةغسغمعخغ غغلمبعيغ ىتيغحغ ةيقغدغصغ رهمغثغ لغوغ بيهحغ يعفن سغيعلغ…

Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq) [HR Muslim].

Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud. Satu mudnya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq yang dijadikan standar adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]

(8)

Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka kecuali Mujâhid dan Abu Hanîfah serta

pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]

b. Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat bahwa zakat diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

:

رمشمعملعا ءمامغسيغلا تنقغسغ امغيعفن

Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.

Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap setahun) maka tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.

Sementara itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada pendapat pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ةيقغدغصغ قهسموعأغ ةنسغمعخغ نغوعدم امغيعفن سغيعلغ

Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq). [Muttafaqun ‘Alahi]

Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits ini mentakhsish (mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan tersebut.” [al-Mughni, 4/161].

Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam masalah nishab. Wallahu a’lam.

MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB

Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari, barkhi dan khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur dan disatukan. Demikian juga misalnya beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area persawahan yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda, maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan spesiesnya.. Apabila sudah mencapai nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian juga bila panennya lebih dari sekali, maka dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya ditunaikan.

Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu tidak dicampur dalam menghitung nishabnya.

Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama pada selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang lainnya dalam penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan kambing. Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan buah-buahan tidak dicampur dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz) tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya. Atsmân (emas dan perak) tidak dicampur dengan hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan buah-buahan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis tersebut dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga dalam barang dagangan dicampur dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan, kecuali imam asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang dijadikan barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni, 4/203-204]

Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk menyempurnakan nishab. Demikian juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat yang berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk menyempurnakan nishab. Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak kepada yang lainnya. Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :

(9)

b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab. Ini adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thawûs.

c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga. al-Quthniyat adalah jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.

Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat pertama lebih rajih –insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga mungkin dibedakan, tidak

digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 6/77)] KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?

Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan bila di tekan.

Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi seperti sudah memerah atau menguning pada buah korma. Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya : a. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Haditsnya berbunyi :

: : .

ريمافغصعتمو ريمامغحعتغ لغاقغ ؟اهغوغهعزغامغوغ لغيعقن يهغزعتم ىتيغحغ رنامغثينلا عنيعبغ نععغ مليغسغوغ هنيعلغعغ همللا ىليغصغ ييمبننيغلا ىهغنغ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada yang bertanya, ‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan menguning.’ [Muttafaqun ‘Alaih]

b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:

ديغتغشعيغ ىتيغحغ بينحغلاع عنيعبغ نععغوغ ،ديغوغسعيغ ىتيغحغ بننغعنلعا عنيعبغ نععغ ىهغنغ مليغسغوغ هنيعلغعغ همللا ىليغصغ ييغبننيغلا نيغأغ

Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli biji-bijian hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud 2/344]

c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

: : .

بغهغذعتغ ىتيغحغ لغاقغ اهغحنلغصغ نععغ لغئنسم اذغإن نغاكغ يعرناخغبملعلن ظهفعلغ يعفنوغ عغاتغبعمملاعوغ عغئنابغلاع ىهغنغ ،اهغحملغصغ وغدمبعيغ ىتيغحغ رنامغثينلا عنيعبغ نععغ مليغسغوغ هنيعلغعغ همللا ىليغصغ هنللا لموعسمرغ ىهغنغ اهغتمهغاعغ

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak layak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli. (Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) : Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Hingga hamanya hilang’ [Mmuttafaqun ‘Alaihi].

Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini. Sebagian Ulama ada yang berpegang kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama memandang waktu wajibnya zakat pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat al-Mughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].

Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik seandainya beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka dia tidak berdosa. Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan syarat tidak ada maksud atau niatan untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan sesuatu dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat tetap berlaku dan tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk

kelumbung atau tempat penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai sisanya nishab) walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan, menurut Ibnu Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk dalam tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni, 4/169-171]

Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:

(10)

b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam lumbung atau tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau keteledoran pemilik maka ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan keteledoran maka tidak ada kewajiban mengganti zakat tsrebut.

c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini adalah tidak wajib zakat selama tidak ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau keteledoran seperti menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka ia bertanggung jawab (menggantinya). Apabila tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah berusaha semampunya untuk segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang benar dalam memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu al-Mumti’ 6/82].

UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:

1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah hujan dan sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan, pertanian menggunakan sungai dan mata air

2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdasarkan hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

: :

رنشمعملعا فمصعنن حنضعنيغلابن يغقنسم امغوغ ،رمشمعملعا اهييرثغعغ نغاكغ وعأغ ،نموعيمعملاعوغ ءمامسيلا تنقغسغ امغيعفن

Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]

3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah hujannya 50 %. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.

4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah yang diairi dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka dilihat mana yang paling berpengaruh pada pertumbuhan tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih dominan maka diwajiban

mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.

5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %, karena pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan

pembiayaan. (al-Mughni 4/166).

Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat

JUAL BELI

B. Hadits Mengenai Larangan Jual Beli Binatang Dalam Kandungan

(11)

,,

,

,

,

.

Qutaibah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ayyub

dari Nafi’ dari Ibnu Umar: bahwasannya Rosululloh saw melarang menjual anaknya hewan yang

berada dalam kandungan.

Didalam bab ini ada hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas dan Abu Said

Al-Khudzriy. Hadistnya ibnu umar hadist hasan shahih. Yang mengamalkan hadist ini adalah

sebagian ulama’. Adapun habalul habalah adalah Menjual anak dari anaknya binatang yang akan

dilahirkan, atau penjualan anak hewan dengan harga yang akan diserahkan ketika anaknya

beranak. Akad ini tidak sah. Jual beli semacam ini menurut ulama’ adalah jual beli yang rusak

(batal) dan termasuk tipuan. Syu’bah telah meriwayatkan hadist ini dari ayyub dari sa’id bin

jubair dari ibnu Abbas. Abdul Wahhab As tsaqafi dan yang lainnya meriwayatkan hadist ini dari

ayyub dari sa’id bin jubair dan nafi’ dari umar dari nabi .saw. Hadist inilah yang paling shohih.

[4]

C.

Hukum Jual Beli Binatang dalam Kandungan

Jual beli anak binatang dalam kandungan termasuk jual beli gharar, karena terdapat dua perkara yang tidak jelas. Jual beli gharar adalah Transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.

[5]

Oleh sebab itu, tidak boleh dipraktekkan. Dan hukum jual beli gharar dalam syari’at Islam,termasuk jual beli terlarang, dengan dasar sabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”.(HR.Muslim)

Selain At-tirmidzi, Al-Baghawipun berkata dalam Syarhus Sunnah(VIII/137), "Inilah

pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ahli ilmu, yaitu menjual anak unta yang masih dalam

kandungan tidak boleh karena barang yang dijual masih belum jelas dan belum ada. Jual beli ini

termasuk jual beli Jahiliyyah. Andai kata ia menjual binatang dengan harga tertentu hingga

binatang tersebut lahir juga bathil karena belum ada kejelasannya."dan juga Ibnu Hibban berkata

(XI/323), "Larangan jual beli habalul habalah adalah seseorang membeli unta (dengan

pembayaran bertempo) yang harus ia lunasi pembayarannya sampai unta tersebut beranak

kemudian anak yang dilahirkannya itu beranak pula. Terdapat dua bentuk ketidakjelasan dalam

jual beli ini dan tidak boleh dipraktekkan.

[6]

. Menjual barang yang tidak jelas adalah terlarang setiap transaksi perdagangan yang

memberi peluang terjadinya persengketaan, karena barang yang dijual itu tidak diketahui atau

karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli,

atau karena karena ditakutkan salah satu ada yang menipu. Cara ini dilarang oleh Rasulullah

sebagai uasah menutup pintu perbuatan maksiat. Larangan ini berkisar karena beberapa sebab:

a. karena ada usaha membantu perbuatan maksiat

b. karena ada unsur-unsur penipuan

c. karena ada unsur-unsur pemaksaan

d. karena adanya perbuatan zalim oleh salah satu pihak yang sedang mengadakan perjanjian dan

sebagainya.

(12)

Akan tetapi, tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada

yang tidak lepas dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak

mungkin ia dapat mengetahui pondasi dan apa yang ada didalam temboknya itu. Tetapi yang

dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa

kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

[7]

Apa Hukumnya Jual-Beli Ijon (Yang

Belum Siap Dipanen), Halal atau

Haram?

08.28 Bisnis , Fiqih , Hukum , Jual-Beli , Muamalah

ههحهل

ل ص

ل ولدهببيل ىتتحل ررملثتلا عريببل ن

ب ع

ل ىهلنل ملسو هيلع هللا ىلص ي

ت برنتلا ن

ت أل

Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak

kelayakannya

(HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).

Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan

Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur

Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan

keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin

Abdullah.

Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdullah bin al-Harits, dari Siblun, dari Amru bin Dinar,

dari Jabir bin Abdullah, Ibn Umar dan Ibn Abbas. An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah

bin Said, dari Sufyan dari az-Zuhri, dari Salim, dari Ibn Umar.

Ibn Majah meriwayatkannya dari Hisyam bin ‘Amar, dari Sufyan, dari Ibn Juraij, dari ‘Atha’,

dari Jabir bin Abdullah.

(13)

Manthûq

(makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (

ats-tsamar [hasil tanaman]

) yang masih berada di pohonnya kalau belum mulai tampak kelayakannya.

Sebaliknya,

mafhûmal-mukhâlafah

(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan, dalam

Islam boleh hukumnya menjual buah yang masih di pohonnya kalau telah mulai tampak

kelayakannya.

Maksud

yabduwa shalâhuhu

(mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya.

Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “

hatta yathîba

(hingga masak)” (HR

al-Bukhari dan Muslim), atau “

hatta yuth’ama

(hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).

Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:

ل

ل اقل حهقرش

ب ته املول لليقرفل حلقرش

ب ته ىتتحل ةهرلملثتلا علابلته نبأل ملسو هيلع هللا ىلص ي

ي برنتلا ىهلنل

اهلنبمر ل

ه ك

ل ؤبيهول ريافلص

ب تلول رياملح

ب تل

Nabi saw. melarang buah dijual hingga

tusyqih

, Ditanyakan, “Apa

tusyqih

itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.”

(HR Bukhari dan Muslim).

Ibn ‘Abbas menuturkan:

»

ي

ي برنتلا ىهلنل

ملسو هيلع هللا ىلص

ىتتحلول ههنبمر ل

ل ك

ه أبيل وبأل ههنبمر للكلؤبيه ىتتحل لرخبنتلا عريببل نبعل

ن

ل زلويه

Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa

makan darinya dan hingga bisa ditimbang

(HR al-Bukhari).

Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual ialah kalau telah layak

dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis

buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:

»

هرلتلا ل

ل وس

ه رل ن

ت أل

ملسو هيلع هللا ىلص

ب

ب ح

ل لبا عريببل ن

ب ع

ل ول دتولس

ب يل ىتتحل ب

ر نلعرلبا عريببل ن

ب ع

ل ىهلنل

دتتلش

ب يل ىتتحل

Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual

biji-bijian hingga sudah keras

(HR Abu Dawud).

Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis.

Pertama

: buah-buahan yang ketika

sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang,

pepaya,

dsb.

Kalau telah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua,

buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak kalau belum tampak tanda-tanda seperti itu

buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-buahan jenis ini, kalau telah tampak tanda-tanda

perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski

masih

di

pohonnya.

(14)

masih dipohonnya boleh dijual. Halal hukumnya. Batas tersebut bisa diketahui dengan

mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.

Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang

panjang, dsb, yang sekiranya bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah

mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini, andai bunga sudah berubah

menjadi buah, sudah boleh dijual. Halal hukumnya dalam Islam. Adapun jenis biji-bijian,

seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh

dijual

ketika

sudah

keras.

Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di

kebun. Hal itu sukar sekali. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang

tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan

dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi

tua/masak.

Karena itu, maksud

yabduwa shalâhuhu

itu adalah kalau ada sebagian buah sudah layak

dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang

sudah mulai masak maupun yang belum. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada

masing-masing jenis buah. Misalnya kalau telah ada sebagian mangga yang masak maka

semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual.

Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis

yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian

bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh

dijual. Sekiranya ada ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik, maka semua

jagung manis di kebun itu boleh dijual. Begitulah hukumnya dalam Islam, halal.

Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin,

hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang

mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan

bahwa

Nabi

saw.

pernah

bersabda:

ل

ل امل ذهخهأبتل ملبر ائئيبشل ههنبمر ذلخهأبتل نبأل ك

ل لل ل

ي حريل ل

ل فل ةةحلئراجل ههتببلاص

ل أ

ل فل ارئملثل كليخرأل نبمر تلعببر نبإر

ق

ق حل رريبغلبر ك

ل يخرأل

(15)

ISLAM DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN

II. Pelestarian Alam dan Lingkungan dalam al-Quran

Dalam al-Quran, dijelaskan mengenai dimensi alam semesta yang secara makro berpusat pada dua tempat, bumi dan

langit, dan menyatakan bahwa semua yang diciptakan adalah untuk manusia. Allah telah menggariskan takdirnya atas

bumi, yaitu: Pertama kalinya, Allah memberikan fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi.

Dan Allah swt ciptakan lautan yang maha luas dengan segala kekayaan di dalamnya

Allah swt berfirman:

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar

(ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,

dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS. an-Nahl : 14)

Dan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya.

Allah swt berfirman:

Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan,

maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau

itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan

(Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya

berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan

Allah) bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-An’am : 99)

Dan dalam surat Ibrahim Allah swt berfirman:

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan

dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya

bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.

(QS. Ibrahim : 32).

Tak sekedar itu, Allah memperindah polesan bumi dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angin dan awan di angkasa,

sebagai teman hidup manusia. Setelah selesai dengan penciptaannya, Allah hanya memberikan sebuah amanat kepada

manusia untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al-A’raf ayat 56.

Firman Allah swt:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya

dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada

orang-orang yang berbuat baik.(Q.S.Al-A’raf 56)

Larangan pada ayat di atas adalah larangan untuk berbuat kerusakan di atas bumi. Kerusakan yang dimaksud adalah

(16)

yang dimaksud dengan kata ”Ba’da Islahiha” adalah setelah Allah memperbaiki penciptaannya sesuai dengan

peruntukkannya bagi kemanfaatan makhluk dan kemaslahatan orang-orang mukallaf.[1]

Hal di atas senada dengan penafsiran yang disampaikan oleh Syihabuddin,[2] bahwa Allah melarang berbagai bentuk

kerusakan seperti merusak jiwa (pembunuhan), harta, keturunan, akal dan agama setelah Allah memperbaiki semuanya

dan menciptakannya untuk dimanfaatkan oleh makhluk serta untuk kemaslahatan orang-orang mukallaf dengan cara Allah

mengutus seorang rasul di atas bumi dengan membawa syari’at dan hukum-hukum Allah.

Abu al-Fida yang ber’alam Kunyah ”Ibnu Katsir”[3] mengatakan, firman Allah swt.

”.خلإ ضنرعلغاع ىفن اودمسنفعتم لغوغ ” mengandung pengertian bahwa Allah swt. melarang kepada hambanya berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang dapat merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya jika segala sesuatu berjalan

di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menjadikan sebuah kerugian bagi manusia. Oleh

karenanya Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawaddlu dan

merendahkan diri kepada-Nya.

Ketiga penafsir di atas memberikan interpretasi, bahwa kerusakan yang dikandung dalam ayat di atas adalah berbagai

kerusakan lingkungan. Menurut Fuad Amsyari,[4]lingkungan dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, lingkungan fisik, yakni

segala ”benda mati” yang ada di sekitar kita, seperti rumah, kendaraan, gunung, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain.

Kedua, lingkungan biologis, yakni segala organisme yang hidup di sekitar manusia, baik berupa tumbuhan maupun

binatang. Ketiga, lingkungan sosial, yakni manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, tetangga, teman, atau orang lain

yang belum dikenal.

Seluruh kategori lingkungan di atas disebut sebagai lingkungan hidup, yakni segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh

yang terdapat dalam ruang yang kita tempati, dan mempengaruhi hal-hal yang hidup, termasuk kehidupan manusia.

Dalam kenyataan abad sekarang ini, seluruh kategori lingkungan tersebut benar-benar mengalami gangguan pencemaran

yang dahsyat. Seakan-akan pencemaran yang terjadi semakin kompleks. Bukan saja kerusakan alam, tapi sudah menjalar

pada kerusakan lingkungan sosial. Sebab, antara lingkungan fisik dan perilaku organisme saling mempengaruhi.

Selain sebagai amanat, tindakan memelihara alam (tidak membuat kerusakan di bumi) merupakan manifestasi perintah

syukur kepada Tuhan. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai syukur, maka dari awal kelahirannya,

sudah mengajarkan pentingnya memelihara alam. Bahkan, ketika perang pun Islam masih mengagungkan titah itu.

Tersebut dalam sejarah, para khalifah Islam, seperti Abu Bakar dan Umar, setiap kali akan melepas laskar ke medan perang

tak pernah lupa memperingatkan: Jangan tebang pohon atau rambah tanaman, kecuali jika akan dipergunakan atau dimakan, dan janganlah membunuh binatang kecuali untuk dimakan, hormati dan lindungi semua rumah ibadah manapun,

serta jangan sekali-kali mengusik mereka yang sedang beribadah menurut agama mereka masing-masing. Janganlah

membunuh orang-orang yang tidak bersenjata (yang tidak terlibat langsung dalam peperangan).[5]

Sebagai implementasi titah di atas, ada sebuah riwayat yang mengatakan: ”Sesaat setelah Amr bin Ash menaklukan mesir,

seekor burug merpati membuat sarang di atas tendanya. Padahal, mereka segera berangkat meninggalkan Mesir.

Sebenarnya, Amr bin Ash dapat memerintahkan para prajurit membongkar tendanya. Namun hal itu tidak dilakukan. Sebab

(17)

Tidak ditemukan dalam sejarah bahwa umat Islam adalah sebagai ”perusak lingkungan”, sekalipun dalam peperangan.

Pertempuran yang berlangsung di zaman Nabi tak pernah menyebabkan kerusakan alam yang mengakibatkan

ketidakseimbangan ekologi, sebagaimana peperangan pada abad-abad mutakhir. Ketika itu perang tidak menjadi penyebab

kerusakan alam, hanya menghancurkan musuh.[7]Demikian implementasi Islam dalam memelihara alam, meski dalam

peperangan.

Tidak hanya dalam medan pertempuran, ketika beribadah pun nuansa Islam dalam mengkonversi alam masih sangat

kental. Terbukti, ketika haji, orang yang ihram dilarang membunuh binatang, dan mencabut pohon. Bahkan, jika melanggar

akan dikenakan sangsi.

Lebih lanjut, Islam juga memberikan kabar gembira bagi mereka yang mau melestarikan alam

III. Keutamaan Menanam Pohon

Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits pernah besabada,

ةيقغدغصغ هنبن هملغ نغاكغ ليغإن ةيمغيهنبغ وعأغ نياسغنعإن وعأغ رييعطغ همنعمن لمكمأعيغفغ اعهرعزغ عمرغزعيغ وعأغ اسهرعغغ سمرنغعيغ مهلنسعمم نعمن امغ

“Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau

hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab AL-Muzaro’ah (2320), dan Muslim

dalam Kitab Al-Musaqoh

Dalam sabdanya juga:

”Barangsiapa yang menanam sebuah pohon, dan pohon itu berbuah, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu

sebanyak buah yang tumbuh dari pohon tersebut.”

Nabi juga pernah bersabda, ”Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram.” Hadits ini oleh Fuqaha (para

ahli fiqh) dijadikan dasar atas diharamkannya binatang yang bertaring dan bercakar, seperti harimau, serigala, beruang,

kucing, gajah, badak, macan tutul dan rajawali.

Memang, pada mulanya, pelarangan tersebut bersifat tekstual-normatif, karena diambil berdasarkan sabda nabi semata.

Namun, pada perkembangan berikutnya, setelah dikontekskan dengan realitas kekinian, pengharaman itu membawa

hikmah yang begitu besar. Binatang-binatang yang diharamkan tergolong spesies binatang yang langka yang dilindungi.

Sebut saja misalnya rajawali. Semua jenis hewan ini, di belahan dunia manapun dilindungi.[8] Bukti ini secara tidak

langsung menunjukkan bahwa Islam ternyata ikut andil dalam pelestarian hewan langka yang berperan aktif sebagai

penjaga ekosistem alam.

Karena pengharaman tersebut didasari teks keagamaan, maka melaksanakannya adalah sebuah kewajiban bagi setiap

umatnya. Bahkan, bukan sekedar kewajiban, tapi kebutuhan manusiawi, sehingga ekosistem tetap terjaga.

Pelestarian alam dalam Islam sifatnya konservatif, yang melindungi nilai-nilai yang telah ada. Baik kondisi alami, estetika

maupun kekayaan alam yang telah terbentuk sejak awalnya. Alam, sebagaimana disinggung dalam QS. Al-A’raf : 56,

mengalami perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka,

(18)

Mengingat pentingya pelestarian alam itulah, Islam sejak zaman Nabi Muhammad saw. telah memperkenalkan kawasan

lindung (hima’), yakni suatu kawasan yang khusus dilindungi pemerintah atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan

liar di hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput

dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Lahan yang beliau lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih dari 2049 hektar.

Selain hima’, Islam juga memperkenalkan konsep ihya’ul mawat, yakni usaha mengelola lahan yang masih belum

bermanfaat menjadi berguna bagi manusia.

Dua konsep di atas, menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah telah sedini mungkin ikut melestarikan alam,

sebagaimana juga telah ikut aktif dalam memelihara keberlangsungan hewan langka melalui pelarangan konsumsi. Inilah

makna konsep Rabbil ’alamin (pemelihara seluruh alam), yakni sifat Tuhan yang direalisasikan pada tugas kekhalifahan

manusia. Artinya, segenap makna yang terkandung dalam kata itu harus tercermin dalam setiap tindakan dan perilaku

manusia dengan alam, karena ia menempatinya dan bertanggung jawab terhadap eksistensinya.

Ayat­ayat al­Qur’an tentang Kelestarian Lingkungan

A. Surat Ar Rum [30] ayat 41­42 tentang Larangan Membuat Kerusakan di Muka Bumi

Artinya : “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah : Adakanlah perjalanandimuka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang­orang yang dulu. Kebanyakan dari   mereka   itu   adalah   orang­orang   yang   mempersekutukan   (Allah).”   (QS   Ar   Rum   :   41­42)

Isi   kandungan

Selain untuk beribadah kepada Allah, manusia juga diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas untuk memanfaatkan, mengelola dan memelihara alam semesta. Allah telah menciptakan alam   semesta   untuk   kepentingan   dan   kesejahteraan   semua   makhluk­Nya,   khususnya   manusia. Keserakahan dan perlakuan buruk sebagian manusia terhadap alam dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, kekeringan, tata ruang daerah yang tidak karuan dan udara serta air yang tercemar adalah buah   kelakuan   manusia   yang   justru   merugikan   manusia   dan   makhluk   hidup   lainnya. Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga lingkungan. Hal ini seringkali tercermin dalam beberapa pelaksanaan ibadah, seperti ketika menunaikan ibadah haji. Dalam haji, umat Islam dilarang menebang pohon­pohon dan membunuh binatang. Apabila larangan itu dilanggar maka ia berdosa dan diharuskan membayar denda (dam). Lebih   dari   itu   Allah   SWT   melarang   manusia   berbuat   kerusakan   di   muka   bumi Tentang memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, banyak upaya yang bisa dilakukan, misalnya rehabilitasi SDA berupa hutan, tanah dan air yang rusak perlu ditingkatkan lagi. Dalam lingkungan ini program penyelamatan hutan, tanah dan air perlu dilanjutkan dan disempurnakan. Pendayagunaan daerah pantai, wilayah laut dan kawasan udara perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup.

B. Surah Al A’raf [7] Ayat 56­58 tentang Peduli Lingkungan

Artinya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang­orang yang berbuat baik. Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahma Nya (hujan) hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah­buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang­orang yang telah mati, mudah­mudahan kamu mengambil pelajaran.  Dan tanah  yang baik,  tanam­tanamannya tumbuh  dengan seizin  Allah, dan  tanah yang  tidak subur, tanaman­tanamannya   hanya   tumbuh   merana.   Demikianlah   kami   mengulangi   tanda­tanda   kebesaran   (Kami)bagi

orang­orang   yang   bersyukur.”   (QS   Al   A’raf   :   56­58)

(19)

Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh   rahmat­Nya.   Gunung­gunung,   lembah­lembah,   sungai­sungai,   lautan,   daratan   dan   lain­lain   semua   itu diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik­baiknya oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan

Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda, melainkan juga berupa sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk menutupi keburukan tersebut sering kali mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang   melakukan   perbaikan   di   muka   bumi,   padahal   justru   merekalah   yang   berbuat   kerusakan   di   muka   bumi Allah SWT melarang umat manusia berbuat kerusakan dimuka bumi karena Dia telah menjadikan manusia sebagai khalifahnya.  Larangan  berbuat  kerusakan  ini  mencakup  semua  bidang,  termasuk  dalam  hal  muamalah,  seperti mengganggu   penghidupan   dan   sumber­sumber   penghidupan   orang   lain   (lihat   QS   Al   Qasas   :   4). Allah menegasakan bahwa salah satu karunia besar yang dilimpahkan kepada hamba­Nya ialah Dia menggerakkan angin sebagai tanda kedatangan rahmat­Nya. Angin yang membawa awan tebal, dihalau ke negeri yang kering dan telah rusak tanamannya karena tidak ada air, sumur yang menjadi kering karena tidak ada hujan, dan kepada penduduk yang menderita lapar dan haus. Lalu Dia menurunkan hujan yang lebat di negeri itu sehingga negeri yang hampir   mati   tersebut   menjadi   subur   kembali   dan   penuh   berisi   air.   Dengan   demikian,   Dia   telah   menghidupkan penduduk tersebut dengan penuh kecukupan dan hasil tanaman­tanaman yang berlimpah ruah.

C. Surat Sad [38] Ayat 27 tentang Perbedaan Amalan Orang Beriman dengan Orang Kafir

Artinya : “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian adalah anggapan orang­orang kafir, maka celakalah orang­orang kafir itu karena mereka akan masuk

neraka.”   (QS   Sad   :   27   )

Isi   kandungan 

Allah SWT menjelaskan bahwa dia menjadikan langit, bumi dan makhluk apa saja yang berada diantaranya tidak sia­ sia. Langit dengan segala bintang yang menghiasi, matahari yang memancarkan sinarnya di waktu siang, dan bulan yang menampakkan bentuknya yang berubah­ubah dari malam kemalam serta bumi tempat tinggal manusia, baik yang tampak dipermukaannya maupun yang tersimpan didalamnya, sangat besar artinya bagi kehidupan manusia. Kesemuanya itu diciptakan Allah atas kekuasaan dan kehendak­Nya sebagai rahmat yang tak ternilai harganya. Allah memberikan pertanyaan pada manusia. Apakah sama orang yang beriman dan beramal saleh dengan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan juga apakah sama antara orang yang bertakwa dengan orang yang berbuat maksiat? Allah SWT menjelaskan bahwa diantara kebijakan Allah ialah tidak akan menganggap sama para hamba­Nya   yang   melakukan   kebaikan   dengan   orang­orang   yang   terjerumus   di   lembah   kenistaan.   Allah   SWT menjelaskan bahwa tidak patutlah bagi zat­Nya dengan segala keagungan­Nya, menganggap sama antara hamba­ hamba­Nya   yang   beriman   dan   melakukan   kebaikan   dengan   orang­orang   yang   mengingkari   keesaan­Nya   lagi

memperturutkan   hawa   nafsu.

Referensi

Dokumen terkait

perkara jual beli hak atas tanah yang dimiliki lebih dari satu orang maka penulis. akan melakukan penelitian dengan judul: “PROSES

Generasi muda yang mempunyai pola hidup ingin gampangnya saja dan tidak ada rasa memiliki, sementara para generasi muda tersebut memegang hak waris tanah atau

penyelesaian sengketa tanah waris yang telah terjadi peralihan hak atas dasar jual beli yang didasarkan pada putusan perkara Nomor 129/Pdt.G/2015/PN Skh bahwa penggugat tidak

Pada kenyataannya perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli masih banyak yang tidak dibuktikan dengan akta jual beli dan tidak menggunakan

Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke non pertanian di Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto pada tahun 2009-2016 terjadi sangat tinggi harga jual tanah

2 Akibat Hukum bagi pelaku mafia tanah yang memanfaatkan ahli waris untuk peralihan hak atas tanah dapat batal demi hukum dan akan mengakibatkan akta jual beli tersebut dapat

Upaya perlindungan hukum pembeli jika ahli waris menolak dalam proses balik nama sertipikat hak milik berdasarkan pengikatan perjanjian jual beli tanah adalah dapat dilakukan dalam

Analisis Penegakan hukum Jual Beli Boedel Warisan Tanpa Adanya SuratPenetapan Ahli Waris di Desa Manimbahoi Kecamatan Parigi Kabupaten Gowa Persoalan pewarisan hak atas tanah harus