• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Penyadapan Australia terhadap Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kasus Penyadapan Australia terhadap Ind"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM INTERNASIONAL

“TANGGUNG

JAWAB NEGARA ATAS

P

ELANGGARAN HUKUM DIPLOMATIK “

(Kasus Penyadapan Australia terhadap Indonesia )

Dosen :

Bpk. Drs. Teddy Nurcahyawan, SH, MA

Disusun Oleh :

Ellen Vembrey - 205120038

Fakultas Hukum

Universitas Tarumanagara

Jakarta

(2)

ABSTRAK

Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk

melakukan hubungan dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional.

Hubungan internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka

berinteraksi dengan negara-negara lain. Dalam hal ini, Negara-negara menjalin

dan mengembangkan hubungan dengan negara lain diwujudkan dengan

pertukaran misi diplomatik yang didasarkan atas prinsip persamaan hak serta

perdamaian antar negara.

Namun, dalam penerapannya masih banyak ditemukan bentuk-bentuk

pelanggaran yang dapat merugikan negara lain.

Pelanggaran terhadap hukum diplomatik dalam perkembangannya semakin sering

terjadi, dikarenakan berbagai kepentingan-kepentingan suatu negara, hal yang

sama terjadi terhadap insiden penyadapan telepon genggam milik Presiden

Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Ani Yudhoyono, dan 9 pejabat tinggi

negara lainnya yang dilakukan oleh Australia.

Untuk itu makalah ini akan membahas bagaimana tanggung jawab suatu negara

terhadap pelanggaran hukum diplomatik, dalam hal ini adalah penyadapan oleh

(3)

A. LATAR BELAKANG

Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk

melakukan hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat

internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum

internasional lainnya. Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling

banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan

hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya.

Kualifikasi suatu Negara agar dapat diakui sebagai negara yang berdaulat dan

diakui menjadi subjek hukum internasional mengacu pada Pasal 1 Konvensi

Montevideo ( Pan American ) tentang hak dan kewajiban negara (The Convention

on Rights and Duties of State) tahun 1933 yang berbunyi:

“ The state as a person of international law should progress the following qualification :

(a) a permanent population;(b) defined territory; (c) government; and (d)

capacity to enter the relations with other states.”

Kualifikasi keempat dalam pasal tersebut secara konvensional disebut

kemampuan untuk membangun dan berkomunikasi dalam hubungan internasional

(ability to establish and to communicate ininternational relation).1

Berdasarkan hal tersebut maka, hubungan internasional sangat diperlukan oleh

suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Interaksi

tersebut harus dibangun dan dibina berdasarkan prinsip persamaan hak-hak

menentukan nasib sendiri dengan tidak mencampuri dalam negeri suatu negara/

intervensi, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB, yaitu : “Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaa atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib

1

(4)

sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal.”

Dalam melakukan hubungan tersebut, setiap negara melakukan interaksi dengan

melakukan penerimaan atau pengakuan eksistensinya sebagai negara oleh

masyarakat internasional itu sendiri.

Awalnya pelaksanaan dalam hubungan diplomatik antar negara didasarkan pada

prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktik-praktik negara dimana prinsip

kebiasaan berkembang demikian pesatnya hingga hampir seluruh negara di dunia

melakukan hubungan internasionalnya berdasarkan pada prinsip tersebut. Dengan

semakin pesatnya pemakaian prinsip kebiasaan yang dianut oleh praktikpraktik

negara kemudian prinsip ini menjadi kebiasaan internasional yang merupakan

suatu kebiasaan yang diterima secara umum sebagai hukum oleh masyarakat

internasional.

Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar

negara dengan didasarkan atas permufakatan (consensus) bersama yang kemudian

dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi

kodifikasi kebiasaan internasional.2

Suatu negara dalam melakukan penyelenggaraan hubungan tersebut memerlukan

suatu alat untuk menjalin hubungan dengan negara lainnya yang nantinya

berfungsi sebagai penghubung kepentingan antar negara yang diwakili dengan

negara penerimanya. Alat penghubung tersebut diwujudkan dengan cara

membuka hubungan diplomatik dan menempatkan perwakilan (Duta) diplomatik

negara pengirim (sending state) pada negara penerima (receiving state).3

2

Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005, hlm 5

3

(5)

Perwakilan diplomatik adalah merupakan wakil resmi dari negara asalnya,

perwakilan diplomatik disuatu negara ini dikepalai oleh seorang duta dari suatu

negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of

credentials).

Para diplomat dalam menjalankan dalam menjalankan tugas nya memiliki

kekebalan. kekebalan yang dimaksud adalah keadaan dimana seseorang tidak

dapat diganggu gugat yaitu tidak dapat ditangkap atau ditahan, perlakukan dengan

hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap

serangan terhadap badanya, kebebasanya atau martabatnya. Hak-hak istimewa dan

kekebalan yang telah ditentukan dalam Konvensi Wina 1961 pada kenyataanya

masih di langgar oleh negara pengirim.

Dalam kasus insiden penyadapan perwakilan diplomatik yang terjadi adalah kasus

penyadapan yang dilakukan kedutaan besar Australia di Jakarta pada tahun 2013

ini. Kasus penyadapan itu diketahui setelah adanya informasi mengenai dugaan

penyadapan oleh kedutaan besar AS dan Australia di jakarta, terungkapnya dari

dokumen yang di bocorkan mantan pegawai Badan Keamanan Nasional AS

( NSA ), Edward Snowden yang kini berada di Rusia. Snowden membocorkan

adanya fasilitas penyadapan AS di 90 titik yang tersebar diseluruh dunia.

Berdasarkan temuan mereka, penyadapan dilakukan melalui frekuensi telepon.

Directorate Signal Defense (DSD) australia dikabarkan telah menyadap

pembicaraan telepon Presiden SBY dengan lingkaran terdekatnya. Dari dokumen

bocoran snowden yang dimuat harian The Guardian itu terugkap bahwa sejumalah

nama yang disadap memang memilki posisi penting.

Berdasarkan kasus tersebut, dan pentingnya mengetahui bagaimana tanggung

jawab Australia sebagai negara berdaulat yang melakukan penyadapan terhadap

negara berdaulat lain yaitu dalam hal ini Indonesia, maka penulis menyusun

(6)

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah tanggung jawab negara Australia setelah penyadapan yang

dilakukannya terhadap Indonesia?

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (I.R.A.C)

1. ISSUES

Kasus insiden penyadapan yang dilakukan kedutaan besar

Australia di Jakarta pada tahun 2013 diketahui setelah adanya

informasi mengenai dugaan penyadapan oleh kedutaan besar AS

dan Australia di jakarta, terungkapnya dari dokumen yang di

bocorkan mantan pegawai Badan Keamanan Nasional AS ( NSA ),

Edward Snowden yang kini berada di Rusia. Snowden

membocorkan adanya fasilitas penyadapan AS di 90 titik yang

tersebar diseluruh dunia. Berdasarkan temuan mereka, penyadapan

dilakukan melalui frekuensi telepon. Directorate Signal Defense

(DSD) australia dikabarkan telah menyadap pembicaraan telepon

Presiden SBY dengan lingkaran terdekatnya. Dari dokumen

bocoran snowden yang dimuat harian The Guardian itu terugkap

bahwa sejumlah nama yang disadap memang memilki posisi

penting.

Lantas, terhadap penyadapan yang telah melanggar hukum

Internasional, dalam hal ini hukum diplomatik antara Indonesia

dan Australia tsb, bagaimanakah pertanggung jawaban yang harus

diberikan Australia terhadap Indonesia?

2. RULES

 Pasal 41 Ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan

Diplomatik

“Without prejudice to their privileges and immunities, it is the duty of all persons enjoying such privileges and

(7)

receiving State. They also have a duty not to interfece in the internal affairs of the State.”

(Dalam Terjemahan):

“Tanpa merugikan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum mereka itu, adalah menjadi kewajiban semua orang yang

menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu

untuk menghormati hukum dan peraturan Negara penerima.

Mereka juga berkewajiban tidak mencampuri masalah

dalam negeri Negara penerima tersebut”

 Pasal 2 Ayat (7) Piagam PBB yang isinya tentang prinsip

non-intervensi urusan dalam negeri suatu negara (The

Principle of non-interference in the internal affairs of state)

 Resolusi PBB nomor 2625 tahun 1970:

Considering that the progressive development and

codification of the following principles:

(3)The duty not to intervene in matters within the domestic jurisdiction of any State, in accordance with the Charter:

Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara orang lain.

(4) The duty of States to co-operate with one another in accordance with the Charter: Negara-negara berkewajiban untuk menjalin kerja sama dengan negara lain berdasarkan pada piagam PBB.

(5) The principle of equal rights and self-determination of peoples: Asas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri.

(6) The principle of sovereign equality of States: Asas persamaan kedaulatan negara.

(8)

Charter: Setiap negara harus dapat dipercaya dalam memenuhi kewajiban.

3. APPLICATION

a) Hukum Diplomatik

Pengertian “ Hukum Diplomatik” masih belum banyak diungkapkan. Para sarjana hukum internasional masih

belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada

hakikatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari

hukum internasional publik yang mempunyai sebagian

sumber hukum yang sama seperti kebiasaan-kebiasaan

internasional, dan konvensi-konvensi internasional ( baik

multilateral maupun bilateral ) yang ada.

Pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta diatur

menurut hukum kebiasaan, kemudian diperjelas pada abad

ke -19 dimana pengaturran hubungan diplomatik dan

perwakilan diplomatik mulai di bicarakan pada Kongres

Wina 1815 yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol

Aiz-La-Chapelle 1818, kemudian pada tahun 1927 LBB

melakukan kodifikasi sesungguhnya. Namun hasilnya

ditolak oleh dewan LBB dengan alasan belum waktunya

untuk membahas mengenai hak-hak istimewa dan

kekebalan diplomatik yang cukup komplek. Pada tahun

1954, komisi baru mulai membahas masalah hubungan dan

kekebalan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis

Umum melalui resolusi 1450 (XVI) memutuskan untuk

menyelenggarakan suatu konferensi internasional guna

(9)

tahun 1961. Konferensi mengasilkan

instrumen-instrumen,yaitu :

1.Vienna Convention on Diplomatic Relation

2.Optional Protocol Concerning Acquistion of Nationality

3.Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement

of Dispute

b) TEORI TANGGUNG JAWAB NEGARA

Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban

negara, yaitu

 Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian

melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak

(absolute liability ataustrict liability) atau tanggung

jawab objektif (objective responsibility), yaitu

bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas

setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang

sangat membahayakan (harmful effects of

untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri

adalah kegiatan yang sah menurut hukum.

Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972

(nama resmi konvensi ini adalah Convention on

International Liability for Damage caused by

Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa

negara peluncur (launching state) mutlak

bertanggung jawab untuk membayar kompensasi

untuk kerugian di permukaan bumi atau pada

pesawat udara yang sedang dalam penerbangan

yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective

responsibility) atau tanggung jawab atas dasar

(10)

tanggung jawab negara atas perbuatannya baru

dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur

kesalahan pada perbuatan itu.

c) Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik

 Dalam membahas masalah tanggung jawab

negara (state responsibility) maka akan terkait

dengan masalah kedaulatan negara (state

sovereignty), kewenangan untuk menerapkan

hukum atau kewenangan untuk mengadili dengan

menggunakan hukum nasionalnya (state

jurisdiction) serta pengertian negara itu sendiri.

Tanggung jawab negara mengandung

pengertian bahwa adanya perbuatan yang

bertentangan dengan hukum karena kesalahan atau

kelalaiannya sehingga menimbulkan pelanggaran

kewajiban internasional. Setiap pelanggaran

terhadap hak negara lain, menyebabkan negara

tersebut wajib memperbaiki pelanggaran hak itu.

Dengan kata lain, negara yang melanggar kewajiban

internasional tersebut harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Komisi

Hukum Internasional berusaha untuk membuat

rumusan rancangan pasal-pasal mengenai tanggung

jawab negara (Draft Articles on State

Responsibility). Dimana pasal 1 menerangkan

bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah

secara internasional melahirkan tanggung jawab.

Sementara dalam pasal 3 Rancangan pasal-pasal

(11)

suatu perbuatan yang tidak sah secara internasional

timbul jika :

Perbuatan tersebut terdiri dari suatu tindakan

atau kelalaian suatu negara menurut hukum

internasional ; dan Perbuatan tersebut merupakan

suatu pelanggaran kewajiban internasional.

Walaupun rancangan pasal-pasal mengenai

tanggung jawab negara tersebut belum dapat

dikatakan sebagai sumber hukum, tetapi dapat

digunakan untuk membantu pelaksanaan dari

prinsip-prinsip dasar yang ada.

M. N. Shaw mengemukakan bahwa yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung

jawab (negara) ini bergantung kepada faktor-faktor

dasar sebagai berikut : 4

1) Adanya suatu kewajiban hukum

internasional yang berlaku antara dua negara

tertentu;

2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang

melanggar kewajiban hukum internasional

yang melahirkan tanggung jawab negara;

3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai

akibat adanya tindakan yang melanggar

hukum atau kelalaian.

Semua negara bertanggung jawab sama di

bawah hukum internasional atas tindakan ilegal

mereka. Suatu negara tidak dapat menggunakan

hukum nasionalnya sebagai dasar menghindari

suatu kewajiban internasional. Antara hukum

4

(12)

internasional dan hukum nasional terdapat

perbedaan khusus yang terkait dengan dua hal, yaitu

:

1) Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya

beberapa kaidah tindakan oleh suatu negara dapat

menimbulkan tanggung jawab. Pelanggaran atau

kelalaian harus merupakan suatu pelanggaran atau

kelalaian yang memenuhi beberapa kaidah hukum

internasional. Seperti yang dikemukakan oleh

Komisi Hukum Internasional, adanya fakta bahwa

suatu tindakan yang dapat dikarakterisasikan

sebagai kesalahan yang sifatnya internasional tidak

dapat dipengaruhi oleh karakterisasi yang sama

sebagai tindakan yang sama menurut hukum

nasional.

2) Kewenangan atau kompetensi badan negara yang

melakukan kesalahan.

Pada umumnya tidak terbuka kesempatan

bagi suatu negara untuk membela diri dari klaim

yang menyatakan bahwa badan negara tertentu yang

benar-benar melakukan tindakan kesalahan tersebut

telah melebihi lingkup kewenangannya menurut

hukum nasionalnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian

tanggung jawab negara dalam hukum internasional

yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat

menikmati hak-haknya tanpa menggormati hak-hak

negara lain (Huala Adolf:196:176). Sedangkan

menurut J. G. Starke, kaidah-kaidah hukum

internasional mengenai tanggung jawab negara

(13)

prinsip-prinsip dengan mana, negara yang dirugikan

menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang

dideritanya (J.G.Starke:1997:319).

Tanggung Jawab Negara dan Teori Kesalahan

Dikatakan bahwa suatu negara tidak bertanggung

jawab kepada negara lain atas tindakan-tindakan

melawan hukum yang dilakukan oleh agen-agennya

kecuali tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara

sengaja dan bertujuan buruk atau dengan kelalaian

yang pantas di cela.

Fault dapat diartikan sebagai suatu kesalahan

dimana suatu perbuatan dikatakan mengandung

unsur fault apabila perbuatan tersebut dilakukan

dengan sengaja untuk beritikad buruk atau dengan

kata lain yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan

praktek hukum internasional dewasa ini tidak

mensyaratkan adanya fault atau perbuatan aparatur

negara yang bertentangan dengan hukum

internasional dan dapat menimbulkan

pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara

bertanggung jawab tanpa adanya keharusan pihak

yang menuntut tanggung jawab itu untuk

membuktikan adanya suatu kesalahan pada negara

tersebut.

Dalam hal kasus penyadapan yang dilakukan oleh

Australia terhadap Indonesia adalah merupakan

(14)

Penyadapan yang telah dilakukan untuk

mendapatkan informasi secara illegal oleh

pemerintah Australia dengan cara melakukan

penyadapan Telepon Genggam Presiden dan

beberapa orang penting di Indonesia jelas

merupakan suatu tindakan yang tidak dapat

dibenarkan di dalam hukum internasional.

Penyadapan tersebut melanggar Konvensi Wina

1961 tentang hubungan diplomatik, sebab konvensi

tersebut menegaskan bahwa duta besar yang

ditempatkan disuatu negara harus menghormati

hukum dan peraturan Negara penerima dan mereka

juga berkewajiban tidak mencampuri masalah

dalam negeri Negara penerima tersebut. sehingga

jelas bahwa konvensi tersebut melarang segala

tindakan yang mengganggu negara penerima karena

bukan hanya merupakan pelanggaran kerahasiaan,

atau pelanggaran keamanan tapi juga pelanggaran

serius norma dan etika hubungan

diplomatik.Dengan adanya bukti bahwa Australia

telah menyadap telepon genggam milik Presiden

dan beberapa orang penting di Indonesia, terbukti

pula bahwa Australia dan Duta besarnya di

Indonesia tidak dapat menjalankan tugasnya dengan

baik sebagai negara pengirim, dan sebagai

perwakilan negara. Karena melanggar ketentuan

yang tercantum dalam pasal 27 (1) dan 3 ayat 1 (d)

konvensi wina 1961, yang menegaskan bahwa

dalam menyampaikan laporan mengenai keadaan

(15)

negaranya harus benar-benar dilakukan dengan

cara-cara sah.

Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Terhadap Hukum Diplomatik.

Di dalam perkembangannya tindak kejahatan khususnya

terhadap hubungan diplomatik sangatlah mengganggu dan

membahayakan fungsi dari tujuan diplomasi itu sendiri.

Dalam menghadapi perkembangan yang membahayakan

tersebut pada tahun 1980, PBB telah mengadakan

pembahasan masalah tersebut secara intensif dan akhirnya

dikeluarkannya resolusi Majelis Umum PBB dimana

resolusi tersebut berisikan mendesak kepada seluruh

anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan

prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional yang mengatur

tentang hubungan diplomatik. Disamping itu, Majelis

Umum PBB juga mendesak kepada semua negara anggota

khususnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya

agar dapat menjamin secara efektif perlindungan,

pengamanan dan keselamatan para pejabat diplomatik

termasuk perwakilannya masing-masing di wilayah

jurisdiksi mereka sesuai dengan kewajiban-kewajiban

internasional

Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab

negara dalam hukum internasional adalah tidak ada negara

yang dapat menikmati haknya tanpa menghormati

hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak-hak-hak-hak

negara lain wajib untuk memperbaiki sekaligus

mempertanggungjawabkan pelanggaran hak tersebut. Jika

merujuk pada pasal 1 ketentuan-ketentuan tentang

(16)

kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa tindakan

pemerintah Myanmar merupakan sebagai kesalahan secara

internasional yang melahirkan pertanggung jawababan

negara. Sebagai akibat dari tindakan tersebut pemerintah

Indonesia mengalami kerugian berupa tersebarnya

informasi-informasi yang sifatnya rahasia sehingga hal ini

mengganggu pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik.

Terjadinya kasus penyadapan yang dilakukan oleh

Australia telah merugikan Indonesia dalam hal tersebarnya

informasi milik seorang Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono sebagai kepala negara dan pemerintahan

Republik Indonesia dan juga 9 Menteri serta Ibu Negara

yang tentunya bersifat rahasia dan pribadi.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan Indonesia dilihat

dari sudut pandang hukum diplomatik antara lain:

1) Mengirim nota diplomatik yang berisikan strong protes

yang isinya mengecam aksi Amerika dan Australia

tersebut dan meminta maaf kepada Indonesia.

2) Persona non-grata, hal dimungkinkan dilaksanakan

Indonesia dimana Konvensi Wina 1961 tentang

hubungan diplomatik.

3) Pejabat diplomatik dari Australia juga dapat dipulangkan

ke negaranya karena Indonesia menolak mengakui

sebagai pejabat Perwakilan Australia untuk Indonesia.

4) Cara lain adalah menepuh cara penyelesaian melalui

negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi;

(17)

Hal ini dilakukan agar kedua negara sama-sama terjalin

hubungan yang erat dan meniadakan hal-hal yang bersifat

menghambat hubungan diplomatik yang selanjutnya

menghasilkan suatu kesepakatan antara kedua belah pihak

Tanggungjawab Australia muncul diakibatkan oleh

pelanggaran atas perjanjian internasional dalam hal ini

perjanjian hubungan diplomatik, tepatnya penyadapan

terhadap Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden

Indonesia dan Ani Yudhoyono serta 9 Menteri lainnya yang

memiliki informasi sebagai negara penerima .

Australia telah memenuhi karakteristik yang dinyatakan

oleh M. N. Shaw tentang tanggung jawab negara yang

memenuhi unsur-unsur dasar sebagai berikut :

1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;

Dalam hal ini kewajiban Indonesia adalah

memberikan kekebalan dan hak istimewa terhadap

diplomasi Australia di Indonesia maka, Australia

dan Perwakilannya juga mempunyai kewajiban

untuk mematuhi pasal 41 Konvensi Wina 1961 yang

memuat ketentuan untuk menghormati negara

Indonesia sebagai negara penerima.

2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara;

Australia telah melanggar kewajiban Hukum

Internasional, dalam hal ini adalah hukum

diplomatik, dimana Australia telah menyadap

(18)

sebagai Presiden Indonesia dan Ani Yudhoyono

serta 9 Menteri lainnya tanpa melalui cara yang sah.

3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.

Dalam hal ini Indonesia sangat dirugikan, karena

tersebarnya informasi yang dimiliki oleh Susilo

Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia,

Ani Yudhoyono dan 9 Menteri lainnya adalah

informasi-informasi yang berkaitan dengan rahasia

kenegaraan.

Penyelesaian Sengketa Atas Kasus Penyadapan Australia terhadap Indonesia.

Karena Australia tidak tidak melaksanakan

kewajibannya sebagai negara pengirim sesuai

ketentuan pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina, maka

Australia dapat dimintai pertanggung jawabannya

sebagai negara berdaulat.

Sejauh ini penyelesaian sengketa yang di lakukan

Indonesia guna meminta pertanggung jawaban

Australia adalah secara politis yaitu sesuai dengan

Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa pasal 2 ayat (3)

dan pasal 33 dimana lebih mengutamakan

penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang

ditujukan untuk menciptakan perdamaian di muka

(19)

Bentuk nyata permintaan tanggung jawab Indonesia

adalah dengan:5

 Meminta pemerintah Australia untuk

mengklarifikasi dan meminta maaf terhadap

Indonesia, Selain itu:

 Sejumlah agenda kerjasama antara Indonesia dan

Australia akan di review kembali, dan penghentian

sementara beberapa kerjasama yang sudah ada,

seperti erjasama yang disebut pertukaran informasi

dan pertukaran intelijen di antara kedua negara dan

latihan bersama antara tentara Indonesia dan

Australia di angkatan darat, laut dan udara.

 Indonesia meminta pembuatan semacam protokol

atau code of conduct atau guiding principles untuk

kerjasama di berbagai bidang. Terutama di bidang

latihan militer bersama, kerjasama dalam hadapi

ancaman people smuggling, dan pertukaran intelijen

dan informasi

Dari beberapa hal tersebut diatas, ternyata

Pemerintah Australia tidak merespon tentang

permintaan maaf yang diminta oleh Indonesia hal

ini dapat dilihat dari surat balasan Perdana Menteri

Australia, Tonny Abbot terkait 3 hal penting yaitu:6

keinginan pihak pemerintah Australia untuk

melanjutkan hubungan bilateral dengan pemerintah

Indonesia, komitmen pemerintah Australia untuk

melakukan hal yang tidak menggangu Indonesia,

dan penataan kembali kerjasama bilateral, termasuk

5 goresanpenahukum.blogspot.com/2013/11/, diakses pada 22 November 2014 6

(20)

pertukaran intelijen dengan protokol dan kode etik

yang jelas dengan Indonesia.

Akan tetapi dengan adanya kesepakatan Indonesia

dan Australia untuk memulai kembali kerjasama

intleijen dan militer yang akan dituangkan dalam

dokumen Joint Understanding of a Code of Conduct

(JUCC) sebagai bentuk pemulihan kerjasama. 7

Seolah-olah tidak mempertegas keinginan Indonesia

untuk mendapatkan permintaan maaf yang jelas dari

Pemerintah Australia.

Padahal disisi lain, hal ini dapat diperjuangkan sama

seperti yang dilakukan oleh kanselir Jerman, Angela

Marker yang mendapat permintaan maaf dari

Barack Obama, Amerika Serikat ketika Intelijen

Amerika Serikat ketahuan melakukan penyadapan

telephone Angela Marker.8

4. CONCLUSION

1. Bahwa Dalam aksi penyadapan yang telah dilakukan pihak

Australia terhadap Indonesia yaitu kepada kepada Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono serta 9 Menteri dan juga Ibu

Negara Indonesia telah melanggar ketentuan Diplomatik

yang diatur dalam pasal 3 ayat 1, pasal 27 ayat 1 dan pasal

41 ayat 1 & 3 Konvensi WINA 1961.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan adalah berupa

penyalahgunaan gedung diplomatik, intervensi/ikut campur

urusan Negara lain serta dengan sengaja mengambil

7

http://www.jurnalparlemen.com/view/8154/sebelum-rujuk-australia-wajib-minta-maaf-atas-kasus-penyadapan.html, diakses pada 22 November 2014

8

(21)

informasi Negara lain baik yang bersifat rahasia atau bukan

rahasia tanpa ijin/ cara yang sah.

2. Australia telah terbukti harus meminta maaf sebagai bentuk

pertanggung jawaban atas kesalahan yang dilakukannya,

yang telah memenuhi karakteristik/ unsur-unsur yang

timbul dari tanggung jawab negara, yaitu:

a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang

berlaku antara dua negara tertentu;

Dalam hal ini kewajiban Indonesia adalah

memberikan kekebalan dan hak istimewa terhadap

diplomasi Australia di Indonesia maka, Australia

dan Perwakilannya juga mempunyai kewajiban

untuk mematuhi pasal 41 Konvensi Wina 1961 yang

memuat ketentuan untuk menghormati negara

Indonesia sebagai negara penerima.

b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang

melanggar kewajiban hukum internasional yang

melahirkan tanggung jawab negara;

Australia telah melanggar kewajiban Hukum

Internasional, dalam hal ini adalah hukum

diplomatik, dimana Australia telah menyadap

telepon genggam Susilo Bambang Yudhoyono

sebagai Presiden Indonesia dan Ani Yudhoyono

serta 9 Menteri lainnya tanpa melalui cara yang sah.

c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat

adanya tindakan yang melanggar hukum atau

kelalaian.

Dalam hal ini Indonesia sangat dirugikan, karena

tersebarnya informasi yang dimiliki oleh Susilo

Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia,

(22)

informasi-informasi yang berkaitan dengan rahasia

kenegaraan.

3. Indonesia kurang tegas dalam meminta permintaan maaf

dari pemerintahan Australia sebagai konsekuensi logis dari

tanggung jawab suatu negara, yaitu Australia berdasarkan

Teori Kesalahan (Fault Theory).

4. Langkah yang diambil inonesia terhadap kasus ini lebih

fokus terhadap pembentukkan protocol dan kode etik atau

Joint Understanding of a Code of Conduct (JUCC) untuk

menjamin tidak terulangnya tindakan merugikan yang

dilakukan salah satu negara,khusunya seperti penyadapan

(23)

DAFTAR PUSTAKA Literatur Buku:

Konvensi Wina 1961 Hubungan diplomatik;

Starke,J.G. Pengantar Hukum Internasional I, Cetakan ke-10, (Jakarta : Sinar

Grafika, 2010);

Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers,

Jakarta, 1990

MN Shaw , International Law;

Referensi

Dokumen terkait

Di samping itu, kulit juga banyak dimanfaatkan bendel buku serta dalam dunia desain interior, kulit dimanfaatkan sebagai wallpaper atau pelapis mebel.Seluas pemanfaatannya, jenis

siswa selama proses belajar mengajar berlansung. Dan didukung oleh dokumentasi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi dengan satu

(II) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam perkara Nomor

Tradisi padusan yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan tradisi yang diturunkan dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia.. Makna

- Setelah selesai menyeterika, selama pengisian atau pengosongan tangki air atau bahkan ketika anda meninggalkan seterika barang sebentar, cabutlah steker penghubung listriknya

Produk yang digunakan peroral dengan dosis lebih besar dari 500 mg sangat sulit untuk dijadikan sediaan lepas lambat karena pada dosis yang besar dihasilkan volume sediaan

Communication" yang terdapat dalam buku "Communication Probes" mengatakan setiap kali orang berbicara atau menyampaikan pesan kepada orang kedua terjadiempat