• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam K"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang paling tinggi derajatnya dan telah menjadi kodrat bahwa manusia yang berlainan jenis kelamin akan memiliki teman hidup dan melangsungkan perkawinan, dengan maksud untuk membentuk rumah tangga dan memperoleh keturunan.

Perkawinan bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga yang bahagia, kekal, sejahtera lahir dan batin serta damai. Perkawinan akan menyebabkan adanya akibat-akibat hukum antara suami istri, sehingga berpengaruh pula terhadap hubungan keluarga yang bersangkutan. Hubungan kekeluargaan ini sangat penting, karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dan orang tua, pewaris, perwalian serta pengampuan.1 Melalui perkawinan akan timbul ikatan

yang berisi hak dan kewajiban, misalkan kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu dan lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Suatu perkawinan merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling mencintai dari kedua belah pihak. Walaupun demikian dalam keadaan-keadaan tertentu, lembaga perkawinan yang berasaskan monogami dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 3 menyebutkan bahwa :

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Anak perlu mendapat perlindungan hukum demi menjamin hak-haknya. Anak merupakan aset negara yang paling penting untuk diperhatikan, dimana kepadanyalah digantungkan segala harapan bangsa di masa yang akan datang.

(2)

Karena itu perhatian yang besar sudah sepantasnya diberikan dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik. Anak-anak perlu diberikan pendidikan, kesehatan, dan perhatian kasih sayang di samping kebutuhan sandang dan pangan yang baik, agar dapat mengembangkan pribadinya secara benar.

Tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak adalah tanggung jawab semua pihak (pemerintah, masyarakat dan keluarga). Keluarga, dalam hal ini orang tua adalah pihak pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, yang tersebut dalam UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa poligami itu dapat membawa akibat buruk terhadap perkembangan kehidupan anak. Karena itu diperlukan adanya aturan-aturan hukum yang jelas mengenai perlindungan orang tua terhadap anak dalam perkawinan poligami.

Dalam UU No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa suami dibolehkan untuk berpoligami, apabila ada alasan-alasan yang membenarkan suami berpoligami, seperti istri cacat fisik dan mental atau istri mandul, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri. Selain itu suami harus memenuhi syarat-syarat antara lain, memperoleh izin dari istri pertama, adanya kepastian hukum bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup anak-anak serta harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Tetapi poligami tetap terjadi walaupun tanpa izin, sehingga tidak sedikit juga dijumpai anak-anak dari hasil perkawinan poligami yang secara benar sangat kurang mendapat perhatian kasih sayang orang tua, kurang dan bahkan tidak mendapat pendidikan serta ada yang mengalami rasa frustasi, yang sebagian besar disebabkan ayahnya berpoligami. Oleh karena itu, untuk melihat pelaksanaan dalam prakteknya maka sangat perlu dilakukan penelitian terhadap masalah anak dalam keluarga poligami, dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan menjadi beberapa rumusan, yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan poligami dan apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melakukan poligami ?

2. Bagaimana kedudukan anak dalam hukum ?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami ?

C. Tujuan Penelitian

(3)

1. Untuk mengetahui pengertian poligami dan alasan-alasan apa sehingga poligami itu dapat dilakukan.

2. Untuk mengetahui kedudukan anak dalam hukum.

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan

Telah menjadi kodrat alam manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu pergaulan hidup sejak dilahirkannya. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 menyebutkan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari definisi tersebut, ada beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :

a) Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri. b) Ikatan lahir batin dan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal

dan sejahtera.

c) Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yang pengertiannya adalah suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dan wanita, guna menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman, dengan cara-cara yang diridhai Allah.3

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1, dimana disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.4

Masalah perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak dapat lepas dari masalah seks dan hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita, sebab perkawinan merupakan lembaga yang mengatur hubungan seksual tersebut agar sah dan halal. Manusia normal tentu saja berpendapat bahwa perkawinan yang dilaksanakan untuk mengesahkan dan menghalalkan hubungan biologis, serta untuk mendapatkan keturunan yang sah.

2 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading Co., 1975), h. 11

3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 15

(5)

Allah swt. telah mensyariatkan perkawinan dengan kebijaksanaan yang tinggi dan tujuan yang mulia, serta merupakan jalan yang bersih untuk melanjutkan keturunan dan memakmurkan bumi. Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati, menjaga kesucian diri dari perbuatan keji sebagaimana juga menjadi kenikmatan, kebahagian hidup, sarana untuk membentengi diri agar tidak jatuh pada jurang kenistaan, serta penyebab perolehan keturunan yang saleh, dan yang akan mendatangkan kemuliaan bagi manusia untuk kehidupannya di dunia dan sesudah meninggal.5 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan bahwa

perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.6

B. Poligami

Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana kata ini merupakan penggalan kata poli

atau polus, yangartinya “banyak” serta kata gamein atau gamos yang artinya kawin.Poligami atau mempunyai beberapa orang istri pada saat yang sama. Menurut ajaran Islam, perkawinan semacam ini walaupun diperbolehkan tetapi tidak dianjurkan dilaksanakan.7

Dalam Islam, poligami mempunyai arti yaitu perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan, dimana umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surah an-Nisa ayat 3 sebagai dasar penetapan hukum poligami.8 Dengan kata lain, poligami ialah mengamalkan

beristri lebih dari satu, yaitu dua, tiga atau empat.9 Hal ini juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum

Islam Pasal 55 ayat 1 bahwa “beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri”.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 baik pasal demi pasal maupun penjelasannya tidak ditemukan pengertian poligami, meski pada Pasal 3 ayat 2 menyatakan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Para ahli mengatakan bahwa dengan adanya pasal ini, maka Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menganut asas monogami terbuka, sehingga tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang sifatnya tertutup atau

5 Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 15

6 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 78

7 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Untuk IAIN,STAIN,PTAIS), h. 113

8 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, h. 84

(6)

poligami yang tidak begitu saja dapat dibuka tanpa pengawasan hakim.10 Dengan demikian,

poligami baru boleh dilakukan apabila terdapat beberapa sebab, diantaranya :

(i) Apabila suami mempunyai dorongan nafsu syahwat yang berkekuatan luar biasa, sehingga si istri tidak sanggup lagi memenuhi keinginannya.

(ii) Istri yang dalam keadaan uzur atau sakit, sehingga tidak dapat lagi melayani suaminya.

(iii) Bertujuan untuk membela kaum wanita yang sudah menjadi janda, karena suaminya gugur dalam berjihad fisabilillah.

(iv) Menyelamatkan kaum wanita yang masih belum berpeluang berumah tangga, supaya tidak terjerumus ke lembah dosa.11

Orang yang beragama Islam menurut hukum Islam boleh mempunyai istri sebanyak dua, tiga dan empat, tetapi setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sudah semakin sukar. Ini karena pemerintah telah ikut campur dalam menentukan keinginan suami yang ingin melakukan perkawinan dengan seorang wanita sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat. Dengan demikian, setiap suami harus mempunyai alasan yang dapat diterima oleh undang-undang agar dapat berpoligami. Ini berarti bahwa poligami sekarang sudah dipersulit.12 Seorang suami yang ingin

kawin dengan seorang janda karena merasa kasihan terhadap anak janda yang tidak mempunyai ayah lagi, tidak dapat menjadikannya alasan untuk kawin kedua kalinya. Alasan pertimbangan kemanusiaan itu tidak dapat diterima oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974.

Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 197413, yaitu :

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Di samping alasan-alasan di atas, masih diperlukan syarat-syarat lain seperti dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 4 dan 5 yang harus dipenuhi. Dalam hukum Islam, poligami dibenarkan dengan syarat dapat berlaku adil di antara istri-istri, dalam rangka melindungi wanita sebagai kaum ibu serta untuk menghindari perzinahan, dimana bukan semata-mata untuk kepentingan lelaki, tetapi juga untuk kepentingan kaum wanita dan masyarakat.

C. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang

Kata anak mengandung banyak arti, apalagi jika diikuti dengan kata lain, misalnya anak turunan, anak kecil, anak negeri, anak sungai dan sebagainya. Yang menjadi perhatian dalam

10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandarmaju, 1990), h. 32

11 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 19

12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat, Hukum Agama, h. 32

(7)

penelitian ini adalah pengertian anak dalam hukum keperdataan, terutama dalam hubungannya dengan keluarga, seperti anak kandung (laki-laki dan wanita), anak sah dan anak tidak sah, anak sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak pungut, anak haram dan sebagainya.14

Sehubungan dengan uraian di atas, pengertian anak secara konstitusional dapat dilihat dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 1 yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 yang menyebutkan, “Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun”. Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 menyatakan bahwa :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dari dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini”.

Menurut isi pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa anak adalah individu yang belum berumur 21 tahun. Terdapat pembatasan yang tegas tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.

Kedudukan anak dalam pengertian Islam adalah merupakan titipan Allah swt. kepada kedua orangtua, masyarakat, bangsa dan negara, sebagai pewaris dari ajaran Islam dan kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lil alamin. Pengertian ini memberikan hak atau melahirkan hak anak yang harus diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh anak dari orangtua, masyarakat, bangsa dan negara.

Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah dan pandangan kehidupan agama Islam,

terdiri dari :

1. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya dan hak untuk disusui selama dua tahun (firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Baqarah: 233)

2. Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar (firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11)

3. Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orangtuanya (firman Allah swt. dalam Q.S. An-Nisa: 2 dan 6

4. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orangtuanya (firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Qashas: 12) Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 45 diatur mengenai hak dan kewajiban antara orangtua dan anak, yang berbunyi :

(1) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(8)

(2) Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan perlindungan kepada anak di bawah umur dari tindakan orangtua yang merugikannya. Dalam Pasal 48 dinyatakan :

“Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”

Maksud ketentuan tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan terjaminnya harta benda anak, yang merupakan tumpuannya di masa depan.

Kepentingan anak harus didahulukan dari kepentingan orang dewasa, dan ini merupakan tanggung jawab orangtua, masyarakat, bangsa dan negara. Diharapkan ada kerjasama yang baik antara pihak-pihak di atas dalam upaya mensejahterakan anak, karena tidak mungkin hal tersebut dipikul sendiri oleh orangtuanya. Untuk menjamin terselenggaranya pemenuhan hak-hak anak, maka peranan keluarga (orangtua), sekolah dan masyarakat sangat menentukan terwujudnya secara nyata hak-hak anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.15

Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya sistem keturunan. Di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak serta garis keturunan bapak dan ibu. Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak dan ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun keluarga dari pihak ibu sama eratnya atau derajatnya.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Undang-Undang

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.16

Kegiatan perlindungan anak sebagai tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh karena itu, perlu jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.17

15 Yusuf Thaib, Pengaturan Perlindungan Hak Anak dalam Hukum Positif, (Jakarta: BPHN, 1984), h. 132

16 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Harvarindo, 2003), h. 5

(9)

Ditinjau secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :

a. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam : (i) Bidang Hukum Publik

(ii) Bidang Hukum Keperdataan

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan : (i) Bidang Sosial

(ii) Bidang Kesehatan (iii) Bidang Pendidikan18

Perlindungan anak yang bersifat yuridis di atas menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak.

Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, oleh sebab itu masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.19

Undang-Undang No. 4 tahun 1979 Pasal 9 menyebutkan bahwa orangtua yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara fisik, jasmani maupun sosial. Kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak berlangsung sejak anak dilahirkan sampai anak dapat berdiri sendiri atau dewasa, meskipun perkawinan kedua orangtua putus.20 Agar anak menjadi anak yang

baik, maka kedua orangtua dituntut untuk memberikan pengawasan dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada anak.

Pemeliharaan dan penjagaan anak menurut para ulama merupakan tanggung jawab seorang ibu (jika anak lelaki sampai berumur tujuh tahun dan anak wanita sampai ia mencapai usia pubernya). Pada umur yang ditentukan ini, ayah hanya merupakan penjaga yang menjamin kesejahteraan anak-anaknya. Bila ayah meninggal, maka penggantinya menjadi penjaga anak-anak yang sah. Sekalipun anak-anak berada dalam perawatan ibu, namun ayah tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya dalam mengawasi anak-anak yang diasuh ibunya.21 Anak yang masih di bawah

umur tujuh tahun belum dapat dipisahkan dari ibunya, karena rasa kasih sayang dengan ibu begitu melekat. Bila anak yang masih di bawah umur tujuh tahun dipisahkan dengan ibunya, akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental anak yang bersangkutan. Meskipun anak berada

18 Irma Setyowati Soemitro, Aspek hukum Perlindungan Anak, h. 13

19 Bismar Siregar dkk., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 22

20 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: In-Hilco, 1986), h. 47

(10)

dalam pangkuan ibu, baik dalam perkawinan monogami maupun poligami, ayah tetap tidak lepas dari tanggung jawabnya untuk menanggung nafkah demi kelangsungan hidup anak.

Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata Pasal 298 juga menyebutkan :

“Bapak dan ibu wajib memelihara serta mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa, walaupun hak untuk memangku kekuasaan orangtua atau hak untuk menjadi wali hilang, tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang seimbang dengan penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak”.

Ketentuan tersebut menekankan kepada kedua orangtua untuk memelihara dan mendidik anak yang masih di bawah umur. Menurut Ketentuan Hukum Perdata, anak dinyatakan sudah dewasa apabila sudah mencapai umur 21 tahun, yang berarti anak di bawah 21 tahun belumlah dewasa dan masih menjadi tanggung jawab orangtuanya dalam melakukan pemeliharaan dan pendidikannya.

Ketentuan dalam KUH Perdata berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, kewajiban orangtua memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini berarti walaupun anak telah kawin, jika kenyataannya belum dapat berdiri sendiri maka tetap merupakan kewajiban orangtua untuk memelihara anak, istri dan cucunya. Sementara dalam KUH Perdata anak dipelihara orangtua hanya sampai dewasa (berumur 21 tahun).22

Kewajiban selanjutnya dari orangtua terhadap anak sebagai tanggung jawabnya, yaitu “Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan”. Pernyataan ini terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 47 ayat 2. Dalam melakukan perbuatan hukum, anak dipertanggungjawabkan kepada orangtuanya. Apabila orangtua menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan anak, kekuasaan orangtua dapat dicabut, dengan demikian orangtua tidak dapat mewakili kepentingan anak baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 49, yaitu :

(1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal : wenang, termasuk oleh orangtuanya sendiri. Demi untuk kepentingan anak, perlu ada pihak yang

(11)

melindungi jika orangtuanya tidak mampu melaksanakan kewajibannya, baik karena kehendaknya sendiri maupun karena ketentuan hukum, yang diserahi hak dan kewajiban untuk mengasuh anak.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 41 (b) disebutkan :

“Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut”.

Oleh karena itu, seorang anak dapat menuntut pemenuhan kewajiban seorang bapak yang harus dipenuhi selama anak belum dewasa. Hal ini dikenal dengan istilah ‘nafkah terhutang’. Pelaku penelantaran anak bisa dituntut secara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 304 yang pada dasarnya menyatakan :

”Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Pasal ini dapat diterapkan terhadap orangtua yang melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak, karena secara hukum orangtua harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak.

(12)

BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami, yaitu :

1. Poligami artinya mempunyai beberapa orang istri pada saat yang sama. Dalam Islam, poligami mempunyai arti yaitu perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan, dimana umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada juga yang memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surah an-Nisa ayat 3 sebagai dasar penetapan hukum poligami.

Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu :

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 45 diatur mengenai hak dan kewajiban antara orangtua dan anak, yang berbunyi :

- Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

- Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan perlindungan kepada anak di bawah umur dari tindakan orangtua yang merugikannya. Dalam Pasal 48 dinyatakan :

“Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”

Maksud ketentuan tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan terjaminnya harta benda anak, yang merupakan tumpuannya di masa depan.

3. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami belum terlaksana dengan baik, dimana hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

a) Faktor perkawinan poligami yang terselubung.

b) Faktor penghasilan suami yang belum mencukupi, sehingga anak-anak kurang terurus, bahkan terlantar dalam hal pendidikan maupun kebutuhan lainnya.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

a) Mampu memberikan asuhan kehamilan pada Ny. H dari pengkajian, menginterprestasi data, mengidentifikasi diagnosa, merencanakan tindakan, mengevaluasi dan

Dalam pasal 27 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai

Perlakuan lama pemberian pakan berkarotenoid yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter pertumbuhan ikan maskoki yaitu laju pertumbuhan

Berdasarkan Pengujian kandungan logam yang telah dilakukan, dapat di simpulkan bahwa kandungan logam di dalam sampel pelumas dapat digunakan untuk membantu menentukan

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi yang rawan bencana teruta- ma Gunung Merapi. Untuk meminimalkan korban bencana dikembangkan program kesiapsiagaan masyarakat

Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan

melaksanakan pembangunan pendidikan di Kota Dumai, baik pengelola pada tingkat satuan pendidikan, maupun pengelola pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa fillet ikan jambal siam yang diberi bubuk jahe pada suhu dingin memiliki umur simpan 29,78 hari.. TVB digunakan sebagai