ASKEP LIMFOMA NON HODGKIN
MAKALAH SISTEM
IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI
LIMFOMA NON HODGKIN
Di susun oleh :
Nama : Windayona Hadi
Prasetya
NIM : 1002108
Prodi : SI/ IIA
STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2011/2012
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan
peran kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan
limfatik adalah cairan putih mirip susu yang engandung protein, lemak dan limfosit
(sel darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfatik.
Yang membentuk sistem limfatik dan cairan yang mengisis pembuluh ini disebut
limfe. Komponen Sistem Limfatik antara lain :
· Pembuluh Limfe
· Kelenjar Limfe (nodus limfe)
· Limpa
· Tymus
· Sumsum Tulang
1. Anatomi fisiologi sistem limfatik
a. Pembuluh limfe
Pembuluh limfe merupakan jalinan halus kapiler yang sangat kecil atau sebagai
rongga limfe di dalam jaringan berbagai organ dalam vili usus terdapat pembuluh
limfe khusus yang disebut lakteal yang dijumpai dala vili usus.
Fisiologi kelenjar limfe hampir sama dengan komposisi kimia plasma darah dan
mengandung sejmlah besar limfosit yang mengalir sepanjang pembuluh limfe untuk
lakteal karena bila lemak diabsorpsi dari usus sebagian besar lemak melewati
pembuluh limfe. Sepanjang pergerakan limfe sebagian mengalami tarikan oleh
tekanan negatif di dalam dada, sebagian lagi didorong oleh kontraksi otot.
Fungsi pembuluh limfe mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke
dalam sirkulasi darah, mengankut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah,
membawa lemak yang sudah dibuat emulasi dari usus ke sirkulasi darah. Susunan
limfe yang melaksanakan ini ialah saluran lakteal, menyaring dan menghancurkan
mikroorganisme, menghasilkan zat antiboi untuk melindungi terhadap kelanjutan
infeksi.
b. Kelenjar limfe (nodus limfe)
Kelenjar ini berbentuk bulat lonjong dengan ukuran kira-kira 10 – 25 mm. Limfe
disebut juga getah bening, merupakan cairan yang susunan isinya hampir sama
dengan plasma darah dan cairan jaringan. Bedanya ialah dalam cairan limfe banyak
mengandung sel darah limfosit, tidak terdapat karbon dioksida, dan mengandung
sedikit oksigen. Cairan limfe yang berasal dari usus banyak mengandung zat lemak.
Cairan limfe ini dibentuk atau berasal dari cairan jaringan melalui difusi atau filtrasi
ke dalam kapiler – kapler limfe dan seterusnya akan masuk ke dalam peredaran
darah melalui vena.
Fungsinya yaitu menyaring cairan limfe dari benda asing, pembentukan limfosit,
membentuk antibodi, pembuangan bakteri, membantu reasoprbsi lemak.
c. Limpa
Limpa merupakan sebuah organ yang terletak di sebelah kiri abdomen di
daerah hipogastrium kiri bawah iga ke-9,-10,-11. Limpa berdekatan pada fundus dan
permukaan luarnya menyentuh diafragma. Jalinan struktur jaringan ikat di antara
jalinan itu membentuk isi limpa/ pulpa yang terdiri dari jaringan limpa dan sejumlah
besar sel – sel darah.
Fungsi limpa sebagai gudang darah seperti hati, limpa banyak mengandung
kapiler – kapiler darah, dengan demikian banyak arah yang mengalir dalam limpa,
sebagai pabrik sel darah, limfa dapat memproduksi leukosit dan eritrosit terutama
limfosit, sebagai tempat pengahancur eritrosit, karena di dala limpa terdapat jaringan
retikulum endotel maka limpa tersebut dapat mengancurkan eritrosit sehingga
hemoglobin dapat dipisahkan dari zat besinya, mengasilkan zat antibodi.
Limpa menerima darah dari arteri lienalis dan keluar melalui vena lienalis pada
vena porta. Darah dari limpa tidak langsung menuju jantung tetapi terlebih dahulu ke
hati. Pembuluh darah masuk ke dan keluar melalui hilus yang berbeda di permukaan
dalam. Pembuluh darah itu memperdarhi pulpa sehingga dan bercampur dengan
unsur limpa.
Kelejar timus terletak di dalam torax, kira – kira pada ketinggian bifurkasi
trakea. Warnanya kemerah – merahan dan terdiri dari 2 lobus. Pada bayi baru lahir
sangat kecil dan beratnya kira – kira 10 gram atau lebih sedikit; ukurannya
bertambah pada masa remaja beratnya dari 30 – 40 gram dan kemudian mengkerut
lagi. Fungsinya diperkirakan ada sangkutnya dengan produksi antibody dan sebagai
tempat berkembangnya sel darah putih.
e. Bone marrow / sumsum tulang
Sumsum tulang (Bahasa Inggris: bone marrow atau medulla ossea)
adalah jaringan lunak yang ditemukan pada rongga interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian besarsel darah baru. Ada dua jenis sumsum tulang: sumsum merah(dikenal juga sebagai jaringan myeloid) dan sumsum
kuning. Sel darah merah, keping darah, dan sebagian besar sel darah putihdihasilkan dari sumsum merah. Sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan warnanya ditimbulkan oleh sel-sel lemak yang banyak dikandungnya. Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung banyak pembuluh dan kapiler darah. Sewaktu lahir, semua sumsum tulang adalah sumsum merah. Seiring dengan pertumbuhan,
semakin banyak yang berubah menjadi sumsum kuning. Orang dewasa memiliki
rata-rata 2,6 kg sumsum tulang yang sekitar setengahnya adalah sumsum merah.
Sumsum merah ditemukan terutama pada tulang pipih seperti tulang pinggul, tulang dada, tengkorak, tulang rusuk, tulang punggung,tulang belikat, dan pada bagian lunak di ujung tulang panjang femur dan humerus. Sumsum kuning ditemukan pada rongga interior bagian tengah tulang panjang. Pada keadaan sewaktu tubuh
kehilangan darah yang sangat banyak, sumsum kuning dapat diubah kembali
menjadi sumsum merah untuk meningkatkan produksi sel darah.
2. Lokasi-lokasi nodus limfe.
Daerah khusus, tempat terdapat banyak jaringan limfatik adalah palatin (langit
mulut) dan tosil faringeal, kelenjar timus, agregat folikel limfatik di usus halus,
apendiks dan limfa.
3. Fisiologi sistem limfatik
Fungsi Sistem limfatik sebagai berikut :
Pembuluh limfatik mengumpulkan cairan berlebih atau cairan limfe dari
jaringan sehingga memungkinkan aliran cairan segar selalu bersirkulasi dalam
jaringan tubuh.
Merupakan pembuluh untuk membawa kembali kelebihan protein didalam
cairan jaringan ke dalam aliran darah.
Nodus menyaring cairan limfe dari infeksi bakteri dan bahan-bahan berbahaya.
Pembuluh limfatik pada organ abdomen membantu absorpsi nutrisi yang telah
dicerna, terutama lemak.
4. Mekanisme Sirkulasi Limfatik.
Pembuluh limfatik bermuara kedalam vena-vena besar yang mendekati
jantung dan disini terdapat tekanan negatif akibat gaya isap ketika jantung
mengembang dan juga gaya isap torak pada gerakan inspirasi.
Tekanan timbul pada pembuluh limfatik, seperti halnya pada vena, akibat
kontraksi otot-otot, dan tekanan luar ini akan mendorong cairan limfe ke depan
karena adanya katup yang mencegah aliran balik ke belakang. Juga terdapat
tekanan ringan dari cairan jaringan akibat ada rembesan konstan cairan segar dari
kapiler-kapiler darah. Apabila terdapat hambatan pada aliran cairan limfe yang
melalui sistem limfatik, terjadilah edema, yaitu pembengkakan jaringan akibat
adanya kelebihan caiaran yang terkumpul didalamnya. Edema juga bisa terjadi
akibat obstruksi vena, karena vena juga berfungsi mengalirkan sebagian cairan
jaringan.
2. DEFINISI
Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan (kanker) yang berasal
dari sistem kelenjar getah bening dan biasanya menyebar ke seluruh tubuh.
Beberapa dari limfoma ini berkembang sangat lambat (dalam beberapa tahun),
sedangkan yang lainnya menyebar dengan cepat (dalam beberapa bulan). Penyakit
ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit Hodgkin.
Limfoma malignum non-Hodgkin atau Limfoma non-Hodgkin adalah suatu
keganasan kelenjar limfoid yang bersifat padat. Limfoma nonhodgkin hanya
dikenal sebagai suatu limfadenopati lokal atau generalisata yang tidak nyeri.
Namun sekitar sepertiga dari kasus yang berasal dari tempat lain yang
mengandung jaringan limfoid ( misalnya daerah orofaring, usus, sumsum tulang,
dan kulit. Meskipun bervariasi semua bentuk limfoma mempunyai potensi untuk
menyebar dari asalnya sebagai penyebaran dari satu kelenjar kekelenjar
lain yang akhirnya menyebar ke limfa, hati, dan sumsum tulang.
3. ETIOLOGI
Etiologi belum jelas mungkin perubahan genetik karena bahan – bahan limfogenik
seperti virus EBV, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi dan sebagainya. Terdapat
beberapa fakkor resiko terjadinya LNH, antara lain :
Imunodefisiensi : 25% kelainan heredier langka yang berhubungan dengan
kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubugkan pula dengan Epstein Barr Virus
(EBV) dan jenisnya beragam.
Agen infeksius : EBV DNA ditemukan pada limfoma Burkit sporadic. Karena
tidak pada semua kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan
mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkit belum diketahui.
Paparan lingkungan dan pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang sering
dihubugkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan
pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organic.
Diet dan Paparan lsinya : Risiko LNH meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena
paparan UV4,5.
4. GEJALA KLINIS
Gejala umum penderita limfoma non-Hodgkin yaitu :
- Pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit
- Demam
- Keringat malam
- Rasa lelah yang dirasakan terus menerus
- Gangguan pencernaan dan nyeri perut
- Hilangnya nafsu makan
- Nyeri tulang
- Bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena.
berkurangnya pembentukan
antibodi
5. PATOFISIOLOGI
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya
mutasi gen pada salah satu gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua
yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat
adanya rangsangan imunogen). Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua
antara lain: 1).ukurannya semakin besar, 2).Kromatin inti menjadi lebih halus,
3).nukleolinya terlihat, 4).protein permukaan sel mengalami perubahan.
Beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin seperti infeksi virus-virus seperti virus Epstein-Berg,
Sitomegalovirus, HIV, HHV-6, defisiensi imun, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi
awalnya menyerang sel limfosit yang ada di kelenjar getah bening sehingga
sel-sel limfosit tersebut membelah secara abnormal atau terlalu cepat dan membentuk
tumor/benjolan. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar
kelenjar getah bening (ekstra nodal). Proliferasi abnormal tumor tersebut dapat
memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang.
Apabila sel tersebut menyerang Kelenjar limfe maka akan terjadi Limphadenophaty
Dampak dari proliferasi sel darah putih yang tidak terkendali, sel darah merah akan
terdesak, jumlah sel eritrosit menurun dibawah normal yang disebut anemia. Selain
itu populasi limfoblast yang sangat tinggi juga akan menekan jumlah sel trombosit
dibawah normal yang disebut trombositopenia. Bila kedua keadaan terjadi
bersamaan, hal itu akan disebut bisitopenia yang menjadi salah satu tanda kanker
darah.
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu
tempat (misalnya leher atau selangkangan)atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar
secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran
kelenjar getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan menelan.
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan
berbagai organ dan menyebabkan: gangguan pernafasan, berkurangnya nafsu
makan, sembelit berat, nyeri perut, pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukimia. Limfoma non hodgkin
lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada
anak – anak, gejala awalnya adalah masuknya sel – sel limfoma ke dalam sumsum
tulang, darah, kulit, usus, otak, dan tulang belekang; bukan pembesaran kelenjar
getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan anemia, ruam kulit dan gejala
Secara kasat mata penderita tampak pucat, badan seringkali hangat dan merasa
lemah tidak berdaya, selera makan hilang, berat badan menurun disertai
pembengkakan seluruh kelenjar getah bening : leher, ketiak, lipat paha, dll.
6. KLASIFIKASI
Ada 2klasifikasi besar penyakit ini yaitu:
Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin indolen
a.
Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin agresif kadangkala dikenal sebagai limfoma non Hodgkin
tumbuh cepat atau level tinggi.karena sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin
agresif ini tumbuh dengan cepat. Meskipun nama ‘agresif’ kedengarannya sangat
menakutkan, limfoma ini sering memberikan respon sangat baik terhadap
pengobatan. Meskipun pasien yang penyakitnya tidak berespon baik terhadap
standar pengobatan lini pertama, sering berhasil baik
dengan kemoterapi dan transplantasi sel induk. Pada kenyataannya, limfoma non Hodgkin agresif lebih mungkin mengalami kesembuhan total daripada limfoma non Hodgkin indolen.
b.
Limfoma non Hodgkin indolen
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin
tumbuh lambat atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin
indolen tumbuh hanya sangat lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak
menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak terditeksi untuk beberapa saat.
Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika pasien
mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan
pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu
pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan
terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Gejala yang paling sering adalah
pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai
gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Karena limfoma non Hodgkin indolen tumbuh
lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam
stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik : ada tumor sistem limfoid, febris keringat
Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar, faal
ginjal, LDH.
Pemeriksaan Ideal
Limfografi, IVP, Arteriografi. Foto organ yang diserang, bone – scan, CT –
scan, biopsi sunsum tulang, biopsi hepar, USG, endoskopi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan histopatologi.
Untuk LH memakai krioteria lukes dan butler (4 jenis). Untuk LNH memakai
kriteria internasional working formulation (IWF) menjadi derajat keganasan
rendah, sedang dan tinggi
Penentuan tingkat/stadium penyakit (staging)
Stadium ditentukan menurut kriteria Ann Arbor (I, II, III, IV, A, B, E)
Ada 2 macam stage : Clinical stage dan pathological stage
8. PENATALAKSANAAN
Therapy Medik
Konsultasi dengan ahli onkology medik ( di RS type A dan B)
Limfoma non hodkin derajat keganasan rendah (IWF)
Tanpa keluhan : tidak perlu therapy
Bila ada keluhan dapat diberi obat tunggal siklofosfamide dengan dosis
permulaan po tiap hari atau 1000 mg/m 2 iv selang 3 – 4 minggu.
Bila resisten dapat diberi kombinasi obat COP, dengan cara pemberian seperti
pada LH diatas
Limfona non hodgkin derajat keganasan sedang (IWF)
Untuk stadium I B, IIB, IIIA dan B, IIE A da B, terapi medik adalah sebagai
terapy utama
Untuk stadium I A, IE, IIA diberi therapy medik sebagai therapy anjuran
Minimal : seperti therapy LH
Ideal : Obat kombinasi cyclophospamide, hydrokso – epirubicin, oncovin,
prednison (CHOP) dengan dosis :
C : Cyclofosfamide 800 mg/m 2 iv hari I
H : Hydroxo – epirubicin 50 mg/ m 2 iv hari I
O : Oncovin 1,4 mg/ m 2 iv hari I
P : Prednison 60 mg/m 2 po hari ke 1 – 5
Perkiraan selang waktu pemberian adalah 3 – 4 minggu
Lymfoma non – hodgkin derajat keganasan tinggi (IWF)
Stadium IA : kemotherapy diberikan sebagai therapy adjuvant
Untuk stadium lain : kemotherapy diberikan sebagai therapy utama
Minimal : kemotherapynya seperti pada LNH derajat keganasan sedang
(CHOP)
Therapy radiasi dan bedah
Konsultasi dengan ahli radiotherapy dan ahli onkology bedah, selanjutnya
melalui yim onkology ( di RS type A dan B)
9. PROGNOSIS
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan Agresif
Lymphoma. LNH memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10
tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar
tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan
alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan
dengan kemoterapi kombinasi intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan gambaran histologik “divergen” baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.
Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup lama. Derajat
keganasan menengah: sebagian dapat disembuhkan. Derajat keganasan tinggi:
dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati.
10. KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya
- Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus dan saraf
- Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan
- Aplasia sumsum tulang
- Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
- Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
- Neuritis oleh obat vinkristin6
11. EPIDEMIOLOGI
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada usia
agak tinggi. Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe
bahkan di atas 60 tahun di seluruh dunia. Median umur penderita limfoma
non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa tipe, yaitu NHL derajat tinggi, yang
juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda. Insidensinya adalah
6 per 100.000.
12. PENCEGAHAN
Tidak ada pedoman untuk mencegah limfoma Non Hodgkin karena penyebabnya
tidak diketahui.
lagi. Kandungan lycopene, beta caroten dan alpha carotene merupakan karotenoid
yang berfungsi sebagai antioksidan yang sangat baik untuk regenerasi sel-selyang
telah mati dan menghambat radikal bebas dalam tubuh. karotenoid tersebut juga
mampu menghambat dan membunuh mutasi sel-sel kanker ini.
13. ASKEP
A.PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa
nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran
kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat
malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua
benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan
tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin
tuberkulosis limfa.
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien Limfoma antara lain :
1.Data subyektif
a.Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38Oc
b.Sering keringat malam
c.Cepat merasa lelah
d.Badan lemah
e.Mengeluh nyeri pada benjolan
f.Nafsu makan berkurang
g.Intake makan dan minum menurun, mual, muntah
2.Data Obyektif
a.Timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan pada leher, ketiak atau pangkal
paha
b.Wajah pucat
B.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan malnutrisi
2.Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap
inflamasi
3.Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
4.Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan sistem
transport oksigen terhadap perdaharan
5.Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak
6.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
7.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
8.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang kurang
9.Perubahan kenyamanan berhubungan dengan mual, muntah
10.Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis,
pengobatan dan perawatan
11.Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat,
kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber-sumber
C.RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
1.Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap
inflamasi
a.Tujuan : suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºC)
b.Intervensi :
Observasi suhu tubuh pasien
Rasional : dengan memantau suhu diharapkan diketahui keadaan sehingga dapat
mengambil tindakan yang tepat.
Anjurkan dan berikan banyak minum (sesuai kebutuhan cairan anak menurut umur)
Rasional : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga
keseimbangan cairan dalam tubuh.
Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha.
Rasional : kompres dapat membantu menurunkan suhu tubuh pasien secara
konduksi.
Anjurkan untuk memakaikan pasien pakaian tipis, longgar dan mudah menyerap
keringat.
Rasional : Dengan pakaian tersebut diharapkan dapat mencegah evaporasi
sehingga cairan tubuh menjadi seimbang.
Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Rasional : antipiretik akan menghambat pelepasan panas oleh hipotalamus.
2.Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
a.Tujuan : nyeri berkurang
b.Intervensi :
Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal
setiap 6 jam
Rasional : menentukan tindak lanjut intervensi.
Rasional : nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi,
pernafasan meningkat
Terapkan tehnik distraksi (berbincang-bincang)
Rasional : mengalihkan perhatian dari rasa nyeri
Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dan sarankan untuk mengulangi bila merasa
nyeri
Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga mengurangi
penekanan dan nyeri.
Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman
Rasional : mengurangi keteganagan area nyeri.
Kolaborasi dalam pemberian analgetika.
Rasional : analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan
penghilangan nyeri.
3.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
a.Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
b.Intervensi :
Beri makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, evaluasi keadequatan
rencana nutrisi
Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional : meningkatkan keinginan pasien untuk makan sehingga kebutuhan kalori
terpenuhi
Ciptakan lingkungan yang nyaman saat makan
Rasional : suasana yang nyaman membantu pasien untuk meningkatkan keinginan
untuk makan
Beri HE tentang manfaat asupan nutrisi
Rasional : makanan menyediakan kebutuhan kalori untuk tubuh dan dapat
membantu proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh
4.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
a.Tujuan : aktivitas dapat ditingkatkan
b.Intervensi :
Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, peningkatan kelemahan/kelelahan dan
perubahan tanda-tanda vital selama dan setelah aktivitas
Rasional : menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan
kebutuhan oksigen
Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional : membantu dan memenuhi ADL pasien
Beri aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan
kebutuhan oksigen).
5.Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis,
pengobatan dan perawatan
a.Tujuan : pasien tidak cemas/berkurang
b.Intervensi
Kaji dan pantau tanda ansietas yang terjadi
Rasional ketakutan dapat terjadi karena kurangnya informasi tentang prosedur yang
akan dilakukan, tidak tahu tentang penyakit dan keadaannya
Jelaskan prosedur tindakan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman pasien.
Rasional : memberikan informasi kepada pasien tentang prosedur tindakan akan
meningkatkan pemahaman pasien tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi
masalahnya
Diskusikan ketegangan dan harapan pasien.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
Perkuat faktor-faktor pendukung untuk mengurangi ansiates.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
D.Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan limfoma maligna
dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat
E.Evaluasi
Setelah dilakukan pelaksanaan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah :
1.Suhu badan dalam batas normal ( 36 – 37,5ºc)
2.Nyeri berkurang
3.kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.Aktivitas dapat ditingkatkan/ADL pasien terpenuhi
5.Pasien tidak cemas/berkurang
14. ASPEK LEGAL ETIS
• Autonomy (penentu pilihan)
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil
keputusan sendiri. Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari
• Non Maleficence (do no harm)
Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya
bagi kliennya. Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik
keperawatan. Bahaya dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko
membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.
• Beneficence (do good)
Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk
melakukan dengan baik, yaitu, mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan
klien dan keluarga.
• Justice (perlakuan adil)
Perawat sering mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.
• Fidelity (setia)
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh
seseorang.
15.
PENDKES
SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema : Penyakit Limfoma Non Hodgkin
Sub Tema : Perawatan Limfoma Non Hodgkin
Sasaran : Ny. E
Tempat : Bangsal Di rumah sakit
Hari/Tanggal : Rabu, 14 Oktober 2012
Waktu : 20 Menit
A.
Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Ny.
E dapat menjelaskan
Limfoma Non Hodgkin.
B.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Klien Dapat:
Menjelaskan patofisiologi
Limfoma Non Hodgkin
Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit
Limfoma NonF.
Media
1.
Leaflet : Tentang penyakit
Limfoma Non Hodgkin2.
Poster tentang penyakit Limfoma Non HodgkinG.
Sumber/Referensi
a.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c.
FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
d.
Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
H.
Evaluasi
Formatif :
Klien dapat menjelaskan pengertian Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin
Sumatif :
Klien dapat memahami penyakit
Limfoma Non HodgkinYogyakarta, Rabu 13 Oktober 2012
Penyuluh
(Windayona Hadi Prasetya)
16.
JURNAL
Non-Hodgkin lymphoma response evaluation
with MRI
texture
classification
Lara CV Harrison1,2*, Tiina Luukkaala3,4, Hannu Pertovaara5, Tuomas O
Saarinen1,Tomi T Heinonen2,6, Ritva Järvenpää6, Seppo Soimakallio1,6,
Pirkko-Liisa I Kellokumpu-Lehtinen1,5, Hannu J Eskola2,6 and Prasun Dastidar1,2,6
Abstract
To show magnetic resonance imaging (MRI) texture appearance change in
non-Hodgkin lymphoma (NHL) during treatment with response controlled by quantitative
volume analysis. Methods
A total of 19 patients having NHL with an evaluable lymphoma lesion were scanned
at three imaging timepoints with 1.5T device during clinical treatment evaluation.
Texture characteristics of images were analyzed and classified with MaZda
application and statistical tests. Results
NHL tissue MRI texture imaged before treatment and under chemotherapy was
classified within several subgroups, showing best discrimination with 96% correct
classification in non-linear discriminant analysis of T2-weighted images.
Texture parameters of MRI data were successfully tested with statistical tests to
assess the impact of the separability of the parameters in evaluating chemotherapy
response in lymphoma tissue. Conclusion
Texture characteristics of MRI data were classified successfully; this proved texture
analysis to be potential quantitative means of representing lymphoma tissue changes
during chemotherapy response monitoring.
Background
Quantitative image analysis may provide new clinically relevant information on the
target of interest, constituting a major advantage in clinical work as well as in
research. The most significant objectives in quantitative image analysis are to find
tissue-characterizing features with biological significance and which correlate with
pathophysiology detected by other methods, i.e. clinical examination, other imaging
modalities and pathological-anatomical diagnosis, and secondly to provide this new
information on the properties of tissues to be used alone or in combination with other
clinical information allowing more reliable detection of disease and sophisticated
tissue classification as a clinical diagnostic and follow-up tool.
Precise and earlier diagnostics and monitoring treatment response are significant
both for the individual patient's prognosis and on a larger scale in developing
treatment procedures, especially in malignant diseases. Within the research on solid
tumors extensive and widely used Response Evaluation Criteria in Solid Tumors
(RECIST) Guidelines may be followed to obtain intra- and inter center comparable
results. RECIST defines measurability of tumor lesions and specifies methods of
measure of tumor response from radiological images is done by measuring lesions
one-dimensionally, furthermore the World Health Organization (WHO) criteria use
two dimensional analysis and several research groups volumetric three-dimensional
analysis [2].
Staging of non-Hodgkin's lymphomas (NHL) is the key element of treatment planning
for this heterogeneous group of malignancies. A variety of diagnostic tools, including
biopsies, computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), 18
F-fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) or molecular markers
are used in pre-treatment staging [3]. Enhancement with contrast media could also
help the evaluation in using different imaging modalities. The same tools are applied
to evaluate the response to different types of treatment. Novel techniques such as
hybrid positron emission tomography – computed tomography (PET-CT) imaging and
new PET tracers like 18F-fluoro-thymidine (18F-FLT) may increase the sensitivity of
response assessment [4]. Reports aiming international standardization of clinical
response criteria for NHL have been published [5,6], and these criteria are in wide
clinical use. A combination of cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine and
prednisone (CHOP) remains the mainstay of therapy. The addition of a
chimeric-anti-CD20 immunoglobulin G1 monoclonal antibody, rituximab (Mabthera®), has resulted
in a dramatic improvement in the outcome of the most common NHL, diffuse large
B-cell lymphoma, but has also been shown to effective in other type of B-B-cell
lymphomas [7-9].
Several quantitative MRI studies have indicated that texture analysis (TA) has the
ability to detect differences between tissues and subtle changes between disease
burden and normal tissue. Successful applications of TA have been reported from
studying neurological diseases [10-15], brain tumors [16,17], amygdale
activation [18], muscles [19,20], trabecular bone [21-23], liver[24-26], breast
cancer [27-31] and lymphomas [32].
In this paper we report the ability of TA to detect changes in NHL solid tissue masses
during chemotherapy. The change in texture appearance is controlled by quantitative
volumetric analysis. We classify statistical, autoregressive (AR-) model and wavelet
texture parameters representing pre-treatment and two under chemotherapy stages
of tumors with four analyses: raw data analysis (RDA), principal component analysis
(PCA), linear (LDA) and non-linear discriminant analysis (NDA). The final objective is
to show that these texture parameters of MRI data can be successfully tested with
Wilcoxon paired test and Repeatability and Reproducibility (R&R) test for assess the
impact of the parameters usability in evaluating chemotherapy response in
lymphoma tissue.
Tumor Response Evaluation (TRE) is a wide prospective clinical project ongoing at
our university hospital on cancer patients, where tumor response to treatment is
evaluated and followed up using simultaneously CT, MRI and PET imaging methods.
Clinical responses for these lymphoma patients were assessed according to the
guidelines of the international working group response criteria. In this texture analysis
study, as a part of extensive project, the focus was on quantitative imaging methods
and only the response in predefined solid NHL masses was evaluated. The ethics
committee of the hospital approved the study and participants provided written
informed consent. Primary inclusion criteria were NHL patients with at least one bulky
lesion (over 3 centimeters) coming for curative aimed treatment. Exclusion criteria
were central nervous disease, congestive heart failure New York Heart Association
Classification (NYHA) III-IV, serious psychiatric disease, HIV infection and
pregnancy.
Daftar Pustaka :