Pemanfaatan tepung testis sapi sebagai hormon alami pada
penjantanan ikan cupang,
Betta splendens
Regan, 1910
[
Cow
’s testicles
flour as the natural hormone masculinization of
Siamese fighting fish,
Betta splendens
Regan, 1910]
Andi Aliah Hidayani
, Yushinta Fujaya, Dody Dharmawan Trijuno, Siti Aslamyah
Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin KampusTamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar, 90245
Diterima: 27 Agustus 2015; Disetujui: 12 Januari 2016
Abstrak
Ikan Cupang, Betta splendens jantan merupakan ikan hias yang memiliki keindahan warna tubuh serta keunikan bentuk sirip sehingga sangat diminati oleh pecinta ikan hias. Penelitian ini bertujuan melakukan pembalikan kelamin dengan menjantankan ikan cupang yang diproduksi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu: tahap pertama dengan meren-dam larva ikan cupang berumur empat hari ke dalam larutan tepung testis sapi dengan dosis berbeda, dan tahap ke dua dengan lama perendaman berbeda. Dosis testis yang diuji terdiri atas lima tingkatan yaitu 0 mg L-1, 20 mg L-1, 40 mgL-1 60 mg L-1,dan 80 mg L-1. Lama perendaman yang diuji adalah: 0 jam, 24 jam, 36 jam, 48 jam, dan 60 jam. Parameter yang diukur adalah persentase ikan jantan yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ikan berke-lamin jantan tertinggi diperoleh pada dosis 60 mg L-1 dan lama waktu perendaman 24 jam dengan nilai persentasi ber-turut-turut 88,5% dan 87,5%. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa teknologi penjantanan melalui peren-daman dalam larutan testis sapi dapat dilakukan pada larva ikan cupang. Teknologi ini mudah dilakukan sehingga pembudidaya dapat menggunakan tepung testis sapi untuk menjantankan ikan cupang produksinya.
Kata penting: ikan cupang, testis sapi, penjantanan, hormon
Abstract
Siamese fighting fish, Betta splendens male is a lovely color ornamental fish with unique shape fins that make it highly demand by the ornamental fish lovers. This study aims to perform sex reversal with masculinization fish production. The study was carried out in two stages i.e.: stage 1 by soaking the 4 days old fish larvae into a solution of cow testicles flour with different doses, stage 2 with different soaking time. Testicular dose tested consists of five levels i.e.: 0 mg L -1, 20 mg L-1, 40 mg L-1, 60 mg L-1,and 80 mg L-1. Time immersions tested were: 0 hours, 24 hours, 36 hours, 48 hours and 60 hours. The measured parameter was the percentage of male fish produced. The results showed the highest per-centtage of male fish obtained at a dose of 60 mg L-1 and a 24-hour soaking time with a percentage value respectively 88.5% and 87.5%. The study provided information that masculinization technology in a solution of cow testicles appli-cable for fish larvae. This technology is easy to do so that farmers can use cow's testicles flour for masculinization for their fish production.
Keywords: Siamese fighting fish, cow testis, masculinization, hormone
Pendahuluan
Ikan cupang (Betta splendens) jantan
me-rupakan ikan hias yang bernilai ekonomis tinggi
karena memiliki keistimewaan seperti keindahan
warna tubuh dan keunikan bentuk sirip sehingga
sangat diminati oleh pencinta ikan hias. Ikan ini
dapat digunakan sebagai ikan laga (fighting fish)
karena sangat agresif dan memiliki kebiasaan
sa-ling menyerang jika ditempatkan dalam satu wa-
dah (Dewantoro 2001). Permintaan terhadap
je-nis ikan cupang jantan semakin meningkat
bela-kangan ini sehingga perlu dicari suatu metode
yang dapat menghasilkan keturunan jantan secara
massal (Purwati et al. 2004).
Salah satu teknik yang dapat digunakan
untuk memproduksi benih ikan kelamin tunggal
(monosex) jantan adalah melalui pembalikan
ke-lamin (sex reversal) (Muslim 2011), yang
mene-rapkan rekayasa hormonal untuk mengubah
ka-rakter seksual betina ke jantan (maskulinisasi/
penjantanan) atau dari jantan menjadi betina (fe- Penulis korespondensi
minisasi) (Mardiana 2009). Hormon jantan
ste-roid yang umum digunakan adalah hormon 17α
-metiltestosterone. Namun, hormon ini
merupa-kan salah satu steroid sintetik yang dilarang
penggunaannya dalam kegiatan akuakultur pada
hewan yang diberi perlakuan. Hormon sintetik
seperti metiltestosteron yang dapat dimanfaatkan
untuk penjantanan, mempunyai kelemahan yaitu
sulit terurai di dalam tubuh, bersifat
karsinoge-nik, mencemari lingkungan, dan kadang
menim-bulkan efek samping yang tidak diinginkan
(Ria-ni et al. 2010). Selain itu harga hormon ini relatif
mahal dan sulit untuk diperoleh. Melihat
perma-salahan tersebut, diperlukan penggunaan bahan
alternatif lain yang aman dan ramah lingkungan
dalam proses pembalikan kelamin. Salah satu
ca-ra yang dianggap aman adalah penggunaan
ba-han alami seperti madu (Damayanti et al. 2013),
teripang pasir (Riani et al. 2010), ekstrak
purwo-ceng (Arfah et al. 2013) atau tepung testis sapi
(Muslim et al. 2011).
Tepung testis sapi merupakan bahan alami
yang sering digunakan dalam proses penjantanan
ikan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
de-ngan menggunakan testis sapi menunjukkan
tes-tis sapi mengandung hormon testosteron alami
yang sangat tinggi. Selain itu tepung testis sapi
mudah didapat, harga relatif murah dan
ukuran-nya besar (Muslim 2011). Pemberian hormon
yang berasal dari testis sapi pada fase awal
per-tumbuhan gonad ketika diferensiasi kelamin
be-lum terarah. Namun demikian, bila diintervensi
dengan bahan-bahan tertentu seperti tepung testis
sapi maka perkembangan gonad dapat
berlang-sung berlawanan dengan seharusnya (Zairin Jr
2002).
Faktor lain yang memengaruhi
keberhasil-an pengarahkeberhasil-an diferensiasi kelamin adalah dosis
hormon dan lama perlakuan. Untuk memperoleh
perendaman yang efektif maka perlu
diperhati-kan hubungan antara dosis hormon dan lama
per-lakuan. Perendaman dengan menggunakan dosis
tinggi membutuhkan waktu perendaman yang
le-bih singkat, dan sebaliknya perendaman dengan
menggunakan dosis yang rendah membutuhkan
waktu perendaman yang lama. Oleh karena itu
perlu diketahui lama perendaman yang efektif
agar dapat menjamin keberhasilan pengarahan
diferensiasi kelamin ikan cupang (Purwati et al.
2004). Penelitian ini bertujuan untuk
menganali-sis domenganali-sis hormon dan lama perlakuan tepung
tes-tis sapi terhadap proses penjantanan ikan cupang
melalui perendaman embrio.
Bahan dan metode
Waktu dan tempat
Penelitian ini dilaksanakan di F11 Betta
Farm Makassar dan Hatchery Fakultas Ilmu
Ke-lautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
pa-da bulan Mei sampai Juli 2014. Pembuatan
tepung testis sapi dilakukan di laboratorium
Ju-rusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung
Pandang.
Rancangan percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Faktor yang
diuji adalah perbedaan dosis perendaman dan
la-ma waktu perendala-man dengan la-masing-la-masing
lima taraf perlakuan yaitu untuk dosis
peren-daman: 0 mg L-1 (kontrol); 20 mg L-1; 40 mg L-1;
60 mg L-1dan 80 mg L-1; sedangkan untuk lama
perendaman: 0 jam (tanpa perendaman); 24 jam;
36 jam; 48 jam, dan 60 jam. Masing-masing
per-lakuan dengan tiga ulangan. Ikan uji yang
digu-nakan adalah larva ikan cupang berumur empat
hari berasal dari tiga pasang induk yang dipilih
secara acak yang dipijahkan secara alami dalam
adalah 30 ekor larva sehingga diperlukan
seba-nyak 450 ekor larva.
Pembuatan tepung testis sapi dan proses
peren-daman larva
Tepung testis sapi dibuat dengan cara
menguliti testis segar, kemudian dibelah
meman-jang, lalu dibuka kulit dalam, dicacah atau
dipo-tong-potong kecil, setelah itu dimasukkan ke
da-lam tabung, dibekukan dada-lam freezer (24 jam),
tabung dipasang pada freeze dry selama 24 jam
pada suhu -75oC dan tekanan -0,1 Mpa. Setelah
kering testis diblender, lalu diayak dengan
sa-ringan halus (0,42 mm). Tepung siap digunakan
untuk proses pembalikan kelamin pada ikan
cu-pang.
Pembuatan wadah perendaman dilakukan
dengan cara melarutkan tepung testis sapi dengan
larutan metil alkohol sebanyak 50% dari total
vo-lume ke dalam masih-masing toples yang telah
diisi 1 liter air, kemudian diberi aerator agar
te-pung testis sapi larut dalam air. Media
perendam-an yperendam-ang digunakperendam-an sebperendam-anyak 15 buah.
Perendam-an benih dalam larutPerendam-an tepung testis sapi
dilaku-kan melalui dua tahap yaitu tahap pertama
de-ngan dosis perendaman 0 mg L-1 (kontrol), 20
mg L-1, 40 mg L-1, 60 mg L-1, 80 mg L-1selama
24 jam; tahap kedua lama perendaman 0 jam, 24
jam, 36 jam, 48 jam dan 60 jam dengan dosis 60
mg L-1.
Setelah melalui proses perendaman, benih
ikan cupang dipelihara masing-masing dalam
akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 25 cm
se-banyak 12 buah. Sebelum digunakan, akuarium
untuk pemeliharaan dicuci terlebih dahulu agar
bebas dari kotoran, kemudian dibilas dengan air
bersih, kemudian pada masing-masing akuarium
diisi dengan air bersih yang telah diendapkan
se-lama 24 jam sebelumnya. Sese-lama masa
pemeli-haraan, anak ikan cupang diberi pakan naupli
ar-temia dan kutu air dengan frekuensi 2-3 kali
se-hari. Untuk menjaga kualitas air di dalam
akua-rium tetap stabil, dilakukan penyiponan
kotoran-kotoran ikan selama masa pemeliharaan.
Penyi-ponan sisa-sisa pakan dilakukan setiap hari
diser-tai penggantian air sekitar 20-30%. Pemeliharaan
anak ikan cupang dilakukan hingga berumur 45
hingga 60 hari.
Identifikasi jenis kelamin ikan uji
Identifikasi jenis kelamin anak ikan
cu-pang dapat dilakukan setelah larva berumur
45-60 hari. Pengamatan dilakukan secara morfologis
dengan melihat ciri fisik anak ikan cupang. Ikan
jantan dapat dikenali dengan memiliki warna
yang lebih cerah, sirip anal yang lebih panjang,
ukuran tubuh lebih besar, dan jika diamati dari
arah dorsal terlihat ramping. Ikan betina dicirikan
dengan adanya bintik putih di sekitar anal, warna
kurang cerah, dan sirip anal yang lebih pendek.
Selain itu ikan jantan akan lebih terlihat agresif
dibandingkan dengan ikan betina.
Parameter penelitian
Parameter yang diamati adalah proporsi
jenis kelamin anak ikan cupang setelah diberikan
ekstrak tepung testis sapi. Pengamatan terhadap
jenis kelamin anak ikan cupang dilakukan secara
morfologis dengan melihat ciri fisik ikan.
Persen-tase individu jantan dihitung dengan rumus:
% Jantan = (jumlah jantan/jumlah total ikan) x
100
Kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan
menggunakan rumus:
SR (%) = (jumlah ikan yang hidup/jumlah total
ikan) x 100
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan
ditemukan adanya pengaruh yang signifikan
dila-kukan uji lanjut Tuckey untuk menentukan dosis
dan lama perendaman terbaik. Penentuan dosis
optimum menggunakan uji analisis regresi
kua-dratik (Steel & Torrie 1993).
Hasil
Nisbah kelamin jantan
Persentase jenis kelamin ikan jantan yang
menggunakan dosis berbeda dapat dilihat pada
Gambar 1. Pada gambar tersebut diperlihatkan
persentase jenis kelamin ikan jantan dari hasil
perendaman embrio dengan menggunakan
te-pung testis sapi, yaitu 40,72%; 68,86%; 83,40%;
88,50%, dan 74,38% untuk dosis perlakuan
ma-sing-masing 0 mg L-1 (kontrol), 20 mg L-1, 40 mg
L-1, 60 mg L-1 dan 80 mg L-1. Dibandingkan
ngan dosis lain, persentase kelamin jantan
de-ngan menggunakan dosis 60 mg L-1 yang
diren-dam selama 24 jam menunjukkan hasil yang
pa-ling tinggi (88,50%).
Gambar 1. Persentase ikan cupang jantan dengan dosis berbeda yang direndam selama 24 jam 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
P
er
sent
a
se
Ik
a
n
J
a
nta
n
(%)
Dosis Hormon (mg L-1) 40,72
68,86
83,40 88,55
Gambar 2. Persentase ikan cupang jantan dengan menggunakan waktu perlakuan yang berbeda dengan menggunakan dosis 60 mg L-1.
Persentase jenis kelamin ikan jantan dengan
menggunakan waktu perendaman yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil perendaman
embrio menggunakan tepung testis sapi dengan
perlakuan waktu perendaman pada 0 jam
(kon-trol), 24 jam, 36 jam, 48 jam dan 60 jam
meng-hasilkan persentase jenis kelamin ikan jantan
40,54%; 87,55%; 84,89%; 64,79% dan 39,81%
berturut-turut. Persentase ikan Cupang
berkela-min jantan tertinggi dicapai pada perlakuan
dengan waktu perendaman 24 jam yaitu 87,55%
(Gambar 2).
Hasil perhitungan analisis regresi
kua-dratik menunjukkan bahwa antara dosis
peren-daman dengan tepung testis sapi terhadap
per-sentase jantan ikan cupang membentuk suatu
kurva parabolik dengan persamaan y = -0,0168x2
+ 1,7771x + 40,357 (Gambar 3). Hasil
perhitung-an perhitung-analisis regresi kuadratik perhitung-antara lama waktu
perendaman dengan tepung testis sapi
menunjuk-kan suatu kurva parabolik dengan persamaan y =
-0,052x2 + 3,093x + 41,26 (Gambar 4). Kedua
kurva tersebut menunjukkan satu titik optimum
yang menghasilkan persentase ikan cupang
jan-tan tertinggi.
Tingkat kelangsungan hidup ikan cupang
Tingkat kelangsungan hidup ikan cupang
selama pemeliharaan dengan menggunakan dosis
yang berbeda didapatkan data berkisar antara
91,11-96,67% (Gambar 5), sedangkan dengan
menggunakan waktu perendaman yang berbeda
berkisar antara 92,22-97,78% (Gambar 6). Hasil
ini menunjukkan bahwa di antara perlakuan dosis
dan lama perendaman yang berbeda tidak
berpe-ngaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan
cupang. Tidak berpengaruhnya tepung testis sapi
terhadap kelangsungan hidup ikan cupang selama
perendaman membuktikan bahwa tepung testis
sapi tidak bersifat toksik (racun) pada ikan
cupang. 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kontrol 24 36 48 60
P
e
rsen
tase
i
kan
j
an
tan
(
%
)
Waktu Perendaman (Jam)
84,89
64,79
39,81 40,54
Gambar 3. Kurva parabolik dosis konsentrasi tepung testis sapi terhadap persentase ikan cupang jantan
Gambar 4. Kurva parabolik dosis lama perendaman tepung testis sapi terhadap persentase ikan cupang jantan
Gambar 5.Persentase ikan cupangyang hidup dengan pemberian tepung testis sapi pada dosis yang berbeda.
40.72
68,86
83,40 88,50
74,38
y = -0,0168x2 + 1,7771x + 40,357 R² = 0,9957
0 20 40 60 80 100
0 20 40 60 80 100
P
er
sent
a
se
ik
a
n
ja
nt
a
n
(%)
Dosis hormon (mg L-1)
88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
0 20 40 60 80
%
T
ing
k
a
t
k
ela
ng
sun
g
a
n
hid
up
Dosis hormon (mg L-1)
92,22
94,44
96,67
Gambar 6.Persentase ikan cupangyang hidup dengan pemberian tepung testis sapi dengan perlakuan waktu perendaman yang berbeda
Pembahasan
Nisbah kelamin jantan
Berdasarkan hasil penelitian, ada
kecen-derungan bahwa semakin tinggi dosis yang
dibe-rikan hingga 60 mg L-1 tepung testis sapi akan
se-makin tinggi persentase kelamin jantan yang
di-hasilkan. Namun, jika dosis telah melebihi 60 mg
L-1, pembentukan kelamin jantan pada ikan
cu-pang mulai menurun. Diduga perendaman tepung
testis sapi 60 mg L-1 merupakan dosis yang
opti-mal dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga
memberikan efek penjantanan yang maksimal
di-bandingkan perlakuan yang lain. Hal ini terjadi
karena dosis hormon steroid yang tepat pada
te-pung testis sapi mampu mempercepat
pemben-tukan gonad jantan yang kemudian akan
berkem-bang menjadi testis sehingga akan menghasilkan
ikan berfenotip jantan lebih banyak dibandingkan
ikan berfenotip betina (Zairin Jr 2002). Penelitian
yang serupa juga dilakukan oleh Irmasari et al.
(2012) pada ikan nila dengan dosis 3 mg L-1
de-ngan waktu perendaman selama 8 jam
mengha-silkan ikan jantan sebesar 69,07%. Bahan aktif
lain yang umum digunakan dalam proses
penjan-tanan ikan cupang adalah tepung teripang dan
ekstrak Purwoceng. Tepung teripang dengan
dosis 30 mg L-1, lama perendaman 6 jam dan
pe-meliharaan selama 55 hari dapat menghasilkan
ikan jantan sebesar 66,66% (Yustina et al. 2012),
sedangkan pada ekstrak purwoceng dengan dosis
20 mg L-1 menghasilkan ikan jantan sebesar
62,22% , lama perendaman 8 jam dan
pemeliha-raan selama 87 hari (Arfah et al. 2013).
Pemberian dosis tepung testis sapi harus
tepat dalam proses pembalikan kelamin karena
jika dosis yang digunakan terlalu rendah
menye-babkan proses pembalikan kelamin berlangsung
kurang sempurna dan menyebabkan
terbentuk-nya individu interseks, namun dosis yang tinggi
juga menyebabkan efek kebalikan dari populasi
yang diharapkan dan terbentuknya individu steril
(Muslim 2011). Penggunaan dosis hormon
tes-tosterone yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya efek paradoxial yaitu ikan yang diberi
perlakuan dengan testosteron tidak dapat
meningkatkan jumlah kelamin jantan melainkan
peningkatan jenis kelamin betina (Piferrer &
Donaldson 1989).
Selain faktor dosis, keberhasilan pada
pengarahan kelamin juga dipengaruhi oleh waktu
pemberian hormon. Waktu pemberian hormon
yang tepat sangat menunjang keberhasilan pem-89
Kontrol 24 36 48 60
balikan kelamin. Ada tiga cara pemberian
hor-mon yang dapat dilakukan untuk perubahan jenis
kelamin, yaitu: melalui penyuntikan,
perendam-an, dan pakan. Pandian & Sheela (1995)
menya-takan bahwa perlakuan melalui oral dan
peren-daman untuk maskulinisasi atau feminisasi
meru-pakan metode yang terbaik dalam pemanfaatan
hormon steroid. Pemberian hormon dengan cara
perendaman pada stadia larva dimulai ketika
ku-ning telur sudah habis. Cara ini diyakini sangat
efektif karena mudah menyiapkan hormonnya
dan tidak memerlukan waktu yang lama. Diduga
bahwa stadia larva masih berada pada fase labil
sehingga mudah dipengaruhi oleh rangsangan
da-ri luar, serta pada fase larva, gonad belum
terdi-ferensiasi seks, apakah jantan atau betina
(Suhen-dar 1997). Selain itu, stadia ini juga merupakan
fase bintik mata yang diduga merupakan fase
pa-ling efektif untuk melakukan kegiatan
pengarah-an kelamin. Karena pada fase ini perkembpengarah-angpengarah-an
otak masih labil sehingga mudah untuk
diarah-kan (Martati 2006). Fase bintik mata embrio
di-anggap telah kuat untuk menerima perlakuan
(Zairin Jr 2002), sehingga dapat mengurangi
re-siko gagal menetas. Menurut Kwon et al. (2000),
masa diferensiasi ikan terjadi hingga 30 hari
sete-lah menetas.
Perendaman embrio dengan tepung testis
sapi dosis 60 mg L-1 selama 24 jam menunjukkan
persentase jenis kelamin jantan yang sangat
ting-gi. Kondisi ini berarti hormon bekerja dengan
ba-ik pada perlakuan 24 jam, dan sudah
memenga-ruhi diferensiasi seks ke arah jantan. Pada
perla-kuan 60 jam terjadi penurunan yang sangat
dras-tis, diduga akibat lamanya perendamanan terjadi
efek paradoxial feminization yaitu hasil yang
di-peroleh bukan peningkatan jumlah kelamin
jan-tan melainkan peningkajan-tan jumlah ikan betina
(Mantau 2005). Beberapa penelitian
menunjuk-kan bahwa lama waktu perendaman berpengaruh
terhadap keberhasilan penjantanan ikan. Menurut
Iskandar (1996), perendaman larva ikan nila di
dalam ekstrak tepung testis sapi selama 8 jam
berpengaruh nyata terhadap persentase ikan nila
jantan yang diperoleh sebesar 85,56%.
Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari
kajian proses pembalikan kelamin yang
dilaku-kan, dosis atau konsentrasi, waktu dan lama
perendaman merupakan faktor penting yang
menunjang keberhasilan pengubahan jenis
kelamin pada ikan (Zairin Jr. 2002). Terdapat
hubungan terbalik antara tingkat dosis dan lama
perendaman sehingga untuk dosis yang lebih
tinggi perendamannya lebih singkat dan untuk
dosis yang lebih rendah perendamannya lebih
la-ma (Hunter & Donaldson 1983). Masuknya
hor-mon ke dalam tubuh larva diduga melalui proses
osmosis. Dosis hormon dalam media
pemelihara-an lebih tinggi daripada dosis hormon di dalam
tubuh larva itu sendiri, sehingga hormon di
da-lam media masuk secara difusi ke dada-lam tubuh
larva. Semakin lama perendaman maka semakin
banyak hormon yang masuk dan memengaruhi
gonad (Irmasari et al. 2012). Hormon dengan
dosis yang tinggi dengan waktu perendaman
le-bih lama dapat menyebabkan stres pada larva dan
menimbulkan kematian (Purwati et al. 2004).
Tingkat kelangsungan hidup
Selama masa pemeliharaan tingkat
kelang-sungan hidup ikan cupang dalam parameter dosis
dan waktu perendaman cukup baik. Hal ini
dise-babkan oleh penanganan selama penelitian yang
baik, seperti pemberian ukuran pakan yang kecil
yang cocok dengan bukaan mulut larva ikan
cu-pang, mengurangi goncangan pada saat
pemin-dahan larva ke bak pemeliharaan sehingga tidak
menyebabkan larva mengalami stres, serta
men-jaga suhu air tetap optimal bagi ikan cupang
dras-tis dapat membuat ikan mengalami stres dan
mati.
Namun setiap perlakuan menunjukkan
tingkat kelangsungan hidup ikan yang
berbeda-beda. Perlakuan kontrol pada dosis yang berbeda,
tingkat kelangsungan hidup ikan cukup tinggi
(95,56%), namun terjadi penurunan pada
perla-kuan dosis 20 mg L-1 (92,22%), 40 mg L-1
(94,44%), dan 80 mg L-1 (91,11%); sedangkan
pada perlakuan lama perendaman tidak terjadi
perbedaan yang terlalu besar antara larva yang
direndam tanpa larutan testis sapi dengan larva
yang direndam dalam larutan testis sapi.
Perbe-daan hasil yang diperoleh ini dipengaruhi oleh
perendaman larva dengan larutan yang
mengan-dung alkohol yang digunakan untuk melarutkan
tepung testis sapi dengan air pada perlakuan.
Ha-sil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yustina et al. (2012) yang
men-dapatkan hasil tingkat kelangsungan hidup antara
54-58% menggunakan larutan alkohol dalam
me-larutkan ekstrak tepung teripang pada proses
penjantanan ikan cupang. Menurut Hakim
(2008), meskipun dalam jumlah yang sangat
se-dikit alkohol dapat menyebabkan kematian
apa-bila perendaman dilakukan dalam waktu yang
cukup lama.
Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi
pada ikan cupang diperlihatkan pada perlakuan
dosis 60 mg L-1 (96,67%) dan perlakuan lama
pe-rendaman 24 jam (97,78%). Kelangsungan hidup
yang tinggi ini diduga dipengaruhi oleh adanya
kandungan bahan lain yang terdapat di dalam
te-pung testis sapi. Tete-pung testis sapi mengandung
berbagai macam asam amino esensial dan non
esensial serta mengandung asam lemak jenuh
dan tak jenuh (Odin et al. 2011). Asam amino
tersebut antara lain arginin, histidin, isoleusin,
leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin dan
valin, sedangkan non esensialnya antara lain
as-partat, alanin, glutamat, glisin, prolin, serin,
sis-tein dan tirosin. Asam amino arginin, histidin,
leusin, glutamat, glisin, prolin, serin dan tirosin
sangat berguna dalam pembentukan hormon
an-drogen yaitu testosteron yang berperan dalam
pe-ningkatan libido maupun pembentukan
sperma-tozoa.
Menurut Hafez (1987), asam amino
seba-gai hormon yang merangsang pembentukan
hor-mon steroid diantaranya testosteron dan
merang-sang spermatogenesis, sedangkan leusin merang-sangat
berguna dalam sintesis protein pada
pembentuk-an otot. Fulierton (1980) menjelaskpembentuk-an bahwa,
se-lain mempunyai sifat androgenik, testosteron
ter-nyata mempunyai sifat anabolik, yaitu dapat
me-macu pertumbuhan otot. Tepung testis sapi
mengandung hormon androgen yang sama
se-hingga memiliki sifat anabolik yang mampu
me-rangsang pertumbuhan, bertanggung jawab
ter-hadap penampakan karakter dan fungsi kelamin
jantan.
Hasil kelangsungan hidup akhir ikan
cu-pang dalam penelitian ini lebih tinggi
dibanding-kan hasil penelitian pada idibanding-kan nila yang
dilaku-kan Isdilaku-kandar (1996) sebesar 45-68% dan Meyer
et al. (2008) sebesar 40,2%, menggunakan testis
sapi segar; Murni (2005) sebesar 80%
rnenggu-nakan testis sapi yang dikeringkan dengan cara
dioven, Bombata & Somatun (2008) sebesar 65%
dengan menggunakan testis kambing, dan pada
ikan cupang dengan menggunakan tepung
teri-pang (54%) (Yustina et al. 2012).
Tingginya tingkat kelangsungan hidup
se-telah diberikan konsentrasi tepung testis sapi
di-duga karena tingginya kandungan protein dalam
tepung testis sapi yaitu 76,56%. Seperti
dikemu-kakan Irmasari et al. (2012) dalam penelitiannya
menemukan bahwa kandungan protein dalam
tepung testis sapi mencapai 76,26-77,08%.
dibandingkan testis kambing sebesar 47,33%
(Bombata & Somatun 2008). Hal ini dapat
dicapai apabila pembuatan tepung testis sapi
menggunakan testis sapi dalam kondisi yang
segar dan langsung disimpan dalam freezer dan
dibuat tepung dalam kondisi segar dengan
meng-gunakan mesin freeze dry.
Dibandingkan dengan penggunaan
hor-mon 17α-metiltestosteron yang bersifat sintentik,
hormon testis sapi lebih aman digunakan karena
berasal dari bahan alami. Dari penelitian Yustina
et al. (2012), penggunaan hormon 17α
-metiltes-tosteron pada ikan cupang melalui metode
peren-daman menghasilkan kelangsungan hidup yang
sangat rendah sebesar 14,66%. Hal ini karena
hormon 17α-metiltestosteron yang merupakan
hormon sintetik memberi efek toksik terhadap
larva ikan cupang. Efek toksik diakibatkan oleh
terhadap sistem antibodi, yaitu pada awalnya
da-pat merangsang pembentukan antibodi, tetapi
efek selanjutnya adalah menghambat reaksi
imun. Pemberian bahan sintetis dalam waktu
la-ma walaupun dalam dosis rendah, dapat
meru-sak kemampuan sel imun untuk memperbanyak
diri (proliferasi) (Connell & Miller 2006).
Simpulan
Tepung testis sapi yang diberikan pada
larva uji melalui metode perendaman, efektif
un-tuk penjantanan ikan cupang (Betta splendens).
Tepung testis sapi dengan dosis 80 mg L-1 yang
diberikan selama 24 jam mampu meningkatkan
ikan jantan dari 40% menjadi 88%. Pemberian
tepung testis sapi tidak memengaruhi tingkat
ke-langsungan hidup ikan uji.
Persantunan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Muh. Fariz Z. Ali untuk penyediaan embrio ikan
cupang dan fasilitas pemeliharaan.
Daftar pustaka
Arfah H, Soelistyowati DT, Bulkini A. 2013. Maskulinisasi ikan cupang Betta splen-dens melalui perendaman embrio dalam ekstrak purwoceng Pimpinella alpina.
Jurnal Akuakultur Indonesia, 12 (2): 145– 150.
Bombata HAF, Somatun AO. 2008. The effect of lyophilized goat testes meal as first feed on the growth of "wesafu": an ecotype ci-chlid of epe-lagoon, in Lagos State, Nige-ria. Pakistan Journal of Nutrition, 7(5): 686-588.
Connell DW, Miller GJ. 2006. Kimia Pencemar-an. Diterjemahkan oleh Y. Koestoer. Uni-versitas Indonesia. Jakarta. 444 hlm.
Damayanti AA, Sutresna W, Wildan. 2013. Apli-kasi madu untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan nila (Oreochromis niloticus).
Jurnal Depik, 2(2): 82- 86.
Dewantoro GW. 2001. Fekunditas dan produksi larva pada ikan cupang (Betta splendens
Regan) yang berbeda umur dan pakan alaminya. Jurnal Iktiologi Indonesia, 1(2): 49-52.
edition. Lea and Febiger. Philadelphia. 537 p.
Hakim RH. 2008. Optimalisasi pemberian dosis hormon metiltestosteron terhadap keber-hasilan pembentukan monoseks jantan lobster air tawar (Cherax quadricarina-tus). Jurnal Protein, Jurnal Ilmiah Ilmu Peternakan-Perikanan UMM, 15(1): 1-17.
Hunter GA, Donaldson EM. 1983. Hormonal sex control and its application to fish culture.
Control. Academic Press, New York. pp. 223-291.
Irmasari, Iskandar, Subhan U. 2012. Pengaruh ekstrak tepung testis sapi dengan konsen-trasi yang berbeda terhadap keberhasilan maskulinisasi ikan nila merah. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(4): 115-121.
Iskandar. 1996. Pemanfaatan testis sapi dalam teknik pengalihan jenis kelamin (sex re-versal) ikan nila merah. Skripsi. Univer-sitas Djuanda Bogor. 64 hlm.
Kwon YJ, Haghpanah V, Kongson-Hurtado ML, Mc Andrew JB, Penman JD. 2000. Mas-culinization of genetic female Nile tilapia by dietary administration of an aromatase inhibitor during sexual differentiation. Journal of Experimental Zoology, 287(1): 46-53.
Mantau Z. 2005. Produksi benih ikan nila jantan dengan rangsangan hormon metil testos-teron dalam tepung pelet. Jurnal Litbang Pertanian, 24(2): 80-84.
Mardiana. 2009. Teknologi pengarahan kelamin ikan menggunakan madu. Jurnal PENA Akuatika, 1(1): 37-43.
Martati E. 2006. Efektivitas madu terhadap nis-bah kelamin ikan gapi (Poecilia reticulata
Peters). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 26 hlm.
Meyer D, Guevara M, Chan W, Castillo C. 2008. Use of fresh bull and hog testis in the sex reversal of Nile tilapia fry. Paper present-ed at the World Aquaculture 2008, The Annual International Conference and Ex-position of World Aquaculture Society and Korean Aquaculture Society. Busan, Ko-rea. 26p.
Murni AP. 2005. Efektivitas hormon methyl tes-tosteron terhadap sex reversal ikan. Risa-lah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pe-ngembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. BATAN. Jakarta. 23: 164-170
Muslim. 2011. Maskulinisasi ikan nila ( Oreo-chromis niloticus) dengan pemberian te-pung testis sapi. Jurnal Akuakultur Indo-nesia, 10(1): 51-58.
Odin RY, Bolivar RB, Liping L, Fitzsimmons, K. 2011. Masculinization of Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) using lyophi-lized testes from carabao (Bubalus bubalis carabanesis L.), bull (Bos indicus L.) and boar (Sus domesticus L.). In Better science, better fish, better life. Proceed-ings of the Ninth International Symposium on Tilapia in Aquaculture, Shanghai, Chi-na, 22-24 April 2011. AQUAFISH Colla-borative Research Support Program. pp. 105-120.
Pandian TJ, Sheela SG. 1995. Hormonal induc-tiore of sex reversal in fish. Aquaculture
138(1-4): 1-22.
Piferrer F, Donaldson EM. 1989. Gonadal diffe-rentiation in coho salmon, Oncorhynchus kisutch, after a single treatment with an-drogen or estrogen at different stages du-ring ontogenesis. Aquaculture 77(2-3): 243-250
Purwati S, Carman O, Zairin Jr M. 2004. Femini-sasi ikan betta (Betta splendens Regan) melalui perendaman embrio dalam larutan hormon estradiol-17β dengan dosis 400 μg/L selama 6,12,18 dan 24 Jam. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(3): 9-13.
Riani E, Sudrajat AO, Triajie H. 2010. Efek-tivitas ekstrak teripang pasir yang telah diformulasikan terhadap maskulinisasi udang galah. Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 12(3): 142-152.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prose-dur Statistika (Pendekatan Biometrik). Di-terjemahkan oleh B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 hlm.
Suhendar. 1997. Pengaruh metil testosteron ter-hadap perubahan jenis kelamin pada benih ikan mas berumur 25, 30, dan 31 hari.
Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan IPB Bo-gor. 55 hlm.
Yustina, Arnetis D, Ariani. 2012. Efektivitas te-pung teripang pasir (Holothuria scabra) terhadap maskulinisasi ikan cupang (Betta splendens). Jurnal Biogenesis, 9(1): 67-73.