• Tidak ada hasil yang ditemukan

resume 15 jurnal kuantitatif .docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "resume 15 jurnal kuantitatif .docx"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

NAMA : TANIA DWIKA PUTRI

NIM : 1510248307

MATA KULIAH : ISU-ISU KOMUNIKASI

SEMESTER : GENAP (II)

JURUSAN : MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

KONSENTRASI : KOMUNIKASI POLITIK PEMERINTAHAN

Journal List :

1. Representational style : The Central Role of Communication in Representation.

A dissertation by Justin Ryan Grimmer, Harvard University, 2010.

2. BEING WOMAN IN THE LAND OF SHARI‘A Politics of the Female Body, Piety and Resistance in Langsa, Aceh.

Muhammad Ansor State College for Islamic Studies (STAIN) Zawiyah Cot Kala, Langsa, Indonesia. Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies Vol. 52, no. 1 (2014), pp. 59-83, doi: 10.14421/ajis.2014.521.59-83

3. Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Ditinjau dari Prinsip Keadilan, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi)

Disertasi Doktor, RR.Cahyowati, SH, MH, UNIVERSITAS BRAWIJAYA, November 2011.

4. Politik Representasi Perempuan: Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan. Dwi Windyastuti Budi Hendrati, 2013.

SK Akreditasi (B) No. 81/DIKTI/Kep/2011, Tanggal 15 November 2011.

5. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang Keterwakilan Perempuan di Legislatif.

(2)

6. Perempuan Dalam Parlemen Studi Analisis Kebijakan Kuota Perempuan Dalam Pemilu Legislatif 2009 Di Kota Yogyakarta, Mukhamad Murdiono, 2009, Universitas Negeri Yogyakarta.

7. Perempuan Di Legislatif: Advokasi Perempuan Legislatif Bagi Kepentingan Dapil Di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur, Anis Maryuni Ardi, Jurnal Politik Muda, Vol. 3 No. 3, Agustus-Desember 2014,303-318.

8. Women representation politics: Women’protection policy advocacy, Dwi Windyastuti Budi Hendrarti Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga.

9. Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Legislatif Kabupaten Malinau (Studi Pada Anggota DPRD Kabupaten Malinau), 2013, Mari Resiana, e-Journal Politik

Intergratif.

10. Female Politicians in Political Parties of 2014 Election: Descriptive Representation vs. Substantive Representation, Nuri Soeseno, 2014, University of Indonesia.

11. Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus), M. ZAINURI, 2007.

12. The Islamic-Political Genealogy of Fatayat in Soekarno and Soehato Era: A Feminist Perspective on the History of Organization, Nihayatul Wafiroh, Indonesian

Consortium for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta, 2014.

13. Konstruksi Pemberitaan Politik Ber-Isu Gender, Diah Wulandari, 2010, Universitas Diponegoro.

(3)

15. Feminisasi dan Pelecehan Profesi Berjender Feminin: Sebuah Tantangan Praktisi Public Relations, Kamaratih Puspa, 2010.

RESUME

(4)

kebanyakan laki-laki (Kymlicka & Norman 1999:104) daripada kepentingan perempuan. Akan tetapi desain ini menjadi terlalu naif bila pencarian akar persoalan tidak terepresentasinya perempuan lebih dipusatkan pada aspek “politik jumlah”, yang bermuara pada tuntutan pada proporsionalitas perempuan.

Berangkat dari ketidakmemadaian dan ketidakefektifan konsepsi representasi yang berorientasi pada politik “presence” atau representasi formalistik (terpampang dalam kebijakan) maka mengkonsepsikan representasi perempuan dari aspek yang lebih substantif menjadi salah satu parameter mengukur representasi perempuan. Wakil perempuan tidak selalu melihat dirinya sebagai ”acting for” perempuan, sehingga representasi oleh gender perempuan tidak selalu memiliki relasi yang dapat diprediksi mendukung kepentingan substantif perempuan (Kymlicka & Norman 2005:102). Mekanisme metafisika kehadiran (presence) perempuan yang lebih menggambarkan situasi pembuatan keputusan sangat diperlukan guna membangun kembali kerangka (reframing) perjuangan representasi perempuan. Fungsi advokasi feminis paling efektif ketika fungsi ini terkait dengan proses pembuatan kebijakan.

Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0 persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka. Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari secara simultan untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan tingkat representasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji beberapa dari hambatan yang menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan keterwakilan ini.

(5)

maskulinitas. Perjuangan untuk melawannya adalah dengan cara yang bersifat adversarial yaitu femalestream.

Berangkat dari ketidakmemadaian dan ketidakefektifan konsepsi representasi yang berorientasi pada politik “presence” atau representasi formalistik (terpampang dalam kebijakan) maka mengkonsepsikan representasi perempuan dari aspek yang lebih substantif menjadi salah satu parameter mengukur representasi perempuan. Wakil perempuan tidak selalu melihat dirinya sebagai ”acting for” perempuan, sehingga representasi oleh gender perempuan tidak selalu memiliki relasi yang dapat diprediksi mendukung kepentingan substantif perempuan (Kymlicka & Norman 2005:102). Mekanisme metafisika kehadiran (presence) perempuan yang lebih menggambarkan situasi pembuatan keputusan sangat diperlukan guna membangun kembali kerangka (reframing) perjuangan representasi perempuan. Fungsi advokasi feminis paling efektif ketika fungsi ini terkait dengan proses pembuatan kebijakan.

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA & POLITIK

Konsep keluarga dalam pembangunan menghadirkan gambaran yang subordinat terhadap perempuan dengan hadirnya jabatan konkret lelaki (suami) sebagai kepala keluarga. Penyebutan status jabatan suami dalam keluarga sebagai kepala keluarga bukan hanya sekadar cara untuk memudahkan pencacahan, melainkan mengandung makna keterwakilan. Sampai saat ini belum ada kesepakatan antara kaum perempuan itu sendiri, tentang apa yang diinginkan dan diperjuangkan, Karena kedudukan perempuan masih berada di bawah. Hanya kaum perempuan sendiri yang dapat mengukur sudah merdeka atau belum dalam arti yang sesungguhnya, Oleh sebab itu banyak wanita ingin terjun kedunia politik sebagai pelarian atas tidak dapat terwakilinya aspirasi-aspirasi wanita.

(6)

keterwakilan perempuan minimal 30 % , kenyataannya perempuan masih jauh tertinggal dengan laki- laki, khususnya di bidang politik. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sejak pemilu tahun 1955 sampai dengan pemilu tahun 2009, masih di bawah 20%. Implikasi minimnya keterwakilan perempuan di DPR RI, berdampak pada kehidupan politik karena kita akan kehilangan pengalaman, perspektif, dan nilai yang dibawa oleh wakil perempuan yang akan memperkaya proses politik menjadi lebih berempati, punya kepedulian dan belas kasih. Meminggirkan perempuan dalam politik sama saja artinya dengan mengabaikan perempuan dalam proses politik. Demokrasi tanpa keikutsertaan perempuan bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Kebijakan afirmatif dalam Undang-undang Pemilu, dalam pencalonan, dan penempatan perempuan dalam daftar calon, harus memberikan peluang perempuan untuk terpilih, disertai sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Pemilu prefrensial dapat dijadikan alternatif pada pemilu tahun 2029, karena dapat menjamin keterwakilan perempuan di DPR RI, prinsip pokok sistem pemilu preferensial adalah pemilu tidak hanya sebagai instrumen untuk bersaing, melainkan juga sebagai instrumen untuk bekerjasama, di dalam memperebutkan (kursi) kekuasaan.

Dalam Sosiologi, “perempuan sebagai suatu objek studi banyak diabaikan. Hanya di bidang perkawinan dan keluarga dia dilihat keberadaannya. Kedudukan dalam sosiologi, dengan kata lain bersifat tradisional sebagaimana ditegaskan kepadanya oleh masyarakat yang lebih besar, tempat kaum wanita adalah di rumah”.(Jane C. Ollenbueger & Helen A. Moore, 2002:1) “Peran Adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat”.( Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, 1995) “Peran merupakan aspek dinamis kedudukan, apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran”.( Soerjono Soekanto, 1997: 268) Peran yang melekat pada diri seseorang dapat membedakan posisinya dalam pergaulan di masyarakat.

(7)

peluang untuk berkiprah dalam pembangunan dan dalam dunia kancah politik secara lebih luas, namun pada dimensi-dimensi tertentu masih ditemukan batas-batas dan problem-problem baru termasuk bahwa idiom-idiom pembangunan dan kiprah di dunia politik masih diwarnai kekuasaan laki-laki tampaknya pemberian kesempatan kepada perempuan masih “setengah hati”.

Inilah yang menyebabkan ketidakberdayaan (powerless) kaum perempuan dalam menghadapi rekayasa sosial. Perempuan banyak yang menjadi korban sosial dan peralihan industri dalam pembangunan kita. Dengan posisi domestik, mitos dan budaya tidak menempatkan perempuan digaris depan. Dengan bahasa lain sektor domestik dianggap tidak lebih penting daripada dimensi publik. Persepsi dan interpretasi inilah yang membuat para aktivis perempuan melakukan gelombang pemberontakan tentang akses pribadinya dalam sektor publik.

GENDER

Gender adalah kata kunci untuk setiap upaya mentransformasikan posisi kaum perempuan. menurut Ann. Oakley “Gender adalah pembagian peran serta tangung jawab, baik laki-laki maupun perempuan yang ditetapkan secara sosial maupun cultural”.( Maria Etty, 2004:17) Pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari dua konsep yaitu Pertama, dari jenis kelamin dan dari gender, jenis kelamin disini mengacu kepada bentuk fisik manusia itu sendiri dan reproduksi sedangkan yang Kedua, gender itu mengacu pada tingkatan jabatan serta kesetaraan antara wanita dan laki-laki.

GENDER EQUALITY ( KESETARAAN GENDER )

(8)

GERAKAN PEREMPUAN

“Gerakan perempuan yang sebelumnya tidak memiliki energi kini timbul dengan berbagai upaya, diantaranya usaha pemberdayaan hak-hak perempuan khususnya hak politik dalam rangka mengentaskan perempuan dari kubangan destruktif. Gerakan itu bertujuan menghilangkan apatisme dan ketidakberdayaan perempuan yang selama puluhan tahun dijebloskan oleh sistem politik hegemonik dan represif”.(Tari Siwi Utami,2001:5) Memasuki abad ke-20 semakin banyak kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Hal ini dipandang perempuan lebih cocok menempati posisi-posisi tertentu, antara lain: karena kaum perempuan dipandang secara ilmiah mempunyai kepekaan, keluwesan, dan kebijaksanaan dalam memutuskan suatu permasalahan. Dalam mengambil keputusan, kaum perempuan dianggap lebih mengutamakan realitas, rasio, dan perasaan, ketimbang laki-laki yang lebih mementingkan emosi dan harga dirinya.

FEMINISME

Saat ini tengah terjadi pembudayaan perempuan. Segala bentuk citra pembangunan dibentuk atas dasar kebutuhan, selera, dan semangat perempuan. Konsekuensinya, segala bentuk perilaku yang menonjolkan perempuan tidak diberi kesempatan. Masyarakat perempuan adalah masyarakat untuk laki-laki dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang penuh atas masyarakat perempuan. Dalam dunia politik, proposionalitas perempuan relatif rendah. Padahal pemilih perempuan mencapai setengah dari jumlah pemilih dalam pemilihan umum.

(9)

tindakan konkret yang perlu dilakukan terhadap pengabaian potensi perempuan sebagai manusia.

Perempuan dalam konteks gender didefinisikan sebagai sifat yang melekat pada seseorang untuk menjadi feminism (bersifat kewanitaan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata perempuan bermakna (1) orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; (2) istri; bini: — nya sedang hamil; (3) betina (khusus untuk hewan), sedangkan kata wanita bermakna perempuan dewasa: kaum — , kaum putri (dewasa). Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran perempuan sudah dalam dunia politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu) yang wafat pada tahun 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang tidak mungkin memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik. Tetapi hasil kajian yang dilakukan oleh mantan Dubes Canada untuk Indonesia (Earl Dark, ia juga sebagai sejarawan) membuktikan, bahwa puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk, raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang sangat luar biasa di Nusantara kala itu.

Di era Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini, ia lahir sebagai pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui emansipasi dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan, sehingga sampai saat ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian para Kartini masa kini. Tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno. Sebagai salahsatu contoh lagi yakni Dra. Khofifah Indar Parawansa, ia adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional.

(10)

masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

(11)

dan keadilan”. Jadi, tidak ada yang bisa menyangkal bahwasannya permpuan juga bisa berperan dalam berbagai bidang yang biasananya dilakukan para lelaki, karena itu semua sudah dijamin dan di khidmad oleh konstitusi kita serta dalam kenyataannya juga telah terbukti.

Didalam bingkai kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia secara umum memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam politik, termasuk menjadi pemimpin. Bahkan kesempatan ini terus diberikan, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari perspektif historis, nampak bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul silih-berganti. Rahim Ibu Indonesia telah membuktikan diri sebagai rahim yang subur bagi lahirnya para pemimpin perempuan terkemuka di bumi pertiwi, sungguh mulia jasamu pasa ibu, karena engan tangan lebutmu engkau rawat anak-anak mu hingga besar dan berprestasi, karena dengan kasih sayang mu engkau didik anak-anakmu jadi seorang pemimpin.

Adanya partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dalam artian menjunjung tinggi “kebebasan” dalam berucap, bersikap, berbuat, bertingkah serta berpolitik. Menjunjung tinggi “kesetaraan” dalam bentuk apapun, termasuk kesetaraan dalam mengambil bagian dan berkompetisi dalam dunia politik. Menjunjung tinggi kebersamaan dalam membangun bangsa, agar bangsa indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang adil, bangsa yang bermartabat serta menjadikan bangsa yang mandiri, bagian ini tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki, namun para perempuan pun harus turut andil didalamnya. Menjunjung tinggi “kejujuran”, kejujuran itu sangat-sangat tinggi nilainya di mata masyarakat, karena kalau kita telah jujur maka kita akan dipercayai selamanya, para perempuan pasti telah mengenyam nilai-nilai kejujuran itu, karena hati dan jiwa perempuan itu lembut dan selalu mengutamakan hati nurani dalam setiap tingkah-lakunya.

(12)

pusat”. Jadi, keterwakilan perempuan dalam konstitusi itu telah dijamin. Pada Pasal 15 Poin d berbunyi “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lebih lanjut pada Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan “di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Lebih lanjut pada Pasal 55 menyebutkan bahwasannya “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.

(13)

sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari.

Lebih lanjut dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari. Lebih lanjut pada Pasal 215 Ayat b menyebutkan “dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan”.

(14)

Negara-negara seperti di eropa pemenuhan hak-hak politik perempuan dilakukan secara incremental, bertahap dan melalui perjuangan yang keras. Hak memilih bagi perempuan yang paling awal di dunia Barat dinikmati oleh perempuan New Zeland. Hanya 10 minggu setelah gubernur Lord Glasgow menandatangani the Electoral Act 1893, sebanyak 109. 461 perempuan New Zeland tercatat menggunakan hak memilihnya pada pemilu 1893. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa perempuan Indonesia tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan sebagaimana banyak perempuan di dunia alami. Dalam bidang politik, persoalan-persoalan rendahnya partisipasi dan representasi kaum perempuan, terutama di lembaga-lembaga publik, termasuk di parlemen merupakan masalah serius di Indonesia.

Perempuan juga, berdasarkan realita objektif persoalan rendahnya dan buruknya kualitas partisipasi dan representasi merupakan bagian dari persoalan demokrasi Indonesia yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan bukan merupakan persoalan perempuan semata-mata. Masih banyak kelompok dalam masyarakat Indonesia dihadapkan pada kedua persoalan ini. Kaum petani, dan nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama seriusnya dengan kaum perempuan. Demikian pula dengan kaum buruh. Karenanya, persoalan partisipasi dan representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda politik kolektif sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender situasi inilah yg terjadi di Indonesia.

Dengan adanya konstitusi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%, harapan penulis kepada semua kaum perempuan, tidak bereforia dengan terjaminnya hak itu oleh konstitusi, sehingga hak-hak lainnya yang juga tidak kalah penting terabaikan begitu saja. Salah satu contohnya, bila perempuan yang sudah berkeluarga, bilamana ingin berproses dan ingin mengambil bagian yang jamin konstitusi tersebut, harus dulu menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang ibu dan sebagai istri yang baik, mengurus dulu keperluan anak-anaknya, agar anak-anaknya kelak beranjak dewasa menjadi orang terdidik dan menjadi pemimpin yang tangguh serta mengurus dulu kewajibannya sebagai seorang istri.

PATRIAKI

(15)

patriarki. Selain mitos kultural dan struktural, kita perlu melihat keefektifan peran publik di satu sisi dan peran domestik perempuan di sisi lain.

Perempuan seolah-olah disediakan untuk melayani keluarga sepanjang hidupnya. Peran domestik perempuan berada di belakang layar “kebesaran” kaum lelaki sebenarnya. Namun sayangnya, perempuan itu sendiri tidak menjadi populer dengan peran-perannya. Keberhasilan kaum perempuan dalam posisi demikian malah makin menambah “kekuasaan laki-laki” di sektor publik. Inilah yang membuat perempuan “cemburu” terhadap realitas sosial. Kaum perempuan tidak menghendaki kalau fungsinya hanya dijadikan pelengkap “keperkasaan“ kaum lelaki.

Patriaki merupakan suatu sistem yang bersifat menempatkan kedudukan wanita berada tetap ada dibawah laki-laki dengan adanya sistem ini peran perempuan dalam politik agak berkurang sebab disamping sudah turun-menurun juga didukung oleh agama yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pemimpin. Keberperanan perempuan dalam pembangunan, tidak lantas melepaskan belenggu perempuan dari mitos-mitos patriarki. Selain mitos kultural dan struktural, kita perlu melihat keefektifan peran publik di satu sisi dan peran domestik perempuan di sisi lain. Perempuan seolah-olah disediakan untuk melayani keluarga sepanjang hidupnya. Peran domestik perempuan berada di belakang layar “kebesaran” kaum lelaki sebenarnya. Namun sayangnya, perempuan itu sendiri tidak menjadi populer dengan peran-perannya. Keberhasilan kaum perempuan dalam posisi demikian malah makin menambah “kekuasaan laki-laki” di sektor publik. Inilah yang membuat perempuan “cemburu” terhadap realitas sosial. Kaum perempuan tidak menghendaki kalau fungsinya hanya dijadikan pelengkap “keperkasaan“ kaum lelaki.

(16)

peran reflektifnya sebagai yang mewakili terwakil. Ekspektasi kelompok feminis adalah produk keputusan DPRD yaitu perda perlindungan perempuan korban kekerasan.

Sedangkan Policy Core koalisi feminis ini adalah kebutuhan perda perlindungan perempuan korban kekerasan sebab dari segi undangundang tidak ada yang secara spesifik melindungi perempuan korban kekerasan dan negara harus bertanggungjawab terhadap korban kekerasan. Ketika inti kebijakan diadvokasi pada struktur formal, apa yang ditampilkan oleh koalisi advokasi feminis menciptakan koalisi penentang yang datang dari beberapa anggota legislatif yang terlibat dalam pembuatan kebijakan yang lebih menyukai status quo dan resisten terhadap pendekatan feminis. Kelompok patriarki memiliki seperangkat nilai yang bersumber pada budaya patriarki dan nilai agama. Interpertasi terhadap nilai agama dan budaya mengabsahkan laki-laki melakukan kekerasan dalam rumah tangga demi membangun kepatuhan bagi perempuan sebagai isteri. Bagi kelompok patriarki, regulasi hanya akan menduplikasi aturan yang berlaku yang dianggap menyalahi tatanan hukum. Pemaksimalan aturan hukum yang sudah ada jauh lebih urgen daripada membuat regulasi baru lewat perda. Kekerasan pada perempuan adalah urusan privat yang tidak perlu ditarik ke ranah publik karena bila ditarik ke ranah publik negara bisa mengintervensi urusan privat melalui regulasi.

(17)

berbasis pemikiran feminis. Rekonstruksi wacana ini kenyataannya muncul ketika suprastruktur politik (legislatif) bersedia menerima draft naskah akademik, yang menandakan bahwa legislatif bersedia masuk ke dalam perdebatan politik feminis secara terus menerus.

Pada aspek tertentu, perdebatan wacana secara terus menerus akan memungkinkan munculnya simpati terhadap advokasi kebijakan feminis dan pada aspek lain akan menjadi energi bagi kelompok feminis untuk mengeksploitasi simpati tersebut. Kontestasi ide dan argumentasi di antara dua kelompok tersebut mencerminkan telah terjadinya proses pencerahan pada kelompok yang selama ini mungkin resisten terhadap ide dan argumentasi feminis. Pada diskusi di antara dua koalisi, aktor yang berada pada posisi tidak konsisten menjadi kehilangan pengaruhnya, dan terpaksa menerima kelemahan kompetitifnya. Konsistensi nilai pada koalisi feminis mengenai sebab dan hakekat kekerasan tetap dipertahankan. Ini terbukti sejak mulai draft naskah akademik yang dibuat koalisi feminis sampai menjadi usul inisiatif dewan, asumsi filosofis tetap dipertahankan dan tak berubah. Meskipun draft naskah akademik diangkat menjadi usul inisiatif dewan, namun keyakinan akan sistem nilai dari koalisi patriarki dalam melihat relasi gender pun tetap tak berubah. Kalaupun ada perubahan-perubahan dari usul prakrarsa legislatif (Raperda Usul Inisiatif Dewan) hanya terbatas pada persoalan yang bersifat tehnis (sekunder) daripada perubahan yang bersifat substantif (core belief system). Penerimaan usul prakarsa tersebut menandakan legislatif menjadi reseptif terhadap inti kebijakan yang diusung oleh koalisi feminis, tetapi tidak sertamerta anggota dewan reseptif terhadap normative belief (nilai-nilai) koalisi feminis.

(18)

mengapa kebanyakan perubahan keyakinan dipusatkan pada aspek sekunder. Pertama, deep core belief memuat item yang sangat normatif, sementara aspek sekunder memuat item yang lebih mudah dirubah dengan dasar bukti empiris. Ke dua, deep core belief terorganisasi secara hirarkial, yang lebih banyak memuat nilai abstrak yang dipelajari sejak lama. Nilai abstrak yang dipelajari oleh kaum patriarki adalah bahwa kekerasan pada perempuan adalah bagian dari cara mendidik untuk penciptaan kepatuhan pada kaum patriarkhi (suami), sehingga menjadikan problem yang privat ke domain publik dianggap melanggar norma yang berlaku selama ini.

Ketika perubahan hanya terjadi pada aspek sekunder bukan pada deep core belief aktor kebijakan, maka representasi perempuan tidak mampu menjangkau perubahan mindset pada wakil mengenai hakekat kekerasan pada perempuan. Aspek sekunder bukan bersifat value. Kepentingan pragmatis wakil, sekedar melayani kepentingan terwakil atau ”acting for” kepentingan perempuan lebih mengedepan daripada menerima nilai kesetaraan gender. Upaya merepresentasi nampak sangat bersifat pragmatis dan transaksional. PKB dan PDIP, Partai Golkar, PAN dan Partai Demokrat, PPP, PKS memperlihatkan cirinya sebagai simbol representasi yang seolah-olah mewakili kepentingan utama kelompok feminis lewat perjuangan untuk melahirkan Perda tentang Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan. Fraksi dan Komisi di DPRD memiliki vested interest yang berbeda dengan kepentingan kelompok perempuan, sehingga mereka terpaksa bersedia menghasilkan kebijakan yang mempunyai nilai dan komitmen pada pencapaian keadilan gender. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilannya meloloskan apa yang diadvokasi oleh kelompok feminis yang tertuang dalam draft naskah akademik dan diadopsi oleh legislatif menjadi raperda.

(19)

mengungkapkan representasi perempuan yang substantif karena perda tidak sekedar dipandang dari isi perda tetapi mesti dilihat dari aspek prosesnya.

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM

(20)

pada ajaran Islam untuk tetap menjaga etika Islam dalam bergaul dan berinteraksi dengan kaum laki-laki baik dalam etika berbicara, berpakaian atau lobi-lobi ataupun dalam melakukan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Kelima, walaupun tradisi Islam lokal sangat membatasi perempuan terjun dalam politik namun karena adanya motif rasional bernilai dan rasional bertujuan yakni dengan masuk menjadi anggota legislatif dapat menyalurkan bakat berorganisasi, memperjuangkan aspirasi perempuan dalam meningkatkan perluasan akses perempuan dalam wilayah publik melalui peraturan daerah, dan meningkatkan status sosial dan perekonomian keluarga sehingga mendorong perempuan terjun ke dunia politik praktis. Keenam, perempuan dalam proses menjadi anggota legislatif mengalami hambatan antara lain adanya hambatan struktural, sosial budaya, isu agama, idiologi dan donimasi elit partai politik oleh laki-laki. Khusus mengenai proses perekrutan terhadap calon dan anggota DPRD Kabupaten sebagai bentuk partisipsi politik perempuan di kabupaten sebagian besar diawali dengan menjadi pengurus underbow partai politik atau melalui ormas yang dianggap menjadi mesin politik partai politik dan diusulkan oleh partai politik untuk melengkapi affirmative action. Ketujuh, strategi yang dilakukan para caleg perempuan tidak jauh berbeda satu sama lain yakni dengan memanfaatkan ormas Islam (perempuan) yang ada misalnya yang berlatar belakang NU memanfaatkan IPPNU, Fatayat NU, dan Muslimat NU melalui pengajian rutin yang diadakan ormas tersebut, dan yang berlatar belakang Muhammadiyah dengan memanfaatkan Aisiyah, di samping juga memanfaatkan organisasi perempuan yang menjadi underbow partai politik, juga memanfaatkan kampanye massal yang diadakan oleh partai politik sesuai jadwal yang disepakati peserta pemilu melalui koordinasi KPUD Kabupaten, memberikan selebaran yang berisi foto, tanda gambar, nomor urut, dan visi misi masuk menjadi anggota legislatif serta memberikan kaos, kopyah, kerudung bahkan ada juga yang memberikan tasbih.

(21)

politik itu bukan area yang tabu bagi perempuan. Banyak hal yang perlu diluruskan dalam persepsi masyarakat tentang perempuan. Terutama anggapan sadar dan bawah sadar bahwa kaum laki-laki lebih utama dari pada kaum perempuan. Semenjak dahulu kala, banyak orang berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin tetapi hasilnya belum banyak mengalami kemajuan. Persepsi itu memang sulit dihilangkan karena berakar dari atau didukung oleh ajaran teologi. Padahal Max Weber pernah menegaskan bahwa tidak mungkin mengubah perilaku masyarakat tanpa mengubah sistem etika, dan tidak mungkin mengubah etika tanpa meninjau sistem teologi dalam masyarakat. Dalam praktik terkadang sulit dibedakan mana pesan yang bersumber dari doktrin agama dan mana yang bersumber dari mitos. Agama pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Pesan-pesan agama untuk kemaslahatan manusia mestinya dapat dijangkau oleh umat (mukallaf). Sedangkan pesan yang lahir dari mitos seringkali memberikan muatan lebih (over loads). Untuk itu, perlu adanya reidentifikasi masalah dan reinterpretasi sumber-sumber ajaran agama. Islam tidak sejalan dengan faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Al-Qur'an tidak memberikan penegasan tentang unsur dan asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, tidak juga mengenal konsep dosa warisan, dan skandal buah terlarang adalah tanggung jawab bersama Adam dan Hawa. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan. Namun kita harus arif dalam melihat kiprah perempuan dalam politik. Tradisi lokal bukan satu-satunya hambatan yang bersifat keagamaan terhadap politisi perempuan. Hubungan jender dan Islam itu sendiri masih menyiratkan berbagai persoalan yang langsung atau tidak langsung mengancam kepada eksistensi mereka. Kelompok politisi perempuan yang meletakkan Islam sebagai atribut mereka tidak selamanya menyadari atau memiliki respect yang memadai tentang “arti Islam” yang mereka sandang. Sebagian dari mereka ada yang meletakkan Islam sebatas sebagai politisasi simbol agama bagi kepentingan politik.

(22)

institusi-institusi ini muncul di Barat. Pernyataan semacam itu sering meninabobokan umat Islam. Sebab persoalan sebenarnya yang harus diatasi bukan pada pengajuan klaim semacam itu, tapi pada upaya konkret untuk melabuhkan nilai-nilai itu ke dalam kehidupan nyata. Apa yang diperlukan bukan sekadar romantisme yang menganggap bahwa Islam telah berbicara tentang segala hal, termasuk kesetaraan jender, tanpa mereka mampu menawarkan suatu gerakan yang benar-benar transformatif.

Referensi

Dokumen terkait

Sensitifitas dan spesifisitas NISS dalam mendeteksi terjadinya koagulopati akut pada pasien multiple trauma sebesar 79,2% dan 91,8% yang menunjukkan validitas NISS

Penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2009) yang berjudul “Kerjasama Guru Bimbingan dan Konseling dengan Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dalam meningkatkan

1.2.1 Jelaskan manfaat program studi terhadap institusi, masyarakat, serta bangsa dan negara. Untuk pengusulan program studi baru yang diusulkan oleh perguruan tinggi lama,

Segala puji, hormat dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa karena hanya atas berkat dan penyertaanNya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH AUDIT FEE,

Menurut Kridalaksana ( 1982: 15) dalam Aminuddin (1985: 50) Dari sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya arti yang paling.. dekat pengertiannya dengan makna.

Oleh karena yang telah tersebut diatas, dengan mengalisa karakterstik limbah polimer (plastik) yang peniliti coba dengan menggunakan teknik quilling yang biasanya digunakan

Mereka yang kebutuhannya terpenuhi oleh toko kain setempat dan yang mungkin tidak bersedia atau tidak bisa melakukan perjalanan melintasi negara bagian

Jl. Guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran di kelas memiliki peran strategis dalam pengembangan bahan ajar atau LKS.Materi workshop disusun didasarkan atas analisis