Nama : Andika Hendra P
NIM : 41112120042
Matkul : Aspek Hukum
Korupsi Genset KKP Dilema
Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah
Minggu, 28 Juni 2015, 09:00:00 WIB - Hukum
Armada perahu penangkap ikan nelayan tradisional. Kasus korupsi pengadaan genset untuk nelayan dan petambak di Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan adanya kelemahan dalam peraturan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah (ANTARA)
2010, ternyata masih mengandung banyak peluang bagi pelaksana pengadaan barang dan jasa melakukan tindak pidana korupsi.
Beleid tersebut memang memberikan beberapa kemudahan agar pengadaan barang dan jasa pemerintah bisa berjalan lancar. Beberapa kemudahan itu diantaranya, membebaskan penyedia barang dan jasa dari kewajiban memiliki laporan pajak paling kurang tiga bulan terakhir. Ini merupakan terobosan dari Perpres sebelumnya yang mengharuskan penyedia barang dan jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan setahun terakhir.
Perpres terbaru soal pengadaan barang dan jasa pemerintah ini juga membebaskan penyedia dari kewajiban menyerahkan surat jaminan pelaksanaan untuk pengadaan tertentu. Selain itu, beleid ini juga membolehkan perpanjangan kontrak melewati batas akhir tahun anggaran.
Kemudahan-kemudahan ini di satu sisi diberikan pemerintah demi menjamin kemudahan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam rangka mempercepat pelaksanaan anggaran belanja negara. Hanya saja, kemudahan ini di sisi lain juga menimbulkan celah terjadinya kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam kasus korupsi pengadaan genset di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) senilai Rp31,5 miliar ini misalnya, Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menemukan modus klasik dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yaitu berupa penggelembungan harga oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pengadaan barang tidak sesuai spesifikasi kontrak.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes M Iqbal mengatakan penyidik masih terus mengumpulkan bukti dan keterangan tambahan. Penyidik, kata Iqbal, tidak akan buru-buru menetapkan seseorang tersangka sebelum ditemukan bukti awal yang cukup kuat meski sejauh ini sudah 85 orang saksi yang diperiksa. "Kami masih menunggu keterangan ahli," kata Iqbal kepada Gresnews.com, Sabtu (27/6) kemarin.
juga belum memeriksa Dirjen Perikanan dan Budidaya KKP. Dua pekan lalu, pejabat KKP ini telah diagendakan untuk diperiksa tapi gagal.
MODUS LAMA BERULANG KEMBALI - Iqbal mengatakan, modus korupsi yang dilakukan dalam kasus ini diduga menggunakan cara lama. Modus itu adalah adanya kongkalikong antara PPK dengan perusahaan pemenang tender. Bahkan perusahaan yang menang tender
pengadaan ini diduga fiktif.
Iqbal mengatakan PPK pengadaan barang itu diduga tidak menjalankan proses lelang sesuai prosedur. PPK dalam melakukan pengadaan tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya seperti menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) berdasarkan harga pasar dengan
membandingkan spesifikasi barang yang beredar di pasar. "PPK juga lalai hingga ketersediaan suku cadang di pasar tidak ada," ungkap Iqbal.
Dari hasil penyelidikan polisi, PPK juga tidak mengendalikan jalannya kontrak sehingga spesifikasi barang sebagaimana dimaksud dalam kontrak jauh berbeda kondisinya dengan yang ada di lapangan atau lebih buruk. "Penyedia jasa yaitu PT ID menyerahkan barang berupa 540 unit genset yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak," imbuhnya.
Pengadaan 540 unit genset tersebut dibagikan ke kelompok tani tambak udang di lima Provinsi yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Sesuai Kerangka Acuan Kerja (KAK), bahwa pengadaan barang tersebut dimaksudkan untuk
membantu kelompok tani tambak udang yang tidak mendapatkan pasokan listrik selama 24 jam. Namun pada kenyataan berbeda . Penyidik juga yang telah turun ke daerah-daerah untuk mencari bukti-bukti menemukan di Provinsi Lampung dan Jawa Tengah, genset tersebut tidak mampu beroperasi selama 24 jam, hanya sampai 6 jam saja. Petani juga harus menyeting genset sendiri dengan biaya swadaya.
DILEMA PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA - Direktur Eksekutif Centre of Budgeting Analysis Uchok Sky Khadafi mengatakan, Jika diranking,
pengadaan barang dan jasa ada di peringkat nomor satu proyek yang sering dijadikan lahan korupsi. "Korupsi di sektor ini juga paling mudah," kata Uchok
kepada Gresnews.com.
Menurut Uchok ada beberapa catatan dari Perpres ini. Pertama pada Pasal 19 Ayat (1). Dalam pasal ini penyedia barang dibebaskan dari kewajiban memiliki laporan pajak tiga bulan terakhir. "Maksudnya pasal ini ingin mempercepat proses, tetapi jika tanpa kontrol akan bisa jadi celah siapapun jadi penyedia barang," kata Uchok.
Celah dimaksud adalah, bisa saja penyedia barang dan jasa yang memang tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi tetap bisa ikut tender dan memenangkannya. Namun saat pelaksanaan, ketahuan kalau pemenang ternyata tidak mampu melaksanakan pekerjaan.
Kemudian pada Pasal 93 Ayat (1)a. Dalam pasal ini disebutkan, panitia pengadaan dapat melakukan penunjukan langsung terhadap penyedia barang. "Sangat rentan adanya kongkalikong disini," kata Uchok.
Dan pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan barang dan jasa ini, kata Uchok, adalah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). "LKPP inilah yang membuat Perpres terbaru pengadaan barang dan jasa ini," ujarnya. PENANGANAN KASUS JALAN DI TEMPAT - Terkait kasus ini sendiri, Uchok meminta polisi mempercepat proses penyidikan. Dia menilai belum ditetapkannya satu tersangka pun dalam kasus korupsi pengadaan genset KKP ini dinilai janggal. Menurutnya,
dengan telah diperiksanya 85 saksi mustahil penyidik belum menemukan orang yang bertanggung jawab.
PPK, kata Uchok, jelas-jelas tidak mengerjakan tender sesuai prosedur, layak
ditetapkan sebagai tersangka. "Nah ini belum ada sama sekali padahal yang diperiksa puluhan, ada apa dengan Polda?" kata Uchok.
Uchok khawatir penanganan kasus korupsi genset ini akan jalan di tempat dan akhirnya menguap begitu saja. Padahal makin lama petunjuk dan bukti yang dimiliki penyidik didiamkan, kasus ini lambat laun dicurigai akan dihentikan dengan alasan tidak adanya cukup bukti.