“IDENTITAS DAN PEKERJAAN SEBAGAI PANGGILAN”
1. Konsep Identitas
Identitas (‘identity’) merupakan dimensi dasar psikologis manusia, karena manusia adalah
mahluk yang sadar mengenai dirinya sendiri. Manusia berperan sebagai subyek yang sekaligus
pula dapat melihat dirinya sendiri sebagai obyek. Kesadaran akan dirinya sendiri itulah yang
membuatnya memahami bahwa pada satu sisi dirinya berbeda dengan orang-orang lain. Tetapi,
kebutuhan dasarnya untuk selalu bersama dengan orang lain menimbulkan juga pertanyaan,
sejauh mana orang – orang lain, terutama yang berada di sekitarnya itu memiliki kesamaan dan
perbedaan dengan dirinya.
Tokoh psikologi fungsionalisme William James menyatakan bahwa identitas itu mewujud
secara hirarkis. Yang paling bawah disebut sebagai ‘diri material’, yaitu apa saja yang bersifat
material yang diakui sebagai bagian dari diri seseorang (tubuh, kepemilikan lain). Perwujudan
tataran yang kedua disebut sebagai diri sosial, yaitu identitas dalam konteks atau kluster social
(ketergabungan pada kategorisasi social, peran social dsb). Tataran teratas adalah diri spiritual,
di mana semua kapasitas psikologis berfungsi (pikiran, intelek, kemauan dsb) (Irwanto, 2017).
Dengan demikian pada dasarnya identitas itu bersifat multi dimensi, dan tidak dapat
dipisahkan antara dimensi diri secara internal dengan dimensi sosialnya. Oleh karena itu studi
atas identitas dibahas oleh teori identitas sosial dan teori (perkembangan) identitas. Yang satu
lebih dekat dengan psikologi sosial sedangkan yang kedua lebih merupakan bagian dari
psikologi kepribadian. Kedua teori pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama yaitu
bahwa seseorang dengan kemampuan refleksinya dapat mengkategorikan, mengklasifikasikan
ataupun menyebutkan dirinya dalam kaitannya dengan kategori atau klasifikasi sosial.
Kategorisasi tersebut didasarkan pada berbagai hal: sikap, keyakinan, sistim nilai, norma
perilaku yang terkait dengan kategorisasi antar kelompok sosial. Dalam tataran pribadi,
identitas sosial dengan berbagai kriteria itu mengandung persepsi mengenai ekspektasi sosial
yang dipahami pula sebagai suatu peran sosial tertentu (Stets & Burke, 2000).
Akan tetapi, konsep sosial dalam rangka identitas tidaklah selalu berarti lingkup sosial
yang keanggotaannya bisa jadi tersebar di seluruh dunia. Seiring dengan perkembangan
teknologi informasi pada jaman ini, seseorang dapat pula merupakan bagian dari suatu
komunitas sosial maya, yang perjumpaannya lebih dalam bentuk komunikasi melalui media
sosial daripada komunikasi fisik secara langsung. Bahkan perkembangan jaman beserta
teknologinya menimbulkan isu terkait identitas yang selama ini belum pernah ditemui.
Globalisasi misalnya, ditengarai menimbulkan ancaman terhadap identitas diri kelompok yang
terindikasi berkorelasi dengan tumbuhnya fenomena radikalisme sebagai mekanisme
pembelaan diri (Moghaddam, 2012). Dalam melakukan ‘curhat’, orang ditengarai semakin
mengandalkan orang lain dibanding orang terdekat. Komitmen ikatan relasi pribadi semakin
lama semakin rendah. Perubahan-perubahan trend perilaku sosial semacam itu, menimbulkan
perubahan pada elemen-elemen dari identity, yang bagaimanapun, membutuhkan integrasi
sehingga orang merasakan kongruensi (Amiot & Jaspal, 2014).
2. Pembentukan Identitas
Secara filosofis, pembentukan identitas oleh Eric Fromm dikatakan sebagai kesadaran dan
penerimaan seseorang akan dirinya dalam rangka membebaskan diri dari ciri-ciri
kebinatangannya dalam konteks hidup sosialnya sehingga dapat diterima secara sosial
(Irwanto, 2017). Dengan kata lain, seseorang mengidentifikasikan dirinya bukan lagi sebagai
individu terpisah yang berdiri sendiri, tetapi selalu dalam kaitannya dengan orang-orang lain
yang terdekat dengan dirinya. Kesadaran berpengalaman dengan orang yang digolongkan
sebagai ‘significant others’ inilah yang membentuk identitas diri seseorang (Bargh (ed), 2007).
Pengalaman sosial dengan orang-orang di sekitar seseorang, bagaiamanapun mencakup
berbagai elemen, sehingga perkembangan identitas merupakan pula suatu proses dinamis dari
pembentukan kepribadian, yang bersifat subyektif sekaligus obyektif (Breakwell, 2014).
Sifat multi dimensional dari identitas dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari proses
pengembangannya yang melekat pada perkembangan kepribadian seseorang. Teori
perkembangan kepribadian dari Erikson, menyatakan bahwa pada dasarnya perkembangan
kepribadian manusia ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Perkembangan
tersebut merupakan hasil dari pengalamannya mengatasi berbagai apa yang disebut sebagai
konflik selama hidupnya. Erikson menjelaskan dalam teorinya yang disebut sebagai teori
mencakup masa perkembangan sejak bayi baru lahir hingga orang menjadi tua, yang pada
dasarnya memperlihatkan proses yang semula tergantung dari orang lain yang secara bertahap
semakin mandiri dan akhirnya bahkan mampu mengurusi generasi berikutnya.
Perkembangan identitas seseorang tidak hanya mencakup dimensi kemandirian, tetapi juga
moral. Identitas moral (moral self) mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang berdasarkan
pertimbangan baik dan tidak baik (Stets & Carter, 2011). Dalam hal ini, penjelasan dapat
mengacu pada teori perkembangan moral dari Piaget yang terdiri dari 3 tahapan utama (dari
usia anak hingga dewasa) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lawrence Kohlberg
menjadi 6 tahapan. Setiap tahapan membentuk apa yang disebut sebagai schema, yaitu
pemahaman seseorang akan apa yang baik dan tidak baik dan apa itu maknanya bagi diri
seseorang. Schema suatu tahapan menjadi dasar pijakan bagi pembentukan schema tataran
berikutnya. Teori tersebut menunjukkan bahwa dalam menilai baik dan buruk, seseorang
belajar mulai dari apa yang dikatakan oleh ‘otoritas sosial’ hingga sampai akhirnya menemukan
standar moralnya sendiri. Standar moral ini meskipun merupakan standar pribadi yang tidak
harus dikaitkan dengan otoritas sosial, tetapi justru mencerminkan standar moral yang bersifat
universal (Irwanto, 2017).
Pencapaian identitas diri dengan standar moral yang universal sebagaimana dikonsepkan
oleh Kohlberg, senada dengan penghayatan nilai-nilai kehidupan (B-values): kebenaran,
kejujuran, keadilan dsm yang bahkan dikatakan oleh Maslow sebagai salah satu kebutuhan
manusia. Kebutuhan tersebut, dalam hirarki kebutuhan Maslow disebut sebagai kebutuhan
aktualisasi diri yang tertinggi , yang diistilahkan sebagai ‘metaneeds’. Pada beberapa orang,
pencapaian kesadaran akan nilai-nilai moral yang universal itu, disertai dengan apa yang
disebut sebagai ‘peak experience’ atau pengalaman psikologis puncak yang dapat dikatakan
sebagai transenden (Maslow, 1993).
Dengan demikian, identitas, di samping bersifat multidimensional, sekaligus pula bersifat ‘developmental’. Sebagaimana seseorang merumuskan dirinya sebagai sesuatu yang integral, yang merupakan kesatuan dari pengalaman dan pemahamannya di masa lalu dan masa kini yang
sekaligus pula diproyeksikan dalam bentuk harapan akan masa depan; begitu pula identitas
adalah suatu proses yang menjadi.
Terkait identitas, isu tipikalnya tidak hanya soal perkembangan, integrasi dari berbagai
dimensi termasuk factor-faktor yang menghambat atau kongruensi psikologis antara identitas
diri dengan perilaku (Amiot & Jaspal, 2014), tetapi juga adalah mengenai maknanya bagi
seseorang. Sebagaimana James menyatakan bahwa manusia adalah mahluk subyek-obyek,
yang ‘knower’ dan yang juga sebagai ‘known’ (Irwanto, 2017), maka memahami,
mengintegrasikan dan memaknai berbagai pengalaman diri, singkatnya ‘mencari pemaknaan’
merupakan hasrat dasariah manusia yang dinyatakan oleh banyak ahli: Kierkegaard, Albert
Camus, Heidegger, Frankl, Maslow (Hergenhahn & Henley, 2014), (Steger, Kasdan, Sullivan,
& Lorentz, 2008).
Akan tetapi, pemaknaan identitas diri, tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan hidup, yang
oleh Victor Frankl di-’claim’ sebagai kebutuhan psikologis manusia (Frankl, 2008). Pemaknaan
hidup adalah pemaknaan seseorang akan berbagai pengalaman dalam berinteraksi antara diri
internal dan konteks social berkembang seiring perkembangan pemahaman identitas diri itu
sendiri. Pemaknaan hidup sebagai cakupan pemaknaan yang lebih luas, akan menentukan tetapi
sekaligus dipengaruhi pula oleh pemaknaan akan identitas diri seseorang itu.
Pemaknaan akan hidup seseorang, karena bersifat unik pribadi dan berkembang, lebih
lanjut oleh Frankl dinyatakan sebagai semacam personal calling, suatu misi hidup yang bersifat
pribadi, hanya bagi pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain, pemaknaan hidup, dalam hal
ini hidup sebagai suatu panggilan yang bersifat pribadi, merupakan hasil dari pemaknaan akan
identitas dan sekaligus pula aktualisasinya melalui kesadaran akan identitas itu sendiri.
Pemaknaan hidup yang tertinggi, dalam arti pemaknaan yang esensial, eksistensial menyeluruh
atas hidup seseorang disebut oleh Frankl sebagai ‘ultimate meaning’ yang belum tentu dapat
dipahami oleh kapasitas pengertian manusia yang bagaimanapun juga, terbatas. Yang lebih
actual dan terpahami oleh pada umumnya manusia adalah pemaknaan akan kondisi, situasi,
kejadian, perasaan dan pemahaman internal diri yang lebih bersifat spesifik dan dengan
demikian: temporal. Itulah yang lebih konkrit dalam memahami apa yang dimaksud dengan
life calling, yang merupakan tanggapan seseorang akan situasi, pengalaman, kejadian dan
insight internal dalam diri pada suatu waktu.
Life calling mendapatkan perwujudan paling nyata melalui apa yang dilakukan oleh
seseorang sehari-hari, atau yang biasa disebut sebagai pekerjaan. Victor Frankl menyatakan,
hidup (Frankl, 2008). Konsep pemaknaan life calling seperti itu terindikasi sudah ada sejak
orang belum bekerja, sebagaimana ditunjukkan oleh studi (Duffy & Sedlaceck, 2007), (Duffy
& Sedlacek, 2010). Terkait dengan isu identitas, life calling merupakan isu sentral bagi
identitas diri seseorang melalui pekerjaannya (Dik & Duffy, 2009), (Hall & Chandler, 2005).
Fenomena pekerjaan sebagai bagian dari life calling antara lain diteliti dalam studi dari
(Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997), yang menunjukkan bahwa dari tiga
kemungkinan pemaknaan pekerjaan sebagai pencarian nafkah, sebagai karir atau sebagai
panggilan, sekitar sepertiga populasi respondennya memandang pekerjaan mereka sebagai
panggilan. Bagi mereka yang menganggap pekerjaan sebagai orientasi karir, pekerjaan
dipersepsikan sebagai suatu cara untuk memperoleh posisi sosial dan keuangan terutama
melalui pengakuan orang lain atas kesuksesan mereka. Mereka yang berorientasikan panggilan,
melakukan pekerjaan mereka terutama didorong oleh kebutuhan untuk mengintegrasikan minat
dan hasrat serta kemampuan mereka yang ditujukan demi pelayanan pada sesuatu kemanfaatan
kepentingan yang lebih besar. Meskipun demikian, pada kenyataannya , orang dapat juga
memaknai pekerjaannya baik sebagai panggilan, karir maupun sekaligus mata pencaharian, dan
karenanya orientasi kerja itupun pada dasarnya dikatakan oleh (Molloy & Dik, 2014) tidak
‘mutually exclusive’.
Perasaan terpanggil (sense of calling) sebagaimana diindikasikan oleh Frankl,
terekspresikan melalui fenomena seseorang yang merasa ‘ditarik’ untuk mengupayakan suatu
pekerjaan karena terkait dengan suatu tujuan dalam hidup tertentu (Berg, Grant, & Johnson,
2010), (Hall & Chandler, 2005). Perasaan panggilan itu juga diekspresikan sebagai suatu
passion yang penuh makna dalam bidang tertentu (Dobrow & Tosti-Kharas, 2011), sehingga
jika dikaitkan dengan karir, maka karir tersebut seakan terbentuk dengan sendirinya dan lebih
bermakna pribadi. Sehingga menjadi mudah dimengerti apa yang dikatakan (Elangovan,
Pinder, & McLean, 2010) dalam (Horvarth, 2015) bahwa rasa keterpanggilan itu sebagai ‘suatu
rangkaian tindakan untuk mengupayakan suatu tujuan berkepentingan sosial yang merupakan
perwujudan dari konvergensi pemahaman seseorang akan apa yang ingin dilakukan, hendaknya
dilakukan dan sebenarnya dilakukan oleh seseorang’. Dengan kata lain, merupakan isu
kongruensi nternal dan eksternal diri dalam rangka membentuk identitas diri.
Hal yang terkait dengan identitas sosial diungkapkan melalui elemen yang terdapat dalam
orang lain (Dik & Duffy, 2009), (Praskova, Creed, & Hood, 2015), adanya suatu perasaan
keyakinan yang bersifat pribadi oleh yang bersangkutan (Oates, Hall, & Anderson, 2005),
(Weiss, Skelley, Hall, & Haughey, 2004), yang secara spesifik dikatakan oleh (Bogart, 1992)
bahwa pengalaman transenden yang mendasari keyakinan pribadi itu tidak dapat dipisahkan
dari orientasi social dan pengembangan kepenuhan diri.
Yang dapat dikatakan sebagai bagian dari identitas eksistensial dari pemaknaan pekerjaan
sebagai panggilan adalah pendayagunaan berbagai anugerah dan talenta yang dimaknai sebagai
kewajiban moral seseorang (Bunderson & Thompson, 2009). Sebagai rangkuman dari apa yang
di’dikotomikan’ (Hall & Chandler, 2005) sebagai pemaknaan relijius dan sekuler mengenai
panggilan dalam pekerjaan, (Dik & Duffy, 2009) mengemukakan definisi rangkuman
mengenai panggilan karir sebagai memiliki 3 elemen, yaitu: a) suatu panggilan dari luar diri
yang transenden, b) mengenai suatu peran dalam hidup yang terkait dengan suatu tujuan atau
pemaknaan tertentu, dan c) bermotivasikan pada berbagai nilai dan kepentingan demi orang
lain.
Dampak dari pemaknaan pekerjaan sebagai panggilan pada diri seseorang, ditunjukan dari
beberapa studi yang menunjukkan bahwa orang yang menjalani pekerjaannya sebagai
panggilan ditengarai merasakan kondisi hidupnya lebih baik, dengan tingkat kesehatan yang
labih tinggi (Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997); atau kepuasan akademis
yang lebih tinggi (Duffy, Allan, & Bott, 2012), (Thompson & Feldman, 2010). Kualitas hidup
itu dirasakan sebagai hidup yang kaya dan seimbang, meskipun cukup berat dalam
menjalaninya dalam hal keterpanggilan itu dialami dalam tidak hanya satu kegiatan peran
social saja (Sellers, Thomas, Batts, & Ostman, 2005), (Kinjerski & Skrypnek, 2006), umumnya
mereka adalah orang yang proaktif dan berperhatian besar dengan rasa percaya diri yang mantap
(French & Domene, 2010). Hal ini didukung juga oleh (Oates, Hall, & Anderson, 2005) dalam
studi kualitatif atas 32 wanita kristiani yang bekerja menunjukkan bahwa rasa keterpanggilan
terkait dengan kemampuan untuk bertahan (coping), menghadapi kegagalan dalam perspektif
yang tepat dan kemampuan untuk menangani ketegangan dalam menjalani berbagai peran
sosial.
Kualitas hidup yang dipersepsikan sebagai hidup yang bermakna tinggi yang dikaitkan
dengan keterpanggilan juga ditunjukkan oleh (Steger & Dik, 2009)dalam dua studinya atas
yang menunjukkan bahwa mereka yang merasakan calling dalam arti memahami makna dari
karirnya merasakan pemaknaan hidup yang lebih tinggi. Rasa keterpanggilan yang tidak dapat
disalurkan atau menghadapi berbagai kesulitan dalam menjalankannya melalui pekerjaan
menimbulkan rasa penyesalan atau bahkan stress (Berg, Grant, & Johnson, 2010).
Dalam hal bagaimana panggilan itu terkait dengan kualitas hidup, (Duffy, Allan, & Bott,
2012) melakukan studi atas 472 mahasiswa dengan menggunakan 3 faktor: relijiusitas,
tingkatan pemenuhan panggilan dan evaluasi diri yang menunjukkan bahwa korelasi antara
panggilan dengan hidup yang bermakna lebih tinggi daripada kepuasan hidup, tingkatan
relijiusitas dengan pemenuhan panggilan tidak merupakan pengait antara panggilan dengan
kepuasan hidup, sedangkan evaluasi diri bukan merupakan moderator antara panggilan dengan
kepuasan hidup. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat makna hidup merupakan factor yang
mengkaitkan panggilan dengan kepuasan hidup.
Dalam hal bagaimana panggilan terkait dengan kemampuan menghadapi berbagai
kesulitan dalam hidup, (Oates, Hall, & Anderson, 2005) menengarai bahwa pelaksanaan
pemenuhan panggilan merupakan sumber kekuatan dalam pemenuhan berbagai tugas
pekerjaan, bahkan yang secara nalar dipersepsikan biasanya tidak mungkin. Dengan demikian
penghayatan panggilan dipersepsikan sebagai semacam sumber kekuatan yang transenden,
serta menimbulkan cara pandang positip terhadap berbagai masalah ataupun kegagalan yang
dihadapi.
(Beadle, 2013) dalam studinya mengenai bagaimana beberapa pemilik –pengelola sirkus
di Inggris mampu mempertahankan usaha mereka selama puluhan tahun menghadapi kondisi
ekonomi yang naik turun, menunjukkan bahwa mereka merasakan pengalaman menerapkan
kebajikan untuk setia (virtue of constancy) dalam kaitan dengan rasa keterpanggilan melalui
usaha yang dilakukan, dan itu merupakan faktor yang membuat mereka mampu bertahan
menghadapi berbagai kesulitan yang timbul.
Studi lain yang terkait dengan identitas ditunjukkan oleh (Hirschi, 2012) yaitu bahwa
mediator antara calling dengan keterlibatan kerja ( work engagement ) adalah pemaknaan kerja,
identitas dan kemandirian okupasional ( occupational identity, occupational self-efficacy).
Pemaknaan kerja adalah persepsi bahwa pekerjaan yang dilakukan itu penting dan bermakna,
identitas okupasional didefinisikan sebagai minat, kemampuan, sasaran dan nilai serta struktur
dirasakan seseorang dalam keberhasilan memenuhi berbagai tugas dari pekerjaan yang
dilakukan. Apa yang dilakukan seseorang dalam lingkungan social (dalam hal ini adalah
pekerjaannya) merupakan bagian dari ekspresi identitas sosialnya, yang dapat berkembang pula
sebagai pusat dari gambaran dirinya (identitas personalnya) (Gronlund, 2011).
4. Simpulan
Kerja sebagai panggilan adalah bagian dari penemuan identitas diri. Dengan demikian
bersifat pribadi unik. Sebagai suatu panggilan, kerja seperti itu selalu mengandung dimensi
transcendental, dalam arti keluar dari diri sendiri dan bersifat social. Sebagai suatu penemuan
identitas diri, penemuan panggilan melalui kerja juga bersifat developmental.
Pemaknaan kerja sebagai panggilan, merupakan bagian dari pemaknaan hidup sebagai
panggilan, meskipun bisa jadi secara lahiriah berat, tetapi umumnya memberikan dampak well
being yang positip. Dampak positip dari pemaknaan pekerjaan sebagai panggilan itu, semakin
memperkuat gambaran diri mengenai makna eksistensial dari identitas diri secara menyeluruh.
Pemaknaan menyeluruh tersebut disamping menyertakan pemaknaan berbagai
pengalaman yang telah dan sedang terjadi juga sekaligus mempertimbangkan sesuatu yang
ingin dicapai di kemudian hari. Seseorang yang memaknai hidupnya sebagai panggilan dan
menyadari dirinya sebagai seorang Indonesia, misalnya, akan mengupayakan
mengaktualisasikan segala potensi dirinya dalam konteks sosial Indonesia. Akan tetapi,
perwujudan kiprahnya, melihat perkembangan teknologi komunikasi pada jaman sekarang ini
yang mengglobal, mungkin tidak hanya sebatas lingkup fisik Indonesia saja, melainkan
mungkin pula regional, atau bahkan global.
References
Amiot, C. E., & Jaspal, R. (2014). Identity Integration, Psychological Coherence and Identity Threat: Linking Identity Process Theory and Notions of Integration. In R. Jaspal (eds), & G. M. Breakwell, Identity Process Theory Identity, Social Action and Social Change (pp. 155-174). Cambridge: Cambridge Books Online @ University Press.
Bargh (ed), J. A. (2007). Social Psychology and the Unconscious. New York: Psychology Press.
Beadle, R. (2013). Managerial Work in a Practice-Embodying Institution: the Role of Calling, the Virtue of Constancy. Journal of Business Ethics, 116, 679-690.
Bogart, G. C. (1992). Initiation into a Life's Calling: Vocation as a Central Theme in Personal Myth and Transpersonal Psychology. (Dissertation). (S. Institute, Ed.) U.M.I.
Breakwell, G. M. (2014). Identity Process Theory: clarifications and elaborations. In R. Jaspal (eds), & G. M. Breakwell, Identity Process Theory: Identity, Social Action and Social Change (pp. 20-38). Cambridge: Cambridge University Press. doi:http://dx.doi.org/10.1017/CBO9781139136983
Bunderson, J. S., & Thompson, J. A. (2009). The Call of the Wild Zookepers, Callings and the Dual Edges of Deeply Meaningful Work. Administrative Science Quarterly, 54, 32-57.
Dik, B. J., & Duffy, R. D. (2009, April). Calling and Vocation at Work: Definitions and Prospects for Research and Practice. The Counseling Psychologist, 37(3), 424-450.
Dik, B. J., Eldridge, B. M., Steger, M. F., & Duffy, R. D. (2012). Development and Validation of the Calling and Vocation Questionnaire (CVQ) and Brief Calling Scale (BCS). Journal of Career Assessment, 20(3), 242-263.
Dobrow, S. R., & Tosti-Kharas, J. (2011). Calling: the Development of a Scale Measure. Personnel Psychology, 64, 1001-1049.
Duffy, R. D., & Sedlaceck, W. E. (2007). The Presence of and Search for a Calling: Connections to Career Development. Journal of Vocational Behavior, 70, 590-601.
Duffy, R. D., & Sedlacek, W. E. (2010, September). The Salience of a Career Calling Among College Students: Exploring Group Differences adn Links to Religiousness, Life Meaning, and Life Satisfaction. The Career Development Quarterly, 59(1), 27-41.
Duffy, R. D., Allan, B. A., & Bott, E. M. (2012). Calling and Life Satisfaction among Undergraduate Students: Investigating Mediators and Moderators. Journal of Happiness Studies, 13, 469-479.
Elangovan, A. R., Pinder, C. C., & McLean, M. (2010). Callings and Organizational Behavior. Journal of Vocational Behavior, 76, 428-440.
Frankl, V. E. (2008). Man's Search for Meaning. London: Rider.
French, J. R., & Domene, J. F. (2010). Sense of Calling: an Organizing Principle for the Lives and Values of Young Women in University. Canadian Journal of Counseling, 44(1), 1-14.
Gronlund, H. (2011, December). Identity adn Volunteering Intertwined: Reflections on the Values of Young Adults. Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, 22(4), 852-874. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41307841
Hagmaier, T., & Abele, A. E. (2012). The Multidimensionality of Calling: Conceptualization, Measurement anda a Bicultural Perspective. Journal of Vocational Behavior.
Hall, D. T., & Chandler, D. E. (2005). Psychological Success: When the Career is a Calling. Journal of Organizational Behavior, 26, 155-176.
Hergenhahn, B. R., & Henley, T. B. (2014). An Introduction to the History of Psychology. Wadsworth: Cengage.
Hirschi, A. (2012). Callings and Work Engagement: Moderated Mediatin Model of Work
Horvarth, M. (2015, June). Predicting Work Outcomes from Religiosity and Perceived Calling. The Calling Development Quarterly, 63, 141-156.
Irwanto. (2017). Sejarah Psikologi: Perkembangan perspektif teoretik. Manuskrip.
Kinjerski, V., & Skrypnek, B. J. (2006). Creating Organizational Conditions that Foster Employee Spirit at Work. Leadership & Organization Development Journal, 27(4), 280-295.
Maslow, A. H. (1993). The Farther Reaches of Human Nature. Arkana: Penguin.
Moghaddam, F. M. (2012). The Omnicultural Imperative. Culture & Psychology, 18(3), 304-330.
Oates, K. L., Hall, M. L., & Anderson, T. L. (2005). Calling and Conflict: a Qualitative Exploration of Interrole Conflict and the Sanctification of Work in Christian Mothers in Academia. Journal of Psychology and Theology, 33(3), 210-223`.
Praskova, A., Creed, P. A., & Hood, M. (2015). The Development and Initial Validation of an Initial Career Calling Scale for Emerging Adults. Journal of Career Assessment, 23, 91-106.
Sellers, T. S., Thomas, K., Batts, J., & Ostman, C. (2005, Fall). Women Called: A Qualitative Study of Christian WomenDually Called to Motherhood and Career. Journal of Psychology and Theology, 33(3), 198-209.
Steger, M. F., & Dik, B. J. (2009). If One is Looking for Meaning in Life, Does it Help to Find Meaning in Work? Applied Psychology, Health and Well Being, I(3), 303-320.
Steger, M. F., Kasdan, T. B., Sullivan, B. A., & Lorentz, D. (2008, April). Understanding the Search for Meaning in Life: Personality, Cognitive Style, and the Dynamic Between Seeking and
Experiencing Meaning. Journal of Personality, 76(2), 199-229. doi:10.1111/j.1467-6494.2007.00484.x
Stets, J. E., & Burke, P. J. (2000, September). Identity Theory and Social Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2695870
Stets, J. E., & Carter, M. J. (2011, June). The Moral Self: Applying Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 74(2), 192-215. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41303977
Thompson, E., & Feldman, D. B. (2010, March). Let your life speak: assessing the effectiveness of a program to explore meaning, purpose, adn calling with college students. Journal of Employment Counseling, 47, 12-20.
Weiss, J. W., Skelley, M. F., Hall, D. (., & Haughey, S. J. (2004). Calling: New Career's and Spirituality a Reflective Perspective for Organizational Leaders and Professionals. In Spiritual Intelligent and Methaphor, and Morals. Research in Ethical Issues in Organizations, vol.5 (pp. 175-201). Amsterdam: Elsevier.Ltd.