• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTITAS DAN PEKERJAAN SEBAGAI PANGGIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IDENTITAS DAN PEKERJAAN SEBAGAI PANGGIL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

“IDENTITAS DAN PEKERJAAN SEBAGAI PANGGILAN”

1. Konsep Identitas

Identitas (‘identity’) merupakan dimensi dasar psikologis manusia, karena manusia adalah

mahluk yang sadar mengenai dirinya sendiri. Manusia berperan sebagai subyek yang sekaligus

pula dapat melihat dirinya sendiri sebagai obyek. Kesadaran akan dirinya sendiri itulah yang

membuatnya memahami bahwa pada satu sisi dirinya berbeda dengan orang-orang lain. Tetapi,

kebutuhan dasarnya untuk selalu bersama dengan orang lain menimbulkan juga pertanyaan,

sejauh mana orang – orang lain, terutama yang berada di sekitarnya itu memiliki kesamaan dan

perbedaan dengan dirinya.

Tokoh psikologi fungsionalisme William James menyatakan bahwa identitas itu mewujud

secara hirarkis. Yang paling bawah disebut sebagai ‘diri material’, yaitu apa saja yang bersifat

material yang diakui sebagai bagian dari diri seseorang (tubuh, kepemilikan lain). Perwujudan

tataran yang kedua disebut sebagai diri sosial, yaitu identitas dalam konteks atau kluster social

(ketergabungan pada kategorisasi social, peran social dsb). Tataran teratas adalah diri spiritual,

di mana semua kapasitas psikologis berfungsi (pikiran, intelek, kemauan dsb) (Irwanto, 2017).

Dengan demikian pada dasarnya identitas itu bersifat multi dimensi, dan tidak dapat

dipisahkan antara dimensi diri secara internal dengan dimensi sosialnya. Oleh karena itu studi

atas identitas dibahas oleh teori identitas sosial dan teori (perkembangan) identitas. Yang satu

lebih dekat dengan psikologi sosial sedangkan yang kedua lebih merupakan bagian dari

psikologi kepribadian. Kedua teori pada dasarnya mempunyai pandangan yang sama yaitu

bahwa seseorang dengan kemampuan refleksinya dapat mengkategorikan, mengklasifikasikan

ataupun menyebutkan dirinya dalam kaitannya dengan kategori atau klasifikasi sosial.

Kategorisasi tersebut didasarkan pada berbagai hal: sikap, keyakinan, sistim nilai, norma

perilaku yang terkait dengan kategorisasi antar kelompok sosial. Dalam tataran pribadi,

identitas sosial dengan berbagai kriteria itu mengandung persepsi mengenai ekspektasi sosial

yang dipahami pula sebagai suatu peran sosial tertentu (Stets & Burke, 2000).

Akan tetapi, konsep sosial dalam rangka identitas tidaklah selalu berarti lingkup sosial

(2)

yang keanggotaannya bisa jadi tersebar di seluruh dunia. Seiring dengan perkembangan

teknologi informasi pada jaman ini, seseorang dapat pula merupakan bagian dari suatu

komunitas sosial maya, yang perjumpaannya lebih dalam bentuk komunikasi melalui media

sosial daripada komunikasi fisik secara langsung. Bahkan perkembangan jaman beserta

teknologinya menimbulkan isu terkait identitas yang selama ini belum pernah ditemui.

Globalisasi misalnya, ditengarai menimbulkan ancaman terhadap identitas diri kelompok yang

terindikasi berkorelasi dengan tumbuhnya fenomena radikalisme sebagai mekanisme

pembelaan diri (Moghaddam, 2012). Dalam melakukan ‘curhat’, orang ditengarai semakin

mengandalkan orang lain dibanding orang terdekat. Komitmen ikatan relasi pribadi semakin

lama semakin rendah. Perubahan-perubahan trend perilaku sosial semacam itu, menimbulkan

perubahan pada elemen-elemen dari identity, yang bagaimanapun, membutuhkan integrasi

sehingga orang merasakan kongruensi (Amiot & Jaspal, 2014).

2. Pembentukan Identitas

Secara filosofis, pembentukan identitas oleh Eric Fromm dikatakan sebagai kesadaran dan

penerimaan seseorang akan dirinya dalam rangka membebaskan diri dari ciri-ciri

kebinatangannya dalam konteks hidup sosialnya sehingga dapat diterima secara sosial

(Irwanto, 2017). Dengan kata lain, seseorang mengidentifikasikan dirinya bukan lagi sebagai

individu terpisah yang berdiri sendiri, tetapi selalu dalam kaitannya dengan orang-orang lain

yang terdekat dengan dirinya. Kesadaran berpengalaman dengan orang yang digolongkan

sebagai ‘significant others’ inilah yang membentuk identitas diri seseorang (Bargh (ed), 2007).

Pengalaman sosial dengan orang-orang di sekitar seseorang, bagaiamanapun mencakup

berbagai elemen, sehingga perkembangan identitas merupakan pula suatu proses dinamis dari

pembentukan kepribadian, yang bersifat subyektif sekaligus obyektif (Breakwell, 2014).

Sifat multi dimensional dari identitas dengan demikian tidak dapat dipisahkan dari proses

pengembangannya yang melekat pada perkembangan kepribadian seseorang. Teori

perkembangan kepribadian dari Erikson, menyatakan bahwa pada dasarnya perkembangan

kepribadian manusia ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Perkembangan

tersebut merupakan hasil dari pengalamannya mengatasi berbagai apa yang disebut sebagai

konflik selama hidupnya. Erikson menjelaskan dalam teorinya yang disebut sebagai teori

(3)

mencakup masa perkembangan sejak bayi baru lahir hingga orang menjadi tua, yang pada

dasarnya memperlihatkan proses yang semula tergantung dari orang lain yang secara bertahap

semakin mandiri dan akhirnya bahkan mampu mengurusi generasi berikutnya.

Perkembangan identitas seseorang tidak hanya mencakup dimensi kemandirian, tetapi juga

moral. Identitas moral (moral self) mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang berdasarkan

pertimbangan baik dan tidak baik (Stets & Carter, 2011). Dalam hal ini, penjelasan dapat

mengacu pada teori perkembangan moral dari Piaget yang terdiri dari 3 tahapan utama (dari

usia anak hingga dewasa) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lawrence Kohlberg

menjadi 6 tahapan. Setiap tahapan membentuk apa yang disebut sebagai schema, yaitu

pemahaman seseorang akan apa yang baik dan tidak baik dan apa itu maknanya bagi diri

seseorang. Schema suatu tahapan menjadi dasar pijakan bagi pembentukan schema tataran

berikutnya. Teori tersebut menunjukkan bahwa dalam menilai baik dan buruk, seseorang

belajar mulai dari apa yang dikatakan oleh ‘otoritas sosial’ hingga sampai akhirnya menemukan

standar moralnya sendiri. Standar moral ini meskipun merupakan standar pribadi yang tidak

harus dikaitkan dengan otoritas sosial, tetapi justru mencerminkan standar moral yang bersifat

universal (Irwanto, 2017).

Pencapaian identitas diri dengan standar moral yang universal sebagaimana dikonsepkan

oleh Kohlberg, senada dengan penghayatan nilai-nilai kehidupan (B-values): kebenaran,

kejujuran, keadilan dsm yang bahkan dikatakan oleh Maslow sebagai salah satu kebutuhan

manusia. Kebutuhan tersebut, dalam hirarki kebutuhan Maslow disebut sebagai kebutuhan

aktualisasi diri yang tertinggi , yang diistilahkan sebagai ‘metaneeds’. Pada beberapa orang,

pencapaian kesadaran akan nilai-nilai moral yang universal itu, disertai dengan apa yang

disebut sebagai ‘peak experience’ atau pengalaman psikologis puncak yang dapat dikatakan

sebagai transenden (Maslow, 1993).

Dengan demikian, identitas, di samping bersifat multidimensional, sekaligus pula bersifat ‘developmental’. Sebagaimana seseorang merumuskan dirinya sebagai sesuatu yang integral, yang merupakan kesatuan dari pengalaman dan pemahamannya di masa lalu dan masa kini yang

sekaligus pula diproyeksikan dalam bentuk harapan akan masa depan; begitu pula identitas

adalah suatu proses yang menjadi.

(4)

Terkait identitas, isu tipikalnya tidak hanya soal perkembangan, integrasi dari berbagai

dimensi termasuk factor-faktor yang menghambat atau kongruensi psikologis antara identitas

diri dengan perilaku (Amiot & Jaspal, 2014), tetapi juga adalah mengenai maknanya bagi

seseorang. Sebagaimana James menyatakan bahwa manusia adalah mahluk subyek-obyek,

yang ‘knower’ dan yang juga sebagai ‘known’ (Irwanto, 2017), maka memahami,

mengintegrasikan dan memaknai berbagai pengalaman diri, singkatnya ‘mencari pemaknaan’

merupakan hasrat dasariah manusia yang dinyatakan oleh banyak ahli: Kierkegaard, Albert

Camus, Heidegger, Frankl, Maslow (Hergenhahn & Henley, 2014), (Steger, Kasdan, Sullivan,

& Lorentz, 2008).

Akan tetapi, pemaknaan identitas diri, tidak dapat dipisahkan dari pemaknaan hidup, yang

oleh Victor Frankl di-’claim’ sebagai kebutuhan psikologis manusia (Frankl, 2008). Pemaknaan

hidup adalah pemaknaan seseorang akan berbagai pengalaman dalam berinteraksi antara diri

internal dan konteks social berkembang seiring perkembangan pemahaman identitas diri itu

sendiri. Pemaknaan hidup sebagai cakupan pemaknaan yang lebih luas, akan menentukan tetapi

sekaligus dipengaruhi pula oleh pemaknaan akan identitas diri seseorang itu.

Pemaknaan akan hidup seseorang, karena bersifat unik pribadi dan berkembang, lebih

lanjut oleh Frankl dinyatakan sebagai semacam personal calling, suatu misi hidup yang bersifat

pribadi, hanya bagi pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain, pemaknaan hidup, dalam hal

ini hidup sebagai suatu panggilan yang bersifat pribadi, merupakan hasil dari pemaknaan akan

identitas dan sekaligus pula aktualisasinya melalui kesadaran akan identitas itu sendiri.

Pemaknaan hidup yang tertinggi, dalam arti pemaknaan yang esensial, eksistensial menyeluruh

atas hidup seseorang disebut oleh Frankl sebagai ‘ultimate meaning’ yang belum tentu dapat

dipahami oleh kapasitas pengertian manusia yang bagaimanapun juga, terbatas. Yang lebih

actual dan terpahami oleh pada umumnya manusia adalah pemaknaan akan kondisi, situasi,

kejadian, perasaan dan pemahaman internal diri yang lebih bersifat spesifik dan dengan

demikian: temporal. Itulah yang lebih konkrit dalam memahami apa yang dimaksud dengan

life calling, yang merupakan tanggapan seseorang akan situasi, pengalaman, kejadian dan

insight internal dalam diri pada suatu waktu.

Life calling mendapatkan perwujudan paling nyata melalui apa yang dilakukan oleh

seseorang sehari-hari, atau yang biasa disebut sebagai pekerjaan. Victor Frankl menyatakan,

(5)

hidup (Frankl, 2008). Konsep pemaknaan life calling seperti itu terindikasi sudah ada sejak

orang belum bekerja, sebagaimana ditunjukkan oleh studi (Duffy & Sedlaceck, 2007), (Duffy

& Sedlacek, 2010). Terkait dengan isu identitas, life calling merupakan isu sentral bagi

identitas diri seseorang melalui pekerjaannya (Dik & Duffy, 2009), (Hall & Chandler, 2005).

Fenomena pekerjaan sebagai bagian dari life calling antara lain diteliti dalam studi dari

(Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997), yang menunjukkan bahwa dari tiga

kemungkinan pemaknaan pekerjaan sebagai pencarian nafkah, sebagai karir atau sebagai

panggilan, sekitar sepertiga populasi respondennya memandang pekerjaan mereka sebagai

panggilan. Bagi mereka yang menganggap pekerjaan sebagai orientasi karir, pekerjaan

dipersepsikan sebagai suatu cara untuk memperoleh posisi sosial dan keuangan terutama

melalui pengakuan orang lain atas kesuksesan mereka. Mereka yang berorientasikan panggilan,

melakukan pekerjaan mereka terutama didorong oleh kebutuhan untuk mengintegrasikan minat

dan hasrat serta kemampuan mereka yang ditujukan demi pelayanan pada sesuatu kemanfaatan

kepentingan yang lebih besar. Meskipun demikian, pada kenyataannya , orang dapat juga

memaknai pekerjaannya baik sebagai panggilan, karir maupun sekaligus mata pencaharian, dan

karenanya orientasi kerja itupun pada dasarnya dikatakan oleh (Molloy & Dik, 2014) tidak

‘mutually exclusive’.

Perasaan terpanggil (sense of calling) sebagaimana diindikasikan oleh Frankl,

terekspresikan melalui fenomena seseorang yang merasa ‘ditarik’ untuk mengupayakan suatu

pekerjaan karena terkait dengan suatu tujuan dalam hidup tertentu (Berg, Grant, & Johnson,

2010), (Hall & Chandler, 2005). Perasaan panggilan itu juga diekspresikan sebagai suatu

passion yang penuh makna dalam bidang tertentu (Dobrow & Tosti-Kharas, 2011), sehingga

jika dikaitkan dengan karir, maka karir tersebut seakan terbentuk dengan sendirinya dan lebih

bermakna pribadi. Sehingga menjadi mudah dimengerti apa yang dikatakan (Elangovan,

Pinder, & McLean, 2010) dalam (Horvarth, 2015) bahwa rasa keterpanggilan itu sebagai ‘suatu

rangkaian tindakan untuk mengupayakan suatu tujuan berkepentingan sosial yang merupakan

perwujudan dari konvergensi pemahaman seseorang akan apa yang ingin dilakukan, hendaknya

dilakukan dan sebenarnya dilakukan oleh seseorang’. Dengan kata lain, merupakan isu

kongruensi nternal dan eksternal diri dalam rangka membentuk identitas diri.

Hal yang terkait dengan identitas sosial diungkapkan melalui elemen yang terdapat dalam

(6)

orang lain (Dik & Duffy, 2009), (Praskova, Creed, & Hood, 2015), adanya suatu perasaan

keyakinan yang bersifat pribadi oleh yang bersangkutan (Oates, Hall, & Anderson, 2005),

(Weiss, Skelley, Hall, & Haughey, 2004), yang secara spesifik dikatakan oleh (Bogart, 1992)

bahwa pengalaman transenden yang mendasari keyakinan pribadi itu tidak dapat dipisahkan

dari orientasi social dan pengembangan kepenuhan diri.

Yang dapat dikatakan sebagai bagian dari identitas eksistensial dari pemaknaan pekerjaan

sebagai panggilan adalah pendayagunaan berbagai anugerah dan talenta yang dimaknai sebagai

kewajiban moral seseorang (Bunderson & Thompson, 2009). Sebagai rangkuman dari apa yang

di’dikotomikan’ (Hall & Chandler, 2005) sebagai pemaknaan relijius dan sekuler mengenai

panggilan dalam pekerjaan, (Dik & Duffy, 2009) mengemukakan definisi rangkuman

mengenai panggilan karir sebagai memiliki 3 elemen, yaitu: a) suatu panggilan dari luar diri

yang transenden, b) mengenai suatu peran dalam hidup yang terkait dengan suatu tujuan atau

pemaknaan tertentu, dan c) bermotivasikan pada berbagai nilai dan kepentingan demi orang

lain.

Dampak dari pemaknaan pekerjaan sebagai panggilan pada diri seseorang, ditunjukan dari

beberapa studi yang menunjukkan bahwa orang yang menjalani pekerjaannya sebagai

panggilan ditengarai merasakan kondisi hidupnya lebih baik, dengan tingkat kesehatan yang

labih tinggi (Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997); atau kepuasan akademis

yang lebih tinggi (Duffy, Allan, & Bott, 2012), (Thompson & Feldman, 2010). Kualitas hidup

itu dirasakan sebagai hidup yang kaya dan seimbang, meskipun cukup berat dalam

menjalaninya dalam hal keterpanggilan itu dialami dalam tidak hanya satu kegiatan peran

social saja (Sellers, Thomas, Batts, & Ostman, 2005), (Kinjerski & Skrypnek, 2006), umumnya

mereka adalah orang yang proaktif dan berperhatian besar dengan rasa percaya diri yang mantap

(French & Domene, 2010). Hal ini didukung juga oleh (Oates, Hall, & Anderson, 2005) dalam

studi kualitatif atas 32 wanita kristiani yang bekerja menunjukkan bahwa rasa keterpanggilan

terkait dengan kemampuan untuk bertahan (coping), menghadapi kegagalan dalam perspektif

yang tepat dan kemampuan untuk menangani ketegangan dalam menjalani berbagai peran

sosial.

Kualitas hidup yang dipersepsikan sebagai hidup yang bermakna tinggi yang dikaitkan

dengan keterpanggilan juga ditunjukkan oleh (Steger & Dik, 2009)dalam dua studinya atas

(7)

yang menunjukkan bahwa mereka yang merasakan calling dalam arti memahami makna dari

karirnya merasakan pemaknaan hidup yang lebih tinggi. Rasa keterpanggilan yang tidak dapat

disalurkan atau menghadapi berbagai kesulitan dalam menjalankannya melalui pekerjaan

menimbulkan rasa penyesalan atau bahkan stress (Berg, Grant, & Johnson, 2010).

Dalam hal bagaimana panggilan itu terkait dengan kualitas hidup, (Duffy, Allan, & Bott,

2012) melakukan studi atas 472 mahasiswa dengan menggunakan 3 faktor: relijiusitas,

tingkatan pemenuhan panggilan dan evaluasi diri yang menunjukkan bahwa korelasi antara

panggilan dengan hidup yang bermakna lebih tinggi daripada kepuasan hidup, tingkatan

relijiusitas dengan pemenuhan panggilan tidak merupakan pengait antara panggilan dengan

kepuasan hidup, sedangkan evaluasi diri bukan merupakan moderator antara panggilan dengan

kepuasan hidup. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat makna hidup merupakan factor yang

mengkaitkan panggilan dengan kepuasan hidup.

Dalam hal bagaimana panggilan terkait dengan kemampuan menghadapi berbagai

kesulitan dalam hidup, (Oates, Hall, & Anderson, 2005) menengarai bahwa pelaksanaan

pemenuhan panggilan merupakan sumber kekuatan dalam pemenuhan berbagai tugas

pekerjaan, bahkan yang secara nalar dipersepsikan biasanya tidak mungkin. Dengan demikian

penghayatan panggilan dipersepsikan sebagai semacam sumber kekuatan yang transenden,

serta menimbulkan cara pandang positip terhadap berbagai masalah ataupun kegagalan yang

dihadapi.

(Beadle, 2013) dalam studinya mengenai bagaimana beberapa pemilik –pengelola sirkus

di Inggris mampu mempertahankan usaha mereka selama puluhan tahun menghadapi kondisi

ekonomi yang naik turun, menunjukkan bahwa mereka merasakan pengalaman menerapkan

kebajikan untuk setia (virtue of constancy) dalam kaitan dengan rasa keterpanggilan melalui

usaha yang dilakukan, dan itu merupakan faktor yang membuat mereka mampu bertahan

menghadapi berbagai kesulitan yang timbul.

Studi lain yang terkait dengan identitas ditunjukkan oleh (Hirschi, 2012) yaitu bahwa

mediator antara calling dengan keterlibatan kerja ( work engagement ) adalah pemaknaan kerja,

identitas dan kemandirian okupasional ( occupational identity, occupational self-efficacy).

Pemaknaan kerja adalah persepsi bahwa pekerjaan yang dilakukan itu penting dan bermakna,

identitas okupasional didefinisikan sebagai minat, kemampuan, sasaran dan nilai serta struktur

(8)

dirasakan seseorang dalam keberhasilan memenuhi berbagai tugas dari pekerjaan yang

dilakukan. Apa yang dilakukan seseorang dalam lingkungan social (dalam hal ini adalah

pekerjaannya) merupakan bagian dari ekspresi identitas sosialnya, yang dapat berkembang pula

sebagai pusat dari gambaran dirinya (identitas personalnya) (Gronlund, 2011).

4. Simpulan

Kerja sebagai panggilan adalah bagian dari penemuan identitas diri. Dengan demikian

bersifat pribadi unik. Sebagai suatu panggilan, kerja seperti itu selalu mengandung dimensi

transcendental, dalam arti keluar dari diri sendiri dan bersifat social. Sebagai suatu penemuan

identitas diri, penemuan panggilan melalui kerja juga bersifat developmental.

Pemaknaan kerja sebagai panggilan, merupakan bagian dari pemaknaan hidup sebagai

panggilan, meskipun bisa jadi secara lahiriah berat, tetapi umumnya memberikan dampak well

being yang positip. Dampak positip dari pemaknaan pekerjaan sebagai panggilan itu, semakin

memperkuat gambaran diri mengenai makna eksistensial dari identitas diri secara menyeluruh.

Pemaknaan menyeluruh tersebut disamping menyertakan pemaknaan berbagai

pengalaman yang telah dan sedang terjadi juga sekaligus mempertimbangkan sesuatu yang

ingin dicapai di kemudian hari. Seseorang yang memaknai hidupnya sebagai panggilan dan

menyadari dirinya sebagai seorang Indonesia, misalnya, akan mengupayakan

mengaktualisasikan segala potensi dirinya dalam konteks sosial Indonesia. Akan tetapi,

perwujudan kiprahnya, melihat perkembangan teknologi komunikasi pada jaman sekarang ini

yang mengglobal, mungkin tidak hanya sebatas lingkup fisik Indonesia saja, melainkan

mungkin pula regional, atau bahkan global.

References

Amiot, C. E., & Jaspal, R. (2014). Identity Integration, Psychological Coherence and Identity Threat: Linking Identity Process Theory and Notions of Integration. In R. Jaspal (eds), & G. M. Breakwell, Identity Process Theory Identity, Social Action and Social Change (pp. 155-174). Cambridge: Cambridge Books Online @ University Press.

Bargh (ed), J. A. (2007). Social Psychology and the Unconscious. New York: Psychology Press.

Beadle, R. (2013). Managerial Work in a Practice-Embodying Institution: the Role of Calling, the Virtue of Constancy. Journal of Business Ethics, 116, 679-690.

(9)

Bogart, G. C. (1992). Initiation into a Life's Calling: Vocation as a Central Theme in Personal Myth and Transpersonal Psychology. (Dissertation). (S. Institute, Ed.) U.M.I.

Breakwell, G. M. (2014). Identity Process Theory: clarifications and elaborations. In R. Jaspal (eds), & G. M. Breakwell, Identity Process Theory: Identity, Social Action and Social Change (pp. 20-38). Cambridge: Cambridge University Press. doi:http://dx.doi.org/10.1017/CBO9781139136983

Bunderson, J. S., & Thompson, J. A. (2009). The Call of the Wild Zookepers, Callings and the Dual Edges of Deeply Meaningful Work. Administrative Science Quarterly, 54, 32-57.

Dik, B. J., & Duffy, R. D. (2009, April). Calling and Vocation at Work: Definitions and Prospects for Research and Practice. The Counseling Psychologist, 37(3), 424-450.

Dik, B. J., Eldridge, B. M., Steger, M. F., & Duffy, R. D. (2012). Development and Validation of the Calling and Vocation Questionnaire (CVQ) and Brief Calling Scale (BCS). Journal of Career Assessment, 20(3), 242-263.

Dobrow, S. R., & Tosti-Kharas, J. (2011). Calling: the Development of a Scale Measure. Personnel Psychology, 64, 1001-1049.

Duffy, R. D., & Sedlaceck, W. E. (2007). The Presence of and Search for a Calling: Connections to Career Development. Journal of Vocational Behavior, 70, 590-601.

Duffy, R. D., & Sedlacek, W. E. (2010, September). The Salience of a Career Calling Among College Students: Exploring Group Differences adn Links to Religiousness, Life Meaning, and Life Satisfaction. The Career Development Quarterly, 59(1), 27-41.

Duffy, R. D., Allan, B. A., & Bott, E. M. (2012). Calling and Life Satisfaction among Undergraduate Students: Investigating Mediators and Moderators. Journal of Happiness Studies, 13, 469-479.

Elangovan, A. R., Pinder, C. C., & McLean, M. (2010). Callings and Organizational Behavior. Journal of Vocational Behavior, 76, 428-440.

Frankl, V. E. (2008). Man's Search for Meaning. London: Rider.

French, J. R., & Domene, J. F. (2010). Sense of Calling: an Organizing Principle for the Lives and Values of Young Women in University. Canadian Journal of Counseling, 44(1), 1-14.

Gronlund, H. (2011, December). Identity adn Volunteering Intertwined: Reflections on the Values of Young Adults. Voluntas: International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations, 22(4), 852-874. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41307841

Hagmaier, T., & Abele, A. E. (2012). The Multidimensionality of Calling: Conceptualization, Measurement anda a Bicultural Perspective. Journal of Vocational Behavior.

Hall, D. T., & Chandler, D. E. (2005). Psychological Success: When the Career is a Calling. Journal of Organizational Behavior, 26, 155-176.

Hergenhahn, B. R., & Henley, T. B. (2014). An Introduction to the History of Psychology. Wadsworth: Cengage.

Hirschi, A. (2012). Callings and Work Engagement: Moderated Mediatin Model of Work

(10)

Horvarth, M. (2015, June). Predicting Work Outcomes from Religiosity and Perceived Calling. The Calling Development Quarterly, 63, 141-156.

Irwanto. (2017). Sejarah Psikologi: Perkembangan perspektif teoretik. Manuskrip.

Kinjerski, V., & Skrypnek, B. J. (2006). Creating Organizational Conditions that Foster Employee Spirit at Work. Leadership & Organization Development Journal, 27(4), 280-295.

Maslow, A. H. (1993). The Farther Reaches of Human Nature. Arkana: Penguin.

Moghaddam, F. M. (2012). The Omnicultural Imperative. Culture & Psychology, 18(3), 304-330.

Oates, K. L., Hall, M. L., & Anderson, T. L. (2005). Calling and Conflict: a Qualitative Exploration of Interrole Conflict and the Sanctification of Work in Christian Mothers in Academia. Journal of Psychology and Theology, 33(3), 210-223`.

Praskova, A., Creed, P. A., & Hood, M. (2015). The Development and Initial Validation of an Initial Career Calling Scale for Emerging Adults. Journal of Career Assessment, 23, 91-106.

Sellers, T. S., Thomas, K., Batts, J., & Ostman, C. (2005, Fall). Women Called: A Qualitative Study of Christian WomenDually Called to Motherhood and Career. Journal of Psychology and Theology, 33(3), 198-209.

Steger, M. F., & Dik, B. J. (2009). If One is Looking for Meaning in Life, Does it Help to Find Meaning in Work? Applied Psychology, Health and Well Being, I(3), 303-320.

Steger, M. F., Kasdan, T. B., Sullivan, B. A., & Lorentz, D. (2008, April). Understanding the Search for Meaning in Life: Personality, Cognitive Style, and the Dynamic Between Seeking and

Experiencing Meaning. Journal of Personality, 76(2), 199-229. doi:10.1111/j.1467-6494.2007.00484.x

Stets, J. E., & Burke, P. J. (2000, September). Identity Theory and Social Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 63(3), 224-237. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/2695870

Stets, J. E., & Carter, M. J. (2011, June). The Moral Self: Applying Identity Theory. Social Psychology Quarterly, 74(2), 192-215. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41303977

Thompson, E., & Feldman, D. B. (2010, March). Let your life speak: assessing the effectiveness of a program to explore meaning, purpose, adn calling with college students. Journal of Employment Counseling, 47, 12-20.

Weiss, J. W., Skelley, M. F., Hall, D. (., & Haughey, S. J. (2004). Calling: New Career's and Spirituality a Reflective Perspective for Organizational Leaders and Professionals. In Spiritual Intelligent and Methaphor, and Morals. Research in Ethical Issues in Organizations, vol.5 (pp. 175-201). Amsterdam: Elsevier.Ltd.

Referensi

Dokumen terkait

Anda harus tahu nama sistem operasi Anda, versinya, arsitekturnya, versi kernelnya, spesifikasi perangkat keras Anda, proses dan servis pada sistem, siapa saja user yang ada dan

Puji  syukur  dan  sujud  syukur  senantiasa  terpanjatkan  kehadirat  Allah  SWT  atas  segala  keagungan  dan  kemahabesaran.  Hanya  dengan  petunjuk,  rahmat 

Namun hasil analisis partisipasinya menunjukkan bahwa masyarakat pertanian tidak aktif dalam pengelolaan USDT berkelanjutan sehingga diperlukan upaya-upaya yang serius oleh

METODOLOGI.

Tujuan diselenggarakannya KKN PPuN Universitas Ahmad Dahlan adalah KKN PPuN dilaksanakan dalam rangka kerjasama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat

Rumah Sakit yang telah mengupayakan terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUP Dr.. Teman – teman PKPA

Bercakap-cakap merupakan salah satu bentuk komunikasi antar pribadi. Berkomunikasi merupakan proses dua arah.. terjadinya komunikasi dalam percakapan diperlukan

Yuda Permana selaku residen bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin untuk pemeriksaan klinis penelitian ini serta dukungan yang berarti kepada saya selama penyusunan Karya Tulis