• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam - macam Negosiasi (1 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Macam - macam Negosiasi (1 )"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

“Macam-macam Negosiasi”

Disusun oleh:

Reza Pusparani Pertiwi 071411231017 Syahrul Adityawarman 071411231045 Rizky Anandita Prabowo 071411231067 M. Trisuryo Andaru R. 071411233012

Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Istilah diplomasi sudah tidak asing lagi bagi khalayak umum, khususnya bagi akademisi dalam studi Hubungan Internasional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diplomasi memiliki arti sebuah urusan atau penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dan negara yang lain. Lebih luas lagi diplomasi dapat dipahami sebagai kecakapan menggunakan pilihan kata yang tepat bagi keuntungan pihak yang bersangkutan, entah itu dalam perundingan, menjawab pertanyaan, mengemukakan pendapat dan sebagainya. Diketahui bahwa istilah diplomasi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Kata diplomasi berasal dari kata “diploun” yang berarti melipat dan “diplomas” yang berarti “melipat dokumen” dalam bahasa Yunani (Kurizaki, 2011: 4-5). Hal tersebut membuktikan bahwa praktek diplomasi sudah berlangsung sangat lama. Dalam prakteknya, diplomasi memiliki keterkaitan erat dengan negosiasi. Istilah negosiasi dapat diartikan sebagai proses tawar-menawar antara dua pihak atau lebih dalam usaha mencari landasan bersama dan mencapai kesepakatan bersama untuk menyelesaikan masalah yang menjadi perhatian bersama atau untuk menyelesaikan konflik (businessdictionary.com). Kedua kegiatan ini tidak dapat dipisahkan dalam prakteknya, hal ini karena keduanya saling berhubungan satu sama lain. Saat kita melakukan praktek diplomasi, kita juga perlu melakukan negosiasi disaat yang bersamaan guna memperjuangkan kepentingan yang kita miliki.

Bagi sebuah negara, diplomasi dan negosiasi menjadi salah satu alat untuk melakukan komunikasi dengan aktor lain, khususnya dalam hubungan internasional. Dalam hal ini, yang melakukan diplomasi adalah seorang perwakilan negara yang disebut diplomat. Kesalahan dalam menilai kekuatan atau kelemahan, tujuan aspirasi bangsa lain, dan sebagainya, bisa membawa kepada kesalahan yang besar dalam membentuk kerangka politik luar negeri suatu bangsa (Roy, 1995: 32). Maka dari itu, seorang diplomat atau negosiator dituntut untuk dapat melakukan proses diplomasi dan negosiasi dengan sikap dan sifat yang sudah seharusnya dimiliki oleh seorang perwakilan negara.

(3)

khususnya dalam hubungan internasional. Dalam makalah ini penulis akan lebih berfokus membahas negosiasi mulai dari pengertian, unsur-unsur, macam-macam, hingga peran negosiasi dalam Hubungan Internasional.

BAB II

MACAM-MACAM NEGOSIASI

Manusia tidak bisa lepas dari negosiasi. Negosiasi terjadi dan dilakukan oleh manusia untuk mencapai kesepakatan, misalnya dalam tawar menawar barang, bernegosiasi kepada bos untuk menaikkan gaji dan lain-lain, sehingga negosiasi mungkin telah dilakukan hampir oleh semua orang. Negosiasi ada dalam berbagai bidang mulai dari yang berskala besar seperti bisnis, organisasi internasional, pemerintahan, antarbangsa hingga yang berskala kecil seperti masalah pribadi dalam urusan pernikahan maupun perceraian. Interaksi dan komunikasi untuk mencapai kesepakatan, entah itu memenangkan sesuatu atau merelakan sesuatu merupakan proses dalam bernegosiasi.

Dari adanya studi terhadap negosiasi, para pestudi mengelompokkan dua macam negosiasi, yakni Distributive Negotiation/Bargaining dan Integrative Negotiation. Dua pengelompokkan negosiasi ini telah menjadi sorotan banyak pestudi. Hasil yang ingin dicapai dalam negosiasi biasanya di analogikan dengan pai, meskipun masing-masing pestudi memiliki istilah dan pandangan tersendiri mengenai keduanya, namun penulis akan membahas garis besar dari macam-macam negosiasi yang telah disebutkan.

A. Distributive Negotiation/Bargaining

(4)

semakin berkurang sumber daya yang disepakati. Terkadang satu isu yang dipermasalahkan berkaitan dengan harga dan biasanya berhubungan dengan proses tawar-menawar. Sehingga

distributive bargaining/negotiation ini juga disebut sebagai ‘Win – Lose’, atau ‘Fixed-Pie’ negotiation karena satu pihak mendapat untung lebih banyak ketika pihak yang lain justru berkurang.

Distributive bargaining ini penting karena ada beberapa isu atau perselisihan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara lain selain “menang atau kalah” (Spangler, 2003). Jika yang diperebutkan memiliki nilai tinggi bagi masing-masing pihak, bahkan konflik tersebut bisa resistan terhadap resolusi. Misalnya, jika terjadi pemangkasan anggaran di suatu pemerintahan sebesar 10 persen, maka keputusan tentang apa yang harus disingkirkan menjadi sulit. Keputusan distributif dilakukan agar tidak mencederai bidang-bidang yang dipangkas anggarannya dan tidak ikut “melukai” bidang-bidang lain.

Beberapa teoris berpendapat bahwa distributive bargaining tidak perlu, karena konflik dapat diselesaikan secara kooperatif melalui perundingan yang integratif. Dengan kreativitas, pihak yang berselisih hampir selalu dapat bekerjasama untuk memperluas “pai” yang diinginkan dan menciptakan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak (Fisher dan Urydalam Spangler, 2003). Bahkan ketika anggaran harus dipotong, mereka akan berpendapat, pihak berselisih perlu membuat keputusan bersama sehingga semua pihak mendapatkan hasil terbaik. Distributive bargaining juga telah dikritik karena cenderung mengarah pada tindakan destruktif dan kadang-kadang memaksa pihak yang terlibat untuk fokus terlalu banyak pada perbedaan mereka. Namun, dalam kasus di mana negosiator ingin memaksimalkan hasil yang diperoleh dalam suatu kesepakatan dan tidak mementingkan hubungan dengan pihak lain maka, distributive bargaining

mungkin sangat berguna.

B. Integrative Negotiation/Bargaining

(5)

pihak karena hal-hal tersebut merupakan alasan yang mendasari mengapa orang terlibat dalam konflik (Spangler, 2003). Integratif mengacu pada potensi kepentingan para pihak untuk menjadi (gabungan) dengan cara yang menciptakan “pai” bersama atau memperbesar “pai”. Potensi untuk integrasi hanya ada ketika ada beberapa isu yang terlibat dalam negosiasi. Hal ini dikarena kan pihak-pihak harus mampu membuat kesepakatan di isu agar kedua belah pihak puas dengan hasilnya.

Integrative bargaining/negotiation juga tidak kalah penting karena umumnya membuahkan “pai” yang lebih memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat daripada distributive bargaining/negotiation. Dalam distributive bargaining menentukan sesuatu yang telah saklek, sehingga cenderung menghasilkan kompromi bukannya suatu perjanjian. Bahkan terkadang kompromi tidak secara efisien memuaskan kepentingan utama dari pihak-pihak berselisih. Sebaliknya, kompromi hanya memberikan masing-masing setengah sisi “pai” yang mereka inginkan. Di sisi lain integrative bargaining dapat berpotensi memberikan pihak-pihak semua apa yang mereka inginkan.

Meskipun keduanya sering dianggap bertolak belakang, namun keduanya tidak saling mengekslusifkan diri. Distributive bargaining bisa berperan dalam integrative bargaining karena pada akhirnya “pai” harus berpisah. Integrative bargaining adalah cara yang baik untuk membuat “pai” semakin besar, tapi pada akhirnya pihak-pihak harus mendistribusikan “pai” tersebut yang diciptakan melalui proses negosiasi. Mereka harus setuju siapa yang mendapat apa. Ide di balik integrative bargaining adalah membantu mempermudah di tahap akhir ini, yakni pembagian “pai”.Hal ini dikarenakan pendekatan berbasis kepentingan membantu menciptakan hubungan yang kooperatif.Secarateoritis, para pihak harus dan wajib tahu siapa menginginkan apa saat “pai” dibagikan (Lax danSebenius, 1986 dalam Spangler, 2003).

(6)
(7)

DAFTAR PUSTAKA

Kurizaki, Shuhei. 2011. Natural History of Diplomacy, Texas : A&M University Press Roy, S.L. 1991. “Diplomasi”. Jakarta: Rajawali Pers

Spangler, Brad. 2003. "Distributive Bargaining" dalam Beyond Intractability, (eds.) Guy Burgess dan Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder.<http://www.beyondintractability.org/essay/distributive-bargaining> (diakses pada 23 September 2015)

Spangler, Brad. 2003. "Integrative or Interest-Based Bargaining" dalam Beyond Intractability, (eds.) Guy Burgess dan Heidi Burgess. Conflict Information Consortium, University of Colorado, Boulder. <http://www.beyondintractability.org/essay/interest-based-bargaining> (diakses pada 23 September 2015)

Referensi

Dokumen terkait

obyek wisata yang ada dengan menggandeng investor dari pihak swasta akan. membuat obyek wisata yang ditawarkan semakin dikenal dan

Artinya semakin besar komisaris yang ada dalam perusahaan akan membuat tata kelola perusahaan yang baik, sehingga kecil kemungkinan terjadi masalah kesulitan

Dunia perusahaan saat ini terdapat banyak persaingan yang semakin meningkat dan ketat sehingga membuat perusahaan melakukan segala cara untuk dapat mencapai kesuksesan