• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Silvikultur ( 1 )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktikum Silvikultur ( 1 )"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hutan sebagai sumberdaya alam yang dpat diperbaharui memberikan manfaat pada setiap manusia. Namu dari tahun ke tahun kawasan hutan semakin berkurang seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan hasil hutan dan adanya kemajuan teknologi. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat berbanding terbalik dengan persediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan manusia di masa datang (Anonim, 2012).

Keberadaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, terutama hasil hutan yang berupa kayu dan non kayu yang memiliki sifat estetika yang alamiah membuat banyak orang tertarik untuk mengelolanya. Akan tetpi pengolahan hutan ini, biasanya dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab misalnya menebang tanpa melakukan penanaman kembali, sehingga mengakibatkan terputusnya siklus kehidupan di dalam hutan dan berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan dan perekonomian negara (Anonim, 2012).

Banyak cara yang telah dilakukan untuk menutupi ketersediaan sumberdaya hutan yang semakin terbatas, misalnya melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL) yang merupakan kegiatan yang menggunakan rangkaian kegiatan silvikultur. Dalam ilmu silvikultur membahas mengenai penenaman, penumbuhan, pemeliharaan, pemungutan hasil dan melaksanakan permudaan. Oleh karena itu, dalam usaha melestarikan hutan perlu dipahami prinsip dan cara teknis dalam penerapan ilmu silvikultur ini (Anonim, 2012).

(2)

B. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui sebaran diameter tegakan jati.

2. Mengetahui kerapatan tegakan jati. 3. Mengetahui bonita tegakan jati.

4. Mengetahui derajat kekerasan penjarangan tegakan jati.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bonita

Bonita adalah suatu ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang ditetapkan berdasar hasil pengukuran tinggi rata – rata seratus pohon tertinggi per ha (pohon peninggi ) suatu tegakan pada umur tertentu. Bonita I menunjukkan kualitas tempat tumbuh paling rendah dan bonita V dan VI menunjukkan kualitas paling tinggi (Junus dkk, 1984).

Lingkungan hutan biasanya dinamakan tempat tumbuh. Tempat tumbuh dapat diartikan dengan jumlah dari keadaan – keadaan yang efektif yang mempengaruhi penghidupan suatu tumbuh – tumbuhan atau masyarakat tumbuh – tumbuhan. Dilihat dari segi silvikultur maka tempat tumbuh adalah semua yang berhubungan dengan faktor – fakor yang mempengaruhi vegetasi hutan. Jadi jelasnya bahwa tempat tumbuh adalah amat kompleks dan merupakan hasil interaksi dari banyak faktor yang dihasilkan persatuan areal berkorelasi dengan faktor – faktor tempat tumbuh. Suatu perubahan – perubahan dalam fsktor – faktor akan menyebabkan suatu perubahan dalam volume kayu yang diprodusir dan juga perubahan dalam sifat – sifat vegetasinya. Suatu perubahan dalam suplai air di bawah jumlah optimum yang diperlukan suatu tipe vegetasi akan menurunkan hasil volume. Kualitas tempat tumbuh menunjukkan kapasitas produksi dari suatu areal tanah hutan biasanya untuk suatu kombinasi dari spesies (Soetrisno, 1998).

(4)

lahan mungkin dapat dikembangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengolahan hutan jati (Anonim, 2009).

Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan antara peninggi dan umur tegakan di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan dimana penilaian terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian terlalu tinggi untuk tanaman yang sudah tua. Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung untuk menentukan kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang direncanakan (Soetrisno, 1998).

B. Penjarangan

Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau periode permudaa. Tujuannya yaitu pemungutan pohon terutama untuk mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas tegakan tinggal (Soekotjo, 1992).

Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan keseimbnagan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan eki=onomi untuk memperoleh hasil yang maksimal dikemudian hari. Penjarangan berpengaruh terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume total tegakan. Selain itu jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang (Wanggai, 2009).

(5)

bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir yang diperoleh dari suatu kawasan hutan (Wanggai, 2009).

Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami terjadi persaingan dalam suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercatat keseimbangan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.

Penjarangan dapat dilakuan 2 kali pada umur 5-7 tahun sebanyak 25% dan pada umur 10 tahun sebanyak 25% dan pada umur 15 tahun dilakukan tebang habis atau panen total. Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang mungkin bisa dilakukan ini tergantung pada: Jarak tanam; Kesuburan tanah; Perawatan; Pelaksanaan penjarangan sendiri didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis; Jumlah pohon persatuan luas ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah; Penjarangan tajuk; Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang ideal adalah dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal pertumbuhannya (Manan, 1976).

(6)

1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)

Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang kemudian disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai pada lapisan tajuk paling atas.

2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)

Penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas (dominanan trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam crown thinning tidak ada penjelasan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk kodominan dan dominan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan metode penjarangan ini adalah dua kelas diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.

3. Penjarangan Seleksi ( Selection Thinnning)

(7)

4. Penjarangan Mekanik (Mechanichal Thinning)

Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hamper seragam. Dalam aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut pula penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan pada tegakan yang berukuran sedang setelah mencapai ukuran poles atau tiang maka digunakan metode lain.

5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)

Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain sehingga disebut free thinking tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik dikemudian hari.

C. Derajat Kekerasan Penjarangan

S% (Derajat Ketinggian Penjarangan), yaitu rata-rata jarak antara pohon yang dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (sama dengan rata-rat pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk S% optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S% pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15 – 35% (Anonim, 2012).

(8)

D. Kerapatan

Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi dalam rangka pengembangan tegakan (Theodore, dkk, 1987).

Kerapatan tegakan merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuh dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikulturis dapat mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan, dan juga memodifikasi kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter, dan bahkan volume produksi selama periode perkembangan tegakan. Kerapatan tegakan didefenisikan sebagai ukuran kuantitatif stok pohon yang dinyatakan secara relative sebagai koefisien, dengan mengambil jumlah normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap unit areal (Theodore, dkk, 1987).

Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan dibagi atas 2 yakni kerapatn rendah dan kerapatan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2012).

(9)

nutrisi semakin besar, sehingga diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman yang sejenis (Anonim, 2012).

Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan faktor-faktor yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata bagi setiap individu tanaman dan untuk mengoptimasi penggunaan faktor lingkungan yang tersedia. Metode untuk pengukuran kerapatan tegakan didasarkan pada prinsip biologis yang hanya dikenal baru-baru ini yaitu, korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus contorta (Theodore, dkk, 1987).

(10)

BAB III

METODE PRAKTIKUM A. Waktu dan Tempat

Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015 pukul 09.30 WITA – selesai yang bertempat di tegakan jati Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin Makassar.

B. Alat dan Bahan 1. Alat

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah: a. Pita meter digunakan untuk mengukur keliling pohon.

b. Roll meter digunakan untuk mengukur plot dan jarak pengamat dari pohon. c. Abney level digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang

pohon.

d. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasi praktek lapangan.

e. Alat tulis menulis digunakan sebagai alat untuk mencatat hasil yang diamati. 2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut: a. Tally sheet digunakan sebagai tempat untuk mencatat data hasil pengukuran. b. Tali rafia digunakan untuk memberi tanda batas wilayah praktikum..

c. Tegakan pohon jati (Tectona grandis) yang dijadikan sebagai objek dalam praktikum ini.

C. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktek lapang silvikultur, ialah: 1. Menentukan lokasi pengamatan.

2. Membuat 2 plot, yang masing-masing plot berukuran 10 x 10 m.

3. Melakukan pengukuran keliling pohon dengan menggunakan pita meter serta tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon menggunakan abney level.

(11)

5. Mengolah data dengan menggunakan rumus. D. Analisa Data

Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur adalah sebagai berikut :

1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi ke diameter, dengan rumus :

d = πk , dengan k adalah keliling, π bernilai 3,14 2. Menghitung tinggi pohon menggunakan abney level, dengan rumus :

Tinggi total : tinggi pengamat + jarak . tan α1 Tinggi bebas cabang (Tbc) : tinggi pengamat + jarak . tan α2 3. Menghitung Luas Bidang Dasar (LBDS) dengan menggunakan rumus:

B=

(

π4

)

d2atau B=π r2

4. Menghitung volume pohon Tbc dengan rumus : Volume Tbc = B .Tbc . f Dimana : B : Luas Bidang dasar (LBDS) m2

Tbc : Tinggi bebas cabang, m f : Angka Bentuk (0,8) 5. Menghitung volume tinggi dengan rumus :

Volume Tinggi = B .Ttotal . f Dimana : B : Luas Bidang dasar (LBDS) m2

Ttotal : Tinggi total pohon, m f : Angka Bentuk (0,8) 6. Kurva Kelas Diameter

J = d maksimal – d minimal K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon) P = J/K

(12)

J = jangkauan data

K = banyaknya interval kelas P = panjang kelas

7. Kerapatan

a. Kerapatan Individu

Kerapatan Individu/ha = Jumlah PohonLuas b. Kerapatan LBDs

Kerapatan LBDs/ha = Σ LBDs seluruh plotLuas Area Luas Plot sampel = 0,1 ha

8. Bonita

Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus : H = h1 + h2 + h3 +…..+ n

N Keterangan:

H : Tinggi rata-rata (peninggi) h : Peninggi masing-masing pohon N : Jumlah Pohon.

9. Penjarangan

Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat kekerasan Penjarangan (S%) adalah sebagai berikut :

S% Hitung = pea x 100 %

a = √10000 x

N2 √3

Keterangan :

a = jarak antar Pohon p = Peninggi

(13)

S% Tabel dapat dilihat pada tabel Bonita.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil

1. Kelas Diameter

Menghitung kurva kelas diameter dengan mengunakan rumus: a. Jangkauan Data (J)

J = dmax - dmin

b. Banyak Interval Kelas

K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon) c. Panjang Interval Kelas

P = KJ Penyelesaian: a. Jangkauan data

Untuk Plot 1: Untuk Plot 6:

J = 26,43 – 11,47 = 14,96 cm J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm

Untuk Plot 2: Untuk Plot 7:

J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm J = 26,43 – 16,88 = 9,55 cm

Untuk Plot 3: Untuk Plot 8:

J = 21,66 – 14,65 = 7,01 cm J = 19,43 – 9,24 = 10,19 cm

Untuk Plot 4: Untuk Plot 9:

J = 25,29 –17,29 = 8 cm J = 25,48 –11,47 = 14,01cm

Untuk Plot 5: Untuk Plot 10:

J = 23,89 –11,47 = 14,19 cm J = 24,84 –12,10 = 12,74 cm Untuk semua plot dari plot 1 – plot 10

(14)

k = 1 + 3,3 log (Jumlah Pohon) k = 1 + 3,3 log 110

k = 1 + 3,3 × 2,04 k = 1 + 3,3 (1,04) k = 1 + 6,73 k = 7,73

Maka, banyaknya interval kelas adalah 8 c. Panjang Interval Kelas

P = KJ

P = 17,198 P = 2,15

d. Batas Interval Kelas

Tabel 1. Data Frekuensi Kelas Diameter Pohon

Kelas Interval (cm) Frekuens i

1 9,24-11,39 2

2 11,40-13,55 11

3 13,56-15,71 10

4 15,72-17,87 15

5 17,88-20,03 30

6 20,04-22,19 25

7 22,20-24,35 11

(15)

0

(16)

Plot 4 =

Pohon Plot IV

(17)

Kerapatan LBDs/ha =

LBDS Seluruh Plot ∑ Luas Area Penyelesaian:

a. Kerapatan Individu

Plot 1 = 0,113 = 130 Plot 6 = 0,18 = 80

Plot 2 = 0,112= 120 Plot 7 = 0,16 = 60

Plot 3 = 0,110 = 100 Plot 8 = 0,112 = 120

Plot 4 = 0,17 = 70 Plot 9 = 0,115 = 150

Plot 5 = 0,112 = 120 Plot 10 = 0,115 = 150

Kerapatan Individu/Ha = 1101 = 110 pohon/ha b. Kerapatan LBDS

Plot 1 = 0,406 m2 Plot 6 = 0,214 m2

Plot 2 = 0,322 m2 Plot 7 = 0,202 m2

Plot 3 = 0,285 m2 Plot 8 = 0,240 m2

Plot 4 = 0,246 m2 Plot 9 = 0,526 m2

Plot 5 = 0,320 m2 Plot 10 = 0,363 m2

Σ LBDs seluruh plot = 3,124 m2

Jadi, Kerapatan LBDs =3,1240,1 = 31,24 m2 / ha

3. Bonita a. Peninggi

Untuk menentukan bonita, sebelumnya peninggi seluruh plot harus ditentukan terlebih dahulu dengan rumus berikut :

Peninggi Plot ke-n = Σ10Pohontertinggi plot ke10n(TT)

(18)

Penyelesaian:

Peninggi Plot 1 = 15,881 m Peninggi Plot 6 = 18,821 m Peninggi Plot 2 = 13,104 m Peninggi Plot 7 = 19,600 m Peninggi Plot 3 = 29,075 m Peninggi Plot 8 = 16,386 m Peninggi Plot 4 = 24,060 m Peninggi Plot 9 = 16,949 m Peninggi Plot 5 = 18,143 m Peninggi Plot 10 = 13,899 m Σ Pohon tertinggi setiap plot = 185,918 m

Jadi, peninggi seluruh plot = 185,91810 = 18,592 m b. Bonita

Bonita ditentukan dengan rumus berikut :

Bonita I = (Peninggi pada umur 15 - Peninggi pada umur 10) / 15-10 = x Bonita I = Peninggi pada umur 10 tahun + x

Bonita II sampai Bonita V ditentukan dengan rumus yang sama. Penyelesaian:

1) Bonita I = (12,8−10,7)

15−10 = 0,4 10,7 + 0,4 = 11,1

2) Bonita II = (16,4−13,6)

15−10 =0,6 13,6 + 0,6 = 14,2

3) Bonita III = (20,0−16,6)

15−10 = 0,7 16,6 + 0,7 = 17,30

4) Bonita IV = (23,6−19,6)

15−10 = 0,8 19,6 + 0,8 = 20,4

5) Bonita V = (27,022,6)

(19)

Peninggi yang didapatkan adalah 18,592 m untuk luas 0,1 ha. Jadi tegakan jati yang diamati berada pada bonita III.

4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%) a. S% Hitung

Untuk menentukan S% hitung ditentukan dengan rumus : S% Hitung = pea x 100 %

Keterangan: a = jarak tanam Pe = Peninggi Q = 100 ×

N2

√3 → karena ada 10 plot dengan keseluruhan luasan 1 ha

Sehingga untuk a = √10000 x

2

N√3

Penyelesaian: a = 100 x

1102

√3 = 100 x 0,1024 = 10,24

S% Hitung = 10,2418,59 × 100% = 55 %

b. S% Tabel

S% Tabel ditentukan dengan rumus berikut : S% 1 = (S%pada umur15−S%pada umur10)

15−10 = y

S% 1 = S% pada umur 10 tahun + y

S% 2 sampai S% 5 ditentukan dengan rumus yang sama 1) S% 1= ¿ ¿ = 0,3

19,1 + 0,3 = 19,4 2) S% 2 = (21,3−20,4)

15−10 = 0,2 20,4 + 0,2 = 20,6

3) S% 3= (22,7−21,3)

(20)

21,3 + 0,3 = 21,6 4) S% 4 = (24,315−22,6)

−10 = 0,3 22,6 + 0,3 = 22,9

5) S% 5 = (26,21523,8) −10 = 0,5 23,8 + 0,5 = 24,3

S% Hitung yang didapatkan adalah 55 %. Jadi tegakan jati yang diamati tidak perlu dilakukan penjarangan karena S% Tabel (S% 1 - S% 5) lebih kecil dari S% Hitung.

B. Pembahasan

Kegiatan praktikum pada tegakan jati Tectona grandis di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin bertujuan untuk menentukan potensi tegakan dan menentukan preskripsi pengelolaan tegakan mengetahui kondisi bonita maupun derajat kekerasan penjarangannya melalui data hasil inventarisasi tegakan. Pada tegakan ini diperoleh pula informasi bahwa pada hutan tanaman yang diamati tidak hanya terdapat satu jenis tanaman, tetapi memiliki beberapa tanaman lain. Terbukti pada lokasi praktikum terdapat jenis mangga di antara dominan tegakan jati.

Luas plot sampel yaitu 0,1 ha yang selanjutnya dibagi menjadi 10 subplot masing-masing seluas 0,001 ha. Jumlah total pohon adalah 110 pohon dengan 10 peninggi yang tersebar secara merata. Tegakan pohon jati ini (Tectona grandis) memiliki pertumbuhan primer (tinggi) dan pertumbuhan sekunder (diameter) yang cukup baik. Pohon jati (Tectona grandis) juga memiliki sedikit percabangan, hal ini disebabkan karena pola penanaman atau jarak tanam yang rapat sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tinggi karena adanya persaingan atau kompetisi dalam memperebutkan cahaya matahari sehingga semua pohon bersaing untuk meninggikan batangnya dalam hal untuk mendapatkan cahaya penuh.

(21)

Hasil analisis data menunjukkan bahwa tegakan jati lebih banyak berada pada kisaran interval kelas diameter 17,88-20,03 cm dengan jumlah 30 pohon, dengan arti bahwa pertumbuhan tegakan tersebut pada umumnya berada pada fase tiang atau pohon .Kelas diameter dominan pada interval ini karena pengaturan jarak tanam yang terbilang rapat, sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tingginya. Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang dari pohon jati berbentuk silindris. Sedangkan pada kelas diameter terkecil berada pada interval kelas 9,24-11,39 cm yang hanya terdapat 2 pohon saja. Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan bersaing pada 2 pohon ini.

2. Kerapatan Tegakan

Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama kerapatan individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana kerapatan individunya yaitu 110 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDS yang menggambarkan integrasi antara jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam suatu tegakan dengan nilai kerapatan LBDs sebesar 31,24 m2/ha.

3. Bonita

Peninggi yang diperoleh pada seluruh plot adalah 18,592 m. Peninggi ini diperlukan untuk menentukan kualitas tapak tegakan. Dari data peningi tersebut dapat dilihat bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III yang artinya kualitas kesuburan tapak cukup baik untuk ditumbuhi tanaman.

4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)

Untuk perhitungan derajat kekerasan maka preskripsi yang dilakukan pada 0,1ha areal ini dilihat pada S% tabel > S% hitung jadi tegakan tersebut membutuhkan penjarangan. Namun berdasarkan perhitungan yang diperoleh sebaliknya yaitu S % tabel < S% hitung yakni 55 % ¿ 54.76% sehingga kesimpulannya tegakan jati yang

diamati tidak butuh dijarangi. Untuk hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398 m3/tahun. Dimana MAI ini adalah rata-rata produksi yang terakumulasi tiap

(22)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebgai berikut:

1. Tegakan jati yang diamati dengan jarak tanam yang rapat memiliki 8 sebaran kelas diameter dari 9,24 hingga 26,51cm dengan frekuensi pohon terbanyak pada interval kelas 17,88-20,03 cm dengan 30 pohon dan frekuensi pohon terkecil pada interval kelas 9,24-11,39cm dengan jumlah 2 pohon.

2. Kerapatan tegakan jati terbilang tinggi yaitu kerapatan individu dengan nilai 110 pohon/ha dan kerapatan LBDS adalah 31,24 m2 / ha.

3. Tegakan jati yang diamati berada pada bonita III yang dikategorikan cukup baik yaitu 18,592 m.

4. Tegakan jati di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang diamati tidak perlu dilakukan penjarangan karena S% Tabel lebih kecil yaitu 54.76% dari S% Hitung dengan nilai 55%.

B. Saran

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Contoh Preskripsi Silvikultur. http://aldrenp.blogspot.co.id/2012/04/contoh-preskripsi-silvikultur.html.

Diakses tanggal 18 Oktober 2015.

Junus, Mas’ud, dkk. 1984. Dasar-dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.

Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan manajemen DAS. Departemen Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Soetrisno, Kadar, Dr. 1998. Silvika (Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman untuk Kalangan Sendiri). Samarinda: Fakultas Kehutanan Mulawarman.

Theodore, Daniel, dkk. 1987 . Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr.Ir. Djoko Marsono, 1992). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(24)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Inventarisasi Tegakan Jati Tectona grandis di Fakultas Sastra Unhas

(25)

16 14.33 11.600 3.184 Tiang 17 23.89 11.600 4.849 Pohon 18 14.97 12.324 3.184 Tiang 19 16.88 11.257 2.475 Tiang 20 23.89 12.706 6.477 Pohon 21 21.34 13.104 7.609 Pohon 22 14.65 13.518 2.299 Tiang 23 15.92 9.413 3.544 Tiang 24 21.66 12.324 5.845 Pohon 25 17.52 13.104 3.184 Tiang II

3 0,01

(26)

40 18.85 36.474 8.345 Tiang 41 17.29 11.600 7.374 Tiang 42 21.08 24.060 11.955 Pohon

III

5 0,01

43 17.83 15.264 7.994 Tiang 44 19.11 15.781 5.339 Tiang 45 23.89 15.781 11.157 Pohon 46 19.43 18.821 12.224 Tiang 47 11.47 9.036 4.367 Tiang 48 19.43 14.770 10.825 Tiang 49 17.52 16.326 11.855 Tiang 50 20.06 18.143 11.855 Pohon 51 19.75 15.781 11.855 Tiang 52 19.11 13.849 10.193 Tiang 53 18.79 12.606 9.891 Tiang 54 10.83 6.377 4.749 Tiang

6 0,01

(27)

64 20.38 19.600 7.103 Pohon 65 18.79 16.386 7.334 Tiang 66 16.88 13.909 8.562 Tiang 67 20.38 16.386 6.655 Pohon 68 26.43 14.359 7.334 Pohon

8 0,01

(28)

88 22.61 16.949 6.645 Pohon 89 23.25 16.376 6.645 Pohon 90 20.70 14.349 5.590 Pohon 91 19.75 14.820 6.213 Tiang 92 23.57 15.831 6.645 Pohon 93 17.52 13.054 5.795 Tiang 94 21.02 15.831 8.044 Pohon 95 24.84 14.820 6.002 Pohon 10 0,01 96 13.06 8.815 3.859 Tiang 97 24.84 13.468 4.799 Pohon 98 12.10 9.648 4.417 Tiang 99 12.74 12.274 5.389 Tiang 10

0 18.15 13.468 3.859 Tiang 10

1 17.20 13.054 4.043 Tiang 10

2 14.65 9.941 3.313 Tiang 10

3 18.15 11.207 5.795 Tiang 10

4 14.33 7.799 2.778 Tiang 10

(29)

6 10

7 20.38 13.899 4.799 Pohon 10

8 18.15 13.054 5.389 Tiang 10

9 19.75 12.274 5.389 Tiang 11

Gambar

Tabel 1. Data Frekuensi Kelas Diameter Pohon

Referensi

Dokumen terkait

Analisis ketiga, yaitu analisis terhadap aspek ekonomi, berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh responden bahwa penerapan sistem yang ada di RSU Dr Saiful Anwar

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan dan pembahasannya mengenai pengaruh kepemimpinan kepala sekolah, motivasi kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja

169 Berdasarkan konsep tersebut, memang gaya kepemimpinan otoriter tidak bisa dilakukan terutama pada lembaga pendidikan seperti sekolah atau madrasah, karena

Hasil amplifikasi RT-PCR dengan pasangan primer GGF2 dan GGR2, selanjutnya di uji secara kualitatif dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose 1,5% yang ditunjukkan

Fokus penelitian terdahulu terdapat pada pembelajaran pemrograman WEB di SMK , sedangkan peneliti pada pembelajaran tematik pada siswa sekolah dasar Fokus penelitian terdahulu

Profil Klt Fraksi Etil Asetat Metabolit Sekunder Isolat Jamur Aspergillus flavus Dengan Penambahan Tanah Sarang Ratu Termite Macrotermes gilvus HAGEN., Pada Media

Peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini, sehingga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM melalui laporan dari Pos

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan hingga