• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAGEMENT KONFLIK Cara Mengelola Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAGEMENT KONFLIK Cara Mengelola Konflik"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

KESENJANGAN SOSIAL PADA PERISTIWA KONFLIK

POSO DI PROPINSI SULAWESI TENGAH

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“ Managemen Konflik ”

Disusun Oleh :

Abdul Majid (E74212059)

Dosen Pengampu

Dr. H.M. Ismail, MH.

Prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Konflik Poso

Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.

Suku asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga dengan Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya kelompok pertama.

(3)

terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.

1. Rumusan Masalah

Konflik Poso merupakan pertikaian antar suku dengan pemeluk agama islam dan kristen sehingga dapat disebut sebagai konflik agama. Peristiwa kerusuhan ini diawali dengan pertikaian antara dua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan yang melibatkan orang banyak. Impliksasi- implikasi kepentingan elite politik nasional, elite lokal dan militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizontal sehingga sulit mencari titik temu penyelesaian yang tepat, bahkan terkesan pihak keamanan lamban menangani konflik tersebut seolah membiarkan konflik ini berkelanjutan karena sulitnya mendamaikan konflik, sehingga konflik terjadi belarut- larut dan memakan ratusan korban jiwa dan berbagai harta.

Kurangnya rasa kepercayaan antara sesama penduduk, kecemburuan sosial, provokasi yang menyentuh pada sentimen antar agama, merupakan rentetan faktor-faktor yang sangat berpengaruh sehingga menyebabkan konflik di Poso begitu sulit untuk diselesaikan. Ada berbagai permasalahan yang dapat dirumuskan dari konflik Poso yakni sebagai berikut:

a) Apa latar belakang terjadinya kesenjangan sosial konflik di Poso ?

b) Faktor- faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial di Poso ?

(4)

BAB II

PENYAJIAN MAKALAH

Konflik sudah menjadi fenomena yang kerapkali mengiringi berjalannya kehidupan ini, baik konflik dalam sosial, pemikiran, ekonomi, dan konflik lainnya adalah merupakan tantangan hidup yang harus bias diselesaikan oleh orang-orang yang berada dalam konflik, karena tanpa penyelesaian konflik akan berubah lebih buruk lagi. Dalam kasus ini, Konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama semakin meningkat pada era reformasi pada tahun 1998. Hal itu dalam tinjauan psikologis merupakan hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari ketidakadilan dalam proses politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak daerah yang tidak menikmati hasil pembangunan rakyat karena sistem yang sentralistik yang terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta.

Hal inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dari keberlangsungan konflik. Terlebih lagi isu-isu yang bergulir sengaja bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar. Isu tersebut dijadikan senjata untuk menyulut konflik karena ampuh menyentuh lubuk sanubari masyarakat menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang, dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena kawasan Indonesia Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat sebanyak 109 suku.

A. DEMOGRAFI POSO

Dilihat dari segi demografi, berdasarkan hasil registrasi sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2010, jumlah penduduk (populasi) di Propinsi Sulawesi Tengah adalah 2.633.420 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.349.225 jiwa dan perempuan sebanyak 1.284.195 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,46 persen dan tingkat kepadatan penduduk mencapai 36 jiwa per kilometer persegi.

(5)

mengalami penurunan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk yang bekerja di suluruh sektor lapangan usaha berjumlah 961.006 orang meningkat menjadi 1.164.226 orang, atau terjadi peningkatan selama lima tahun sebanyak 203.220 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Perkembangan tenaga kerja selama lima tahun terakhir (2006-2010), Sektor Pertanian menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu sebesar 27,38 persen, menyusul Sektor Jasa-Jasa dengan menyerap tenaga kerja sebesar 25,17 persen dan Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel dengan menyerap tenaga kerja sebesar 17,57 persen serta Sektor Pertambangan menyerap tenaga kerja sebesar 7,16 persen. sedangkan sektor yang paling rendah (berkurang) daya serapnya adalah Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yaitu sebesar 0,64 persen.

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.

(6)

B. KRONOLOGI KONFLIK POSO

Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda mabuk, sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama menjadi salah satu pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan representasi dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale, Parigi,

dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah terdapat di daerah pedalaman seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.1

Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir bangsa Indonesia semakin memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak pertengahan tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum ada kesiapan sosial dari daerah-daerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di Sampit, Maluku, termasuk di Poso.

Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat mengandung isu SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan bertujuan kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.

Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki relasi karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan akan berimplikasi

(7)

pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.

C. TAHAP-TAHAP KERUSUHANDAN PERPECAHAN

1. Kerusuhan Tahap Pertama

Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen.

Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat keributan saat Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka. Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area masjid.2

Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga Muslim di Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib.

Kembali ditinjau dari psikologis massa, permasalahan semakin rumit karena pemerintah daerah tidak menanggapi secara serius. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan sendiri sehingga situasi semakin menegang. Hal itu dikarenakan massa mulai melakukan tindakan destruktif.

(8)

Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan Muslim. Tiga hari setelah Natal, konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang beredar selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama.

Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan sentimen agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim di luar daerah mereka. Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha memperjuangkan martabat agamanya. Entah, apakah itu benar-benar motif sesungguhnya dari kerusuhan tahap pertama ini?

Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa begitu mudah menuai konflik. Padahal, sebelumnya mereka hidup berdampingan penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya tragedi tersebut, rasa saling percaya yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan karena kecurigaan Muslim terhadap umat Kristiani, mereka menggunakan kata-kata sandi yakni, “Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso” yang berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani ke Poso, Dalam kajian sosiologis, kondisi demikian sebetulnya mencerminkan adanya sebuah realitas dari psikologi sosial yang tegang.

2. Kerusuhan Tahap Kedua

Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid kedua berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan Islam sama-sama memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng senjata di jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah, parang, dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan semangat yang membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan tak dapat melerai perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.

(9)

tak kuasa memuntahkannya dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada kerusuhan tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa makanan, obat-obatan, bahkan senjata.

Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya. Tepatnya pada tanggal 22 Mei 200, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik Poso. Namun, mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi nyawa musuhnya.

3. Kerusuhan Tahap Ketiga

Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan pengorganisasian yang intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama dan kedua. Upaya tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim. Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak disangka-sangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim dari lima penjuru kota Poso.

Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu dikarenakan jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata organik mulai memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.

(10)

berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng,

menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan sebagai aktor yang berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana pemerintah menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya konflik Poso.

Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino tanggal 20 Desember 2001. Untuk menyelesaikan konflik di Poso, Deklarasi itu ditandatangani oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:3

1) Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.

2) Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.

3) Meminta aparat negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.

4) Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.

(11)

5) Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.

6) Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat. 7) Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana

adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.

8) Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asala masing-masing.

9) Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.

10) Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah.

Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antarkelompok di Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat dilihat melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah terjadi setidaknya 10 kali teror bom yang merenggut puluhan nyawa. Peristiwa tersebut kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.

Penghentian konflik dan perselisihan adalah tujuan utama ikhtiar perdamaian Poso. karena itu, penghentian konflik dan perselisihan sengaja ditempatkan sebagai poin pertama dalam deklarasi damai ini. Soal penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi yang melanggar hukum, sengaja ditempatkan di urutan kedua karena kedua pihak menyoroti tajam tentang ini. Keduanya saling mencurigai bahwa ada yang kebal hukum. Ini juga terkait dengan butir ketiga yakni meminta aparat untuk bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.

(12)

Forum Umat Islam (FUI) menyatakan pangkal permasalah kasus Poso disebabkan adanya ketidakadilan dari pelaksanaan poin-poin dalam Deklarasi Malino.

Dari 10 poin yang ada dalam deklarasi Malino, tiga poin diantaranya sampai saat ini belum dilaksanakan.Ketiga poin itu adalah poin nomor dua, tujuh dan delapan.

Pada poin kedua, berisi penaatan semua bentuk upaya hukum dan sanksi yang diberikan kepada pelanggar tidak berjalan semestinya. Untuk poin nomor tujuh berbunyi semua hak-hak kepemilikan harus di kembalikan kepada pemiliknya. Poin ke delapan berisi pengembalian seluruh pengungsi ketempat asalnya masing-masing belum ada yang terealisasi.

Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya yang terjadi siatuasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif. Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen, dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.

Adapun Dibutuhkan dukungan kebijakan dan prasyarat untuk mewujudkan Poso yang damai dan tentram yang terkait dengan tugas Polri, yakni:

pemerintah harus terus mengupayakan agar penyelesaian Konflik Poso menjadi agenda utama. Salah satu indikasi keseriusan tersebut adanya kebijakan yang simultan dan sinergis, bukan parsial bagi upaya mewujudkan Keamanan Dalam Negeri. Artinya perlu kearifan pemerintah untuk tidak lagi menampilkan kebijakan populisdan menjadikan Poso sebagai komoditas politik semata.

(13)

Perlu segera merumuskan Undang-undang Tugas Perbantuan agar memperjelastugas dan fungsi Polri dan TNI. Hal ini agar dapat menertibkan definisi yang meluas tentang Operasi Militer Selain Perang yang terumus dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu juga Polri sebagai institusi pasif dalam pertahanan negara, yang menjadi domain TNI dapat memposisikan diri lebih efektif. Kasus di Poso sebenarnya menjadi cerminan bahwa tumpang tindih tugas antara Polri dan TNI merupakan contoh dari ketiadaan perangkat perundang-undangan yang mengikat.

Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mewujudkan Kamdagri harus segera menata dan memperbaiki diri, khususnya terkait dengan pola pendekatan kemasyarakat di daerah konflik. Agaknya Polri relatif lamban dalam melakukan dan pola pendekatan ke masyarakat di daerah konflik. Pembelajaran di Papua, yang menewaskan anggotanya padabentrok massa di Abepura beberapa waktu lalu belum cukup memberikan satu pencerahan bagi Polri. keinginan kuat untuk membangun kultur Polisi Sipil hingga saat ini baru sebatas wacana,sebab dalam praktik di lapangan masih menggunakan pola dan pendekatan militeristik.

Masyarakat di Poso harus memiliki keinginan yang kuat untuk menyudahi konflik yang terjadi di daerahnya. Sebab, keinginan untuk menyelesaikan konflik harus bermula dari masyarakat Poso sendiri. Jika masyarakat Poso masih terpeta dan terbagi dalam faksi-faksi konflik, dan mementingkan kelompoknya dari pada Poso yang damai. Maka dapat dipastikan Posoakan menjadi faktor penghambat bagi terwujudnya Kamdagri.

Apabila kebijakan dan lima prasyarat tersebut dapat terpenuhi, maka bukan saja Posoakan aman dan konflik dapat terselesaikan, tapi citra Polri sebagai pengemban tugas pemeliharaan Kamdagri akan meningkat. Dan peningkatan citra Polri di mata masyarakat indikasiyang terukur adalah, sejauhmana Polri mempraktikkan nilai-nilai Polisi Sipil dalam setiap tugasnya.

D. REKONSTRUKSI KONFLIK POSO (1998-2001)

(14)

Istilah konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan secara harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik dapat selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab dalam kancah keragaman di mana manusia yang satu saling bertatap muka dengan manusia lain dalam komunitas masyarakat tentu memiliki perbedaan yang bisa mengarah pada silang pendapat dan lebih jauh menimbulkan konflik fisik. Karenanya konflik akan menghilang apabila masyarakat juga lenyap.

Menurut Max van der Stoel, konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat dihindari namun bisa dicegah. Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya misalkan dengan mengidentifikasi sumber potensial dari konflik dan menganalisanya sebagai resolusi awal. Namun bila pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini perlu diberikan untuk merespons konflik yang lebih serius.

Ada berbagai hal yang bisa menjadi pemicu konflik. Ketidak cocokan antar pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab, perbedaan fungsi, miss communication, dan pertentangan kepentingan adalah contoh kondisi dan situasi tertentu dalam masyarakat yang menjadi penyebab munculnya konflik. Sebagaimana di negara-negara lainnya, di Indonesia terdapat konflik horizontal dan konflik vertikal. Namun konflik horizontal lebih sering dijumpai di Indonesia sebagai konsekuensi atas keragaman yang dimilikinya.

Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang ada. Menurut Koentjoraningrat, setidaknya ada 4 sumber konflik dalam masyarakat majemuk. Keempatnya adalah persaingan antara kelompok etnik dalam memperoleh sumber kehidupan, adanya kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lainnya, adanya golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain, dan adanya potensi konflik yang sudah mengakar dalam masyarakat.

(15)

konflik di Poso, maka perlu pemahaman yang baik mengenai apa penyebab konflik tersebut. Hal tersebut bisa diketahui dengan memahami kondisi masyarakat setempat.

Kondisi masyarakat Poso bisa diketahui dengan menganalisanya melalui metode PESTEL (Political, Economy, Socio Cultural, Technological, Environment, Legal). Namun tulisan ini hanya akan memfokuskan pada kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya karena ketiga hal tersebut menjadi isu yang paling sering disinggung dalam konflik Poso.

Kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di satu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu tidak berarti bahwa secara otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab konflik. Agama dalam konflik tersebut lebih banyak berperan sebagai faktor pengiring yang meningkatkan eskalasi konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat posisi masing-masing kelompok yang berkepentingan. Sementara penyebab utamanya diduga kuat adalah faktor-faktor di luar agama, yakni berbagai kesenjangan di bidang politik, ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan dan aparat keamanan, serta dampak suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin liar dan tak terkendali.4

B. Faktor Pemicu Konflik Poso

Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku.5 Untuk seterusnya agama

4 Departemen Agama (Mursyid Ali), Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia Seri II, (Jakarta: Badan Litbang Agama da Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), hal 82.

(16)

dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.

Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan (Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo (seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim) dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan madrasah di desa Tegalrejo oleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.

Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua ini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif.

Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yaang berbeda agama.6 Pertikaian itu terus berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk

melakukan aksi yang anarkis.

(17)

Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.

Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial.

Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.

1. Faktor Politik

Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan sukses bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.

Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.

(18)

oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.

2. Faktor Ekonomi

Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh.

Para pendatang masuk dari utara dan selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen, baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa terjepit dan terancam secara ekonomi.

Keterancaman masyarakat beragama Kristen di Poso dikarenakan kegiatan perdagangan secara perlahan tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan yang terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kesenjangan ekonomi pun tercipta. Keadaan ini semakin menebalkan rasa keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian dan beragama Kristen.

Rasa saling tidak suka antar kelompok yang juga diprovokasi pihak-pihak lain membuat masyarakat mudah tersulut konflik. Pembangunan ekonomi yang tengah mengalami kemajuan seketika terhempas karena harus menanggung kerugian materil akibat konflik yang terjadi.

(19)

dengan meledaknya kembali kerusuhan pada Mei 2000 yang mengakibatkan kerugian sekitar Rp 250 miliar, pertumbuhan ekonomi terjun bebas ke angka minus 4,78 persen.

Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antar umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani.

Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.

Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.7

3. Sosial Kebudayaan (Socio Cultural)

Daerah Poso dihuni oleh masyarakat asli dan pendatang. Suku Toraja di Poso yang terbagi dalam 3 kelompok besar yakni Toraja Koro, Toraja Palu dan Toraja Sa’dan adalah penduduk asli Sulawesi Tengah. Tinggal pula suku To Bungku, To Mori, dan Togean.

(20)

Sedangkan para pendatang yang datang ke Poso berasal dari suku Bugis, Gorontalo, Toraja, Minahasa, Jawa, Bali, suku-suku dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Tionghoa dan Arab. Suku-suku itu umumnya memasuki Poso, baik melalui migrasi secara spontan, juga melalui program-program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah. Arus transmigrasi intensif terjadi sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terutama setelah dibukanya jalur prasarana angkutan darat Trans-Sulawesi.

Kedatangan para pendatang menyebabkan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepada para pendatang. Para pendatang kemudian mengembangkan tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao dan kelapa (kopra). Pengembangan tanaman itu lantas menghasilkan peningkatan kesejahteraan pemiliknya. Meski penduduk asli mengikuti pola tanam tersebut, namun pemasaran hasil-hasil perkebunan dikuasai para pendatang. Karena keadaan sosial ekonominya tidak sebaik para pendatang, akibatnya penduduk asli merasa dirugikan.

Penduduk asli Poso yang beragama Kristen awalnya banyak tinggal di bagian tengah. Namun lama kelamaan mereka merasa terjepit oleh proporsi pendatang terutama yang beragama Islam. Sebab semakin lama semakin mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan.

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

(21)

keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau kita meneliti lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik tersebut.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan sebagainya.

Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing.

Situasi yang tergambar dari konflik Poso sungguh mengerikan. Banyak rumah-rumah yang terbakar karena terjadi pembumihangusan. Selain itu, mayat-mayat bergelimangan darah menjadi pemandangan yang biasa. Ditambah lagi, setiap detik warga saling bertikai.

Aksi teror bom memburu waktu dan senjata otomatis menjamur di kalangan sipil. Tapi, di lain sisi terdapat banyak warga yang mengungsi tak mendapat akses bantuan.

(22)

daging diamini oleh masyarakat lokal yang menyusupkannya pada isu SARA (suku, ras, agama, dan antar kelompok). Pada akhirnya, rasa ketidakadilan yang terus dipupuk oleh warga tumbuh dengan subur. Sehingga, motif etnis dan agama menjadi lahan empuk terciptanya konflik yang bermuara pada konflik agama.

Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem antarkomunitas, sesungguhnya keliru. Hal itu dikarenakan tragedi tersebut merupakan akumulasi kekerasan yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, birokrasi sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai dari kemarahan korban, eksploitasi terhadap doktrin agama, hingga eksploitasi atas hal itu untuk menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang terjadi.

Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana konflik di Poso dapat diilustrasikan dengan mengentalnya identitas sosial dengan fenomena in-group dan out-group. Kedua fenomena tersebut berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kelompok lain, serta eksistensi dan teritori. Atas dasar itu, muncullah oknum-oknum yang berencana menciptakan kerusuhan dengan membentuk sentimen yang ada di masyarakat.

Ditambah lagi sempat adanya ulur waktu yang dilakukan oleh aparat pemerintahan terhadap penyelesaian konflik Poso. “Aparat fokus mengejar teroris dan koruptor. Namun, untuk teroris, yang dikejar adalah masyarakat Muslim seperti kami. Selama ini kami merasa ada upaya sengaja memelihara konflik. Masyarakat serta tokoh Muslim dan Kristen sebenarnya sudah membentuk forum bersama, tetapi setelah itu masih saja ada teror muncul,” ujar Adnan Arsal.8

Setelah Deklarasi Malino, banyak pihak yang berpikir keras untuk mengupayakan penyelesaian konflik Poso. Akan tetapi, perlu diperhatikan masalah krusial yang sewaktu-waktu menjadi bom waktu, apabila perdamaian hanya pada tataran konsep. Pertama, banyak bermunculan komplain dari warga karena adanya diskriminasi penanganan konflik Poso. Ketidakpuasan masyarakat terhadap proses hukum di negeri ini berpotensi menyulut konflik lagi.

(23)

Kedua, dalam upaya penyelesaian konflik, pemerintah mengabaikan aspek sosial dan ekonomi. Banyak dari mereka yang tinggal di pengungsian kehilangan rasa aman. Ditambah lagi hak milik para pengungsi yang jatuh kepada pihak lain. Selain itu dalam wilayah ekonomi, mereka bisa tersulut emosinya karena alokasi dana telah dikorupsi oleh aparat birokrat. Sementara itu, mekanisme jual beli maupun pemanfaatan hasil pertanian tidak dinikmati sepenuhnya oleh mereka. Konflik juga menyebabkan perekonomian lumpuh sehingga pengangguran merajalela. Aspek sosial dan ekonomi perlu dieperhatikan secara serius oleh pemerintah karena sama pentingnya dengan aspek keamanan.

Ketiga, penyelesaian masalah korupsi yang tak kunjung usai. Walaupun Inpres No. 14/2005 sudah mengungkap korupsi yang dilakukan oleh dua mantan pejabat Sulawesi Tengah. Akan tetapi, korupsi dana bantuan pengungsi merajalela tanpa tersentuh hukum. Hal itu dikarenakan korupsi melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para pejabat. Bahkan teror disinyalir sebagai upaya melanggengkan praktik korupsi. Selain itu, sebagai pertimbangan untuk mencegah konflik Poso adalah dengan menerapkan prinsip “persatuan geneologis yang masih kuat” dan “persatuan atas dasar kepentingan”.

Abd Moqsith Ghazali menyatakan dalam artikel “Poso” bahwa sejumlah analisa beredar di lingkungan masyarakat. Salah satunya, tentang adanya pihak-pihak tertentu yang ingin memelihara kekerasan di sana. Jika itu motifnya, maka alangkah jahatnya pihak yang telah menjadikan saudaranya sebagai tumbal untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka lebih mementingkan kekuasaan politik dan ekonomi ekonomi-finansial di atas timbunan darah orang-orang yang tak berdosa.

David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan penelitian atas berbagai konflik horizontal yang terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga. Menurutnya, ada dua elemen kuat yang menjadi pemicu terjadinya konflik berkepanjangan.

(24)

Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada konflik Poso. Konflik yang terjadi Poso berakar dari distribusi baik ekonomi, social dan politik yang tidak adil berkenaan dengan perbedaan identitas. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan sosial sudah representatif untuk menyulut konflik yang massif dan berkepanjangan. Konflik Poso sangat dipengaruhi oleh isu indetitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Adanya perbuatan dari kelompok etnis/agama tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas lainnya. Selain itu, penguasaan lapangan kerja yang berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya konflik.

Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Hal tersebut menciptakan kesempatan bagi para oportunis untuk memperpanjang konflik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi dan belum terbiasa dengan keterbukaan. Sehingga hal tersebut menjadi faktor penunggu yang potensial terhadap munculnya konflik.

Selain pada tataran horizontal, terdapat juga konflik pada level vertikal. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni pihak eksekutif, legislatif, judikatif dan Hankam terlambat dalam koordinasi dan penghimpunan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mencegah konflik semakin meluas. Langkah aparat yang melakukan kekerasan justru semakin memperkeruh suasana sehingga konflik makin berkepanjangan.

Bila dilihat dari sisi politis, terlihat adanya unsur kesengajaan untuk memperpanjang konflik dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan reformasi. Mereka menyebarkan informasi untuk mempengaruhi opini publik. Isu yang dihembuskan adalah Orde Baru merupakan era yang lebih baik daripada Reformasi. Sebagai bukti yang mereka tunjukkan, ketika Orde Baru, Indonesia begitu tentram dan berdaulat. Namun, ketika kekuasaan Status Quo runtuh, negeri ini bergejolak. Mereka sengaja menciptakan konflik dimana-mana dengan memprovokasi rakyat, termasuk konflik di Poso.

(25)

Di sisi lain, nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bagian dari skenario konspirasi besar pihak asing untuk menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat dari yel-yel yang dieluk-elukkan tidak hanya di Poso, akan tetapi di wilayah konflik seperti Ambon dan Ternate. Mereka meneriakkan Hidup Amerika! Hidup Australia! Hidup Belanda!

Ada beberapa hal berkenaan dengan faktor-faktor yang melanggengkan Kerusuhan Poso. Pertama, berkaitan dengan peran aparat Negara, Polri, dan TNI. Terdapat dua kubu penafsiran. Kubu pertama mengatakan militer, setidaknya ikut bermain dalam konflik berdarah di Poso dan juga di tempat konflik lainnya. Menurut Dedy Askary, dari Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu, keterlibatan aparat keamanan disebabkan tiga hal yakni, mental aparat, rantai komando, dan konflik internal di kalangan mereka. Kubu kedua berpendapat bahwa aparat keamanan gagal karena keterbatasan personel dan sumber daya. Pendapat ini paling sering dikemukakan perwira militer dan polisi. Tapi kedua kubu minimal mengakui ketidakmampuan aparat membuat segala upaya perdamaian berujung kegagalan.

Polri dan TNI berkepentingan dengan konflik ini dengan beberapa argumen. Pertama, akibat konflik dan kerusuhan, masyarakat menjadi trauma dan ketakutan. Pada saat itu masyarakat akan membutuhkan kehadiran aparat Negara. Dalam soal ini, konflik yang terjadi cenderung diawetkan untuk dapat memulihkan citra baik kepada Polri dan TNI. Kedua, konflik yang menahun telah mendatangkan biaya pengamanan tersendiri. Pengerahan pasukan memerlukan biaya. Dengan demikian konflik memiliki benefit impact tertentu.

Selain aparat Negara, polri, dan TNI yang berperan dalam melanggengkan konflik Poso, ada juga elit lokal. Dapat diidentifikasikan bahwa adanya peran terselubung dari elit lokal di daerah itu demi kepentingan kekuasaan yang didominasi kepentingan golongan suku dan agama. Keterlibatan aparat lainnya terbaca dengan mencuatnya beberapa kasus KKN yang diduga melibatkan birokrasi dan elit politik lokal. Hal ini diperkuat dengan pernyataan LSM bahwa konflik Poso jelas terkait dengan korupsi dana kemanusiaan.

(26)

Konflik tersebut semakin complicated karena masih ada lagi yang berperan dalam konflik Poso yakni, kehadiran pasukan terlatih. Banyaknya solidaritas dari luar Poso disebabkan oleh ketidakmampuan aparat pemerintah daerah dan keamanan dalam melindungi warga. Diantaranya adalah kehadiran laskar Jihad yang disinyalir mengirim 3.000 pasukan jihad ke Poso. Alasan utama mereka ialah untuk memberikan bantuan medis, pendidikan, dan pemberantasan tempat-tempat maksiat. Tidak hanya kelompok Muslim, akan tetapi kubu Kristen juga mendapatkan bantuan dari Laskar Manguni, Laskar Kristus, dan Front Kedaulatan Maluku. Dari hal tersebut mengindikasikan bahwa fenomena yang merebak di masyarakat bahwa Konflik Poso adalah “perang agama”.

Isu yang sengaja dihembuskan oleh BIN (Badan Intelijen Nasional) bekerja sama dengan Amerika yakni, Poso merupakan markas latihan anggota gerakan Al-Qaeda. Tudingan dari Kepala BIN, Hendropriyono menuai kritik keras karena tanpa bukti dan dasar yang kuat. Hal itu dinyatakan oleh Zainal Abidin Ishak selaku Kepala Kepolisian Sulawesi Tengah. Desa Kapompa yang disebut Kepala BIN sebagai markas teroris sangat paradoks. Hal itu dikarenakan desa Kapompa mayoritas penduduknya beragama Kristen. Poso memang sudah menjadi wilayah perang jadi, wajar saja bila banyak kamp-kamp militer. Hal itu dikarenakan karena kedua kelompok mengadakan latihan perang. Tapi, wilayahnya di Poso Kota, di pegunungan sekitar Pamona Utara dan Lage. Selain itu juga terdapat pasukan terlatih yang berasal dari pasukan-pasukan organic Polri dan TNI yang mengamankan Poso.

Konflik Poso menyisakan luka yang mendalam karena kedamaian telah direnggut oleh hawa nafsu manusia yang haus darah. Tentunya konflik tersebut berbuah dendam yang membara dan sewaktu-waktu bisa meledak apabila disulut kembali oleh provokator yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan sudah menjadi hal yang lumrah di tanah Poso yang menjadi mata rantai tak terputuskan. Tapi, kita harus optimis bahwa Poso tidak akan lagi berdarah. Masih ada hati dalam sanubari manusia sebagai makhluk Tuhan. Perbedaan agama bukanlah penghalang menciptakan kerukunan. Hal itu dikarenakan rakyat Poso mempunyai semboyan pengikat persatuan yakni, sintuwu maroso (bersatu kita kuat).

(27)

darah saudaranya sendiri. Ciptakanlah kedamaian di negeri tercinta yang pluralistik. Ditambah lagi pendidikan berbasis budaya yang digali dari kearifan lokal. Semua itu demi memperkuat nilai-nilai universal dan semangat kebangsaan. Sehingga tidak ada konflik lagi yang berhembus di negeri ini.

Konflik Poso mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial seperti dari faktor politik adalah karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan sukses bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalahan konflik. Terendusnya praktik yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patangga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani sebesar 5 milyar pada tahun 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang.

Adapun faktor ekonomi yang mempengaruhi konflik Poso yang seperti Poso dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial namun proporsi migrasi yang disignifikan baru terjadi pada masa orde baru. Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sejak terjadi konflik nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorientasi, segmentasi dan lain sebagainya.

Sudah lebih dari 7 tahun rakyat Poso dilanda konflik. Berbagai upaya damai terus dilakukan pemerintah terhadap mereka-mereka yang bertikai. Pertemuan di Malino pada akhir Desember 2001 yang kemudian menghasilkan komitmen bersama bernama "Deklarasi Malino", merupakan upaya rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah untuk kelompok yang bertikai guna menciptakan Poso yang aman dan damai.

(28)

harapan rakyat Poso akan terwujudnya kedamaian di bumi mereka, harus diupayakan segera mungkin.

Agenda penyelesaian Poso harus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat waktu. Bila tidak masyarakat akan terus dilanda kecemasan atas kemungkinan terjadi lagi serangan yang dapat mengancam nyawa mereka. Memang untuk mengembalikan kondisi Poso seperti sediakala tidaklah mudah, dibutuhkan waktu yang panjang. Namun bagaimana pun kesengsaraan yang dialami rakyat Poso harus disudahi.

Semua ini harus dipikirkan pemerintah dan para pihak yang terkait dengan kesungguhan dan keseriusan. Jangan lagi pemerintah saling mengobral retorika. Pilihan pemerintah sekarang hanya tinggal satu, yaitu bagaimana membawa masyarakat Poso bergerak melangkah ke depan, menuju masyarakat yang damai dan aman. Bukan masyarakat yang penuh konflik sepanjang waktu. Kepemimpinan Presiden SBY-JK akan dipertaruhkan untuk menuntaskan penderitaan rakyat Poso.

Agar kedamaian benar-benar bisa terwujud di bumi Poso upaya terpenting dan urgen adalah penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Siapa pun pelaku yang membuat keributan atau kekerasan harus dijatuhi sanksi hukum yang berat agar menimbulkan efek jera.

Karena penanganan konflik Poso membutuhkan dukungan politis dan hukum yang lebih kuat dari pemerintahan yang saat ini berkuasa. Ini harus disepakati bersama dan diimplementasikan secara nyata di tengah masyarakat.

Di samping itu baik pemerintah tokoh masyarakat maupun tokoh agama harus selalu berupaya meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang bertikai. Karena bagaimana pun penyelesaian konflik Poso tidak cukup hanya dengan mengedepankan pendekatan hukum dan keamanan semata, tetapi pendekatan individual.

Lebih dari itu penyelesaian konflik Poso harus juga mengedepankan pendekatan komunikasi di antara elemen-elemen masyarakat. Hal itu merupakan tugas dari tokoh-tokoh di Poso disertai berbagai elemen masyarakat yang ada

(29)

yang ada. Masyarakat harus diyakini bahwa perbedaan yang ada merupakan suatu kekayaan yang tidak terhingga nilainya.

Sekali lagi, pemahaman tentang perbedaan itu harus dipupuk. Caranya dengan saling hormat-menghormati di antara sesama warga yang ada. Sebagai poin tambahan, pemerintah pusat juga sudah saatnya memberikan perhatian dalam membangkitkan perekonomian di Poso. Sebab bisa saja faktor kesenjangan sosial menjadi penyebab utama berbagai konflik yang terjadi selama ini.

Akhirnya kita sadar bahwa penyelesaian yang utuh semua persoalan Poso tentu saja bukan hanya sekadar melakukan perundingan atau pun negosiasi. Namun yang tidak kalah penting dilakukan adalah bagaimana kehadiran pemerintah di bawah kepemimpinan SBY-JK sepanjang waktu dapat memberikan manfaat yang sangat berarti bagi seluruh warga Poso.

Inilah tugas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengambil hati dan meyakinkan rakyat Poso bahwa mereka berdua adalah presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Mereka berdua juga benar-benar mampu mengayomi rakyatnya. Semoga konflik di kota Poso akan dapat segera diakhiri dan damai akan terwujud di masa-masa mendatang.

KESIMPULAN

(30)

harus dilihat dari dua dimensi. Pertama, agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang, baik secara individual maupun kelompok. Kedua, agama sebagai sebuah fenomena sosial. Agama sebagai sebuah keyakinan, akidah kemudian direduksi sebagai sebuah fenomena sosial. Kalau itu terjadi maka akan timbul masalah, terutama masalah interpretasi dari kalangan yang berasal dari luar lingkungan sebuah agama. Sebaliknya juga agama sebagai sebuah fenomena sosial kemudian diinterpretasi sebagai doktrin agama itu sendiri sehingga timbul tudingan agama sebagai penyebab kerusuhan.

Konflik Poso adalah serangkaian konflik yang berkelanjutan dan sangat sulit untuk menemui titiktemu yang tepat, karena konflik Poso merupakan konflik yang mengandung SARA. Dimana dengan perbedaan yang begitu banyak sangat mudah terjadinya suatu konflik-konflik lain.

Konflik yang pecah pada akhir tahun 1998 ini sangat membawa perubahan besar bagi semua kalangan yang merasakan dan terlibat langsung dalam konflik tersebut terutama gangguan psikologi, karena gangguan psikologi tidak akan mudah untuk hilang dalam waktu yang singkat. Selain itu dampak yang menyeluruh di kalangan masyarakat poso adalah ekonomi yang memburuk, kesenjangan sosial, dan budaya sosial. Karena roda pemerintahan dan perekonomian tidak berjalan sebagaimana mestinya semua dampak itu terus memburuk .

Berbagai solusi telah diupayakan oleh pemerintah bahkan deklarasi yang telah dilaksanakan pada akhir tahun 2001 yaitu Deklarasi Malino masih saja tidak cukup bagi mereka dan mengakibatkan kembali terjadi perseteruan yang masih sama permasalahannya. Ini membuktikan bahwa konflik ini sulit diselesaikan karena belum adanaya saling kepercayaan terhadap sesama yang berbeda kayakinan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Ali, Mursyid. 2003. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia Seri II,

(31)

Bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II 2005

DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat. Kompas, 14-3-2006. Ghazali, Abd Moqsith. Poso.

Ecip, Sinansari Darwin Waru. 2001. Kerusuhan Poso Yang Sebenarnya, PT. Global Mahardika Netama.

Departemen Agama Nahar Nahrawi, Muh. 2003. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer,

(Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama).

http://www.hidayatullah.com/berita/wawancara/read/2013/04/20/4998/sebelum-konflik-tahun-2000-umat-islam-agama-lain-hidup-rukun.html (diakses pada tanggal 30 April 2015).

http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/12/tml,20040512-03,id.html (diakses pada tanggal 30 April 2015).

Referensi

Dokumen terkait

Issue konflik horizontal berbasis agama di Indonesia, mengalami dinamika yang sangat berarti, dari konflik horizontal lintas kelompok agama, seperti kasus di Poso,

HUBUNGAN ANTARA PRASANGKA DENGAN AGRESIVITAS PADA AGAMA (KRISTEN-ISLAM) DI POSO PASCA KONFLIK POSO

Dalam menjalani kehidupannya, manusia tidak akan terlepas dari yang namanya konflik atau pertikaian. Konflik biasanya diawali oleh permasalahan kecil yang lama

Namun, di sisi lain, hal tersebut dapat mengakibatkan adanya konflik yang berlatar belakang Suku, Agama, Ras , dan Antar golongan (SARA) [1], seperti konflik yang terjadi di

Hal ini dapat dilihat dari konflik yang terjadi di Poso dan Ambon, dimana dalam kasus konflik Poso dapat dilihat bahwa tindakan yang dilakukan Roy Runtu (beragama Kristen)

Timbulnya konflik dan kerusuhan baik yang bersifat separatisme seperti Papua dan Aceh maupun perang antar suku di kabupaten Mimika menimbulkan situasi keamanan

Kerusuhan yang terjadi di sampit hanyalah salah satu rangkaian peristiwa kerusuhan yang terjadi oleh suku Madura yang sejak berdirinya Kalimantan Tengah telah melakukan lebih dari

memicu kelompok sejenis bermunculan dengan simbol yang berbeda (misalnya agama kristen). Perbedaan antar kelompok akan menguat pada suku yang didominasi oleh simbol kristen)..