commit to user
PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
PERIODE TAHUN 2000:1 – 2010:12
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH:
Ratih Dian Yuniarti
F0107107
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
Ø Mama dan Papa tercita
Ø Kakak ku Mas Fafan & Mbak Ratna
Ø Keponakan ku Aliya
Ø Kluarga besarku
Ø Some one Special for me
Ø Sahabat-sahabat tersayang ku
commit to user MOTTO
“ sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”
(Qs.Alam Nasrah : 6)
“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”.
(QS, Ar Ra’d:11)
“Dengan ilmu kehidupan menjadi mudah, dengan seni kehidupan menjadi indah, dan dengan agama kehidupan menjadi terarah dan bermakna”.
(H. A. Mukti Ali)
“Kesuksesan akan diraih oleh orang yang mempunyai kemauan, keyakinan dan semangat untuk menuju hal yang lebih baik dengan diiringi do’a kepada ALLAH SWT, setiap saat”
commit to user KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala
rahmat, hidayah dan petunjukNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Perekonomian Indonesia Periode Tahun
2000:1 – 2010:12”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan persyaratan mencapai gelar
Sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga banyak
kekurangan-kekurangan yang terdapat didalamnya, hal ini mengingat terbatasnya
pengetahuan dan kemampuan penulis. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh semua
pihak dalam penyusunan skripsi ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Sutanto, Msi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengorbankan
waktu dan tenaganya untuk membimbing dan mengarahkan penulis di dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Wisnu Untoro, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Drs. Supriyono, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta atas
commit to user
5. Mama dan Papa tercinta yang telah mencurahkan segenap kasih sayang, perhatian,
dan cintanya dengan tulus serta segala pengorbanannya demi masa depan dan
kebahagianku.
6. Kakak ku Mas Fafan dan Mbak Ratna yang telah memberikan dukungan, harapan,
semangat dan doa.
7. Teman dekat special ku yang selalu memberikan dukungan, kasih saying, waktu,
bantuannya dan perhatiannya setiap saat selama ini.
8. Sahabat-sahabat satu angkatan di Fakultas Ekonmi Pembangunan Istrini, Khurul,
Reni, Mutmainah, Nastiti, Anind, Sesilia dan semuanya yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang selalu menyemangati dan membantu penulis hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh kakak senior dan adik-adik angkatan di FE-UNS yang telah memberikan
wadah pergaulan bagi penulis.
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima dengan senang hati. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa
saja yang telah membacanya dan dapat mengambil manfaat atas apa yang baik dan
berguna dalam skripsi ini.
Surakarta, Desember 2011
commit to user DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL….……….. i
ABSTRAK……….…….……….... ii
HALAMAN PERSETUJUAN……..………. iv
HALAMAN PENGESAHAN…..……….. v
HALAMAN PERSEMBAHAN.………. vi
HALAMAN MOTTO...………. vii
KATA PENGANTAR.……….………... viii
DAFTAR ISI……… x
DAFTAR TABEL……… xiv
DAFTAR GAMBAR………... xv
DAFTAR LAMPIRAN……… xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Perumusan Masalah……… 12
C. Tujuan Penelitian……… 12
D. Manfaat Penelitian………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Moneter……… 14
1. Pengertian Kebijakan Moneter……… 14
2. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter………. 16
3. Instrumen Kebijakan Moneter……… 17
4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter………... 18
commit to user
6. Kebijakan Moneter Inflation Targeting……….. 20
B. Tingkat Inflasi……… 24
1. Pengertian Inflasi………. 24
2. Jenis-jenis Inflasi………. 25
3. Macam-macam Inflasi………. 26
4. Tinjauan Teori Tentang Inflasi……… 29
5. Akibat Buruk Inflasi……… 34
6. Cara Mencegah Inflasi………. 37
C. Jumlah Uang Beredar……… 38
D. Nilai Tukar atau Kurs……… 40
1. Pengertian Nilai Tukar Atau Kurs……….. 40
2. Sistem Nilai Tukar……….. 41
3. Teori Nilai Tukar Atau Kurs……… 43
E. Pengaruh Kurs Terhadap Jumlah Uang Beredar……… 46
F. Tingkat Suku Bunga SBI……… 46
G. Pertumbuhan Ekonomi……… 48
1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi……… 48
2. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi……… 51
3. Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi W.W. Rostow………. 54
4. Faktor-faktor Penenentu Pertumbuhan Ekonomi………. 55
H. Penelitian Sebelumnya………... 59
I. Kerangka Teoritis……….. 61
J. Hipotesis……… 63
commit to user
B. Jenis dan Sumber Data……….. 64
C. Teknik Pengumpulan Data……… 66
D. Devinisi Operasional Variabel……….. 66
1. Variabel Dependen……….. 66
2. Variabel Independen………... 67
E. Metode Analisis……… 69
1. Seleksi Model Empirik……… 70
a. Uji MWD Test………... 70
b. Uji Stasioneritas……… 73
F. Analisis Ekonometrika……….. 74
1. Analisis Error Correction Model……… 74
2. Uji Asumsi Klasik……… 79
3. Uji Statistik……….. 81
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Perkembangan Variabel……… 84
1. Perkembangan Tingkat Inflasi……… 84
2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar………. 86
3. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar (Kurs)……. 87
4. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI……… 89
5. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi……… 90
B. Analisis Data……….. 92
C. Data Empirik Penelitian………. 93
D. Model Analisis………... 96
E. Hasil Analisis Data……… 97
commit to user
2. Uji Stasioner……… 98
3. Uji Kointegrasi……… 100
4. Estimasi Model Koreksi Kesalahan (ECM)……… 102
5. Uji Statistik………. 104
6. Uji Asumsi Klasik……… 110
7. Interpretasi Hasil Analisis dengan Pendekatan Error Crection Model (ECM)………... 113
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… 118
B. Saran……….. 119
commit to user DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 2000:1 – 2010:12……… 4
1.2 Jumlah Uang Beredar Tahun 2000:1 – 2010:12……….. 5
1.3 Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar Tahun 2000:1 – 2010:12…………. 6
1.4 Suku Bunga SBI Tahun 2000:1 – 2010:12……… 8
1.5 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2000:1 – 2010:12………. 10
4.1 Tingkat Inflasi Bulanan Tahun 2000 – 2010………... 85
4.2 Jumlah Uang Beredar Bulanan Tahun 2000 – 2010………. 87
4.3 Nilai Tukar Rupiah Secara Bulanan 2000 – 2010……… 89
4.4 Suku Bunga SBI Bulanan Pada Tahun 2000 – 2010……… 90
4.5 Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 2000 – 2010……... 92
4.6 Data Empirik Penelitian………. 94
4.7 Hasil Uji MWD Test………. 97
4.8 Hasil Uji MWD Test Model Log Linier……… 98
4.9 Nilai Uji Stasioner Dengan Metode DF dan ADF pada Ordo 0[1(0)]………. 99
4.10 Nilai Uji Stasioner Dengan Metode DF dan ADF pada Ordo 1[1(1)]………. 100
4.11 Uji Kointegrasi……….. 101
4.12 Nilai Uji Kointegrasi Dengan Metode DF dan ADF pada Ordo 1[1(1)]……. 101
4.13 Hasil Estimasi Dengan ECM……… 103
4.14 Hasil Uji t……… 105
4.15 Hasil Uji Koutsoyiannis Dengan Mendeteksi Multikolinearitas……….. 110
4.16 Hasil Uji LM ARCH Untuk Mendeteksi Heterokedastisitas……….. 111
commit to user DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kurva Demand Inflation………... 27
2.2 Kurva Cost Inflation………... 28
2.3 Kerangka Teoritis……… 61
3.1 Kurva Uji-t……….. 81
commit to user DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Penelitian
Lampiran 2 Uji MWD Test Dengan Linier
Lampiran 3 Uji MWD Test Dengan Log Linier
Lampiran 4 Uji Akar Unit
Lampiran 5 Uji Derajat Integrasi
Lampiran 6 Uji Kointegrasi
Lampiran 7 Hasil ECM
Lampiran 8 Uji Koutsoyiannis
Lampiran 9 Hasil Uji LM ARCH
commit to user ABSTRAK
“PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
PERIODE TAHUN 2000:1 – 2010:12”
Oleh:
Nama : Ratih Dian Yuniarti
Nim: F0107107
Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan tersebut. Kebijakan moneter dan perbankan sering dipandang mempunyai kekuatan yang lebih dari apa yang secara efektif dapat dicapai dengan kebijakan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh inflasi, kurs, JUB, tingkat suku bunga SBI terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang digunakan adalah deret waktu (time series) mulai bulan Januari 2000-Desember 2010. Alat analisisnya adalah model ECM (Eror Corection Model), dimana pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen dan Inflasi, Kurs, tingkat suku bunga SBI, dan JUB sebagai variabel independen. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Inflasi berpengaruh negatif, Kurs berpengaruh negatif, JUB berpengaruh negatif, dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Hasil dari penelitian berdasarkan uji ECM (Error correction model) menunjukkan bahwa inflasi untuk jangka pendek memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar 0,005236, sedangkan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar -0,123432. Variabel Kurs jangka pendek mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan dengan koefisien sebesar 0,015941, sedangkan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar –0,220831. Variabel JUB menunjukkan untuk jangka pendek mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan sebesar 0,099450 sedangkan untuk jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar -0,116815. Variabel SBI untuk jangka pendek mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan dengan koefisien sebesar -0,007500 dan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar –0,131339.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran yang diajukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu kebijakan moneter dapat menekan laju inflasi melalui kebijakan stabilisasi harga, jumlah uang beredar yang sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian dan tidak berlebihan, nilai tukar yang stabil dan kompetitif, menjaga tingkat suku bunga SBI rendah agar mampu ditransmisikan dalam penurunan suku bunga kredit, serta landasan perekonomian yang kuat agar bisa mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi yang memadahi.
commit to user ABSTRACT
“EFFECT OF MONETARY POLICY ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA
PERIOD 2000:1 – 2010:12”
By:
Name : Ratih Dian Yuniarti
Nim: F0107107
Economic development that has lasted quite long in Indonesia requires a variety of prerequisites for achieving success. One is the involvement of the monetary and banking sector, which is one important element in the development process. Monetary and banking policy is often considered to have more power than what can be achieved effectively with these policies.
This study aims to determine the presence or absence of the effect of inflation, exchange rate, JUB, SBI interest rate of economic growth in Indonesia. The data used are time series (time series) starting in January 2000 – December 2010. Analysis tool is a model ECM (Error Correction Models), where economic growth as the dependent variable and inflation , exchange rate, interest rate of SBI, and JUB as independent variable. The hypothesis proposed in this study are as follows : the negatie effect inflation, exchange rate have a negative influence, JUB negative affect, and interest rates negtively affect economic growth in both long and short term.
Result of research based on test ECM (Error Correction Model) shows that inflation in the short term have a positive and significant impact on economic growth with a coefficient of 0.005236, where as in the long run have a negative and significants influence with the coeficient of -0.123432. Short term exchange rate variable has a positive influence and not significant influence with coefficient of 0.015941, whereas in the long run have a negative and significant influence with the coefficient of -0.220831. variable JUB show for thw short term and do not have a significant positive influence of 0.099450 while for the long term have a negative and significant influence with the coefficient of -0.007500 and in the long run have a negative and significant influence with the coefficient of -0131339.
Based on the results of research that has been done, then there is some suggestion that proposed to increase the economic growth of monetary policy to curb inflation through price stabilization policy, the money supply according to the real needs of the economiy and not excessive, the exchange rate stable and competitive, keeping SBI interest rates low in order to be able tobe transmittedin a reduction in lending rates strong economic base in order to support the occurrence of the propereconomic growth.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu titik awal kelahiran ilmu ekonomi makro adalah adanya permasalahan
ekonomi jangka pendek yang tidak dapat diatasi oleh teori ekonomi klasik. Masalah jangka
pendek ekonomi tersebut yaitu inflasi, pengangguran dan neraca pembayaran. Munculnya
ekonomi makro dimulai dengan terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat pada tahun
1929. Depresi merupakan suatu malapetaka yang terjadi dalam ekonomi di mana kegiatan
produksi terhenti akibat adanya inflasi yang tinggi dan pada saat yang sama terjadi
pengangguran yang tinggi pula.
Dalam literatur ekonomi, peran kebijakan moneter dalam kebijakan stabilisasi
perekonomian telah lama menjadi perdebatan diantara ekonom. Perbedaan ini dapat
dilihat dari diskusi antara Keynesian yang lebih menekankan pada pentingnya peran
kebijakan fiskal dibandingkan dengan moneter. Friedman and Schwartz berpendapat
bahwa terjadinya Great Depression di Amerika Serikat pada tahun 1930-an
membuktikan peran uang bagi perekonomian. Mereka mengatakan bahwa kegagalan
Federal Reserve sebagai Bank Sentral dalam mencegah ambruknya sistem perbankan,
telah menyebabkan menurunnya jumlah uang beredar dari akhir tahun 1930 sampai
1933. Turunnya jumlah uang beredar ini merupakan penyebab utama makin seriusnya
resesi pada waktu itu atau dengan kata lain money does matter (Safuan S, dan Irawan
F, 2005).
Dewasa ini, semakin banyak bank sentral telah menerapkan kebijakan moneter
yang lebih memfokuskan kepada sasaran tunggal, yaitu stabilitas harga. Strategi
commit to user
akhir tersebut juga berbeda – beda tergantung pada kondisi perekonomian yang
bersangkutan dan mekanisme transmisi moneter yang diyakini.
Banyak negara dunia berkembang, yang umumnya memiliki tingkat
kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan
ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang
ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih relatif lemahnya
kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi,
mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak
pembangunan ekonomi nasional.
Terjadinya krisis pada tahun 1997 tidak saja melemahkan perbankan nasional
tetapi juga menyeret perekonomian ke dalam pertumbuhan ekonomi yang begitu
lambat. Tidak sedikit bank-bank yang secara finansial tutup akibat krisis moneter,
krisis moneter setidaknya berdampak langsung terhadap permintaan uang.
Salah satu penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia adalah proses
integrasi perekonomian Indonesia kedalam perekonomian global yang berlangsung
cepat. Faktor lain yang juga berperan menciptakan krisis tersebut adalah kelemahan
fundamental mikro ekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor
keuangan nasional, khususnya perbankan. Salah satu krisis keuangan tersebut adalah
gejolak nilai tukar yang telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat
parah. Pada kuartal pertama tahun 1998, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi
sebesar 12% per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan yang mengurangi
aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi,
yakni 69,1% dalam periode Januari-Agustus 1998 lalu. Tingginya laju inflasi
commit to user
Tugas dan tujuan Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia
yang diatur jelas di UU No. 23 Tahun 1999 kemudian diubah menjadi UU No. 3
tahun 2004. Tujuan Bank Indonesia yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan
rupiah yang dimaksudkan adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa
diukur pada perkembangan inflasi, serta terhadap mata uang negara lain tercermin
pada perkembangan nilai tukar rupiah (kurs) terhadap mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, sesuai dengan undang – undang Bank Indonesia mempunyai
tugas menetapkan dan melaksanakan kebiajakn moneter, mengatur dan menjaga
kelancaran system pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank (Bank
Indonesia).
Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk
pengendalian besaran moneter dan suku bunga untuk mencapai perkembangan
kegiatan. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang
meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makro ekonominya
diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran.
Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi
melalui instrumen suku bunga SBI, penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan
jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak
maka akan menyebabkan terjadinya inflasi.
Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga
umum yang berlangsung terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi
kenaikan harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara
commit to user
menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi
dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya
masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara.
Bagi Indonesia, laju inflasi yang tinggi memiliki potensi untuk mengganggu
stabilitas dan kredibilitas mata uang rupiah. Dari sudut pandang stabilitas ekonomi,
tingginya laju inflasi suatu negara dapat menimbulkan gangguan pasar, yaitu
lemahnya permintaan dan pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bagi
konsumen, tingginya laju inflasi mengakibatkan daya beli mereka melemah, sehingga
menyebabkan tingkat konsumsinya menurun. Tingginya inflasi juga menjadikan daya
saing produk di pasar internasional menjadi lemah (Suseno, 1997).
Tabel 1.1
Inflasi Bulanan Indonesia Tahun 2000;1 – 2010;12
Sumber Sumber: Bank Indonesia (2011)
Inflasi yang tinggi mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja
mengurangi daya beli masyarakat. Ketika inflasi terjadi jumlah uang yang beredar
meningkat hal ini akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar.
Pada saat krisis terjadinya peningkatan jumlah uang yang cukup pesat,
peningkatan keinginan masyarakat untuk memegang uang tunai disebabkan hilangnya
commit to user
kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan yang ada dengan terjadinya rush
(pengambilan uang besar – besaran secara serentak oleh masyarakat) diberbagai bank
diseluruh Indonesia, sedangkan kenaikan uang yang beredar dalam arti luas yaitu
uang giral dan uang kuasi (M2) terjadi karena peningkatan uang kuasi yang terdiri
dari simpanan rupiah dan simpanan valuta asing (Darmansyah, 2005).
Tabel 1.2
Jumlah Uang Beredar Tahun 2000;1 – 2010;12
BULAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005
JANUARI 650,597 738,731 838,022 873,683 939,143 1,017,491
FEBRUARI 653,334 755,898 837,160 881,215 927,053 1,014,376
MARET 656,451 766,812 831,411 877,776 927,302 1,022,703
APRIL 665,651 792,227 828,278 882,808 928,584 1,046,656
MEI 683,477 788,320 833,084 893,029 951,848 1,049,516
JUNI 684,335 796,440 838,635 894,213 973,398 1,076,526
JULI 689,935 771,135 852,718 901,389 974,097 1,092,206
AGUSTUS 685,602 774,037 856,835 905,498 982,669 1,119,102
SEPTEMBER 686,453 783,104 859,706 911,224 988,173 1,154,053
OKTOBER 707,447 808,514 863,010 926,325 998,167 1,168,842
NOVEMBER 720,261 821,691 870,046 944,647 1,001,586 1,169,085 DESEMBER 747,028 844,053 883,908 955,692 1,033,877 1,202,762
BULAN 2006 2007 2008 2009 2010
JANUARI 1,194,939 1,367,957 1,596,565 1,874,145 2,073,860
FEBRUARI 1,197,772 1,369,243 1,603,750 1,900,208 2,066,481
MARET 1,198,748 1,379,237 1,594,390 1,916,752 2,112,083
APRIL 1,197,122 1,385,715 1,611,691 1,912,623 2,116,024
MEI 1,241,865 1,396,067 1,641,733 1,927,070 2,143,234
JUNI 1,257,785 1,454,577 1,703,381 1,977,532 2,231,144
JULI 1,252,816 1,474,769 1,686,050 1,960,950 2,217,589
AGUSTUS 1,274,084 1,493,050 1,682,811 1,995,294 2,236,459
SEPTEMBER 1,294,744 1,516,884 1,778,139 2,018,510 2,274,955
OKTOBER 1,329,425 1,533,846 1,812,490 2,021,517 2,308,846
NOVEMBER 1,341,940 1,559,570 1,851,023 2,062,206 2,347,807 DESEMBER 1,382,493 1,649,662 1,895,839 2,141,384 2,471,206 Sumber : Bank Indonesia (2011)
Pengalaman menunjukkan bahwa jumlah uang beredar diluar kendali dapat
menimbulkan konsekuensi atau pengaruh yang buruk bagi perekonomian secara
commit to user
jumlah uang beredar tersebut antara lain dapat dilihat pada kurang terkendalinya
perkembangan variabel – variabel ekonomi utama, yaitu tingkat produksi (output) dan
harga. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong
peningkatan harga melebihi tingkat yang diharapkan sehingga dalam jangka panjang
dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, apabila peningkatan jumlah
uang beredar rendah maka kelesuan ekonomi akan terjadi.
Tabel 1.3
Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar Tahun 2000;1 – 2010;12
BULAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jan 7,425 9,450 10,320 8,876 8,441 9,165 9,395 9,090 9,291 11,355 9,365
Feb 7,505 9,835 10,189 8,905 8,447 9,260 9,230 9,160 9,051 11,980 9,335
Mart 7,590 10,400 9,655 8,908 8,587 9,480 9,075 9,118 9,217 11,575 9,115
April 7,945 11,675 9,316 8,675 8,661 9,570 8,775 9,083 9,234 10,713 9,012
Mei 8,620 11,058 8,785 8,279 9,210 9,495 9,220 8,828 9,318 10,340 9,180
Juni 8,735 11,440 8,730 8,285 9,415 9,713 9,300 9,054 9,225 10,225 9,083
Juli 9,003 9,525 9,108 8,505 9,168 9,819 9,070 9,186 9,118 9,920 8,952
Agus 8,290 8,865 8,867 8,535 9,328 10,240 9,100 9,410 9,153 10,060 9,041
Sept 8,780 9,675 9,015 8,389 9,170 10,310 9,235 9,137 9,378 9,681 8,924
Okt 9,395 10,435 9,233 8,495 9,090 10,090 9,110 9,103 10,995 9,545 8,928
Nov 9,530 10,430 8,976 8,537 9,018 10,035 9,165 9,376 12,151 9,480 9,013
Des 9,595 10,400 8,940 8,465 9,290 9,830 9,020 9,419 10,950 9,400 8,991
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Nilai tukar Rupiah selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada saat
sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada kisaran
2.110–2.383 Rupiah per US Dollar. Ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda
kawasan Asia pada pertengahan 1997 perekonomian Indonesia terkena dampak
negatifnya. Krisis ekonomi yang terjadi di Asia ini diawali dengan melemahnya Bath
Thailand yang melahirkan contagion-effect (efek menular ke negara lain) dan
menyebabkan krisis mata uang yang merambat ke negara Asia lainnya termasuk
Indonesia.
Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata
commit to user
2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997 mengalami depresiasi secara terus
menerus hingga pada akhir tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Dalam
menahan laju nilai tukar Rupiah, pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas
sistem kurs mengambang terkendali (managed floating system) dan menerapkan
sistem kurs mengambang bebas (free floating system). Namun memasuki tahun 1998
kondisi nilai tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per
US Dollar pada Juni 1998.
Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat
inflasi yang tinggi, bank sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada
bulan November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah ini disatu
sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998
menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun di sisi lain keadaan ini berdampak
buruk pada tingkat investasi di Indonesia, pada tahun 1997 pelarian arus modal keluar
mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998 dan 1999 masing-masing
commit to user Tabel 1.4
Suku Bunga SBI Tahun 2000;1 – 2010;12
BULAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Krisis ekonomi dan moneter yang dialami Indonesia telah memberikan
pelajaran berharga pada peran yang seharusnya dilakukan oleh Bank Sentral dalam
perekonomian dan status kelembagaanya dalam suatu negara. Pembangunan ekonomi
yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk
mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan
perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan
tersebut. Disatu sisi hal ini dapat dipahami mengingat sektor moneter dan perbankan
memang mempunyai fungsi yang mampu memberi pelayanan pada bekerjanya sektor
riil, baik kegiatan investasi, produksi, distribusi maupun konsumsi.
Di Indonesia, pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas
manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan
pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan
tantangan perkembangan global. Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang
dilaksanakan selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta
commit to user
Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang
sangat birokatis dan cenderung korup serta tidak demokratis, telah menyebabkan
krisis yang mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu
reformasi disegala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh
kepercayaan diri atas paradigma baru Indonesia masa depan.
Sumber – sumber ekonomi yang strategis dan dominan tergantung pada faktor
nonfisik dan faktor – faktor manajemen yang mempengaruhi penggunaan
sumber-sumber dominan untuk pertumbuhan yang kualitasnya cukup banyak serta dengan
kualitas cukup tinggi, tetapi bila manajemen penggunaannya tidak menunjang maka
laju pertumbuhan ekonomi akan rendah. Pertumbuhan ekonomi melibatkan perubahan
faktor – faktor permintaan yaitu perubahan permintaan agregatif akan menyebabkan
perubahan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian. Mekanisme
perubahan alokatif harus terjadi dengan cepat dan bebas agar kenaikan kapasitas
produksi dapat direalisasi. Dalam proses pertumbuhan ekonomi berupa sektor atau
industri mengalami penciutan atau perluasan secara lambat , pergeseran atau
perpindahan sumber daya dari sektor yang satu ke sektor yang lain harus dijamin
mekanismenya, terjadinya mungkin sebagian besar melalui mekanisme pasar
sehingga pemanfaatan atau penggunaan sumber daya dalam pertumbuhan ekonomi
dapat dilaksanakan secara efisien (Jhingan, 2000).
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian
yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil akan
menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Perkembangan
dunia uasaha membuka pintu kesempatan kerja. Kesempatan kerja adalah banyaknya
orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian. Baik sektor pertanian,
commit to user
1999). Kesempatan kerja atau permintaan kerja merupakan permintaan turunan
(derived demand) dari permintaan konsumen dari produk barang atau jasa yang
dihasilkan oleh suatu unit usaha. Sehingga permintaan tenaga kerja terkait dengan
permintaan barang dari unit usaha tersebut.
Tabel 1.5
Pertumbuhan Ekonomi Indonesi Pada Tahun 2000;1 – 2010;12
BULAN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Oleh karena itu, pembahasan maupun perumusan kebijakan moneter
perbankan harus senantiasa ditempatkan pada konteksnya sebagai bagian dari
kebijakan ekonomi nasional. Pemahaman ini menjadi semakin penting dalam
kaitannya dengan arah kebijakan nasional kita dewasa ini yang diarahkan pada upaya
pemulihan ekonomi pasca krisis dengan menitikberatkan pada program stabilisasi dan
reformasi ekonomi.
Dengan melihat strategisnya peran perbankan dalam perekonomian maka
upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan, khususnya perbankan, menjadi
sangat penting. Sektor perbankan memiliki peranan yang penting dalam proses
kebangkitan (recovery) perekonomian secara keseluruhan. Melalui pendekatan yang
komprehensif, telah dibuktikan bahwa restrukturisasi perbankan telah memberikan
commit to user
Hal ini dapat terjadi karena pemulihan fungsi intermediasi perbankan secara efektif
meningkatkan kembali mobilisasi dana, merealokasi sumber keuangan secara lebih
efisien dan mendorong penurunan tingkat bunga, sehingga pada akhirnya memacu
pertumbuhan ekonomi kita.
Disamping itu Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No.
3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan
nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang
tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem
nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank
Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai
tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti
uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran
moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka
di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. (Bank Indonesia ).
Sehubungan uraian diatas, maka penulis ingin menelitai berbagai pengaruh
kebijakan moneter untuk dapat menstabilkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang
commit to user
menggunakan metode analisis ECM. Maka penelitian ini diberi judul “Pengaruh
Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode
Tahun 2000:1 -2010:12 ”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam
jangka pendek dan jangka panjang ?
2. Bagaimana pengaruh nilai kurs terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia
dalam jangka pendek dan jangka panjang ?
3. Bagaimana pengaruh Jumlah Uang Beredar terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesi dalam jangka pendek dan jangka panjang ?
4. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesi dalam jangka pendek dan jangka panjang ?
C. Tujuan Penelitian
1. Dapat mengetahui pengaruh dari Inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang.
2. Dapat mengetahui pengaruh dari nilai kurs terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang.
3. Dapat mengetahui dari pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesi dalam jangka pendek dan jangka panjang.
4. Dapat mengetahui pengaruh dari Jumlah Uang Beredar terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesi dalam jangka pendek dan jangka panjang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang.
commit to user
memberikan tambahan pengetahuan, terutama dalam mengaplikasikan ilmu yang
telah penulis dapatkan. Untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini
diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebijakan Moneter
1. Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek,
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan tersebut adalah stabilitas
ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju
inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta
cukup luasnya lapangan atau kesempatan kerjayang tersedia.
Kebijakan moneter yang disebutkan diatas merupakan bagian integral dari
kebijakan ekonomi makro, yang pada umumnya dilakukan dengan
mempertimbangkan siklus kegiatan ekonomi, sifat perekonomian suatu negara
tertutup atau terbuka, serta faktor – faktor fundamental ekonomi lainnya. Dalam
pelaksanaannya, strategi kebijakan moneter dilakukan berbeda – beda dari suatu
negara dengan negara lain, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan
mekanisme transmisi yang diyakini berlaku pada perekonomian yang
bersangkutan.
Menurut Sadono Sukirno (2006), kebijakan moneter merupakan langkah –
langkah pemerintah yang dilakukan oleh Bank Sentral ( di Indonesia Bank
Sentralnya adalah Bank Indonesia) untuk mempengaruhi (mengubah) penawaran
yang dalam perekonomian atau mengubah suku bunga, dengan maksud untuk
commit to user
agregat adalah penanaman modal (investasi) oleh perusahaan – perusahaan. Suku
bunga yang tinggi akan mengurangi penanaman modal dan apabila suku bunga
rendah lebih banyak penawaran modal akan dilakukan. Dengan demikian salah
satu cara yang dapat dijalankan pemerintah untuk mempengaruhi pengeluaran
agregat adalah dengan mempengaruhi penanaman modal. Apabila pengangguran
berlaku dalam perekonomian, pengeluaran agregat perlu ditambah untuk
mengurangi pengangguran. Menurunkan suku bunga untuk menggalakkan
pertambahan penanaman modal adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan
tersebut. Tujuan ini dapat dicapai pemerintah dengan menjalankan kebijakan
moneter.
Dalam kajian literatur ada dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan
moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif
adalah kebijakan yang ditujukan untuk mendorong kegiatan ekonomi antara lain
dengan menambah jumlah uang beredar, sedangkan kebijakan moneter kontraktif
ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi antara lain dilakukan dengan
mengurangi jumlah uang beredar (Sadono Sukirno; 2006).
Kebijakan moneter sebagai salah satu dari kebijakan ekonomi makro pada
umumnya diterapkan sejalan dengan business cycle “siklus kegiatan ekonomi’’.
Dalam hal ini, kebijakan moneter yang diterapkan pada kondisi dimana
perekonomian sedang mengalami boom ‘perkembangan yang sangat pesat, tentu
berbeda dengan kebijakan moneter yang diterapkan pada kondisi dimana
perekonomian sedang mengalami depression atau slump (perkembangan yang
melambat). Dalam kajian literatur dikenal dua jenis kebijakan moneter, yaitu
kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan
commit to user
kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan melalui peningkatan jumlah uang
beredar. Sebaliknya, kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan moneter yang
ditujukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi, yang antara lain dilakukan
melalui penurunan jumlah uang beredar.
Kebijakan moneter biasanya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
Bank Indonesia yang menurut undang – undang keberadaanya adalah independen.
Seringkali Bank Sentral disebut sebagai otoritas moneter, karena dengan sifat
independen tersebut Bank Indonesia mempunyai wewenang melakukan
pengendalian uang yang beredar untuk maksud tertentu. Oleh karenanya perlu
diketahui apa fungsi dari lembaga otoritas moneter tersebut.
2. Kerangka Operasional Kebijakan Moneter
Kerangka operasional kebijakan moneter adalah rangkaian langkah –
langkah bank sentral dari penentuan dan prakiraan sasaran akhir, pemantauan
variabel – variabel ekonomi yang dijadikan dasar perumusan kebijakan moneter
hingga pelaksanaan pengendalian moneter untuk mencapai sasaran akhir. Pada
umumnya kerangka operasional tersebut terdiri dari instrument, sasaran
operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Instrument moneter digunakan
untuk mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang diperlukan untuk
mencapai sasaran antara, dimana informasinya tersedia lebih awal daripada
sasaran antara. Sasaran antara diperlukan karena untuk mencapai sasaran akhir
yang ditetapkan terdapat tenggang waktu antara pelaksanaan kebijakan moneter
dan hasil pencapaian sasaran akhir. Sedangkan sasaran akhir dapat berupa
stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja (Warjiyo,
commit to user 3. Instrumen Kebijakan Moneter
Instrumen kebijakan moneter adalah instrumen yang dimiliki oleh bank
sentral yang dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah ditetapkan (Warjiyo, Perry
dan Solikin, 2003).
Menurut Nopirin (2000), pada dasarnya instrumen kebijakan moneter yang
dipakai adalah :
a. Instrumen Umum yang meliputi : politik pasar terbuka (open market), politik
cadangan minimum (reserve requirements), dan politik diskonto (discount
policy).
b. Instrumen yang selektif meliputi : margin requirements, pembatasan atau
penentuan tingkat bunga, yang kesemua ini untuk mempengaruhi alokasi
kredit untuk sektor – sektor tertentu.
c. Instrumen yang bersifat menghimbau yaitu moral suasion atau open mouth
policy.
Disamping itu, penentuan tingkat bunga, pengaturan sistem perbankan,
serta devaluasi termasuk juga dalam instrumen kebijakan moneter.
a. Politik Pasar Terbuka
Meliputi tindakan menjual dan membeli surat – surat berharga oleh
bank sentral. Tindakan ini akan berpengaruh terhadap, pertama; kenaikan
cadangan bank – bank umum yang tersangkut dalam transaksi. Kedua; akan
commit to user
b. Politik Diskonto
Tindakan untuk mengubah – ubah tingkat bunga yang harus dibayar
oleh bank umum dalam hal meminjam dana dari bank sentral. Kebijakan ini
berpengaruh terhadap jumlah uang yang beredar. Di negara yang sudah maju,
politik ini juga mempunyai efek pengumuman, yakni efek yang ditimbulkan
dari adanya pengumuman (melalui mass media) tentang tingkat diskonto, dan
biasanya ini akan dipakai masyarakat sebagai indikasi ketat tidaknya
kebijakan moneter pemerintah.
Digunakan untuk membatasi penggunaan kredit untuk tujuan – tujuan
pembelian surat – surat berharga (yang biasanya bersifat spekulatif). Caranya
dengan menetapkan jumlah minimum kas down payment untuk transaksi surat
berharga.
e. Moral Suasion
Kebijakan ini bermaksud untuk mempengaruhi sikap lembaga moneter
dan individu yang bergerak dibidang moneter, dengan pidato – pidato
gubernur bank sentral, atau publikasi – publikasi supaya bersikap seperti yang
dikehendaki penguasa moneter.
4. Mekanisme Tranmisi Kebijakan Moneter
Menurut Taylor dalam Warjiyo (2003), mendefinisikan mekanisme
commit to user
decision are transmitted in to changes in real GDP and inflation”. Sedangkan
Sukirno (2003) menyatakan bahwa mekanisme transmisi menggambarkan
rangkaian perubahan yang akan berlaku sebagai akibat dari kebijakan moneter
yang dijalankan.
Dalam berbagai literatur ekonomi moneter terdapat beberapa jalur tranmisi
utama. Dalam tranmisi moneter langsung, mekanisme tranmisi kebijakan moneter
mengacu pada peranan uang dalam perekonomian dimana dalam jangka pendek
pertambahan JUB akan mempengaruhi perkembangan riil. Sedangkan dalam
jangka menengah, pertumbuhan JUB akan mendorong kenaikan harga (inflasi),
yang berdampak pada perkembangan output riil, tetapi mendorong kenaikan laju
inflasi.
a. Jarak waktu (lag) dari Kebijakan Moneter
Menurut Boediono (1985), masalah kebijakan yang masih berkaitan
dengan ketidakpastian ini adalah masalah jarak waktu atau lag dari
kebijaksanaan. Ada dua macam lag yang dikenal dalam kepustakaan
kebijaksanaan ekonomi, yaitu:
a) Inside lag adalah jarak waktu dari timbulnya permasalahan didalam
perekonomian sampai dengan dimulainya tindakan kebijaksanaan untuk
mengatasinya.
b) Outside lag adalah jarak waktu antara saat mulai dilaksanakannya langkah
kebijaksanaan dan saat timbulnya akibat pada perekonomian.
5. Kebijakan Stabilisasi
Kebijakan stabilisasi (stabilization policy) mengacu pada tindakan
kebijakan yang bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi ekonomi jangka pendek.
commit to user
panjangnya, maka kebijakan stabilisasi dilakukan untuk memperkecil siklus bisnis
dengan mempertahankan output dan kesempatan kerja sedekat mungkin dengan
tingkat wajarnya (Mankiw, 2000).
6. Kebijakan Moneter Inflation Targeting
Dengan dilepasnya system crawling band dan dianutnya system nilai tukar
mengambang setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998, kerangka kebijakan
moneter diarahkan kepada penciptaan stabilitas harga dengan target base money
(inflation targeting lite). Sejak bulan juli 2005, kerangka kebijakan moneter
disempurnakan dengan prinsip-prinsip Inflation Targeting Framework
(Prijambodo, 2006).
Mulai bulan Juli tahun 2005 Bank Indonesia telah mengimplementasikan
kerangka kerja kebijakan moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targeting
Framework, yang mencakup empat elemen mendasar yaitu penggunaan suku
bunga BI Rate sebagai sasaran operasional , proses perumusan kebijakan moneter
yang antisipatif , strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan
koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Langkah – langkah tersebut ditujukan
untuk meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter
dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat (Purnomo, 2010).
Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan
sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai
sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk mencapai sasaran
inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward looking, artinya perubahan
stance kebijakan moneter dilakukan melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi
commit to user
kerangka kerja ini, kebijakan moneter juga ditandai oleh transparansi dan
akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan
moneter dicerminkan oleh penetapan suku bunga kebijakan (BI Rate) yang
diharapkan akan memengaruhi suku bunga pasar uang dan suku bunga deposito
dan suku bunga kredit perbankan. Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan
memengaruhi output dan inflasi (Bank Indonesia, 2011)
Pelaksanaan ITF di Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa ITF adalah
framework, bukan rule. Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak dilaksanakan
secara kaku. Pelaksanaan kebijakan moneter juga mempertimbangkan
sasaran-sasaran pembangunan yang lebih luas antaralain pertumbuhan ekonomi. Berbeda
dengan prinsip full discretionary, ITF menuntut agar discretionary policy dalam
pelaksanaan kebijakan moneter bersifat terbatas (Prijambodo, 2006).
Langkah – langkah penguatan kebijakan moneter untuk meningkatkan
efektifitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai
sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat (www.bi.go.id), yaitu
1. Inflation Targeting Laite
Sejak tahun 2000, dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999,
Bank Indonesia telah menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai
sasaran akhir kebijakan moneter. Selanjutnya, dengan amandemen UU Bank
Indonesia No. 3 Tahun 2004, pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank
Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan sasaran inflasi untuk jangka
pendek dan menengah yang mencerminkan proses penurunan inflasi secara
bertahap (gradual disinflation) mengharap pada sasaran inflasi jangka
commit to user
Meskipun demikian proses restrukturisasi ekonomi dan sector
keuangan yang Indonesia alami dengan terjadinya krisis tahun 1997 telah
membatasi ruang gerak Bank Indonesia untuk menerapkan ITF secara formal.
Operasi moneter masih menggunakan uang primer (base money) sebagai
sasaran operasional. Selain karena merupakan salah satu indikator kinerja
selama Indonesia dalam program IMF, dimasa lalu menggunakan uang primer
diperlukan untuk menyerap kelebihan likuiditas sebagai dampak dari proses
resolusi perbankan dan ketidakpastian yang masih melingkupi mekanisme
transmisi kebijakan moneter. Praktek kerangka kerja kebijakan moneter
seperti ini sering disebut Inflation Targeting Lite (www.bi.go.id).
2. Inflation Targeting Framework (ITF)
Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan
kerangka kerja kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi
dan kebijakan moneter secara transparan dan konsisten diarahkan untuk
mencapai sasaran inflasi dimaksud. Meskipun definisi berbeda secara rinci,
terdapat konsensus umum mengenai karakteristik pokok dari rezim kebijakan
moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara eksplisit menjadi tujuan
utama pemeliharaan kestabilan harga oleh bank sentral, terbatasnya dominasi
fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas moneter yang
dibekali dengan independensi instrument dan beroperasi secara transparan dan
terbuka kepada public (Bank Indonesia).
Pelaksanaan ITF di Indonesia mengikuti prinsip dasar bahwa ITF
adalah framework, bukan rule. Dengan prinsip ini, kebijakan moneter tidak
dilaksanakan secara kaku. Pelaksanaan kebijakan moneter juga
commit to user
lain pertumbuhan ekonomi. Berbeda dengan prinsip full discretionary, ITF
menuntut agar discretionary policy dalam pelaksanaan kebijakan moneter
bersifat terbatas. Dengan prinsip dasar tersebut, Bank Indonesia melaksanakan
kebijakan moneter dengan elemen – elemen pokok sebagai berikut
(Prijambodo, 2006), yaitu
Pertama, suku bunga (BI-rate) digunakan sebagai sasaran operasional
moneter menggantikan uang beredar. Perubahan sasaran operasional moneter
ini didasarkan pada pertimbangan makin lemahnya hubungan antara uang
beredar dengan laju inflasi.
Kedua, kebijakan moneter diperkuat dengan strategi yang bersifat
pre-empire atau forward looking. Elemen dasar ini sekaligus merupakan tantangan
besar bagi Bank Indonesia mengingat inflasi di Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang bersifat adaptif (inertia). Bank
Indoneisa menyebutkan, misalnya sekitar 74% inflasi pada tahun 2001 dan
sekitar 89% inflasi pada tahun 2004 terutama disumbang oleh ekspektasi yang
bersifat adaptif.
Ketiga, terkait dengan unsur kedua, pelaksanaan ITF membutuhkan
komunikasi yang efektif dan transparan kepada masyarakat luas. Ini
diperlukan agar langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh ke depan
benar – benar dipahami secara utuh oleh masyarakat.
Keempat, peningkatan koordinasi yang lebih kuat dengan pemerintah.
Elemen ini sangat penting dalam rangka pencapaian sasaran inflasi yang
ditetapkan mengingat faktor – faktor pendorong inflasi tidak sepenuhnya
berada dalam lingkup kewenangan Bank Indonesia. Bank Indonesia relative
commit to user
faktor pendorong inflasi dari sisi penawaran sebagian berada dalam kebijakan
pemerintah antara lain kenaikan harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh
pemerintah ( administered price). Bahkan beberapa diantaranya tidak dalam
kendali Pemerintah dan Bank Indonesia. Seperti harga minyak yang tinggi,
pelemahan nilai tukar regional, dan sebagainya.
B. Tingkat Inflasi
1. Pengertian Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dijumpai di semua
negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat mengenai inflasi adalah
kecenderungan dari harga – harga untuk menaik secara umum dan terus –
menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan)
sebagian besar dari harga barang - barang lain. Syarat adanya kecenderungan
menaik yang terus – menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga – harga karena
misalnya musiman, menjelang hari – hari besar atau yang terjadi sekali saja (tidak
mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga ini diukur
dengan menggunakan indeks harga. Beberapa indeks harga yang sering digunakan
untuk mengukur inflasi adalah :
a) Indeks biaya hidup
b) Indeks harga perdagangan besar
c) GNP deflator
Nopirin mengemukakan bahwa inflasi merupakan proses kenaikan harga
barang – barang secara umum yang berlaku terus – menerus. Ini tidak berarti
bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang sama.
commit to user
selama periode tertentu. kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan
persentase yang cukup besar) bukan merupakan inflasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan tingkat inflasi adalah persentase
kecepatan kenaikan harga – harga dalam suatu tahun tertentu, biasanya digunakan
sebagai ukuran untuk menunjukkan sampai dimana buruknya masalah ekonomi
yang dihadapi. Dalam perekonomian negara yang berkembang pesat, inflasi
dikatakan rendah apabila tingkat inflasi negara tersebut antara 2 sampai 4 persen
dimana kondisi ini sangatlah sulit untuk dipenuhi. Sering sekali inflasi yang
serius, yaitu tingkatannya mencapai 5 sampai 10 persen atau sedikit lebih tinggi,
terjadi pada waktu peperangan atau ketidakstabilan politik, inflasi bisa mencapai
tingkat yang sangat tinggi, yaitu inflasi yang mencapai beberapa ratus atau
beberapa ribu persen. Kenaikan harga – harga seperti ini dinamakan hiperinflasi
(Sadono Sukirno, 2006).
2. Jenis – Jenis Inflasi
Laju inflasi dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain atau
dalam satu negara untuk waktu yang berbeda. Atas besarnya laju inflasi, inflasi
dapat di bedakan dalam tiga kategori (Nopirin, 2000):
a. Creeping Inflation : Kondisi inflasi ini ditandai dengan laju inflasi yang
rendah kurang dari 10 % pertahun. Kenaikan harga berjalan secara
lambat, dengan persentase kecil serta dalam jangka yang relatif lama.
Creeping inflation umumnya dialami oleh negara-negara yang sedang
berkembang, karena terjadinya berhubungan dengan pembangunan itu
sendiri dan dinilai dapat mendorong pembangunan.
b. Galloping Inflation : Jenis ini adalah jenis inflasi menengah ditandai
commit to user
triple digit) dan kadang – kadang berjalan dalam waktu yang relatif
pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya harga – harga minggu
atau bulan ini lebih dari harga minggu atau bulan yang lalu. Efeknya
terhadap perekonomian lebih besar dari pada creepinginflation.
3. Macam Inflasi
Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi danpenggolongan
mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Menurut Boediono (1985), ada
berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi. Penggolongan pertama
didasarkan atas parah tidaknya inflasi tersebut. Perbedaan macam inflasi yaitu:
a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun)
b. Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun)
c. Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun)
d. Hiperinflasi (diatas 100% setahun)
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat
mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu
wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan
golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang menderita ) dari inflasi
yang sedang terjadi (Adwin S. Atmadja, 1999)
commit to user
Penggolongan yang kedua adalah dasar sebab-musabab awal dari inflasi.
Atas dasar ini dibedakan duamacam inflasi, (Boediono, 1985) :
a. Demand inflation adalah Inflasi yang timbul karena permintaan
masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat.
Harga S
H2 D2
H1 D1
Q1 Q2 Output
Gambar 2.1 Kurva Demand Inflation (Sumber : Boediono, 1985)
Gambar 2.1 Kurva Demand Inflation. karena permintaan
masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah (misalnya,
karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan
pencetakan uang, atau kenaikan pemerintah luar negeri akan
barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena
kredit yang murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari D1 ke
commit to user
b. Cost inflation merupakan inflasi yang timbul karena kenaikan biaya
produksi.
Harga S2
S1
H4
H3 D
Q4 Q3 Output
Gambar 2.2 Kurva Cost Inflation (Sumber : Boediono, 1985)
Pada gambar 2.2 kita lihat bahwa biaya produksi naik (misalnya,
karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri,
atau kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva penawaran
masyarakat (agregat supplay) bergeser dari S1 ke S2.
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output,
tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) meningkat bersama
dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung
kepada elastisitas kurva aggregate supply, semakin mendekati output maksimum
semakin tidak elastic kurva ini. Sebaliknya, dalam kasus cost-inflation kita
melihat kenaikan harga-harga diikuti dengan penurunan omzet penjualan barang
(kelesuan usaha).
Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari
kenaikan harga. Dalam demand-inflation kenaikan harga barang akhir (output)
commit to user
produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost-inflation kita melihat
kenaikan harga barang – barang input dan harga – harga faktor produksi
mendahului kenaikan harga barang – barang akhir (output).
Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek yang
bentuknya murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari
kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu
sama lain.
Penggolongan yang ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi, yaitu
adalah :
a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena
deficit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru,
panen yang gagal, dan sebagainya.
b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul
karena kenaikan harga – harga (inflasi) di luar negeri atau negara –
negara yang berdagang dengan negara kita.
4. Tinjaun Teori Tentang Inflasi
a Teori Kuantitas
Teori ini adalah teori yang tertua yang membahas tentang inflasi, tetapi
dalam perkembangannya teori ini mengalami penyempurnaan oleh para ahli
ekonomi Universitas Chicago, sehingga teori ini juga dikenal sebagai model
kaum moneteris (monetarist models). Teori ini menekankan pada peranan
jumlah uang beredar dan harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan
commit to user
a) Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar,
baik uang kartal maupun giral.
b) Laju inflasi juga ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang beredar
dan oleh harapan (ekspektasi) masyarakat mengenai kenaikan harga di
masa mendatang.
b Keynesian Model
Dasar pemikiran model inflasi dari Keynes ini, bahwa inflasi terjadi
karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya,
sehingga menyebabkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang –
barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia
(penawaran agregat), akibatnya akan terjadi inflationary gap. Keterbatasan
jumlah persediaan barang (penawaran agregat) ini terjadi karena dalam jangka
pendek kapasitas produksi tidak dapat dikembangkan untuk mengimbangi
kenaikan permintaan agregat. Oleh karenanya sama seperti pandangan kaum
monetarist, Keynesian models ini lebih banyak dipakai untuk menerangkan
fenomena inflasi dalam jangka pendek.
Dengan keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat
tidak sama (heretogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang –
barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang
relatif rendah kepada golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih
besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan
berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi
memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian
commit to user
masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang (inflationary
gap menghilang).
c Mark-Up Model
Pada teori ini dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua
komponen, yaitu cost of production dan profit margin. Relasi antara
perubahan kedua komponen ini dengan perubahan harga dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Price = Cost + Profit Margin
Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai
suatu prosentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut
dapat dijabarkan menjadi :
Price = Cost + ( a% x Cost )
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada
komponen-komponen yang menyusun cost of production dan atau penaikan pada profit
margin akan menyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di
pasar.
d Teori Struktural : Model Inflasi di Negara Berkembang
Banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang,
menunjukan bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter,
tetapi juga merupakan fenomena struktural atau cost push inflation. Hal ini
disebabkan karena struktur ekonomi negara – negara berkembang pada
umumnya yang masih bercorak agraris. Sehingga, goncangan ekonomi yang
bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen (akibat faktor eksternal
pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dan sebagainya), atau hal
commit to user
memburuknya term of trade; utang luar negeri; dan kurs valuta asing, dapat
menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik.
Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala
struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan
structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal,
yaitu :
a) Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan
metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi
supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi
pertumbuhan permintaannya.
b) Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan
ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan
cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor
barang – barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal
yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi
terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration
effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali
menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat
mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
c) Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor
penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai
pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga