• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (SelfControl) Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Hubungan Percaya Diri dengan Pengendalian Diri (SelfControl) Remaja pada Siswa/i di SMA Negeri 17 Medan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Percaya Diri

2.1.1. Defenisi

Salah satu aspek kepribadian yang penting adalah percaya diri.

Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang harus dicapai dalam

diri individu yang berfungsi untuk mengaktualisasi potensi yang dimiliki

yang ditunjukkan dengan adanya sikap yakin atau merasa adekuat terhadap

tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh lingkungannya dan

memiliki ketenangan sikap (Guildford, 1959 dalam Amyani, 2010).

Percaya diri adalah kunci kesuksesan hidup seseorang, tanpa rasa percaya

diri, seseorang tidak dapat merealisasikan tujuannya. Bahkan, seseorang

yang tidak percaya diri akan mengalami kegagalan, patah semangat, dan

kelesuan. Percaya diri akan menjadikan seseorang hidup sehat, cerdas,

berani, fokus, semangat, bijak, kuat jiwa dan akhlaknya, rendah hati,

toleran, lapang dan tenang (Al Aqshari, 2005).Kepercayaan diri

merupakan sesuatu yang urgen untuk dimiliki setiap individu.

Kepercayaan diri diperlukan baik oleh seorang anak maupun orangtua,

secara individual maupun kelompok (Ghufron& Rini, 2010).

Konsep percaya diri pada dasarnya merupakan suatu keyakinan

untuk menjalani kehidupan, mempertimbangkan pilihan dan membuat

(2)

sesuatu (Suhardita, 2011). Dengan memiliki percaya diri, seseorang dapat

melakukan apapun dengan keyakinan bahwa itu akan berhasil, apabila

ternyata gagal, seseorang tidak lantas putus asa, tetapi tetap masih

mempunyai semangat, tetap bersikap realistis, dan kemudian dengan

mantap mencoba lagi (Widarso, 2005 dalam Rohayati, 2011).

Percaya diri (self confidence) merupakan salah satu modal dalam

kehidupan yang harus ditumbuhkan pada diri setiap siswa agar kelak

mereka dapat menjadi manusia yang mampu mengontrol berbagai aspek

yang ada pada dirinya, dengan kemampuan tersebut siswa akan lebih

jernihdalam mengatur tujuan dan sasaran pribadi yang jelas, maka akan

lebih mampu dalam mengarahkan perilaku menuju keberhasilan (Rohayati,

2011). Rasa percaya diri merupakan keyakinan pada

kemampuan-kemampuan yang dimiliki, keyakinan pada suatu maksud atau tujuan

dalam kehidupan dan percaya bahwa dengan akal budi mampu untuk

melaksanakan apa yang diinginkan, direncanakan dan diharapkan (Davies,

2004).

Percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala

aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya

merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya

(Hakim, 2002). Lauster (1990) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai

suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri, sehingga

seseorang tidak terpengaruh oleh orang lain.Menurut Lauster (1978 dalam

(3)

(bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat

diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya

tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya

diri.

Kepercayaan diri bukan arogansi-perilaku memamerkan

kepandaian, membanggakan diri dan sombong yang seringkali merupakan

model pembelaan yang digunakan oleh mereka yang tidak memiliki

kepercayaan diri, guna melindungi keterancamannya. Orang-orang yang

percaya diri merasa dirinya aman dengan mengetahui bakatnya, sangat

rilek dan ingin mendengar dan belajar dari orang lain (Taylor, 2003).

Berdasarkan beberapa definisi percaya diri di atas, dapat

disimpulkan bahwa percaya diri merupakan keyakinan seseorang terhadap

segala aspek kelebihan yang dimiliki dan keyakinan tersebut membuatnya

merasa mampu untuk mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya, tidak

mudah terpengaruh oleh orang lain dan lebih mampu mengarahkan

perilaku menuju keberhasilan.

2.1.2. Ciri-ciri Percaya Diri

Rasa percaya diri erat sekali kaitannya dengan self-esteem atau

seberapa tinggi orang menghargai, menilai dan menghormati dirinya

sendiri. Cara seseorang menerima dan meyakini keadaan dirinya akan

mempengaruhi perilaku tersebut (Lestari, 2008).

Ciri-ciri individu yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi

(4)

mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, mampu menetralisasi

ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi, mampu menyesuaikan

diri dan berkomunikasi di berbagai situasi, memiliki kondisi mental dan

fisik yang cukup menunjang penampilannya, memiliki kecerdasan yang

cukup, memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup, memiliki keahlian

atau keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya

keterampilan berbahasa asing, memiliki kemampuan bersosialisasi,

memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik, memiliki

pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di

dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, selalu bereaksi positif di dalam

menghadapi berbagai masalah, misalnya dengan tetap tegar, sabar dan

tabah dalam menghadapi persoalan hidup. (Hakim, 2005).

Menurut Hakim (2002), remaja yang memiliki kepercayaan diri

memiliki ciri atau karakteristik seperti berpikir positif, memiliki

kompetensi/kemampuan diri, mandiri, optimis, berani menjadi diri sendiri,

bersikap tenang, serta mampu bersosialisasi dengan orang lain.

Menurut Jacinta F Rini (2002 dalam Admini, 2013) dari team

e-psikologi, ciri-ciri orang yang percaya diri yaitu : percaya akan kompetensi

atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan,

penerimaan atau pun rasa hormat orang lain, tidak terdorong untuk

menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau

kelompok, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain (berani

(5)

emosinya stabil), memilih internal locus of control (memandang

keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak

mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau

mengharapkan bantuan orang lain), mempunyai cara pandang yang positif

terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya, memiliki

harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu

tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang

terjadi.

Hurlock (1980 dalam Pratikto dan Fatchurahman, 2012) menyatakan

bahwa seseorang memiliki percaya diri tinggi jika ia mampu membuat

pernyataan-pernyataan positif mengenai dirinya, dengan tidak perlu

membandingkan dengan orang lain, menghargai diri sendiri, serta mampu

mengejar harapan-harapan yang kemungkinan membuatnya sukses.

2.1.3. Proses Pembentukan Rasa Percaya Diri

Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang. Ada

proses tertentu di dalam pribadi seseorang sehingga terjadilah

pembentukan rasa percaya diri. Secara garis besar, terbentuknya rasa

percaya diri yang kuat terjadi melalui proses, yaitu (Hakim, 2002) :

a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses

perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.

b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya

(6)

c. Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap

kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri

atau rasa sulit menyesuaikan diri.

d. Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan

menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Kekurangan pada salah satu proses tersebut, kemungkinan besar akan

mengakibatkan seseorang mengalami hambatan untuk memperoleh rasa

percaya diri.

2.1.4. Gejala tidak Percaya Diri pada Remaja

Gejala tidak percaya diri pada remaja antara lain takut menghadapi

ulangan, menarik perhatian dengan cara kurang wajar, tidak berani

bertanya dan menyatakan pendapat, grogi saat tampil di depan kelas,

timbulnya rasa malu yang berlebihan, tumbuhnya sikap pengecut, sering

mencontek saat menghadapi tes, mudah cemas dalam menghadapi

berbagai situasi, salah tingkah dalam menghadapi lawan jenis, tawuran dan

main keroyok (Hakim, 2002).

2.1.5. Aspek-aspek Rasa Percaya Diri

Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari

Lauster dan Guilford yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan

diri yaitu :

a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini

didasari oleh adanya keyakinan tehadap kekuatan, kemampuan, dan

(7)

selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu

menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta

bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.

b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh

adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan

sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya,

aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan

kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak

mementingkan diri sendiri.

c. Individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya

keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang,

tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi.

2.1.6. Dampak Percaya Diri

Kepercayaan diri akan memberikan suatu dampak kepada diri

individu. Hal ini dijelaskan oleh Weinberg dan Gould (Setiadarma, 2000)

bahwa rasa percaya diri memberikan dampak-dampak positif pada hal-hal

berikut ini :

a. Emosi, individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi akan

lebih mudah mengendalikan dirinya di dalam suatu keadaan yang

menekan.

b. Konsentrasi, seorang individu akan lebih mudah memusatkan

(8)

c. Sasaran, individu cenderung mengarahkan pada sasaran yang cukup

menantang, karenanya ia juga akan mendorong dirinya untuk

berupaya lebih baik.

d. Usaha, individu tidak mudah patah semangat atau frustasi dalam

berupaya meraih cita-citanya dan cenderung tetap berusaha kuat

secara optimal sampai usahanya berhasil.

e. Strategi, individu mampu mengembangkan berbagai strategi untuk

memperoleh hasil usahanya.

2.1.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percaya Diri

Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat

digolongkan menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Jacinta

F. Rini, 2002):

2.1.7.1. Faktor Internal, meliputi :

a. Konsep diri

Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan

perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu

kelompok. Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan gagasan

tentang diri sendiri. Individu yang mempunyai rasa rendah diri

biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya individu yang

mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.

b. Harga diri

Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri.

(9)

rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan

dengan individu lain. Individu yang mempunyai harga diri tinggi

cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya

bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima

dirinya sendiri. Akan tetapi, individu yang mempunyai harga diri

rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur

pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.

c. Kondisi fisik

Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya diri.

Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab

utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. Lauster (1997)

juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan

rasa rendah diri yang kentara.

2.1.7.2. Faktor eksternal, meliputi :

a. Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony (1992)

lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah

cenderung membuat individu merasa di bawah kekuasaan yang lebih

pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi

cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada

individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan

hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan

(10)

b. Pekerjaan

Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta

rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri

dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang

diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga didapat karena mampu

mengembangkan kemampuan diri.

c. Lingkungan

Lingkungan di sini merupakan lingkungan keluarga, sekolah, dan

masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan

keluarga, seperti anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan

baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu

juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma

dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri

berkembang (Centi, 1995).

d. Pengalaman hidup

Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh

dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi

sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada dasarnya

individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang

perhatian.

2.1.8. Usaha menumbuhkan Rasa Percaya Diri Remaja

Rasa percaya diri merupakan salah satu kebutuhan remaja di

(11)

“Adolescence” (2003). Ada empat cara untuk menumbuhkan rasa percaya

diri remaja yaitu: mengidentifikasi penyebab dari rendahnya rasa percaya

diri dan domain-domain kompetensi diri yang penting, memberikan

dukungan emosional dan penerimaan sosial, adanya prestasi dan mengatasi

masalah

Menurut Drs. Thursan Hakim dalam bukunya yang berjudul

“Mengatasi Rasa tidak Percaya Diri”, ada beberapa pola pendidikan yang

bisa diterapkan untuk membangun rasa percaya diri yang sehat pada

remaja, diantaranya: menerapkan pola pendidikan yang demokratis,

menumbuhkan sikap mandiri, menumbuhkan harga diri, menumbuhkan

sikap tanggung jawab, memberikan penghargaan, memberikan hukuman

jika berbuat salah, mengembangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki

remaja, menganjurkan untuk mengikuti berbagai kegiatan kelompok,

memberikan pendidikan agama, menerapkan disiplin, memperluas

pergaulan, memberikan pendidikan non formal (keterampilan, kursus dan

lain-lain).

2.1.9. Konsekuensi dari Rendahnya Rasa Percaya Diri

Untuk sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya

menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara

(Damon, 1991 dalam Santrock, 2003). Tetapi bagi beberapa remaja,

rendahnya rasa percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah.

Rendahnya rasa percaya diri bisa menyebakan depresi, bunuh diri,

(12)

(Damon & Hart, 1988; Fenzel, 1994; Harter & Marold, 1992; Markus &

Nurius, 1986; Pfeffer, 1986 dalam Santrock, 2003). Tingkat keseriusan

masalah tidak hanya tergantung pada rendahnya rasa tidak percaya diri,

namun juga kondisi-kondisi lainnya. Ketika tingkat percaya diri yang

rendah berhubungan dengan proses perpindahan sekolah atau keluarga

yang sulit, atau dengan kejadian-kejadian yang membuat tertekan, masalah

yang muncul pada remaja dapat menjadi meningkat (Rutter & Garmezy,

1983; Simmons & Blyth, 1987 dalam Santrock, 2003).

2.2. Pengendalian Diri (Self Control)

2.2.1. Defenisi

Menurut Averill (1973), pengendalian diri merupakan variabel

psikologis yang sederhana karena di dalamnya tercakup tiga konsep yang

berbeda tentang kemampuan mengontrol diri yaitu kemampuan individu

untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi serta

kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan berdasarkan suatu

yang diyakini.Pengendalian diri (self control) merupakan kemampuan

seseorang dalam mengendalikan perilaku mereka guna mencapai tujuan

tertentu (Fadillah, 2013).Pengendalian diri merupakan seperangkat tingkah

laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri pribadi, keberhasilan

menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan mampu pada diri

sendiri, perasaan mandiri (autonomy), atau bebas dari pengaruh orang lain,

(13)

dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada

tanggung jawab diri pribadi (Messina & Messina, 2003 dalam Gunarsa,

2004).

Goldfried dan Merbaum (1973), pengendalian diri (selfcontrol)

adalah proses dimana seorang individu menjadi pihak utama membentuk,

mengarahkan dan mengatur perilaku yang akhirnya diarahkan pada

konsekuensi positif (dalam Rachdianti, 2011). Pengendalian diri adalah

kemampuan seseorang untuk mengatur kelakuan/tingkah lakunya sendiri

saat ia dihadapkan dengan gangguan/godaan yang berat ataupun tekanan

lingkungan tanpa pertolongan hadiah-hadiah nyata, misalnya dukungan

(Gunarsa, 2002). Pengendalian diri adalah kemampuan untuk

membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau

merintangi implus-implus atau tingkah laku implusive (Chaplin, 2004).

Calhoun dan Acocella (1990 dalam dalam Khairunnisa, 2013),

mendefinisikan kendali diri sebagai pengaturan proses-proses fisik,

psikologis, dan perilaku seseorang, dengan kata lain kendali diri

merupakan serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri.

Beberapa pengertian di atas, menyimpulkan bahwa pengendalian

diri (self control) adalah kemampuan individu dalam membimbing tingkah

lakudanmenekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif

yang tercakup dalam tiga konsep kendali diri, yaitu: kendali perilaku,

kendali kognitif dan kendali keputusan yang akhirnya diarahkan pada

(14)

2.2.2. Fungsi Pengendalian Diri

Menurut Gul dan Pesendorfer (2000 dalam Sriyanti, 2012),

pengendalian diri berfungsi untuk menyelaraskan antara keinginan pribadi

(self-interest) dan godaan (temptation).Kemampuan seseorang

mengendalikan keinginan-keinginan diri dan menghindari godaan ini

sangat berperan dalam pembentukan perilaku yang baik.

Messsina dan Messina (2003 dalam Meytasari, 2013) menyatakan

bahwa pengendalian diri memiliki beberapa fungsi:

a. Membatasi perhatian individu kepada orang lain

Dengan adanya pengendalian diri, individu akan memberikan

perhatian pada kebutuhan pribadinya pula, tidak sekedar berfokus pada

kebutuhan, kepentingan, atau keinginan orang lain di lingkungannya.

Perhatian yang terlalu banyak pada kebutuhan, kepentingan, atau

keinginan orang lain, cenderung akan menyebabkan individu

mengabaikan bahkan melupakan kebutuhan pribadinya.

b. Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di

lingkungannya.

Dengan adanya pengendalian diri, individu akan membatasi ruang

bagi aspirasi dirinya dan memberikan ruang bagi aspirasi orang lain

supaya dapat terakomodasi secara bersama-sama. Individu akan

membatasi keinginannya atas keinginan orang lain, memberikan

(15)

masing-masing, atau bahkan menerima aspirasi orang lain tersebut secara

penuh.

c. Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif

Individu yang memiliki pengendalian diri akan terhindar dari

berbagai tingkah laku negatif. Pengendalian diri memiliki arti sebagai

kemampuan individu untuk menahan dorongan atau keinginan untuk

bertingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Tingkah laku

yang tidak sesuai dengan norma sosial tersebut meliputi ketergantungan

obat atau zat kimia, alkohol, rokok serta bermain judi.

d. Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara

seimbang

Pemenuhan kebutuhan hidup menjadi motif bagi setiap individu

dalam bertingkah laku. Individu yang memiliki pengendalian diri yang

baik, akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam takaran yang

sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Dalam hal ini,

pengendalian diri membantu individu dalam menyeimbangkan

pemenuhan kebutuhan hidup seperti tidak memakan makanan secara

berlebihan, tidak melakukan hubungan seks secara berlebihan dan

lain-lain.

2.2.3. Aspek-aspek Pengendalian Diri

Averill (1973, dalam Ghufron & Rini, 2010), berpendapat

bahwapengendalian diri adalah kemampuan individu yang memiliki tiga

(16)

a. Kendali perilaku (behavior control)

Kendali perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respon

yang dapat secara langsung memengaruhi atau memodifikasi suatu

keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini

diperinci menjadi dua komponen, yaitu: a) Kemampuan mengatur

pelaksanaan (regulated administration), yaitu: kemampuan individu untuk

menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya

sendiri atau sesuatu di luar dirinya. Individu dengan kontrol diri yang baik

akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya

dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal, b)

Kemampuan mengatur stimulus (stimulus modifiability), yaitu kemampuan

untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak

dikehendaki dihadapi.

b. Kendali kognitif (cognitive control)

Kemampuan kognitif merupakan kemampuan individu untuk

mengelola informasi yang tidak diinginkan degan cara menginterpretasi,

menilai, atau memadukan suatu kejadian dalam kerangka positif sebagai

adaptasi psikologis atau mengurangi tekanaan.Aspek ini terdiriatas dua

komponen, yaitu: a) Kemampuan mengantisipasiperistiwa (information

gain). Berpijak pada informasi yangdimiliki oleh individu mengenai suatu

keadaan yang tidakmenyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan

tersebutdengan berbagai pertimbangan. b) Kemampuan menafsirkan

(17)

berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan

cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

c. Kendali keputusan (decisional control).

Kemampuan mengambil keputusan merupakan kemampuan seseorang

untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang

diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan

berfungsi dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan

pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

Ketiga aspek ini menjadi penting bagi individu dalam menentukan

model perilaku mana yang akan ditampilkan.

Aspek lain yang terdapat dalam pengendalian diri seseorang meliputi:

a. Kendali Emosi

Seseorang dengan kendali emosi yang baik, cenderung akan memiliki

kendali pikiran dan fisik yang baik pula.

b. Kendali Pikiran

Jika belum apa-apa sudah berpikir gagal, maka semua tindakan akan

mengarah pada terjadinya kegagalan. Jika berpikir bahwa sesuatu

pekerjaan tidak mungkin dilakukan, maka akan berhenti berpikir

untuk mencari solusi.

c. Kendali Fisik

Kondisi badan fit adalah salah satu faktor kunci dalam menunjukkan

(18)

2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengendalian diri (Self Control)

Sebagaimana faktor psikologis lainnya, pengendalian diri dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Menurut Ghufron dan Rini (2010 dalam Heni, 2013)

secara garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian diri

terdiri dari :

a. Faktor internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap pengendalian diri adalah usia.

Semakin bertambah usia seseorang maka, semakin baik kemampuan

mengendalikan diri seseorang itu dari diri individu. Individu yang

matang secara psikologis juga akan mampu mengontrol perilakunya

karena telah mampu mempertimbangkan mana hal yang baik dan yang

tidak baik bagi dirinya.

b. Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga.

Lingkungan keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana

kemampuan mengendalikan diri seseorang. Bila orangtua menerapkan

disiplin kepada anaknya sikap disiplin secara intens sejak dini, dan

orangtua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan

anak bila ia menyimpang dari yang sudah ditetapkan, maka sikap

konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan

menjadi kendali diri baginya.

Calhoun & Acocella (dalam Fika Ariani Utami & Sumaryono, 2008:

48) mengemukakan bahwa berhasilnya self control dipengaruhi oleh tiga

(19)

a. Memilih dengan tidak tergesa-gesa.

b. Memilih di antara dua perilaku yang bertentangan, yang satu

memberikan kepuasan seketika dan satunya memberikan reward

jangka panjang.

c. Memanipulasi stimulus dengan tujuan membuat sebuah perilaku

menjadi tidak mungkin dan perilaku satunya lebih memungkinkan.

2.2.5. Tipe Pengendalian diri

Tipe Pengendalian Diri Rosenbaum (dalam Safaria, 2004)

mengembangkan modelteoritis tentang kendali dalam tiga tipe, yaitu

redresif, reformatif, daneksperiensial.

a. Pengendalian diri tipe redresif. Pengendalian diri tipe redresif

berfokus pada proses pengendalian diri.

b. Pengendalian diri tipe reformatif. Pengendalian diri tipe reformatif

berfokus pada bagaimana mengubah gaya hidup, pola perilaku, dan

kebiasaan-kebiasaan yang destruktif.

c. Pengendalian diri tipe eksperiensial. Pengendalian diri tipe

eksperiensial merupakan kemampuan individu untuk menjadi sensitif

dan menyadari perasaan-perasaannya dan penghayatanakan stimuli

dari lingkungan yang spesifik.

2.2.6. Jenis-jenis Pengendalian diri

Pengendalian diri (selfcontrol) memiliki jenis yang beragam. Block

dan Block (Lazarus, 1976 dalam Meytasari, 2013) mengemukakan tiga

(20)

a. Over Control, yaitu pengendalian diri yang dilakukan oleh individu

secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri

dalam bereaksi terhadap stimulus.

b. Under Control, yaitu suatu kecenderungan individu untuk melepaskan

impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.

c. Appropriate Control, yaitu pengendalian individu dalam upaya

mengendalikan implus secara tepat.

2.2.7. Ciri-ciri Pengendalian Diri (Self Control) tinggi

Logue & Forzano (1995 dalam Aroma & Suminar, 2012), beberapa

ciri-ciri remaja yang memiliki kendali diri tinggi adalah sebagai berikut:

a. Tekun dan tetap bertahan dengan tugas yang harus dikerjakan,

walaupun menghadapi banyak hambatan.

b. Dapat mengubah perilaku menyesuaikan dengan aturan dan norma

yang berlaku dimana ia berada.

c. Tidak menunjukkan perilaku yang emosional atau meledak-ledak.

d. Bersifat toleran atau dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang

tidak dikehendaki.

Individu yang mempunyai pengendalian diri yang baik lebih aktif

mencari informasi dan menggunakannya untuk mengendalikan lingkungan,

lebih perspektif, mempunyai daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh

orang lain, mampu menunda kepuasan, lebih ulet, bersifat mandiri, mampu

mengatur dirinya sendiri dan tidak mudah emosional (Calhoun dan Acocella,

2005). Hurlock (1990) menyimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang mampu

(21)

memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan

kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat dan dapat menilai

situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi

terhadap situasi tersebut.

2.2.8. Ciri-ciri Pengendalian diri (Self Control) rendah

Gottfredson dan Hirschi (1990 dalam Aroma & Suminar, 2012)

menyatakan bahwa individu yang memiliki pengendalian diri rendah

cenderung bertindak impulsif, lebih memilih tugas sederhana dan

melibatkan kemampuan fisik, egois, senang mengambil resiko, dan mudah

kehilangan kendali emosi karena mudah frustasi. Individu dengan

karakteristik ini lebih mungkin terlibat dalam hal kriminal dan perbuatan

menyimpang dibanding mereka yang memiliki tingkat pengendalian diri

tinggi.

Individu yang mempunyai pengendalian diri rendah sifatnya pasif,

menarik diri dari lingkungan, tingginya konformitas, tidak dapat

mendisiplinkan dirinya sendiri, hidup semaunya, mudah kompulsi, emosional

dan refleks responnya relatif kasar (Calhoun dan Acocella, 2005).

2.2.9. Pengendalian diri remaja

Self-Control pada remaja menurut Rice (dalam Singgih D. Gunarsa,

2009), masa remaja adalah masa peralihan, ketika individu tumbuh dari

masa anak-anak menjadi individu yang memiliki kematangan. Pada masa

tersebut, ada dua hal penting menyebabkan remaja melakukan

(22)

1. Hal yang bersifat eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan.

Rice (1999), ada enam aspek yang sedang mengalami perubahan yang

memiliki pengaruh bagi kehidupan masa remaja. Adapun enam aspek

tersebut adalah: perubahan dalam penggunaan komputer (computer

revolution), perubahan dalam kehidupan materi (materialistic revolution),

perubahan dalam aspek pendidikan (education revolution), perubahan

dalam aspek kehidupan berkeluarga (family revolution), perubahan dalam

aspek kehidupan seks (sexual revolution), dan perubahan dalam aspek

kejahatan atau tindak kriminal yang terjadi (violence revolution). Dari

enam aspek tersebut, aspek-aspek yang perlu dicermati sehubungan

dengan pengendalian diri pada remaja adalah computer revolution,

materialistic revolution, education revolution, sexualrevolution, dan

violencerevolution.

2. Masa Badai dan Tekanan bagi Remaja (Storm & Stress)

Arnett (dalam Singgih D. Gunarsa, 2004), pentingnya pengendalian

diri bagi remaja, juga didasari oleh fenomena bahwa masa remaja sering

kali dikenal sebagai masa badai dan tekanan. Ada tiga elemen kunci yang

termasuk dalam konsep masa badai dan tekanan ini adalah:

a. Konflik dengan orangtua, sering sekali diisi dengan permasalahan

seputar larangan-larangan yang berasal dari orangtua kepada remaja.

b. Gangguan suasana hati, remaja lebih sering mengalami gangguan

suasana hati dibandingkan pada saat masa anak-anak. Menurut Larson

(23)

Namun demikian, bila ditinjau dari frekuensi suasana hati yang

timbul, remaja cenderung lebih sering mengalami suasana hati yang

negatif.

c. Kecenderungan remaja untuk melakukan tingkah laku yang berisiko.

Tingkah laku berisiko didefinisikan sebagai tingkah laku yang secara

potensial dapat menyebabkan celaka atau kesulitan pada orang lain

maupun pada diri sendiri.

2.3. Remaja

2.3.1. Definisi

Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan

perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Remaja, yang dalam

bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere

yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan.

Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki

arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik

(Hurlock, 1991 dalam Ali, 2004). Masa remaja merupakan suatu periode

transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa - merupakan waktu

kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional yang cepat pada anak

laki-laki untuk mempersiapkan diri menjadi laki-laki dewasa dan anak

perempuan untuk mempersiapkan diri menjadi wanita dewasa. Batasan

yang tegas pada remaja sulit ditetapkan, tetapi periode ini biasanya

(24)

pada sekitar usia 11 sampai 12 tahun dan berakhir dengan berhentinya

pertumbuhan tubuh pada usia 18 sampai 20 tahun (Wong, et. al., 2009).

Remaja merupakan transisi antara zaman kanak-kanak dengan

zaman dewasa yang melibatkan perubahan biologi, psikologi, sosial dan

ekonomi serta melibatkan perubahan peringkat tidak matang ke peringkat

matang (Azizi et. Al.,2005).Masa remaja merupakan proses tumbuh

kembang yang berkesinambungan dan merupakan masa peralihan dari

kanak-kanak ke dewasa muda (Depkes RI, 2005).

2.3.2. Batasan Usia Remaja

Masa remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: (a) Masa

remaja awal usia 11-14 tahun; (b) Masa remaja pertengahan usia 15-17

tahun; (c) Masa remaja akhirusia 18-20 tahun (Wong,et al, 2009).

Batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai

kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartini Kartono

(1995 dalam Andriyanto, 2012) dibagi tiga yaitu:

a. Remaja Awal (12-15 tahun)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat

dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak

pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap

kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola

kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini, remaja sering merasa sunyi,

(25)

b. Remaja Pertengahan (15-18 tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada

masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan

kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu

dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka

dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan

timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja

menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian

terhadap tingkah laku yangdilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja

menemukan diri sendiri atau jati dirinya.

c. Remaja Akhir (18-21 tahun)

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah

mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan

sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan

menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu

berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

2.3.3. Aspek-aspek Perkembangan pada Masa Remaja

a. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,

kapasitas sensoris, dan keterampilan motorik (Papalia dan Olds, 2001).

Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat

tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan

(26)

tubuh orang dewasa yang cirinya ialah kematangan. Perubahan fisik otak

strukturnya semakin sempurna untuk meningkatkan kemampuan kognitif

(Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2011), seorang remaja termotivasi

untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka.

Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif

mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu

saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja telah mampu membedakan

antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu

remaja juga menghubungkan ide-ide ini. Seorang remaja tidak saja

mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja juga

mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide

baru.

c. Perkembangan Kepribadian dan Sosial

Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja ialah

pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri adalah proses menjadi

seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erickson

dalam Jahja, 2011). Perkembangan sosial pada masa remaja lebih

melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding masa

kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah

seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, dan bermain dengan teman

(27)

peran kelompok teman sebaya ialah besar. Pada diri remaja, pengaruh

lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Kelompok

teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan

seorang remaja tentang perilakunya. (Beyth-Marom, et al., 1993 dalam

Jahja, 2011).

2.3.4. Tugas-tugas Perkembangan Masa Remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk

mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun

tugas-tugas perkembangan masa remaja, menurut Hurlock (1991 dalam

Ali, 2004) adalah berusaha: mampu menerima keadaan fisiknya, mampu

menerima dan memahami peran seks usia dewasa, mampu menerima

hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis, mencapai

kemandirian emosional, mencapai kemandirian ekonomi, mengembangkan

konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk

memasuki dunia dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki

perkawinan, memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan keluarga.

2.3.5. Kebutuhan Remaja

Ada beberapa kebutuhan yang dialami pada masa remaja, yaitu:

kebutuhan akan pengendalian diri, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan

(28)

akan penyesuaian diri, dan kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial

(Jahja, 2011).

2.3.6. Perubahan Psikososial Remaja

Perubahan psikososial remaja dibagi dalam tiga tahap yaitu remaja

awal (early adolescent), pertengahan (middle adolescent), dan akhir

(lateadolescent) (Batubara, 2010) :

a. Periode pertama disebut remaja awal (12-14 tahun)

Pada masa remaja awal anak-anak terpapar pada perubahan tubuh

yang cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi

tubuh disertai awal pertumbuhan seks sekunder.Karakteristik periode

remaja awal ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis,

seperti :krisis identitas, jiwa yang labil, meningkatnya kemampuan verbal

untuk ekspresi diri, pentingnya teman dekat/sahabat, berkurangnya rasa

hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, menunjukkan

kesalahan orangtua, mencari orang lain yang disayangi selain orangtua,

kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan terdapatnya pengaruh

teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian. Pada fase

remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan sekarang, bukan masa

depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa malu, ketertarikan

terhadap lawan jenis tetapi masih bermain berkelompok dan mulai

bereksperimen dengan tubuh seperti masturbasi. Selanjutnya pada periode

remaja awal, anak juga mulai melakukan eksperimen dengan rokok,

(29)

b. Periode pertama disebut remaja tengah (15-17 tahun)

Ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan seperti: mengeluh

orangtua terlalu ikut campur dalam kehidupannya, sangat memperhatikan

penampilan, berusaha untuk mendapat teman baru, tidak atau kurang

menghargai pendapat orangtua, sering sedih/moody, mulai menulis buku

harian, sangat memperhatikan kelompok main secaraselektif dan

kompetitif, dan mulai mengalami periode sedih karena ingin lepas dari

orangtua.Pada periode middle adolescentmulai tertarik akan intelektualitas

dan karir. Secara seksual sangat memperhatikan penampilan, mulai

mempunyai dan sering berganti-ganti pacar. Sangat perhatian terhadap

lawan jenis. Sudah mulai mempunyai konsep role modeldan mulai

konsisten terhadap cita-cita.

c. Periode pertama disebut remaja tengah (18-21 tahun)

Ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Perubahan

psikososial yang ditemui antara lain : identitas diri menjadi lebih kuat,

mampu memikirkan ide, mampu mengekspresikan perasaan dengan

kata-kata, lebih menghargai orang lain, lebih konsisten terhadap minatnya,

bangga dengan hasil yang dicapai, selera humor lebih berkembang, dan

emosi lebih stabil. Pada fase remaja akhir lebih memperhatikan masa

depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam

berhubungan dengan lawan jenis, dan mulai dapat menerima tradisi dan

(30)

2.3.7. Karakteristik remaja yang dapat menimbulkan permasalahan

Karakteristik remaja yang dapat menimbulkan permasalahan pada

diri remaja, yaitu: kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam

gerakan, ketidakstabilan emosi, adanya perasaan kosong akibat

perombakan pandangan dan petunjuk hidup, adanya sikap menentang dan

menantang orang tua, pertentangan di dalam dirinya sering menjadi

pangkal penyebab pertentangan-pertentangan dengan orang tua, senang

bereksperimentasi dan bereksplorasi, kegelisahan karena banyak hal yang

diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya dan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Makanan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas, karena bila jumlah makanan dan porsi makanan lebih banyak, maka tubuh akan merasa mudah lelah, dan tidak

Oleh karena itu, para manajer dituntut untuk dapat memadukan pengetahuan mereka dalam pengambilan keputusan ekonomi dengan perundang-undangan yang berlaku agar

Pengukuran waktu pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menentukan lamanya waktu kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang spesifik yang dibutuhkan oleh

KETIGA : Membebankan biaya pelaksanaan tugas Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat diskriptif, karena dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas

Berdasarkan hasil data yang diperoleh kriteria kurang dengan frekuensi7 orang yaitu11,29% hal ini disebabkan beberapa faktor penyebab aktivitas yang besar dengan

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu wawancara, observasi, dan kuesioner (angket). Teknik analisis data menggunakan analisis