BAB II
PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT
A. Pengertian dan Sejarah Bajak Laut di Dunia
Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum. Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'yang menyerang', 'yang merampok'. Dalam Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain
untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia, Orang Laut. Tujuan mereka tidak bersifat politik, mereka
mencari keuntungan sendiri dan tidak melayani siapapun kecuali di bawah
bendera Jolly Roger (bendera bajak laut).
Sejarah mengenai pembajakan di laut lepas sudah dimulai semenjak
manusia melakukan perjalanan melalui laut. Dimana pembajakan yang terjadi
memiliki umur yang sama dengan kapal dan kodrat manusia. Pembajakan di laut
lepas di semua zaman didorong oleh suatu motif utama, yaitu untuk memperoleh
kekayaan. Dimana jenis jenis bajak laut berbeda beda, ada yang hanya bajak laut
dan tidak lebih, ada bajak laut yang merupakan penjelajah atau pedagang yang
melakukan penjarahan terhadap yang lemah atau kurang hati-hati, ataupun juga
merupakan prajurit-prajurit dalam perjalanan ke medan perang atau dalam
perjalanan pulang dari medan peperangan.28
Sejarah perompakan terjadi bersamaan dengan sejarah navigasi, di mana
terdapat kapal-kapal yang mengangkut dagangan dan muncul bajak laut yang siap
28
memilikinya secara paksa. Telah dikenal terjadinya pembajakan sejak zaman
Yunani kuno dan pada zaman Republik Romawi dimana kapal Julius Caesar
diserang dan sang Kaisar itu sendiri diculik dan dimintai tebusan yang kemudian
para perompak mendapat tebusan atas Julius Caesar, namun pada akhirnya para
perompak ditangkap dan dihukum.29
Pada abad ke-16, perompak disahkan oleh negara-negara melalui surat yang
disebut “letter of marquee”, yang bertindak atas negara tersebut dengan tujuan
menambah kekuatan maritimnya. Para perompak ini dikenal sebagai privateer. Tujuan penggunaan privateers untuk merusak sumber daya negara musuh, melatih
kapten angkatan laut yang baru, bahkan menyulut peperangan untuk memukul
mundur musuh dan menyembunyikan diri kemudian.30
Setelah Perang Spanyol usai, Inggris dan Spanyol menyimpulkan bahwa
tidak diperlukannya lagi para privateers. Untuk beritikad baik, Raja James
kemudian mencabut seluruh letter of marquee dan mengkriminalisasikan pembajakan di laut dalam bentuk apapun yang menyebabkan ratusan privateer
kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan sebagai perompak secara penuh.31
Selain Inggris dan Spanyol, upaya untuk melawan perompak juga dilakukan
oleh negara lain. Pada tahun 1804 Angkatan Laut Amerika Serikat mencetak
29
Thaine Lennox-Gentle Piracy, Sea Robbery, and Terrorism: Enforcing Laws to Deter Ransom Payments and Hijacking, http://www.law.du.edu/documents/transportation-law-journal/past- issues/v37-03/Lennox-Gentle-Piracy.pdf diakses pada 28 mei 2015
30
ibid
31
kemenangan melawan bajak laut Barbary, dan menandakan bahwa bajak laut
dipandang sebagai ancaman internasional.32
Pada tahun 1856, negara-negara yang memiliki kekuatan maritim besar
menandatangani Deklarasi Paris 1856 yang menyatakan penghapusan terhadap
pembajakan di laut dalam bentuk apapun, termasuk privateering dan pembajakan
di laut yang disponsori oleh negara. Sejak Deklarasi Paris 1856 ini, timbul konsep
bahwa pembajakan di laut merupakan hostis humani generis (musuh seluruh umat
manusia).33
Deklarasi Paris dan undang-undang berikutnya menciptakan sistem hukum
yang terpisah bagi para bajak laut. Dan memandang para bajak laut sebagai
sebagai individu, bukan states. Pembajakan didefinisikan sebagai alat politik di
luar lingkup proses negara yang sah dan bajak laut sendiri tidak berhak atas
perlindungan status kewarganegaraan dari negara mereka berasal.
Pada tahun 1970 dan 1980, serangan kapal oleh perompak telah dianggap
sebagai ancaman terhadap keamanan Internasional, dikarenakan era globalisasi
yang berdampak pada meningkatnya perdagangan dunia, sehingga memberikan
kesempatan secara ekonomi yang lebih besar bagi para perompak. Selain factor
ekonomi, pembajakan di laut juga dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik dan
ekonomi di wilayah-wilayah tertentu, sehingga pembajakan di laut dapat
berkembang.
32
http://lelemp07.blogspot.com/2012/11/perompak-somalia-sebuah-jurnal_26.html diakses 28 Mei 2015
33
Akhir abad kesembilan belas, bajak laut dihubungkan dengan
kejahatan terorisme modern. Hal ini kerena berbagai pertimbangan seperti
dibawah ini :
1. Pembajakan, seperti terorisme, termasuk penggunaan teror oleh aktor non-
negara sebagai alat memaksa negara dan masyarakat
2. Pembajakan laut harus dipahami sebagai alat politik bagi pemerintah, swasta
individu atau kelompok yang tindakannya diarahkan tujuan kebijakan yang
spesifik, Dilihat dalam segi ini, seperti tindakan teroris.
3. Apabila kita meliahat secara historis motivasi bajak laut mirip dengan motivasi
teroris. Bajak laut telah mengobarkan perang terhadap dunia, yang mereka
dianggap tidak adil, dan teroris ditujukan untuk memesan tindakan mereka
terhadap negara-negara tertentu dalam perang melawan aktor non-negara
1. International Maritime Organization (IMO)
Peristiwa pembajakan kapal pesiar Achille Lauro yang berbendera Italia
oleh kelompok gerilyawan Palestine Liberation Front (PLF) pada bulan Oktober 1985 membawa perubahan pada perhatian masyarakat internasional
terhadap upaya memerangi pembajakan. Serangan tersebut tidak
mengakibatkan kapal lain dan tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan
ekonomi. Berkaitan itu PBB menugaskan International Maritime Organization
(IMO) untuk mengkaji tindakan kekerasan yang terjadi di laut.
Selain itu, IMO juga mengeluarkan definisi mengenai bajak laut
of the Sea), yaitu34 :
1) Pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan,
detensi atau depredasi.
2) IMO mendefinisikan serangan bajak laut yang berada di dalam wilayah
teritoral sutu negara sebagai serangan kriminal dengan senjata terhadap
kapal di dalam perairan teritorial sebagai perampokan bersenjata, bukan aksi
bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum
terhadap para tersangka termasuk pada prosedur penangkapan, penahanan
dan pengadilan serta vonis hukuman.
3) Definisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua
kapal (two-ship requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka
penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal
dari dalam kapal tidak termasuk aksi bajak laut. Begitu juga dengan
penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas
dermaga.
4) Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak
memasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak
laut. Oleh karena itu, pembajakan laut yang dilakukan oleh kelompok
pemberontak misalnya, tidak dapat digolongkan ke dalam definisi bajak
laut.
5) Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi bajak laut
34
karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang
kapal milik pribadi.
IMO mengadakan sebuah koferensi pada Maret 1988 di Roma. Dalam
konferensi ini lahirlah sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan
Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988).
Konvensi ini bertujuan untuk memastikan bahwa diambilnya tindakan yang
tepat terhadap orang- orang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum
terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan
kekerasan terhadap orang- orang di kapal. IMO menyerahkan kepada negara-
negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk
menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para
pelaku dapat dihukum sesuai dengan hukum nasional negara mereka.
Keterlibatan negara yang diharapkan oleh IMO adalah dengan menetapkan
suatu tindakan pembajakan sebagai tindak pidana, mengakuinya sebagai
perbuatan melawan hukum.
2. International Maritime Bureau (IMB)
International Maritime Bureau (IMB), sebagai organisasi dibawah ICC (International Chamber of Commerce) yang bertujuan untuk melawan kejahatan dibidang kelautan, menggolongkan kegiatan pembajakan di laut
menjadi :35
1) Low level armed robbery, yakni kegiatan pembajakan di laut berskala kecil yang biasanya beroperasi di pelabuhan dan dermaga akibat lemahnya
35
pengawasan oleh petugas keamanan pelabuhan. Para perompak disini
umumnya tertarik pada harta kekayaan para awak atau perlengkapan yang
ada di kapal.36
2) Medium level armed assault and robbery, yakni tipe bajak laut berskala menengah yang beroperasi di perairan laut lepas maupun teritorial. Biasanya
mereka sudah terorganisasi (organized piracy);
3) Major criminal hijack, yaitu kegiatan bajak laut paling tinggi dan memiliki modal yang sangat besar dan lebih terorganisir dengan melibatkan
organisasi kejahatan internasional yang sudah terlatih menggunakan senjata
api. Motif dari pembajakan di laut ini umumnya tidak hanya sekedar motif
ekonomi, dapat juga berlatar motif politis atau terorisme.37
Sejalan dengan UNCLOS 1982 dan IMO, IMB juga menekankan
penegakan hukum kepada para pelaku perompakan kapada negara -negara yang
memiliki kepentingan dalam hal pemberantasan pembajakan. IMB tidak
memiliki aturan secara khusus tentang pemidanaan para perompak, tatapi IMB
memiliki Pusat Pelaporan Pembajakan yang bertugas untuk memberikan
informasi kepada negara pemilik kapal agar dapat melakukan penegakan
hukum terhadap aksi tersebut.
Jenis jenis bajak laut pada umumnya terbagi tiga, yaitu :38
a. Corsario
Kapal corsario (corsair) adalah kapal yang berlaut atas perintah dari
36
Bantekas, lias. and Susan Nash, International Criminal Law, (London: Cavendish Publishing, 2003), hlm. 94.
37
Ariadno, Melda Kamil. Hukum Internasional Hukum yang Hidup, (Jakarta: Penerbit Diadit Media, 2007), hlm.169
38
seorang raja untuk berperang melawan kepentingan kerajaan musuh yang
memiliki dokumen-dokumen yang memberikan kuasa kepada kapal yang
dikendalikannya untuk berbuat aksi-aksi perang tersebut, dinamakan Letter of marque atau Patente de Corso. Batasan-batasan yang digariskan pada dokumen tersebut tidak jelas dan yang menentukan adalah kapten-kapten
corsario dan tripulasinya.
Pada periode peperangan, delegasi corsario sering dipakai dalam
ekspedisi-ekspedisi untuk melawan kepentingan musuh yang berpotensi dan
harta rampasannya diwajibkan diserahkan semua kepada kerajaan kecuali
sebagian kecil (yang mungkin bisa seperlima atau lebih). Ketika kapal-kapal
corsair tidak menjadi bagian dari suatu misi kerajaan, mereka menyerang kapal
apa saja selama tidak berbendera sama dengan kerajaan dari mana mereka
berasal dan harta rampasan menjadi milik mereka secara utuh.
Mereka beraksi layaknya bajak laut yang menyimpan hak-hak berlaut yang
bersifat corso (dilindungi oleh satu kerajaan). Kapal-kapal corsair aman bagi
mereka yang berasal dari negara/kerajaan yang sama.
Para corsair tak dapat dihukum gantung dengan alasan pembajakan karena
mereka mempunyai "izin" (kuasa hukum corso) yang dikeluarkan oleh kerajaan.
Kenyataannya jelas seorang corsair yang dikejar oleh musuh, tidak dapat
mempercayai hal ini, karena ada kebiasaan menghukum gantung corsair musuh.
b. Bucanero
bucanero hidup dalam alam bebas, tidak ada seorangpun yang memerintah atau
menguasai mereka. Ini mengundang segala jenis orang yang diusir, buronan,
budak, Indian pemberontak, dan orang-orang yang dikejar oleh agama. Jumlah
bucanero ini bertambah dan pada tahun 1620 mereka mulai dikejar oleh orang-
orang Spanyol. Mereka memutuskan untuk berbuat perampokan kecil di laut
dan mendirikan pangkalan operasi di pulau Tortuga, dekat dengan koloni
Spanyol.
Pengakuan akan keberadaan mereka oleh Le Vasseur sebagai pemerintah
pulau itu dan berangkat dari kepentingan riilnya, membawa mereka untuk
berasosiasi dalam "Hermandad de la Costa" atau “persaudaraan daratan pantai” yang akan memunculkan asal dari filibusteros.
c. Filibustero
Karena di pulau Tortuga tidak terdapat buruan, para bucanero
berhadapan dengan sebuah dilema untuk terus hidup: pergi dengan Canoa
untuk berburu di teritori Spanyol atau mendedikasikan diri pada pembajakan.
Mereka yang memilih pilihan terakhir dinamakan filibusteros (freebooter). Kata Filibustero berasal dari bahasa Belanda Vrij Buiter (”yang merampas harta” atau dalam bahasa Inggris, freebooter).
Kebiasaan hidup dengan kemerdekaan yang penuh, membuat mereka
tidak mengizinkan untuk diperintah oleh hukum, norma dan orang-orang di
atas mereka. Para filibusteros ini menyerang kapal apa saja, walaupun kapal-
kapal Spanyollah yang sering menjadi korban mereka.
dan dimodali serta didukung secara ekstra oficial oleh potensi-potensi dari Eropa dengan kepentingan untuk melemahkan perdagangan musuh. Mereka
seringkali menggagalkan perdagangan antar koloni dan didongengkan akan
aktuasi-aktuasi mereka yang berani dengan senjata yang minim dan tripulasi
yang sedikit, mereka menyerang galeon-galeon kapal besar yang dipersenjatai
secara luar biasa, yang mengangkut emas.
B. UNCLOS 1982 dan Kaitannya dengan Bajak Laut
Berdasarkan Piagam PBB Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa tugas
pokok berdirinya PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan
internasional. Perompakan tergolong sebagai tindakan ilegal berupa kekerasan
dan penjarahan terhadap kapal komersial. Tindakan tersebut merupakan tindakan
yang mengancam keamanan internasional dan kepentingan kemanusiaan secara
luas.
Salah satu Hukum Internasional yang mengatur mengenai penanganan
terhadap perompak adalah UNCLOS (United Nations Convention Law of the Sea). Hukum tersebut memuat pasal yang berisi pengertian perompakan dan aturan penangkapan terhadap perompak. Secara substansi, ketetapan dalam
hukum tersebut seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan perompak.
Pada 5 februari 2009, UNCLOS telah diratifikasi oleh 156 negara. Di dalam
UNCLOS mendefinisikan perompakan sebagai peristiwa khusus yang terjadi di
yuridiksi penuh dalam menindak perompakan di dalam teritorial perairan negara
yang berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
Di dalam praktik, hak pelayaran diatur dibawah konvensi dari zona ekonomi
eksklusif, negara seharusnya menghormati hak dan kewajiban negara yang
memiliki garis pantai dan seharusnya mematuhi hukum dan regulasi yang
diadopsi oleh negara pantai tersebut.39
Mengenai pasal pasal yang berkaitan dengan pembajakan terdapat dalam
pasal 100 sampai pasal 107 UNCLOS. Hak suatu negara terhadap perompak
diatur dalam pasal 110 yang berisi bahwa kapal perang suatu negara tidak
diijinkan mendatangi dan menindak kapal asing kecuali ketika kapal tersebut
teridentifikasi bahwa kapal bekerjasama dengan perompak dan kapal tidak
membawa identitas kebangsaan.40
Sesuai dengan Pasal 100 UNCLOS, dapat dikatakan perompakan apabila
terjadi diatas perairan atau di tempat lainnya yang berada di luar wilayah hukum
negara manapun. Apabila pembajakan dilakukan oleh kapal perang atau kapal
pemerintah yang dikendalikan oleh kru yang memberontak, kapal perang atau
kapal pemerintah akan dianggap sebagai kapal swasta yang telah melakukan
pembajakan karena itu akan dikenakan aturan pembajakan.41
Mengenai status kewarganegaaraan yang dimiliki oleh kapal perompak
tergantung undang-undang dari negara asal kapal perompak tersebut, karena pada
39
Russell, Denise. Who Rules The Waves ? Piracy, Overfishing, and Mining the Ocean, (New York: Pluto Press,2010), hlm 158.
40
Beckman, Robert. Somali Piracy- Is International Law Part of The Problem or Part of The Solution’, ( RSIS,2009), hlm 20
41
dasarnya kapal perompak tersebut tetap memiliki status kewarganegaarn sesuai
dengan bendera kapal dari kapal perompak tersebut.42
Maka, ketika terjadi penangkapan atas bajak laut tersebut, negara yang
menangkap berhak atas bajak laut beserta kapal dan property yang berada di atas
kapal dan Pengadilan Negara yang menangkap bajak laut dapat menentukan
hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan
diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan
tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. 43
Namun, apabila suatu negara menangkap dan melakukan penyitaan terhada kapal
bajak laut tanpa alasan yang cukup dan menimbulkan kerugian, maka negara
tersebut bertanggung jawab terhadap negara yang kebangsaannya dimiliki oleh
kapal tersebut.44
Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal
perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara
jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang
diberi wewenang untuk melakukan hal demikian.45
Kapal perang suatu negara dapat melaksanakan pemeriksaan dokumen dan
segala hal hal yang dimungkinkan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan
benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang suatu negara ini boleh
mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai.
Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa
42 Ibid.,
Pasal 104
43 Ibid.,
Pasal 105
44
tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal
tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang
mungkin diderita.46
UNCLOS menyatakan perompakan merupakan tindakan ilegal yang
dilakukan di atas laut atau di luar wilayah hukum negara apapun. Apabila terjadi
di perairan sebuah negara hukum, maka secara teknik bukanlah aksi pembajakan
tapi sebuah tindakan perampokan bersenjata atau perampokan di laut dan yang
digunakan adalah hukum negara tersebut di sepanjang garis pantai dan menurut
keamanan nasionalnya. Bila terjadi perompakan, UNCLOS mewajibkan setiap
negara bekerjasama sekuat tenaga dalam membasmi atau menekan pembajakan.47
C. Pengaturan Hukum Internasional Lainnya diluar UNCLOS 1982
1. Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention)
IMO membentuk konvensi ini sebagai reaksi atas kasus pembajakan
kapal Acille Lauro. Kasus ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang
teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang
berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.
Dalam Konvensi ini tidak menggunakan istilah pembajakan di laut
(piracy), melainkan istilah tindak pidana (offences). SUA Convention 1988 memberikan yurisdiksi untuk menindak para pelaku perampokan bersenjata
di laut dan tidak terbatas hanya di laut lepas. Namun prinsip kedaulatan laut
46 Ibid.,
Pasal 110
47
teritorial tetap ditegakkan dalam konvensi ini, sehingga negara-negara tidak
diberikan hak untuk memasuki laut teritorial negara lain untuk menumpas
bajak laut. 48
SUA Convention 1988 telah diratifikasi oleh 156 negara, namun tidak
diadopsi oleh negara-negara pantai yang secara luas dipengaruhi oleh
pembajakan di laut seperti Somalia, Malaysia dan Indonesia.
SUA Convention 1988 mencoba untuk mengatur berbagai tindakan
kekerasan maritim yang tidak disebutkan dalam UNCLOS 1982. SUA
Convention 1988 menyertakan tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi
dalam perairan territorial, tindakan tersebut dapat berupa penahanan /
penguasaan secara paksa, kekerasan terhadap orang di atas kapal,
penghancuran atau pengrusakan kapal, penempatan alat atau zat yang dapat
menghancurkan atau merusak kapal, menghancurkan atau merusak fasilitas
navigasi maritim, mengumumkan informasi yang sudah diketahui salah,
melukai atau membunuh orang dalam rangka pencapaian tindak pidana yang
disebutkan sebelumnya. Segala tindakan percobaan atau upaya untuk
melakukan tindak pidana, juga dikategorikan sebagai tindak pidana dalam
pasal ini. Namun konvensi ini tidak memberikan wewenang yursidiksi
universal untuk menangani tindakan-tindakan tersebut.49
SUA Convention 1988 menyebutkan tindakan-tindakan yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindakan pembajakan di laut, seperti penahanan
kapal melalui paksaan. Beberapa pengaturan yang penting yang diatur
48
Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA Convention) Pasal 6
49 Ibid.,
dalam konvensi ini, yaitu:
1) Larangan seseorang untuk menguasai sebuah kapal dengan paksaan,
melukai orang lain di atas kapal dan menghancurkan atau merusak kapal
(Pasal 3).
2) Tidak diwajibkannya syarat laut lepas.
3) Tidak mengatur terhadap kapal yang hanya beroperasi di laut teritorial
dari suatu negara pantai.
4) Fokus untuk menghukum para pelaku.
5) Aspek terpenting adalah dibutuhkannya suatu negara untuk mengadili
atau mengekstradisi pelaku.
Menurut konvensi ini, SUA Convention 1988 tidak berlaku kapal
perang, kapal yang dioperasikan pemerintah, dan juga kapal yang sudah
tidak bernavigasi50 yang terjadi pada seluruh wilayah laut dan tidak terbatas
pada laut lepas. 51 Negara peserta wajib untuk menerapkan hukum terhadap
tindak pidana yang disebutkan sesuai dengan tingkatan tindak pidana yang
dilakukan.52
SUA Convention 1988 tidak menerapkan yurisdiksi universal
selayaknya Convention on the High Seas 1958 atau UNCLOS 1982,
melainkan memberika tiga cara bagi negara peserta untuk melaksanakan
yurisdiksinya53, yaitu:
50 Ibid., Pasal 2 51 Ibid.,
Pasal 3
52 Ibid.,
Pasal 5
53 Ibid.,
a. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika tindakan ilegal
dilakukan di wilayahnya, termasuk laut teritorialnya.
b. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan
ditujukan atau dilakukan di atas kapal yang berbendera negara peserta
tersebut.
c. Negara peserta dapat melaksanakan yurisdiksinya jika serangan
dilakukan oleh salah satu warganegaranya.
Inti dari tujuan SUA Convention 1988, yaitu mendorong dan
mewajibkan agar para pelaku tindak pidana diadili atau diekstradisi. Tiap
negara peserta yang menangkap pelaku atau tersangka pelaku harus
melakukan penahanan yang sesuai dengan hukum nasionalnya agar dapat
dilakukan upaya pengadilan atau ekstradisi.54
Dalam Konvensi ini juga terdapat kewajiban untuk mengekstradisi
para pelaku tindak pidana oleh negara peserta konvensi, namun jika negara
peserta menangkap pelaku atau tersangka pelaku dan tidak melakukan
ekstradisi (apabila pelaku / tersangka pelaku merupakan WNA), maka
negara peserta tersebut wajib mengadili pelaku atau tersangka pelaku
tersebut. Konvensi ini hanya menyediakan mekanisme untuk menjamin
dilakukannya hukuman melalui cara pengadilan bagi mereka yang terlibat
dalam tindakan-tindakan kekerasan maritim, dengan cara memberikan
kewajiban terhadap negara peserta berupa dilakukannya esktradisi ke negara
asal pelaku atau pengadilan di dalam negara peserta tersebut.55
54 Ibid.,
Pasal 7
55 Ibid.,
Apabila antara negara pengirim (penangkap) dan negara penerima
yang ingin melakukan ekstradisi tidak memiliki perjanjian ekstradisi, maka
perjanjian ini dapat dijadikan dasar ekstradisi dengan dibolehkan
ditetapkannya syarat-syarat tertentu oleh negara peserta, 56 kecuali negara
tersebut tidak menjadi negara peserta SUA Convention 1958, seperti
Somalia, maka tidak dapat menjadikan SUA Convention 1958 sebagai dasar
melakukan perjanjian ekstradisi.57
Beberapa pakar berpendapat terdapat peraturan yang tidak diatur
dalam SUA Convention dalam mengatur tindakan perompakan, yaitu :
1) Jose Luis Jesus menyoroti tindakan yang tidak diatur dalam SUA
Convention 1988, yaitu tindakan kekerasan terhadap orang-orang di atas
kapal yang sekiranya tidak membahayakan keselamatan navigasi dan
melengkapi atau menggunakan kapal sebagai alat atau senjata. 58
2) Beberapa pembentuk Laporan Nairobi (Nairobi Report) berpendapat
bahwa SUA Convention 1988 bukan merupakan instrumen yang sesuai
untuk menekan pembajakan di laut karena dibuat dalam konteks anti-
terorisme.59
3) Lucas Bento berpendapat bahwa secara teori, SUA Convention 1988
terlihat seperti solusi yang menjanjikan, namun dalam praktek, SUA
56 Ibid.,
Pasal 11
57
Harrelson, Jill. Blackbeard Meets Blackwater: An Analysis of International Conventions that Address Piracy and the Use of Private Security Companies to Protect the Shipping Industry, (Vol.25; American University International Law Review, 2010), hlm. 305
58
Jesus, Jose Luis. Protection of Foreign Ships against Piracy and Terrorism at Sea: Legal Aspects, (Vol.18; The International Journal of Marine and Coastal Law, 2003), hlm. 372.
59
Convention 1988 bukanlah instrumen hukum yang efektif untuk
menangani pembajakan di laut.60
4) James Kraska dan Brian Wilson menyatakan bahwa untuk mengadili
para perompak di bawah SUA Convention 1988 tidak akan
menghilangkan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan disposisi
pihak-pihak yang dibutuhkan dalam keperluan pengadilan. Dibutuhkan
adanya suatu perjanjian regional dan bilateral antar negara-negara,
sekaligus koordinasi, disposisi dan logistik yang tersedia dengan baik
dalam hal kaitannya dengan pihak-pihak yang dibutuhkan untuk hadir
dalam persidangan dan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan kasus
pembajakan di laut terdiri dari pelaku dan saksi serta korban yang berasal
dari negara yang berlainan.61
2. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)
Perjanjian ini dibentuk untuk mengatasi pembajakan dan perampokan
bersenjata diatas kapal yang terjadi di kawasan Asia. Dikarenakan
perdangangan ekspor dan impor di Asia sangan bergantung pada
pengankutan melalui jalur laut.62
ReCAAP bertujuan untuk memberantas piracy dan armed robbery
yang terjadi di wilayah Asia dan sebagai pusat informasi tentang aksi
pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal, namun tidak menutup
60
Bento, Lucas. Toward and International Law of Piracy Sui Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables Piracy to Flourish, (Vol.29; Berkeley Journal of International Law, 2011), hlm 424
61
Kraska, James. and Brian Wilson, Op.Cit., hlm. 2811
62
kemungkinan juga Negara peserta dari perjanjian ini juga memberikan
bantuan baik dari segi tenaga, dan alih teknologi kepada Negara lain yang
membutuhkan. Negara-negara pelopor dari ReCAAP itu sendiri adalah
Jepang, Cina, India, Singapura dan sebagian besar anggota ASEAN, saat ini
telah ada 17 negara yang menandatangani perjanjian multilateral tersebut.
ReCAAP adalah perjanjian organisasi Internasional pertama
multilateral pemerintah-ke-pemerintah dalam gerakan anti-pembajakan dan
usaha perampokan bersenjata. Perjanjian ini terdiri dari tiga pilar63:
1) Berbagi informasi antara negara-negara anggota ReCAAP.
2) Peningkatan kapasitas antara negara-negara anggota dengan berbagi
praktik terbaik dalam memerangi pembajakan dan perampokan
bersenjata.
3) Melakukan perjanjian kerjasama dengan seperti- organisasi berpikiran
untuk memperkuat kemampuan negara-negara anggota untuk mengelola
insiden di laut.
Dikarenakan Indonesia dan Malaysia belum meratifikasi ReCAAP,
menyebabkan ReCAAP memiliki keterbatasan yang terkait dengan
organisasi dan proses sehingga efektifitas pelaksanaan ReCAAP di Selat
Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok yang berada di dalam wilayah
jurisdiksi dan kepulauan Indonesia dan Malaysia. Insiden perampokan
bersenjata banyak terjadi dalam jursidiksi Indonesia dan Malaysia, sehingga
informasi dari kedua negara ini akan berkontribusi besar untuk ReCAAP
63
dalam memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata. Demi menutupi
kesenjangan ini, ReCAAP telah membangun hubungan di tingkat
operasional dengan Badan Penegakan Maritim Malaysia, serta Dewan
Keamanan Laut Indonesia Koordinasi (BAKORKAMLA) di Indonesia.64
3. Universal Jurisdiction
Negara negara telah diberikan perluasan yurisdiksi dalam
menanggulangi dan menekan terjadinya pembajakn di laut. Bentuk
yurisdiksi yang diberikan didasarkan pada pengakuan oleh hukum
Internasional, namun masih terdapat kontroversi dan masalah masalah yang
timbul sehingga seringkali diperdebatkan. 65 Yurisdiksi ini disebut dengan
yurisdiksi universal (universal jurisdiction), yaitu yurisdiksi dimana negara -
negara dapat menindak tindak pidana tertentu yang dilakukan dimanapun
dan oleh siapapun, tanpa mempermasalahkan wilayah, kewarganegaraan
atau kepentingan dari negara.
Berdasarkan yurisdiksi universal (universal jurisdiction), negara- negara dapat mengadili walaupun negara tersebut tidak terlibat dalam
pembajakan karena negara-negara sebagai bagian dari suatu komunitas
hukum internasional mempunyai kewajiban bahkan hak untuk menghukum
sebagai tanggung jawab actio popularis terhadap orang-orang yang merupakan musuh umat manusia.
Yurisdiksi universal dimaksudkan agar pengadilan nasional negara
tertentu bisa mengadili kasus kejahatan berat atau kejahatan serius
64Ibid 65
berdasarkan hukum internasional dengan tidak memperdulikan locus,
kebangsaan atau kewarganegaraan pelaku/korban.66 Konsep dari yurisdiksi
universal berkaitan erat dengan ide pemikiran bahwa beberapa norma
internasional merupakan milik dari seluruh komunitas dunia, sama seperti
prinsip jus cogens. 67
Yurisdiksi universal digunakan untuk kejahatan Internasional dalam
kemanusiaan dan bajak laut dianggap sebagai kejahatan Internasional
terhadap kemanusiaan. Karena dalam menangkap pelaku, negara yang
menangkap pelaku pembajakan kapal laut dapat mengadili pelakunya
meskipun negara pemilik kapal tidak terpengaruh dengan aktifitas
pembajakan tersebut. Untuk membawa para pelaku ke pengadilan, negara-
negara mempunyai kekuasaan secara sendiri-sendiri maupun kolektif
berdasarkan yurisdiksi tersebut, meskipun tidak memiliki hubungan dengan
tempat kejahatan itu dilakukan atau dengan pelaku atau dengan korban.
Yurisdiksi atas kejahatan biasa tergantung pada hubungan, yang
umumnya terjadi dalam suatu wilayah Negara, antara Negara yang
menyelenggarakan pengadilan dengan kejahatan itu sendiri. Prinsip
yurisdiksi universal merupakan jalan agar para tersangka tidak memperoleh
tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisi atau menghukum
pelaku.
66
Xavier Philippe, The principles of universal jurisdiction and complementarity: how do the two principles intermesh?, dalam International Review of the Red Cross, Volume 88 Number 862
June 2006, ICRC, Geneva, hlm. 377
https://www.icrc.org/eng/assets/files/other/irrc_862_philippe.pdf
67
D. Penangkapan dan Pengadilan Bagi Bajak Laut Menurut Hukum Internasional
Pembajakan merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara kekerasan
dimana penyelesaiannya seharusnya dilakukan bukan lagi negosiasi atau dengan
menggunakan uang tebusan yang pada dasarnya tidak akan memberikan efek jera
terhadap para perompak itu. Malah dengan adanya uang tebusan semakin
membuat para perompak itu berjaya dan akan mengulangi perbuatan mereka lagi.
Kebanyakan kejahatan bajak laut terjadi di luar teritori suatu negara,
sehingga menyulitkan dilakukan penerapan hukum suatu negara. Hanya negara
asal kapal bajak laut tersebut yang dapat memberikan hukuman atas tindakan
kriminal yang telah dilakukan (extra territorium jus dicenti impune no paretur).68 Setiap negara mempunyai hak untuk melakukan pengejaran terhadap
perompak berdasarkan prinsip-prinsip dari kebiasaan Hukum Internasional69 dan
bagi negara-negara yang meratifikasi hukum UNCLOS 70 agar negara-negara
dapat menegakkan hukum mereka terhadap kejahatan bajak laut yang termasuk
kejahatan pidana Internasional.
Setiap negara pesisir memang memiliki hak untuk melakukan pengejaran
seketika. Pengejaran seketika mengharuskan adanya "alasan yang baik untuk
percaya" (good reason for believe) bahwa kapal telah melanggar hukum dari suatu
negara.71 Kata-kata ini diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International
68
http://jadihansiplah.blogspot.com/2009/03/piracy-in-modern-age.html diakses 25 Juni 2015
69 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut lepas Pasal 23 70
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 111
71
law commision) pada tahun 1956 dan dipahami untuk menyediakan perbedaan antara kepastian bahwa pelanggaran telah dilakukan dan kecurigaan belaka.
Hak pengejaran hanya dapat dilakukan oleh kapal perang dari negara
pengejar. 72 UNCLOS telah mengamanatkan bahwa sebelum melakukan
pengejaran, sinyal untuk berhenti harus diberikan kepada kapal yang melakukan
pelanggaran di wilayah laut negaranya.73 Namun, ILC telah menjelaskan hal yang
penting adalah hak dasar untuk memberikan perintah untuk berhenti dan
melakukan pengejaran.74
Pengejaran seketika hanya dapat dimulai ketika kapal berada dalam air
internal negara mengejar itu, perairan atau zona tambahan. 75 Hak pengejaran
dihentikan pada saat kapal memasuki laut teritorial sendiri atau dari negara ketiga.
Dengan kata lain, hak pengejaran diperbolehkan asalkan tidak mencapai perairan
Negara lain.76
Seorang perompak dapat ditahan, diadili dan dihukum oleh semua negara
yang menangkapnya. Hal ini didasarkan karena tindakannya yang menjadikan
mereka musuh dari umat manusia (hostis humani generis) atau tindakannya itu sendiri dianggap sebagai kejahatan terhadap hukum negara -negara (offence on the
law of nations).77
Apabila penangkapan terhadap bajak laut terjadi di laut lepas, maka
pengadilan terhadap kasus bajak laut tersebut sepenuhnya berada di dalam otoritas
72 Ibid.,
negara manapun yang menangkap bajak laut tersebut. Hukuman terhadap
penjarahan harta, penyerangan terhadap korban hanya dapat dijatuhkan oleh
negara tersebut.78
Akibat tindakan pembajakan ini, maka hilanglah perlindungan yang
diperoleh atas bendera kapal pembajak dan hak-hak yang melekat dalam dirinya
atas dasar kewarganegaraan yang dimiliki. 79 Teori ini digunakan oleh Judge
Moore (Hakim dari Mahkamah Internasional Permanen) dalam perkara The
Lotus80
Ketika perompakan terjadi di dalam perairan teritorial suatu negara maka
perompak merupakan subyek dari yuridiksi negara tersebut. Dalam laut teritorial
suatu negara, tidak satupun negara asing berhak masuk untuk menumpas
perompak. 81 Negara memiliki kedaulatan penuh untuk menangkap dan
menghukum tindakan kriminal tersebut. Maka yurisdiksi atas negara tersebutlah
yang berlaku dalam hal penangkapan bajak laut tersebut yang dilakukan oleh
kapal perang atau pesawat militer yang diidentifikasi sebagai pelayanan dan
otoritas pemerintah setempat.82
Saat ini, dalam menghadapi bajak laut negara negara banyak menggunakan
metode “catch and release”, yaitu sebuah metode ketika para perompak
tertangkap, maka mereka kemudian kembali dilepaskan atau dibawa kembali ke
negara bendera kapal dari bajak laut tersebut. Metode ini dinilai sangat
78
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 105
79
Starke, J.G. Op.Cit.
80
The Lotus Case, France v. Turkey (1927), PCIJ, Judgement of September 7, 1927, Ser. A, No. 10.
81
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 Pasal 2 dan Pasal 1 Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone 1958.
82
membahayakan efektivitas penanggulangan terjadinya tindakan pembajakan di
laut, karena para perompak yang telah dilepaskan akan kembali mengulangi
perbuatannya lagi. Beberapa Alasan mengapa negara-negara melakukan catch and
release ini antara lain adalah:83
1) Kurangnya kemauan politik dari negara-negara untuk mengadili para
perompak.
2) Kekhawatiran akan permintaan suaka dari para tersangka perompak.
3) Kurangnya kerangka hukum domestik untuk mengadili para perompak.
4) Bukti-bukti yang tidak cukup.
5) Mahalnya biaya untuk mengadili para perompak.
Berdasarkan hukum Internasional, pembajakan di laut secara universal dapat
dilakukan penghukuman dan sudah diakui oleh para ahli dan sarjana hukum dari
tiap negara-negara maritim besar. Maka, sulit dirasakan bahwa masih terdapat
pendapat kuat yang menentang prinsip universalitas dalam masalah pembajakan
di laut. Tujuan dari yurisdiksi universal ini adalah agar dipastikan bahwa tidak
satupun tindak pidana terjadi tanpa hukuman. 84
Pasal 19 Convention on the High Seas 1958 dan Pasal 105 UNCLOS 1982
mengatur mengenai penahanan kapal atau pesawat udara perompak diatur dalam
yang berbunyi:
Seizure of a pirate ship or aircraft
83
Tiffany Basciano, “Contemporary Piracy: Consequences and Cures,” Workshop on The Paul H.
Nitze School of Advanced International Studies, hlm 13
http://www.americanbar.org/content/dam/aba/migrated/2011_build/law_national_security/cont emporary_piracy_report_.authcheckdam.pdf
84
On the high seas, or in any other place outside the jurisdiction of any State, every state may seize a pirate ship or aircraft or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the state which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties, acting in good faith.
Convention on the High Seas 1958 maupun UNCLOS 1982, mewajibkan
negara-negara untuk bekerja sama dalam menanggulangi atau menekan
pembajakan di laut, namun tidak membebankan kewajiban untuk
menghukumnya.85 Dimana tiap negara dapat (may) menahan kapal pembajak dan pengadilannya dapat (may) memutuskan hukuman untuk diterapkan. Berdasarkan
pasal tersebut maka ketentuan ini bersifat membolehkan, tidak mewajibkan.
85