• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana

diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan tugas

konstitusional bagi seluruh komponen bangsa, sehingga dianggap perlu untuk

meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui

regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha

tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat.

Keuangan negara merupakan urat nadi negara. Tanpa keuangan negara

tidak mungkin seluruh alat perlengkapan negara yang mewakili negara sebagai

badan hukum publik melaksanakan fungsinya. Lahirnya Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sudah disetujui oleh DPR, patut

disambut dengan gembira, mengingat undang-undang tersebut tentu selain

diharapkan dapat mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan

negara dengan baik akan dapat pula mengakhiri silang pendapat penafsiran arti

(2)

Surat Menteri Keuangan Nomor S-192/MK.07/1980 Perihal Pengertian

Keuangan Negara yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara Republik

Indonesia tertanggal 29 Februari 1980, yang intinya meminta penjelasan

mengenai pengertian keuangan negara, hingga kini tidak pernah terjawab. Hal ini

menunjukkan betapa sulitnya merumuskan pengertian keuangan negara dan

selama kurun waktu kemerdekaan ini, UUD 1945 tidak memberi ruang yang

cukup bagi menjawab para penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya

di bidang keuangan. Ditambah karena batasan keuangan negara berasal dari

APBN, meskipun pengelola keuangan bersumber dari Negara atau daerah, tidak

saja dilakukan oleh badan hukum publik negara dan daerah atau badan-badan

hukum lainnya yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya

masing-masing badan hukum pasti berbeda.1

Demikian pula halnya dengan keuangan Perum dan Persero, yang

ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya diatur tersendiri

dengan menggunakan system pembukuan yang berbeda pula. Perlu dicari jalan

keluar yang dapat memberi arti yang lebih luas sehingga pengertian keuangan

tidak saja meliputi keuangan yang bersumber pada APBN, APBD, tetapi itu pun

akan meliputi juga pengertian keuangan perusahaan milik negara (BUMN)

maupun milik daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar

modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu

1

(3)

pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta

dan koperasi. BUMN, swasta dan koperasi didalam menjalankan kegiatan

usahanya menunjukkan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.

BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan

dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat dalam

rangka perekonomian nasional. Peran BUMN dirasakan sangat penting sebagai

pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh

swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana

pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut

membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah

satu sumber penerimaan negara yang signifikan, baik dalam bentuk berbagai

pajak, dividen, maupun hasil privatisasi.

Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada

hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan,

perkebunan, kehutanan, manufaktur, keuangan, pertambangan, pos dan

komunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara

lain melalui pembenahan pengurusan dan pegawasannya dalam mengoptimalkan

perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan

ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pengurusan dan

pengawasan BUMN harus dilakukan dengan prinsip tata-kelola perusahaan yang

(4)

Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, dan memperhatikan amanat

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, maka dipandang perlu untuk membuat dan

merancang suatu peraturan perundang-undangan baru untuk mengatur BUMN

secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha serta

keadaan perekonomian. Peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan

agar BUMN dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan dengan lebih baik lagi

dalam rangka untuk mencapai tujuannya. Pengalaman menunjukkan bahwa

keterpurukan perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia disebabkan salah

satunya adalah tidak bertahan lamanya perusahan-perusahan di negara tersebut

dalam siklus perekonomian dunia yang mana disebabkan oleh rendahnya kualitas

pengaturan dan pengawasan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga,

keberadaan BUMN di dalam sistem perekonomian nasional mendapat tempat dan

peran khusus dikarenakan ekspetasi tinggi yang dibebankan kepada BUMN

tersebut. Terkait dengan kondisi demikian, maka BUMN di dalam pengurusan dan

pengawasannya pun dituntut lebih maksimal, dikarenakan kedudukan BUMN

yang terbilang cukup istimewa di dalam sistem perekonomian nasional, misalnya

asal modal BUMN yang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, serta

sektor-sektor yang dikuasai BUMN umumnya sektor-sektor yang menguasai hajat

hidup orang banyak.2

Dalam menjalankan fungsinya, BUMN memiliki organ-organ BUMN

seperti direksi, komisaris, dan sebagainya. Organ-organ BUMN tersebut di dalam

2

(5)

menjalankan tugas dan wewenangnya juga disertai tanggung jawab serta akibat

dari lalainya tanggung jawab tersebut.

BUMN di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya memiliki tujuan-tujuan

yang hendak dicapai, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mana salah satu dari tujuannya

adalah mengejar keuntungan, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN

juga akan melakukan kegiatan perekonomian yang mana akan terdapat resiko

untung-rugi dalam setiap tindakan yang dilakukan BUMN tersebut. Apakah ketika

BUMN ikut dalam kegiatan perekonomian dan menderita kerugian yang termasuk

dalam resiko bisnis maka negara juga akan menderita kerugian, mengingat modal

BUMN yang seluruh atau sebagian besarnya berasal dari keuangan/kekayaan

negara? Hal tersebut dapat kita lihat dari peristiwa PT. Merpati Airlines yang

saham/modalnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah berhenti beroperasi

dikarenakan menderita kerugian dan terlibat hutang hingga triliunan rupiah. Pada

kasus ini, apakah pemerintah dapat dikatakan menderita kerugian?

Sama seperti badan usaha lainnya, untuk mencapai hasil yang maksimal

maka hal itu tergantung kepada pengurusan BUMN oleh organ-organnya tersebut.

Apakah organ-organ pengurus BUMN seperti komisaris, dewan pengawas,

maupun direksi dapat dimintai pertanggungjawaban ketika BUMN menderita

kerugian? Tanggung jawab seperti apa yang dapat diminta terkait kerugian yang

(6)

Dari sisi hukum pidana, hal ini menjadi pembahasan dikarenakan pada

BUMN tersebut terdapat unsur keuangan negara, sehingga banyak kalangan yang

berpendapat ketika terjadi kerugian pada BUMN maka akan dapat diterapkan

delik pidana korupsi dengan melihat unsur kerugian negara pada BUMN tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul

“ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI”

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih

beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN (Persero)?

2. Bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN

(Persero)?

3. Bagaimana menentukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero)

dalam Tindak Pidana Korupsi?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

(7)

1. Untuk mengetahui kedudukan dari keuangan negara dalam BUMN

(Persero)

2. Untuk mengetahui cara menentukan unsur kerugian keuangan negara

dalam BUMN (Persero)

3. Untuk mengetahui kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN

(Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan

pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai

kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero) sehingga kedudukan

direksinya dapat diketahui ketika terjadi delik pidana seperti delik korupsi.

Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak

yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana

korupsi pada BUMN (Persero), baik itu mahasiswa, akademisi, maupun

masyarakat luas.

2. Secara praktis, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat berupa

informasi hukum kepada semua kalangan, terutama kepada penegak hukum

dalam kaitan menanggulangi korupsi di BUMN (Persero), serta memberikan

masukan kepada para pengambil kebijakan hukum terkait dengan tindak

pidana korupsi pada aset-aset negara khususnya dalam lingkungan BUMN

(8)

E. KEASLIAN PENULISAN

Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi berjudul “ANALISIS

KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ”, terlebih dahulu penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai

judul skripsi yang tercatat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat

tertanggal 22 Januari 2015 (terlampir) menyatakan bahwa tidak ada judul yang

sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui

media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada

penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah

diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam

skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil

pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan

aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media

elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli

penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penulisan skripsi ini berisi tentang analisis kedudukan Direksi BUMN

(Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun tinjauan kepustakaan tentang

(9)

1. Direksi

Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan

BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di

dalam maupun di luar pengadilan.3 Dalam melaksanakan tugasnya, anggota

direksi harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan peraturan

perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme,

efesiensi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban, serta

kewajaran.4

Pengertian direksi pada Undang-Undang BUMN tersebut sejalan

dengan pengertian direksi pada Undang-Undang PT, yaitu bahwa Direksi

adalah organ perseoan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas

pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud

dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.5

Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi

dalam perseroan sebagaai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian,

yaitu :

1) Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi; dan

3

(10)

2) Perjanjian kerja/ perburuhan, di sisi yang lain.

Dan karena itu pelaksanaannya harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal

1601 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberatkan pada

pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian perburuhan.6

Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan

masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara

konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk

direksi tersebut diatas; direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima

kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan

kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah

digariskan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan

sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu

perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk

melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Di sinilah sifat

pertanggung jawaban renteng dan pertanghung jawaban pribadi direksi

menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas

“kuasa” dan “perintah” perseroan, untuk kepentingan perseroan.7

Cara pengangkatan dan pemberhentian direksi pada BUMN (Persero)

adalah:

6

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal 97.

7

(11)

1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi BUMN (Persero)

dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

2) Dalam hal Menteri Keuangan bertindak sebagai RUPS pengangkatan

Direksi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3) Direksi BUMN (Persero) diangkat berdasarkan pertimbangan

keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta

dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan BUMN

(Persero).

4) Dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi tersebut, RUPS

meminta kepada komisaris atau pihak lain yang dipandang perlu.

Pendapat komisaris dibutuhkan mengingat tugas komisaris adalah

mengawasi kebijakan direksi dalam mengelola BUMN (Persero)

serta memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga komisaris dalam

hal ini sepatutnya mengetahui kinerja direksi dan kondisi BUMN

(Persero) tersebut. Demikian pula RUPS bila perlu dapat meminta

pendapat dari pihak lain yang dipandang perlu misalnya Menteri

yang membawahi sektor/bidang dari BUMN (Persero) yang

bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengangkatan

anggota direksi pertama kali pada saat pendirian BUMN (Persero).

5) Jumlah anggota Direksi BUMN (Persero) disesuaikan dengan

kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai

(12)

6) Masa jabatan Direksi BUMN (Persero) adalah 5 (lima) tahun, dan

dapat diangkat kembali. Anggota direksi yang telah menyelesaikan

masa kerjanya dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali

berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya.8

Direksi dalam melaksanakan tugasnya wajib mencurahkan tenaga, pikiran

dan perhatian secara penuh waktu pada tugas, kewajiban dan pencapaian

tujuan BUMN (Persero). Berkenaan dengan hal tersebut maka hal-hal yang

merupakan tugas dan kewajiban direksi antara lain yaitu:

1) Direksi wajib menyiapkan rencana jangka panjang yang merupakan

rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan BUMN (Persero)

yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut.

2) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan

yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang

tersebut.

3) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan Anggaran

Perusahaan kepada RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari

sebelum memasuki tahun Anggaran Perusahaan.

4) Direksi wajib menyerahkan perhitungan tahunan BUMN (Persero)

kepada Akuntan Publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) sebagaimana ditetapkan oleh RUPS.9

2. BUMN (Persero)

8

I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), hal 110-111.

9

(13)

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah

badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara

melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan10. Terhadap pendirian BUMN, menurut pasal 2 Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003, ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN, yaitu:11

1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional

pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN

diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat

sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.

2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan BUMN

(Persero) adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal

tertentu untuk melakukan pelayanan umum, BUMN (Persero) dapat

diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip

pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah

harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan

perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang

tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum,

dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip

pengelolaan perusahaan yang sehat.

10

Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

11

(14)

3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat

hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap

hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat.

4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat

dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan

merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa

yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum

dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara finansial

tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat

dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya

kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula

menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan

kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan

pengusaha golongan ekonomi lemah.

5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha

golongan ekonoi lemah, koperasi, dan masyarakat

Kemudian sesuai dengan Undang-Undang BUMN, BUMN itu sendiri dibagi

menjadi 2 (dua) jenis, yaitu PERUM (Perusahaan Umum) dan PERSERO.

PERSERO adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya

terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu

(15)

bertujuan mengejar keuntungan, sedangkan PERUM adalah BUMN yang

seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang

bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa

yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan.12

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, dalam

pendiriannya harus memenuhi kriteria, antara lain sebagai berikut:

1) Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang

banyak.

2) Didirikan tidak hanya untuk mengejar keuntungan

(costeffectiveness).

3) Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang

diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).

Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri dapat dilakukan

atas inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri teknis atau dari

Menteri Keuangan sepanjang memenuhi kriteria diatas.13

Terhadap BUMN (Persero) yang selanjutnya disebut Persero, maksud

dan tujuannya menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang BUMN sedikit bergeser atau berubah dari maksud dan tujuannya

pada saat berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang

12

Lihat Pasal 1 angka (2) dan (4), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

13

(16)

Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 1998 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan Persero adalah

menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi,

baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan Persero dengan sifat

usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk

menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan

maksud dan tujuan yang pertama di atas. Disini tampak jelas bahwa Persero

pada awal-awal pendiriannya dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi

kemanfaatan umum, tetapi kemudian dengan perkembangan yang terjadi dan

sesuai dengan prinsip yang dianutnya yang berpedoman pada ketentuan

Undang-Undang Perseroan Terbatas (sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang

BUMN yang mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku ketentuan dan

prinsp-prinsip Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan

Perundang-undangan yang mengatur nya), maka maksud dan tujuan itu bergeser searah

dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas, yaitu mengejar keuntungan

guna meningkatkan nilai perusahaan.14

3. Tindak Pidana

Hukum pidana Belanda memakai istilah starfbaar fiet, kadang-kadang juga memakai delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau crimnal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wvs

Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu stafbaar feit. Timbullah

14

(17)

masalah dalam menerjemahkan istlah starfbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana

meskipun tidak menerjemahkan stafbaar feit itu. Utrecht, menyalin istilah

strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harafiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, UUD sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa

pidana.15

Menurut Moeljatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan

kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu. Larangan dan ancaman pidana memiliki hubungan

yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian

itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang

lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan

orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang

ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu,

maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang

menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang

15

(18)

tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian

itu. Menurut Moeljatno, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang

abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagimana halnya dalam Pasal 14

ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”.

Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk

kepada suatu kejadian yang tertentu saja, msialnya matinya orang.16

Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “Tindak

Pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman,

sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih

pendek daripada “perbuatan” tetapi ”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang

abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret,

sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa “tindak”

adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal

mana lebih dikenal dengan tidak-tanduk, tindakan dan bertindak belakangan

juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu

dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak

pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya

hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contohnya UU Nomor 7 Tahun

1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127,129, dan lain lain).17

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (starfbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.

16

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 60-61.

17

(19)

Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak

menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu

tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.18

Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan di dalam

hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam

buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di

dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih

luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang

diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan

perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima

pengertian kejahatan dalam Kriminologi adalah sama luasnya dengan

kejahatan dalam hukum pidana.19

4. Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin Corruptus dari kata kerja corrumpere

yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, mengeroyok,

kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut Corruption, dan dalam

18

Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 64, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hal 74-75.

19

(20)

bahasa Belanda disebut Korruptie.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara, atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau

orang lain”.21

Mahzar (2003),22 mengatakan istilah korupsi secara umum sebagai

berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan,

bahwa dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi

terdapat penekanan yang dilakukan oleh sejumlah ahli dalam mendefenisikan

korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk

kepentingan pribadi”. Mahzar pun mencatat beberapa defenisi korupsi yang

paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi.

Gagasan yang diambilnya dari Philip (1997) ini, menyebutkan defenisi

korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor

publik (public office-centered corruption), yang didefenisikan sebagai tingkah laku dan tidakan seorang pejabat publik yang menyimpang dari

tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau

keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti

20

A. Hamzah, Korupsi: Dalam Proyek Pembangunan. (Jakata: Akademika Pressindo, 1985), hal 2-3, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 32.

21

Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, seperti dikutip oleh Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahannya (rev.ed;Jakarta: Sapdodadi, 2004 ), hal 5.

22

(21)

keluarga, kerabat karib, dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan

nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan

(ascriptive) daripada merit. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi, jika seorang

pemegang kekuasaaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang

melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan

memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan

demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian

korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan

pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Berdasarkan

kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan

individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap

kebijakan dan tindakan birokrasi. Eksistensi korupsi jelas mengindikasikan,

hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan

keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.

Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan

oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan

pendapatan dari publik. Kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang

selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.23

23

(22)

Sementara itu, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada,

“pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini

merupakan defenisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang

digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).24

Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri

korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu

kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas

mengungkapkan ciri dari korupsi, yaitu:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

2) Korupsi pada umumnya melibatkan serba-kerahasiaan, kecuali ia

telah begitu merajalela, dena begitu mendalam mengakar,sehingga

individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam

lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan

mereka;

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keutungan timbak balik;

4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik

pembenaran hukum;

24

(23)

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan

keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk

mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pngkhianatan kepercayaan;

8) Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari

mereka yang melakukan tindakan itu;

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.25

Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu

beliau meberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu :26

a) Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun

tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat

diterima oleh para anggota organisasi; contohnya, seorang pelayanan

perizinan tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat

kepada “calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang

para pemohon yang biasa-biasa saja.

b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan

25

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12-14 seperti dikutip oleh Elwi Danil, Korupsi Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal 7-8.

26

(24)

regulasi tertentu. Contohnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan

bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses

pelelangan atau tender. Akan tetapi dikarenakan waktu mendesak

(karena turunya anggaran terlambat) sehingga proses tender tidak

bisa dilakukan, umumnya biasa digunakan istilah “keadaan darurat”

atau “force majeur”, sehingga proses lelang atau tender dapat

dikesampingkan. Bahkan dalam beberapa kasus letak “Illegal

corruption” berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.

c) Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui

penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan. Contohnya, dalam

sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki

kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara

terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk

memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang

“sogok” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan itu dipenuhi oleh

kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang itu

sudah termasuk ke dalam kategori “Mercenery corruption”. Bentuk

“sogok” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk

lain.

d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi Illegal maupun

(25)

Kasus skandal Watergate adalah contoh “Ideological corruption”,

dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada

Presiden Nixon ketimbang kepada Undang-Undang atau hukum.

Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan

umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari korupsi jenis ini.

G. METODE PENELITIAN

Di dalam penulisan dan penelitian skripsi ini diperlukan adanya metode

penelitian dengan maksud agar penulisan dan penelitian skripsi ini dapat tertata

secara sistematis dan ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini, mtode yang dipakai

adalah sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penulis menggunakan penelitian dengan pendekatan hukum yuridis normatif,

yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi ini. Adapun peneltian hukum normatif dapat

dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :27

a) Menarik Azas-Azas Hukum.

Apabila peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik

azas-azas hukum (rechtsbeginselen), maka hal itu dapat saja dilakukannya terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.

27

(26)

Azas-azas hukum tersebut sebenarnya merupakan

kecenderungan-kecenderungan, yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis.

Secara logis, maka pertama-tama azas-azas hukum tersebut harus ada

pada pengambilan keputusan secara konkrit; akan tetapi di dalam

kenyataannya, hal itu juga dapat ditelusuri pada hukum positif tertulis.

b) Menelaah Sistematika Perundang-undangan.

Adakalanya seorang peneliti ingin melakukan penelitian terhadap

sistematika perundang-undangan tertentu. Hal ini mungkin dapat

dilakukan terhadapa peraturan perundang-undangan yang mengatur

bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan. Di sini

peneliti tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari sudut

penyusunannya secara teknis, akan tetapi yang ditelaahnya adalah

pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam

peraturan perundang-undangan tersebut. Hasil-hasil penelitian semacam

ini, akan mempermudah para penegak hukum di dalam melaksanakan

peranannya secara sistematis dan konsisten.

c) Penelitian Terhadap Taraf Sinkronisasi dari Peraturan

Perundang-undangan.

Penelitian semacam ini dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik

tolak, yaitu taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horizontal.

Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf

sinkronisasi peraturan perundang-undangan menurut hierarkinya.

(27)

yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan

perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan

fungsional, adalah konsisten.

d) Perbandingan Hukum.

Apabila ditelaah Black‟s Law Dictionary,maka di dalam kamus tersebut

dinyatakan, bahwa perbandingan hukum adalah “the study of the principles of legal science by the comparation of variuos systems of law”.

Di dalam perumusan tersebut ternyata ada suatu kecenderungan untuk

mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode, oleh

karena yang dimaksudkannya sebagai perbandingan adalah “proceeding

by the method of comparation; founded on comparation; estimated by

comparation”.

e) Sejarah Hukum.

Seorang peneliti yang mempergunakan metode sejarah di dalam

tinjauannya terhadap hukum, mempunyai kewajiban utama untuk

menelaah hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya,

dari sudur sejarah. Dari hubungan-hubungan tersebut, seorang peneliti

harus dapat menjelaskan perkembangan bidang-bidang hukum yang

ditelitinya. Memang, salah satu kegunaan dari penggunaan metode

sejarah adalah, untuk dapat mengungkapkan fakta hukum pada masa

lampau, dalam hubungannya dengan fakta hukum pada masa kini.

Kecuali dari itu, maka sejarah hukum akan dapat memberikan.

(28)

dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Hukum

masa kini, merupakan hasil perkembangan dari salah satu aspek

kehidupan manusia pada masa lampau, dan hukum masa kini merupakan

dasar bagi hukum pada masa-masa mendatang.

Dengan demikian tujuan dari penulis melakukan penelitian ini adalah untuk

memberikan jawaban dan memecahkan masalah hukum tertentu in concreto

yang mana masalah yang hendak dibahas dan dipecahkan adalah terkait

dengan kedudukan Direksi BUMN (Persero) terkait tindak pidana Korupsi.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan sumber

data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber data yang diperoleh

secara tidak langsung, misalnya dari buku. Data sekunder yang dipakai

penulis adalah sebagai berikut :

a) Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu:

i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

ii. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara (BUMN)

iii. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas

iv. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan

(29)

v. Undang-Undang Nomor 31 tahun tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999.

b) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu:

Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel,

hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh

baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c) Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu:

Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan

primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan

acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya

abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan,

ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,

mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti

yang berhubungan dengan judul skripsi.

(30)

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya

penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya28. Metode analisis data

yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :

a) Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan

dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b) Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di

atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c) Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan

dari permasalahan.

d) Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN.

Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika

penulisan.

28

(31)

BAB II : KEDUDUKAN KEUANGAN NEGARA DALAM

BUMN (PERSERO).

Pada Bagian pertama pada bab ini akan membahas

mengenai kedudukan keuangan negara di dalam

BUMN (Persero), dan pada bagian kedua akan

membahas mengenai kedudukan keuangan negara

dalam keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi.

BAB III : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM

BUMN (PERSERO).

Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas

mengenai pelaksanaan evaluasi internal dalam BUMN

(Persero) untuk mengetahui kerugian keuangan dalam

BUMN (Persero) dan pada bagian kedua akan

membahas mengenai kedudukan Badan Pemeriksa

Keuangan dalam melakukan audit/pemeriksaan

terhadap BUMN (Persero).

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN

(PERSERO) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas

kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN

(32)

dan pada bagian kedua akan membahas kedudukan

pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara

pidana dalam tindak pidana korupsi.

BAB V : PENUTUP.

Pada bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan

dari bagian awal hingga akhir dari skripsi ini yang

merupakan ringkasan substansi penulisan skripsi ini

dan saran-saran yang dikemukakan penulis terkait

Referensi

Dokumen terkait

Dengan data rating yang rendah dari program musik BREAKOUT yang bersinggungan dengan target audiens utama BREAKOUT dan kota Surabaya yang memiliki profil penonton yang rendah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, peningkatan hasil belajar IPA dapat diupayakan melalui model pembelajaran Numbered Heads Together siswa kelas IV SDN Wedoro Kecamatan

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Sesuai dengan Keputusan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 5 tahun 2009 tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan Bagi Mahasiswa Program Kependidikan

Islam Negeri (IAIN) Salatiga.. Analisis Gender dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Tingkat Sekolah Menengah Atas Kurikulum 2013. Salatiga: Jurusan

Pada dasamya management perasahaan yang melakukan investasi berharap agar keadaan perusahaannya dari segl ekonomis finanalil bertambah balk dan stabil, Meskipun do.. miklan

Jumlah cabai merah keriting yang dijual responden pada bulan April 2017 sampai bulan Mei 2017 di Pasar Ngablak, Kabupaten Magelang bervariasi seperti dapat dilihat pada Tabel