BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan tugas
konstitusional bagi seluruh komponen bangsa, sehingga dianggap perlu untuk
meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui
regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha
tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.
Keuangan negara merupakan urat nadi negara. Tanpa keuangan negara
tidak mungkin seluruh alat perlengkapan negara yang mewakili negara sebagai
badan hukum publik melaksanakan fungsinya. Lahirnya Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sudah disetujui oleh DPR, patut
disambut dengan gembira, mengingat undang-undang tersebut tentu selain
diharapkan dapat mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara dengan baik akan dapat pula mengakhiri silang pendapat penafsiran arti
Surat Menteri Keuangan Nomor S-192/MK.07/1980 Perihal Pengertian
Keuangan Negara yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara Republik
Indonesia tertanggal 29 Februari 1980, yang intinya meminta penjelasan
mengenai pengertian keuangan negara, hingga kini tidak pernah terjawab. Hal ini
menunjukkan betapa sulitnya merumuskan pengertian keuangan negara dan
selama kurun waktu kemerdekaan ini, UUD 1945 tidak memberi ruang yang
cukup bagi menjawab para penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya
di bidang keuangan. Ditambah karena batasan keuangan negara berasal dari
APBN, meskipun pengelola keuangan bersumber dari Negara atau daerah, tidak
saja dilakukan oleh badan hukum publik negara dan daerah atau badan-badan
hukum lainnya yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya
masing-masing badan hukum pasti berbeda.1
Demikian pula halnya dengan keuangan Perum dan Persero, yang
ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya diatur tersendiri
dengan menggunakan system pembukuan yang berbeda pula. Perlu dicari jalan
keluar yang dapat memberi arti yang lebih luas sehingga pengertian keuangan
tidak saja meliputi keuangan yang bersumber pada APBN, APBD, tetapi itu pun
akan meliputi juga pengertian keuangan perusahaan milik negara (BUMN)
maupun milik daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar
modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu
1
pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta
dan koperasi. BUMN, swasta dan koperasi didalam menjalankan kegiatan
usahanya menunjukkan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.
BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan
dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat dalam
rangka perekonomian nasional. Peran BUMN dirasakan sangat penting sebagai
pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh
swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana
pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut
membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah
satu sumber penerimaan negara yang signifikan, baik dalam bentuk berbagai
pajak, dividen, maupun hasil privatisasi.
Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada
hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan,
perkebunan, kehutanan, manufaktur, keuangan, pertambangan, pos dan
komunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.
BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara
lain melalui pembenahan pengurusan dan pegawasannya dalam mengoptimalkan
perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan
ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pengurusan dan
pengawasan BUMN harus dilakukan dengan prinsip tata-kelola perusahaan yang
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, dan memperhatikan amanat
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, maka dipandang perlu untuk membuat dan
merancang suatu peraturan perundang-undangan baru untuk mengatur BUMN
secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha serta
keadaan perekonomian. Peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan
agar BUMN dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan dengan lebih baik lagi
dalam rangka untuk mencapai tujuannya. Pengalaman menunjukkan bahwa
keterpurukan perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia disebabkan salah
satunya adalah tidak bertahan lamanya perusahan-perusahan di negara tersebut
dalam siklus perekonomian dunia yang mana disebabkan oleh rendahnya kualitas
pengaturan dan pengawasan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga,
keberadaan BUMN di dalam sistem perekonomian nasional mendapat tempat dan
peran khusus dikarenakan ekspetasi tinggi yang dibebankan kepada BUMN
tersebut. Terkait dengan kondisi demikian, maka BUMN di dalam pengurusan dan
pengawasannya pun dituntut lebih maksimal, dikarenakan kedudukan BUMN
yang terbilang cukup istimewa di dalam sistem perekonomian nasional, misalnya
asal modal BUMN yang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, serta
sektor-sektor yang dikuasai BUMN umumnya sektor-sektor yang menguasai hajat
hidup orang banyak.2
Dalam menjalankan fungsinya, BUMN memiliki organ-organ BUMN
seperti direksi, komisaris, dan sebagainya. Organ-organ BUMN tersebut di dalam
2
menjalankan tugas dan wewenangnya juga disertai tanggung jawab serta akibat
dari lalainya tanggung jawab tersebut.
BUMN di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya memiliki tujuan-tujuan
yang hendak dicapai, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mana salah satu dari tujuannya
adalah mengejar keuntungan, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN
juga akan melakukan kegiatan perekonomian yang mana akan terdapat resiko
untung-rugi dalam setiap tindakan yang dilakukan BUMN tersebut. Apakah ketika
BUMN ikut dalam kegiatan perekonomian dan menderita kerugian yang termasuk
dalam resiko bisnis maka negara juga akan menderita kerugian, mengingat modal
BUMN yang seluruh atau sebagian besarnya berasal dari keuangan/kekayaan
negara? Hal tersebut dapat kita lihat dari peristiwa PT. Merpati Airlines yang
saham/modalnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah berhenti beroperasi
dikarenakan menderita kerugian dan terlibat hutang hingga triliunan rupiah. Pada
kasus ini, apakah pemerintah dapat dikatakan menderita kerugian?
Sama seperti badan usaha lainnya, untuk mencapai hasil yang maksimal
maka hal itu tergantung kepada pengurusan BUMN oleh organ-organnya tersebut.
Apakah organ-organ pengurus BUMN seperti komisaris, dewan pengawas,
maupun direksi dapat dimintai pertanggungjawaban ketika BUMN menderita
kerugian? Tanggung jawab seperti apa yang dapat diminta terkait kerugian yang
Dari sisi hukum pidana, hal ini menjadi pembahasan dikarenakan pada
BUMN tersebut terdapat unsur keuangan negara, sehingga banyak kalangan yang
berpendapat ketika terjadi kerugian pada BUMN maka akan dapat diterapkan
delik pidana korupsi dengan melihat unsur kerugian negara pada BUMN tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul
“ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI”
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih
beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun
permasalahan yang akan dibahas, antara lain:
1. Bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN (Persero)?
2. Bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN
(Persero)?
3. Bagaimana menentukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero)
dalam Tindak Pidana Korupsi?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
1. Untuk mengetahui kedudukan dari keuangan negara dalam BUMN
(Persero)
2. Untuk mengetahui cara menentukan unsur kerugian keuangan negara
dalam BUMN (Persero)
3. Untuk mengetahui kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN
(Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan
pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai
kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero) sehingga kedudukan
direksinya dapat diketahui ketika terjadi delik pidana seperti delik korupsi.
Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak
yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana
korupsi pada BUMN (Persero), baik itu mahasiswa, akademisi, maupun
masyarakat luas.
2. Secara praktis, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat berupa
informasi hukum kepada semua kalangan, terutama kepada penegak hukum
dalam kaitan menanggulangi korupsi di BUMN (Persero), serta memberikan
masukan kepada para pengambil kebijakan hukum terkait dengan tindak
pidana korupsi pada aset-aset negara khususnya dalam lingkungan BUMN
E. KEASLIAN PENULISAN
Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi berjudul “ANALISIS
KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ”, terlebih dahulu penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai
judul skripsi yang tercatat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 22 Januari 2015 (terlampir) menyatakan bahwa tidak ada judul yang
sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui
media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada
penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah
diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam
skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil
pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan
aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media
elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli
penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Penulisan skripsi ini berisi tentang analisis kedudukan Direksi BUMN
(Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun tinjauan kepustakaan tentang
1. Direksi
Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan
BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di
dalam maupun di luar pengadilan.3 Dalam melaksanakan tugasnya, anggota
direksi harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan peraturan
perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme,
efesiensi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban, serta
kewajaran.4
Pengertian direksi pada Undang-Undang BUMN tersebut sejalan
dengan pengertian direksi pada Undang-Undang PT, yaitu bahwa Direksi
adalah organ perseoan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.5
Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi
dalam perseroan sebagaai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian,
yaitu :
1) Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi; dan
3
2) Perjanjian kerja/ perburuhan, di sisi yang lain.
Dan karena itu pelaksanaannya harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal
1601 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberatkan pada
pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian perburuhan.6
Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan
masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara
konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk
direksi tersebut diatas; direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima
kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan
kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah
digariskan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan
sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu
perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk
melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Di sinilah sifat
pertanggung jawaban renteng dan pertanghung jawaban pribadi direksi
menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas
“kuasa” dan “perintah” perseroan, untuk kepentingan perseroan.7
Cara pengangkatan dan pemberhentian direksi pada BUMN (Persero)
adalah:
6
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal 97.
7
1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi BUMN (Persero)
dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
2) Dalam hal Menteri Keuangan bertindak sebagai RUPS pengangkatan
Direksi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
3) Direksi BUMN (Persero) diangkat berdasarkan pertimbangan
keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta
dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan BUMN
(Persero).
4) Dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi tersebut, RUPS
meminta kepada komisaris atau pihak lain yang dipandang perlu.
Pendapat komisaris dibutuhkan mengingat tugas komisaris adalah
mengawasi kebijakan direksi dalam mengelola BUMN (Persero)
serta memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga komisaris dalam
hal ini sepatutnya mengetahui kinerja direksi dan kondisi BUMN
(Persero) tersebut. Demikian pula RUPS bila perlu dapat meminta
pendapat dari pihak lain yang dipandang perlu misalnya Menteri
yang membawahi sektor/bidang dari BUMN (Persero) yang
bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengangkatan
anggota direksi pertama kali pada saat pendirian BUMN (Persero).
5) Jumlah anggota Direksi BUMN (Persero) disesuaikan dengan
kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai
6) Masa jabatan Direksi BUMN (Persero) adalah 5 (lima) tahun, dan
dapat diangkat kembali. Anggota direksi yang telah menyelesaikan
masa kerjanya dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali
berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya.8
Direksi dalam melaksanakan tugasnya wajib mencurahkan tenaga, pikiran
dan perhatian secara penuh waktu pada tugas, kewajiban dan pencapaian
tujuan BUMN (Persero). Berkenaan dengan hal tersebut maka hal-hal yang
merupakan tugas dan kewajiban direksi antara lain yaitu:
1) Direksi wajib menyiapkan rencana jangka panjang yang merupakan
rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan BUMN (Persero)
yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut.
2) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan
yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang
tersebut.
3) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan Anggaran
Perusahaan kepada RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari
sebelum memasuki tahun Anggaran Perusahaan.
4) Direksi wajib menyerahkan perhitungan tahunan BUMN (Persero)
kepada Akuntan Publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebagaimana ditetapkan oleh RUPS.9
2. BUMN (Persero)
8
I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), hal 110-111.
9
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan10. Terhadap pendirian BUMN, menurut pasal 2 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003, ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN, yaitu:11
1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional
pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN
diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat
sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.
2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan BUMN
(Persero) adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal
tertentu untuk melakukan pelayanan umum, BUMN (Persero) dapat
diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah
harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan
perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang
tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum,
dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat.
10
Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
11
3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat
hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap
hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat.
4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan
merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa
yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum
dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara finansial
tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat
dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya
kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula
menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan
kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan
pengusaha golongan ekonomi lemah.
5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonoi lemah, koperasi, dan masyarakat
Kemudian sesuai dengan Undang-Undang BUMN, BUMN itu sendiri dibagi
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu PERUM (Perusahaan Umum) dan PERSERO.
PERSERO adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu
bertujuan mengejar keuntungan, sedangkan PERUM adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang
bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan.12
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, dalam
pendiriannya harus memenuhi kriteria, antara lain sebagai berikut:
1) Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang
banyak.
2) Didirikan tidak hanya untuk mengejar keuntungan
(costeffectiveness).
3) Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang
diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).
Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri dapat dilakukan
atas inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri teknis atau dari
Menteri Keuangan sepanjang memenuhi kriteria diatas.13
Terhadap BUMN (Persero) yang selanjutnya disebut Persero, maksud
dan tujuannya menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN sedikit bergeser atau berubah dari maksud dan tujuannya
pada saat berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang
12
Lihat Pasal 1 angka (2) dan (4), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
13
Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1998 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan Persero adalah
menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi,
baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan Persero dengan sifat
usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk
menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan
maksud dan tujuan yang pertama di atas. Disini tampak jelas bahwa Persero
pada awal-awal pendiriannya dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi
kemanfaatan umum, tetapi kemudian dengan perkembangan yang terjadi dan
sesuai dengan prinsip yang dianutnya yang berpedoman pada ketentuan
Undang-Undang Perseroan Terbatas (sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang
BUMN yang mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku ketentuan dan
prinsp-prinsip Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur nya), maka maksud dan tujuan itu bergeser searah
dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas, yaitu mengejar keuntungan
guna meningkatkan nilai perusahaan.14
3. Tindak Pidana
Hukum pidana Belanda memakai istilah starfbaar fiet, kadang-kadang juga memakai delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau crimnal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wvs
Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu stafbaar feit. Timbullah
14
masalah dalam menerjemahkan istlah starfbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana
meskipun tidak menerjemahkan stafbaar feit itu. Utrecht, menyalin istilah
strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harafiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, UUD sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa
pidana.15
Menurut Moeljatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan
kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Larangan dan ancaman pidana memiliki hubungan
yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian
itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang
lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan
orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu,
maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang
menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang
15
tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian
itu. Menurut Moeljatno, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang
abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagimana halnya dalam Pasal 14
ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”.
Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk
kepada suatu kejadian yang tertentu saja, msialnya matinya orang.16
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “Tindak
Pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman,
sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih
pendek daripada “perbuatan” tetapi ”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang
abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret,
sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa “tindak”
adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal
mana lebih dikenal dengan tidak-tanduk, tindakan dan bertindak belakangan
juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu
dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak
pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya
hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contohnya UU Nomor 7 Tahun
1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127,129, dan lain lain).17
Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (starfbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 60-61.
17
Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak
menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu
tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.18
Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan di dalam
hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam
buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di
dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih
luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang
diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan
perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima
pengertian kejahatan dalam Kriminologi adalah sama luasnya dengan
kejahatan dalam hukum pidana.19
4. Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corruptus dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, mengeroyok,
kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut Corruption, dan dalam
18
Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 64, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hal 74-75.
19
bahasa Belanda disebut Korruptie.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara, atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain”.21
Mahzar (2003),22 mengatakan istilah korupsi secara umum sebagai
berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan,
bahwa dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi
terdapat penekanan yang dilakukan oleh sejumlah ahli dalam mendefenisikan
korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
kepentingan pribadi”. Mahzar pun mencatat beberapa defenisi korupsi yang
paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi.
Gagasan yang diambilnya dari Philip (1997) ini, menyebutkan defenisi
korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor
publik (public office-centered corruption), yang didefenisikan sebagai tingkah laku dan tidakan seorang pejabat publik yang menyimpang dari
tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau
keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti
20
A. Hamzah, Korupsi: Dalam Proyek Pembangunan. (Jakata: Akademika Pressindo, 1985), hal 2-3, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 32.
21
Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, seperti dikutip oleh Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahannya (rev.ed;Jakarta: Sapdodadi, 2004 ), hal 5.
22
keluarga, kerabat karib, dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan
nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan
(ascriptive) daripada merit. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi, jika seorang
pemegang kekuasaaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang
melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan
memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan
demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian
korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan
pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Berdasarkan
kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan
individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap
kebijakan dan tindakan birokrasi. Eksistensi korupsi jelas mengindikasikan,
hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan
keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan
oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan
pendapatan dari publik. Kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang
selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.23
23
Sementara itu, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada,
“pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini
merupakan defenisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang
digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).24
Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri
korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu
kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas
mengungkapkan ciri dari korupsi, yaitu:
1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
2) Korupsi pada umumnya melibatkan serba-kerahasiaan, kecuali ia
telah begitu merajalela, dena begitu mendalam mengakar,sehingga
individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam
lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan
mereka;
3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keutungan timbak balik;
4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum;
24
5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan itu;
6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;
7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pngkhianatan kepercayaan;
8) Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan itu;
9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.25
Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu
beliau meberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu :26
a) Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun
tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat
diterima oleh para anggota organisasi; contohnya, seorang pelayanan
perizinan tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat
kepada “calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang
para pemohon yang biasa-biasa saja.
b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan
25
Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12-14 seperti dikutip oleh Elwi Danil, Korupsi Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal 7-8.
26
regulasi tertentu. Contohnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan
bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses
pelelangan atau tender. Akan tetapi dikarenakan waktu mendesak
(karena turunya anggaran terlambat) sehingga proses tender tidak
bisa dilakukan, umumnya biasa digunakan istilah “keadaan darurat”
atau “force majeur”, sehingga proses lelang atau tender dapat
dikesampingkan. Bahkan dalam beberapa kasus letak “Illegal
corruption” berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.
c) Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan. Contohnya, dalam
sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki
kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara
terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk
memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang
“sogok” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan itu dipenuhi oleh
kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang itu
sudah termasuk ke dalam kategori “Mercenery corruption”. Bentuk
“sogok” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk
lain.
d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi Illegal maupun
Kasus skandal Watergate adalah contoh “Ideological corruption”,
dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada
Presiden Nixon ketimbang kepada Undang-Undang atau hukum.
Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan
umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari korupsi jenis ini.
G. METODE PENELITIAN
Di dalam penulisan dan penelitian skripsi ini diperlukan adanya metode
penelitian dengan maksud agar penulisan dan penelitian skripsi ini dapat tertata
secara sistematis dan ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini, mtode yang dipakai
adalah sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian
Penulis menggunakan penelitian dengan pendekatan hukum yuridis normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi ini. Adapun peneltian hukum normatif dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :27
a) Menarik Azas-Azas Hukum.
Apabila peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik
azas-azas hukum (rechtsbeginselen), maka hal itu dapat saja dilakukannya terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.
27
Azas-azas hukum tersebut sebenarnya merupakan
kecenderungan-kecenderungan, yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis.
Secara logis, maka pertama-tama azas-azas hukum tersebut harus ada
pada pengambilan keputusan secara konkrit; akan tetapi di dalam
kenyataannya, hal itu juga dapat ditelusuri pada hukum positif tertulis.
b) Menelaah Sistematika Perundang-undangan.
Adakalanya seorang peneliti ingin melakukan penelitian terhadap
sistematika perundang-undangan tertentu. Hal ini mungkin dapat
dilakukan terhadapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan. Di sini
peneliti tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari sudut
penyusunannya secara teknis, akan tetapi yang ditelaahnya adalah
pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan tersebut. Hasil-hasil penelitian semacam
ini, akan mempermudah para penegak hukum di dalam melaksanakan
peranannya secara sistematis dan konsisten.
c) Penelitian Terhadap Taraf Sinkronisasi dari Peraturan
Perundang-undangan.
Penelitian semacam ini dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik
tolak, yaitu taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horizontal.
Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf
sinkronisasi peraturan perundang-undangan menurut hierarkinya.
yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan
fungsional, adalah konsisten.
d) Perbandingan Hukum.
Apabila ditelaah Black‟s Law Dictionary,maka di dalam kamus tersebut
dinyatakan, bahwa perbandingan hukum adalah “the study of the principles of legal science by the comparation of variuos systems of law”.
Di dalam perumusan tersebut ternyata ada suatu kecenderungan untuk
mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode, oleh
karena yang dimaksudkannya sebagai perbandingan adalah “proceeding
by the method of comparation; founded on comparation; estimated by
comparation”.
e) Sejarah Hukum.
Seorang peneliti yang mempergunakan metode sejarah di dalam
tinjauannya terhadap hukum, mempunyai kewajiban utama untuk
menelaah hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya,
dari sudur sejarah. Dari hubungan-hubungan tersebut, seorang peneliti
harus dapat menjelaskan perkembangan bidang-bidang hukum yang
ditelitinya. Memang, salah satu kegunaan dari penggunaan metode
sejarah adalah, untuk dapat mengungkapkan fakta hukum pada masa
lampau, dalam hubungannya dengan fakta hukum pada masa kini.
Kecuali dari itu, maka sejarah hukum akan dapat memberikan.
dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Hukum
masa kini, merupakan hasil perkembangan dari salah satu aspek
kehidupan manusia pada masa lampau, dan hukum masa kini merupakan
dasar bagi hukum pada masa-masa mendatang.
Dengan demikian tujuan dari penulis melakukan penelitian ini adalah untuk
memberikan jawaban dan memecahkan masalah hukum tertentu in concreto
yang mana masalah yang hendak dibahas dan dipecahkan adalah terkait
dengan kedudukan Direksi BUMN (Persero) terkait tindak pidana Korupsi.
2. Data dan Sumber Data
Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan sumber
data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber data yang diperoleh
secara tidak langsung, misalnya dari buku. Data sekunder yang dipakai
penulis adalah sebagai berikut :
a) Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu:
i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
ii. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (BUMN)
iii. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
iv. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
v. Undang-Undang Nomor 31 tahun tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999.
b) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu:
Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel,
hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh
baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c) Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu:
Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan
primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan
acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya
abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan,
ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan,
mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti
yang berhubungan dengan judul skripsi.
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya
penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya28. Metode analisis data
yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :
a) Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan
dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
b) Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di
atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c) Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan
dari permasalahan.
d) Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah:
BAB I : PENDAHULUAN.
Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
28
BAB II : KEDUDUKAN KEUANGAN NEGARA DALAM
BUMN (PERSERO).
Pada Bagian pertama pada bab ini akan membahas
mengenai kedudukan keuangan negara di dalam
BUMN (Persero), dan pada bagian kedua akan
membahas mengenai kedudukan keuangan negara
dalam keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi.
BAB III : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM
BUMN (PERSERO).
Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas
mengenai pelaksanaan evaluasi internal dalam BUMN
(Persero) untuk mengetahui kerugian keuangan dalam
BUMN (Persero) dan pada bagian kedua akan
membahas mengenai kedudukan Badan Pemeriksa
Keuangan dalam melakukan audit/pemeriksaan
terhadap BUMN (Persero).
BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN
(PERSERO) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas
kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN
dan pada bagian kedua akan membahas kedudukan
pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara
pidana dalam tindak pidana korupsi.
BAB V : PENUTUP.
Pada bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan
dari bagian awal hingga akhir dari skripsi ini yang
merupakan ringkasan substansi penulisan skripsi ini
dan saran-saran yang dikemukakan penulis terkait