• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP FILM-FILM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP FILM-FILM ISLAM"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

1 Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh :

KINTAN PANDU JATI NIM. 106051001764

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Oktober 2010 Penulis

(3)

IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM

TERHADAP FILM-FILM ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi (S.Kom)

Oleh: Kintan Pandu Jati NIM:106051001764

Di bawah Bimbingan

Drs. Adi Badjuri,MM NIP.19440828 198003 1001

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(4)

ABSTRAK

Semenjak awal kelahirannya film menjadi populer luar biasa sebagai media hiburan sedangkan pengakuan masyarakat bahwa film sebagai karya cipta seni budaya baru berlangsung menjelang tahun 1940-an sampai akhirnya film tidak diragukan lagi sebagai bentuk karya seni. Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya karena memiliki sifat-sifat dasar dari media artistic lain (sastra, lukis, komposisi) dalam susunannya yang beragam. Film sebagai media massa yang berbentuk audio visual, film merupakan media yang sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya seni estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda juga alat politik. Keberadaan film bisa memiliki manfaat ganda. Di satu sisi film dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru.

Sebagai sarana rekreasi dan edukasi keberadaan film mampu mengisi ruang hiburan dan ruang pembelajaran bagi sebgaian besar masyarakat di Indonesia. Namun untuk peran sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru, perlu kecermatan tersendiri dalam memilah muatan budaya yang terkemas dalam pesan film. Banyak pihak menghawatirkan bahwa informasi dari media film justru dapat bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa dan sarat dengan nilai budaya asing. Yang diharapakan tentunya film dapat memperkaya nilai budaya nasional.

Euforia kebebasan berekspresi, di dalamnya termasuk kebebasan berkreasi dalam kegiatan penciptaan karya film. Tuntutan kebebasan berkreasi dalam penciptaan karya seni film ini gencar disuarakan masyarakat, terutama oleh kalangan pengemban film antara lain melalui upaya penolakan pemberlakuan sensor film karena pemberlakuan sensor film dianggap sebagai pembatasan dan pengekangan atas kebebasan berkreasi di bidang perfilman.

Muncul dan banyaknya film-film bernafaskan religi pada kisaran tahun 2008 dan 2009 mengimplikasikan bahwa negara Indonesia sebagai salah satu mayoritas muslim terbesar di dunia. Film-film Islam cepat sekali di respon dan ditanggapi oleh masyarakat. Namun sayangnya belum sepenuhnya film-film Islam itu sesuai dengan nilai-nilai budaya nasional dan terkadang tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, dan pertolongannya selama ini, berkat Allah SWT jualah penulis mampu merampungkan tugas akhir skripsi dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini merupakan proses yang relatif panjang bagi penulis, menyita segenap tenaga dan fikiran. Tetapi yang pasti dengan segenap motivasi, kesabaran, kerja keras, dan do‟a, akhirnya penulis sanggup menjalani tahap demi

tahap dalam kehidupan akademik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Walaupun cukup banyak halangan dan rintangan yang penulis hadapi, baik itu berupa sifat malas, lalai dan sombong yang masih melekat kuat di dalam diri penulis. Sungguh sebuah anugerah terindah yang diberikan Allah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua ini dapat terwujud karena banyaknya dukungan serta motivasi kepada penulis.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi, rasa terima kasih penulis ucapkan kepada:

(6)

Mahmud Djalal, M.A selaku Pudek II, dan Drs. Study Rizal LK, M.A selaku Pudek III

2. Drs. Jumroni, M.Si, selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Umi Musyarafah, MA, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Adi Badjuri, MM, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dalam setiap bimbingan dan mendorong penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Ibu/ Bapak Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan dedikasinya sebagai pengajar dan memberikan berbagai pengarahan, pengalaman, serta bimbingan kepada penulis selama dalam masa perkuliahan.

6. Kepada bapak/ibu pimpinan Lembaga Sensor Film serta Production house MD Picture, Sinemart Picture, Starvision, Ifi Dan Triximages Serta semua pihak yang telah membantu memberikan data-data demi terselesainya skripsi ini.

(7)

penulis, dan juga dukungan berharga sekali baik moril maupun materil dalam proses selama studi di kampus tercinta ini.

8. Fitri Kumalasari atas semua dukungan, motivasi serta kasih sayang bagi penulis walau tanpa kata dan tanpa bahasa.

9. Keluarga besar Himata, LDK, Sequence, Logika, Mata film, BEMJ KPI, BEMF, STOS, Jatam, Walhi. Serta semua pihak yang telah membantu memberikan ilmu-ilmu yang berguna buat penulis.

10. Keluarga Besar KPI A angkatan 2006, Kharisma, Fahdi, M. Raghyl, Fauzi, Abdurrahman, Aditya, Wawan, Argoselo, Agan, Farouk, David, Fitria, Andri, Adilla, Richa, Halimah, Asyami, Biah. Untuk semuanya Penulis ucapkan terimakasih karena telah memberi keceriaan dengan indahnya persahabatan yang telah kalian berikan, yang telah menjadi keluarga serta inspirasi bagi penulis.

11. Dan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu berbagai hal dalam proses penyelesaian studi penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi semua usaha yang kita lakukan. Amin...

Jakarta, 20 Oktober 2010 Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Metodologi Penelitian ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Sensor Film……… 15

1. Pengertian Sensor Film………. 16

B. Film……… 16

1. Pengertian Film ... 17

2. Jenis-jenis Film ... 19

3. Unsur-unsur Film ... 22

4. Film Islam ... 22

BAB III LEMBAGA SENSOR FILM A. Gambaran Umum Lembaga Sensor Film ... 24

1. Sejarah Sensor di Indonesia ... 24

(10)

3. Visi dan Misi Lembaga Sensor Film ... 32

4. Fungsi, Tugas&Wewenang Lembaga Sensor Film ... 32

5. Struktur Organisasi Lembaga Sensor Film ... 34

6. Program Kerja Lembaga Sensor Film ... 35

7. Mekanisme Administrasi Penyensoran ... 35

8. Pedoman&Kriteria Penyensoran ... 36

9. Tata Tertib Penyensoran ... 38

10. Tarif Biaya Penyensoran ... 39

B. Film-film Islam ... 40

1. Deskripsi Film Ayat-ayat Cinta ... 40

2. Deskripsi Film Ketika Cinta Bertasbih 1&2 ... 44

3. Deskripsi Film Mengaku Rasul:Sesat ... 47

4. Deskripsi Film Perempuan Berkalung Sorban ... 49

5. Deskripsi Film 3 Doa 3 Cinta ... 51

BAB IV Implementasi Kerja Lembaga Sensor Film Terhadap Film-film Islam A. Dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film ... 59

B. Pelaksanaan penyensoran film ... 60

C. Kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor ... 64

D. Aplikasi serta implementasi Lembaga Sensor Film terhadap film Islam ... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi yang menggunakan media massa yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, antonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, dan selintas (khususnya media elektronik). Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang dikenal secara umum oleh masyarakat. Film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual yang merupakan penemuan teknologi baru yang muncul pada akhir abad sembilan belas.1 “Film ini berperan sebagai sarana yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu,serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum”.2

Menurut McQuail kehadiran film merupakan respon penemuan waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu luang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat.

1

K Bertens, Film, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal.91

2

(13)

“Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan

muatan pesan (message) di baliknya”.3 Dikatakan juga bahwa film merupakan penyajian kembali potret kehidupan yang ada dalam masyarakat. Fenomena yang diangkat dalam film berdasarkan kenyataan masyarakat di tempat film itu dibuat.4 Jadi sebuah film merupakan bagian yang cukup penting dalam media massa untuk menyampaikan suatu pesan. Jika melihat pada dunia perfilman Indonesia, pesan pada film yang disampaikan kepada masyarakat tidak dengan pesan moral yang kuat. Seperti yang dikatakan oleh Djamalul Abidin dari komisi Evaluasi dan Sosialisasi Lembaga Sensor Film, bahwa kebangkitan film nasional cukup bagus, tetapi juga mencemaskan.5 Sebab, cerita filmnya tidak diimbangi dengan pesan moral yang sesuai dengan karakter bangsa ini. Oleh Lembaga Sensor Film Indonesia banyak film-film Indonesia yang mengalami pemotongan karena adegan visual yang diproduksi dianggap bertentangan dengan moral, agama, dan budaya Indonesia. Hal ini merujuk pada pemikiran atau peristilahan Gatekeeper atau penjaga gawang media yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada bukunya

Human Relation.6 Istilah ini mengacu pada proses: (1) suatu pesan berjalan melalui berbagai pintu, selain juga pada (2) orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalanannya dari sumber kepada

3

Alex Sobur, SemiotikaKomunikasi,Cet.2 Jakarta: PT. Ramaja Rosdakarya, 2004, h.127

4

Alex Sobur, SemiotikaKomunikasi, h.129

5

Ignatius Haryanto, Ketika Sensor Tak Mati-mati. Jakarta:Yayasan Kalam, 2007, h.40

6

(14)

penerima.7 Fungsi utama gatekeeper adalah menyaring pesan yang diterima seseorang. Gatekeeper membatasi pesan yang diterima komunikan. Editor surat kabar, majalah, penerbitan juga dapat disebut gatekeepers. Seorang gatekeepers dapat memilih, mengubah, bahkan menolak pesan yang disampaikan kepada penerima. Di Indonesia peran Gatekeeper dilakukan oleh Lembaga Sensor Film. Lembaga Sensor Film (LSF) adalah sebuah lembaga yang bertugas menetapkan status edar film-film di Indonesia. Sebuah film hanya dapat diedarkan jika dinyatakan "lulus sensor" oleh LSF. LSF juga mempunyai hak yang sama terhadap reklame-reklame film, misalnya poster film. Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan. Jadi setiap film yang diproduksi baik dalam maupun luar negeri sebelum ditayangkan ke publik harus melalui Lembaga Sensor Film. Beberapa film di tahun 2008 & 2009 yang telah beredar dan mengalami pemotongan adegan visual itu karena mengandung adegan kekerasan dan seks.8 Sehingga Lembaga Sensor Film Indonesia meminta para sineas dan perusahaan film di Tanah Air mengedepankan pesan moral dalam pembuatan film. Setiap hasil produksi harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Dengan kata lain pesan yang disampaikan film-film Indonesia pada akhir-akhir ini sering sekali mengacu pada kekerasan, seks, dan mistik. Penelitian ini juga mengacu pada penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA)

7

Werner J Severin&James W Tankard, Teori Komunikasi:Sejarah,Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Kencana, Jakarta, 2008, h.164-165

8

(15)

terhadap sinetron-sinetron remaja Indonesia.9 Penelitian yang dilakukan oleh YPMA tersebut juga sama, masih banyak sinetron-sinetron dan film-film Indonesia yang masih mengedepankan pesan kekerasan, seks, dan mistik untuk disampaikan kepada masyarakat. Menurut penelitian YPMA tahun 2008, sinetron-sinetron dengan segmen remaja memang menjadi sasaran utama karena potensi jumlah penontonnya yang sangat besar, tidak saja dari mereka yang berumur 12-18 tahun, tetapi juga ditonton oleh anak-anak dan orang dewasa lainnya. Namun sayangnya hampir tidak ada penelitian dan pemantauan yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan terhadap materi tayangan sinetron remaja10. Padahal keluhan akan tayangan sinetron telah sering dilontarkan dalam berbagai diskusi publik, artikel surat kabar atau majalah, dan surat pembaca surat kabar. Isi sinetron yang terkait dengan kekerasan, seks, mistis, dan moral menjadi keluhan yang utama. Oleh karena itu peneliti ingin mereplikasi penelitian tersebut dengan film-film Indonesia sebagai mediumnya.

Didalam film Islam, imbauan untuk menjadi lebih taat pada agama biasanya tidak ditekankan. Ajaran Islam disampaikan dalam dialog yang tidak terlalu argumentatif, dalam konteks sosial yang tidak terlewat degradatif (jahiliyah). Islam sebagai fakta tampil digdaya dan superior. Beberapa film yang berisikan penerangan mengenai Islam atau aspek-aspek ajaranya termasuk dalam kategori ini.

9

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dokumentasi Naskah LSF, 2008

10

(16)

Genre film religi atau film Islam berkembang puncaknya di tahun 1970-an dan 1980-an. Di dekade itu kita disuguhi film-film cerita keteladanan para wali (Wali Songo, Sunan Kali Jaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga dan Syeh Siti Jenar) maupun yang bertema drama (Al Kautsar, dibuat lagi dengan judul Titian Serambut) dan semua film Rhoma Irama yang menggabungkan dakwah dan musik (dangdut). Era keemasan itu ditutup dengan kolaborasi da‟i

tulen (KH Zainuddn MZ) dengan bintang film-pemusik-pendakwah (Rhoma Irama) dalam Nada & Dakwah (1990).11 Kemudian kita memasuki era film esek-esek-nya Sally Marcelina dkk. Perfilman kita mandeg, orang menyebutnya mati suri istilah ini salah kaprah karena film kita tak pernah berhenti dibuat setiap tahun. Datanglah era reformasi. Film nasional bangkit lagi. Dari satu-satu hingga kini bisa lebih dari 40-an film setahun. Meski begitu genre film religi baru muncul tahun 2008 lewat Ayat-ayat Cinta.

Peneliti mengambil data kisaran film Islam pada tahun 2008&2009 dikarenakan setelah tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman Indonesia. Indonesia memasuki era baru,ditandai dengan pergerakan kembali produksi film nasional, antara lain didukung dengan teknologi digital yang kemudian ditransfer ke seluloid. Sebelum melangkah lebih jauh tentang bagaimana dunia perfilman Indonesia mulai tahun 2000 alangkah baiknya jika melihat dulu bagaimana sepuluh tahun terakhir perfilman Indonesia, sehingga perfilman Indonesia bisa bergerak maju dan muncul fenomena-fenomena yang

11

(17)

sempat meresahkan masyarakat. Pada pertengahan tahun 1990an dikesankan ada kelesuan produksi film nasional. Kesan itu rasanya jauh dari kenyataan kalau hanya melihat jumlah produksi. Data menunjukkan tahun 1994 terdapat 26 judul film yang diproduksi, 1995 ada 22 film, 1996 sebanyak 34 film, dan 1997 memproduksi 32 film.12 Tahun 1997 adalah awal krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis sosial-politik. Akibatnya sangat terasa karena produksi tahun 1998 dan 1999 hanya empat film. Tahun 2000 naik menjadi 11 film dan tahun berikutnya 2001, turun lagi menjadi tiga film. Mulai tahun 2002 produksi film nasional bangkit menjadi 14 film, 2003 sebanyak 15 film, dan 2004 menjadi 31 film. Diperkirakan tahun 2005 sama dengan tahun sebelumnya. Angka-angka ini berdasarkan data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film, kecuali sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival di dalam negeri seperti dan luar negeri.13 Jumlah produksi film Indonesia meningkat di tahun 2008 ini, sekitar 80 film dibandingkan 40-an pada tahun 2007. Minimnya ragam tema dan penceritaan masih menjadi persoalan utama. Horor dan komedi seks masih mendominasi film yang beredar, dengan sedikit pengecualian.14 Jika pada tahun 2007 pengecualian yang secara estetis patut dicatat tidak terlalu banyak, maka dengan jumlah yang meningkat di tahun 2008,

12

Bambang Irawanto, Menguak Peta Perfilman Indoneisa, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2004,h.15

13

JB.Kristanto,Katalog Film Indonesia.Jakarta:Penerbit Nalar,2005,h.46

14

(18)

catatan bisa dibuat untuk lebih banyak film. Tahun 2008 ditandai dengan eksplorasi tema dan cara tutur. Dalam soal tema, selain persoalan perempuan, tahun 2008 ditandai dengan tingginya kebutuhan membicarakan mengenai identitas. Dua perbincangan identitas yang muncul dengan nyata di tahun 2008 adalah Islam dan etnis Cina, serta sedikit film yang mengangkat tema perempuan.

Cerita film yang bermuatan atau mengambil genre Islam lebih banyak pada tahun itu juga berjumlah sekitar 8 film. Diantaranya Ayat-ayat Cinta, 3 Doa 3 Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Kun Fa Ya Kuun, Doa Yang Mengancam, Sang Murrabi, Mengaku Rasul :Sesat, Syahadat Cinta sampai kepada film terakhir di penghunjung tahun 2009 yaitu Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2. Ayat-ayat Cinta menandai fase masuknya Islam ke dalam budaya pop. Mengulangi skripturalisme yang pernah dibawa oleh pahlawan seperti Rhoma Irama, Ayat-ayat Cinta mengangkat tema dan persoalan kelas menengah Islam Indonesia dalam memecahkan problema roman mereka. Keberhasilan film ini menjadi salah satu film Indonesia peraih penonton terbanyak sepanjang masa, membuat gelombang pembuatan film-film dengan simbol Islam di dalamnya menjadi cukup banyak. Film Ketika Cinta Bertasbih juga menjadi fenomena tersendiri dalam sejarah film islam di tanah air.

(19)

identitas, melainkan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketiga anak ini menemukan problem dan keterpesonaan pada berbagai hal seperti film, seks dan kesulitan hidup yang nyata yang membuat keimanan mereka harus berhadapan dengan itu semua. Berbeda dengan film-film Islam karya pasangan Asrul Sani – Chaerul Umam di masa lalu (Titian Serambut Dibelah Tujuh, Al Kautsar, Nada dan Dakwah), 3 Doa menampilkan tokoh-tokoh manusia biasa yang tak berambisi mengubah dunia atau mengambil peran penting dalam sejarah. Muslim dalam 3 Doa sudah merupakan bagian dari sejarah negeri bernama Indonesia ini.

Dari segi prestasi kita tahu Ayat-ayat Cinta ditonton tak kurang 3,8 juta orang. Tiket bioskop Ketika Cinta Bertasbih hari pertama tayang ludes dibeli 115 ribu orang.15 Lalu fenomena film Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, selain menjadi satu-satunya film asing yang berhasil syuting di Universitas Al Azhar Kairo dan menjadi satu-satunya film nasional dengan pemberitaan terpanjang selama setahun ke belakang, Mega Film Ketika Cinta Bertasbih sejak ditayangkan 11 Juni lalu, film ini kembali menghebohkan karena telah menyedot hampir 1 juta penonton. Angka yang belum pernah dicetak oleh satu film nasional pun di minggu perdana pemutarannya, hari pertamanya pun sebenarnya sudah menunjukkan antusisme masyarakat utk menonton. Pada tanggal 11 Juni film ini mendapatkan prestasi kembali dikota-kota lain, Samarinda tiket habis untuk semua pertunjukkan sampai malam harinya. Begitu juga kabar yang didapatkan dari Makassar, Pekan Baru, Yogyakarta, Semarang, Malang, Medan, dan

15

(20)

bioskop di Jabodetabek. Yang kemudian tercatat total penonton Ketika Cinta Bertasbih di hari pertamanya mencapai angka 115 ribu.16

Oleh karena itu semakin banyaknya film-film Indonesia yang mengangkat tema Islam untuk dihadirkan kepada masyarakat, peneliti merasa perlu meneliti peran Gatekeeper dalam hal ini Lembaga Sensor Film dalam meneliti film bergenre Islam karena tentunya walaupun film mengambil tema keislaman, tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur yang dilarang untuk ditayangkan kepada masyarakat dan juga mengkritisi Lembaga Sensor Film dalam sebuah proses penyensoran. Hal inilah yang menjadi alasan pembuatan skripsi ini dengan judul IMPLEMENTASI KERJA LEMBAGA SENSOR FILM TERHADAP FILM-FILM ISLAM ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan makalah ini tidak terlalu luas ruang lingkupnya, maka permasalahan ini kami batasi hanya pada ranah implementasi Lembaga Sensor Film dalam melakukan proses penyensoran sebagai subyek penelitiannya. Sementara untuk film bergenre Islam peneliti meneliti 5 film bertemakan Islam yang ada dari tahun 2008&2009, yang fenomenal dari segi prestasi film dan kontroversial dalam menampilkan pesan-pesan yang berkaitan dengan Islam sebagai obyek penelitiannya yaitu Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Mengaku rasul:Sesat, Perempuan Berkalung Sorban dan 3 Doa 3 Cinta. Adapun rumusannya adalah:

16

(21)

1. Apakah dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film? 2. Bagaimana pelaksanaan sensor film?

3 Bagaimanakah kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor?.

4 Bagaimankah aplilkasi serta implementasi Lembaga Sensor Film terhadap film Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka tujuan bahasan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah dasar-dasar yang digunakan dalam sensor film . 2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penyensoran film Islam.

3. Untuk mengetahui kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor 4. Untuk mengetahui aplikasi serta implementasi Lembaga Sensor Film

terhadap film Islam.

Adapun Kegunaan penulisan penelitian ini adalah untuk:

1. Manfaat akademik, yaitu untuk mengembangkan keilmuan sosial dalam sub -bidang komunikasi yakni film, dalam hal ini proses penyensoran film, khususnya tentang sensor terhadap film Islam.

2. Manfaat praktis, yakni sebagai bahan suplemen bagi pengetahuan masyarakat

(22)

D.Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan analisa deskriptif yaitu metode yang diartikan sebagai sebuah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang dan berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dilapangan sebagaimana adanya17. Metode ini mempunyai langkah-langkah dalam penerapannya:

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan terjun langsung ke lokasi penelitian.

b. Subyek penelitian

Subyek peneltian adalah sumber tempat memperoleh keterangan. Adapun yang menjadi subyek penelitian adalah anggota Lembaga Sensor Film dan Rumah produksi film (Production Film).

c. Obyek peneltian

Obyek penelitian adalah penyensoran terhadap film-film Islam yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film. Sumber data adalah mereka yang dapat memberikan informasi tentang obyek penelitian. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu suatu pemecahan masalah dengan mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya melalui sumber data dan fakta yang ada.

17

(23)

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran yang dipandang ilmiah dalam suatu penelitian terhadap hasil yang diperoleh.

a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara yang didapatkan dari beberapa perwakilan Lembaga Sensor Film dan beberapa rumah produksi yang memproduksi film Islam tersebut. Kemudian melakukan pengamatan langsung dilapangan terutama melihat proses penyensoran sebuah film. Kemudian dipilih visual atau gambar dari adegan-adegan film yang diperlukan untuk penelitian

b. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang mendukung data primer, seperti artikel koran, internet, kamus istilah komunikasi dan sebagainya.

c. Studi dokumentasi

Yaitu mempelajari bahan-bahan bacaan atau dokumen-dokumen yang ada, yang berhubungan dengan penelitian. Tujuannya adalah untuk guna melengkapi sebuah penelitian.18 Dalam penelitian ini dokumentasi yang diambil berupa rekaman film, foto-foto film dan lainnya yang diperoleh melalui para narasumber baik dari Lembaga Sensor Film maupun rumah produksi film (production house)

(24)

d. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 5 film Islam yang diproduksi pada tahum 2008&2009 menurut prestasi dan kontroversinya dimasyarakat yaitu Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Mengaku rasul:Sesat, Perempuan Berkalung Sorban dan 3 Doa 3 Cinta. Penelitian ini dilaksanakan di Gedung film kantor Lembaga Sensor Film di Jalan MT.Haryono kav 47-48, Jakarta dan di beberapa rumah produksi selama 2 bulan yaitu bulan Juli dan Agustus 2010.

3. Teknik analisis data

Teknik analsis data merupakan proses peyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Dalam penelitian ini metode yang peneliti gunakan adalah metode deskriptif yaitu cara melaporkan data dengan menerangkan, memberi gambaran dan mengklasifikasikan serta mengintepretasikan data yang terkumpul secara apa adanya dan kemudian meyimpulkannya, lalu diterangkan secara luas.

(25)

4. Teknik pengolahan data

Teknik pengolahan data dilakukan dengan memproses berbagai data yang berhasil dihimpun menjadi sesuatu yang berarti dan dapat menjadi informasi dalam bentuk penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan buku “pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta UIN Jakarta Press, 2002), Cet. Ke-2.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika yang digunakan oleh penulis yakni terdiri dari lima bab mengikuti pokok masalah yang akan dibahas oleh penulis. Adapun sistematika penulisanya sebagai berikut:

Bab satu : Pendahuluan yang didalamnya terkandung latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab dua : Tinjauan teoritis yang didalamnya berisi tentang pengertian sensor film, pengertian film, sejarah film, macam-macam film, unsur film, pengertian tentang film Islam. Mengenai teori dari buku-buku yang ditemukan peneliti guna mendukung dari penelitian ini dan model metodologi penelitian yang diterapkan dalam menganalisa data.

(26)

wewenang LSF, struktur organisasi LSF, program kerja LSF, mekanisme administrasi penyensoran, tata tertib penyensoran, tarif biaya penyensoran. Gambaran tentang film-film Islam, deskripsi film Ayat-ayat Cinta, deskripsi film Ketika Cinta Bertasbih, deskripsi film Mengaku Rasul:Sesat, deskripsi film Perempuan Berkalung Sorban, deskripsi film 3 Doa 3 Cinta

Bab empat : Adalah pembahasan implementasi Lembaga Sensor Film terhadap film-film Islam, dasar Lembaga Sensor Film dalam proses sensor film, pelaksanaan sensor film Islam, kriteria film yang lulus sensor dan tidak lulus sensor subjek penelitian dan berisikan mengenai penjelasan hasil analisis penyesoran film dari penelitian yang diperoleh peneliti.

(27)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. SENSOR FILM

1. Pengertian Sensor Film

Sensor Film adalah pengawasan dan pemeriksaan surat-surat atau sesuatu yang akan disiarkan atau diterima (berita, majalah, buku, dan sebagainya).19

Khrisna Zen dalam bukunya, menulis sensor ini adalah sebagai fungsi kontrol di bidang perfilman20. Penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dan reklame film dipertunjukkan dan/atau

ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar

atau suara tertentu.21 Penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film

untuk dipertunjukan kepada khalayak umum.22

B. FILM

1. Pengertian Film

Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya.23 Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominan digunakan untuk

19

SM Ardan, Sensor Film, Sinematek Indonesia, Jakarta, 2007, h.15

20

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Pasal 1 tentang Perfilman.

23

(28)

menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Bertolak dari pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan media selluloid sebagai penyimpannya.24

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau tempat gambar positif yang akan dimainkan di bioskop).25 Namun secara sederhana film hanyalah susunan gambar yang ada dalam seluloid, kemudian diputar dengan menggunakan teknoogi proyektor yang sebetulnya telah menawarkan nafas demokrasi, bisa didefiniksikan dalam berbagai makana. Ia menawarkan berbagi pesan dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan.26

Menurut UU Perfilman No.8 tahun 1992 karya cipta budaya yang merupakan media komunikasi dipandang, didengar yang dibuat beradasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, dan bahan-bahan hasil temuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi elektronik atau proses lainnya.27

24

Heru Efendy, 2002, Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser, Yogyakarta,h.30

25

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka,2002),h.316.

26

Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter.FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapress),h.22.

27

(29)

Banyak definisi film yang dikemukakan oleh para ahli, menurut Alex Shobur, bahwa film merupakan bayangan yang diangkat di kenyataan hidup yang dilalami dalam kehidupan sehari-hari yang menyebabkan selalu ada kecendrungan untuk mencari relevansi antara film dengan relaitas kehidupan.28 Dan menurut Onong Uchjan Effendy film merupakan media bukan saja sebagai hiburan tetapi juga sebagai penerangan dan pendidikan. Para ahli bahasa juga merumuskan film sebagai “gambaran hidup” artinya, gambaran yang dihidupi atau kehidupan yang dilayarkan dalam gambar-gambar. Dalam gambaran hidup memuat 2 unsur penting yaitu isi visible (gambar) dan sisi invisible (ada pesan dan nilai dibaliknya).29 Film adalah sebuah teknologi komunikasi massa yang menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan secara luas selain radio, televis,pers. Disamping itu film merupakan fenomena sosial, psikologi dan estetika yang komplek dan merupakan dokumentasi terdiri dari cerita dan gambar yang diiringi kata-kata dan musik. Film juga hasil multidimensional dan sangat komplek. Sementara itu Jakob Sumardjo dari pusat pendidikan film dan televisi menyatakan bahwa film berperan sebagai pengalaman dan nilai. Selain itu film juga dapat digunakan sebagai alat propaganda, karena film dianggap memiliki jangkauan, realisme, dan popularitas.30 Upaya pengembangan pesan dengan hiburan sudah lama diterapkan dalam mengembangkan pesan memiliki kelebihan karena dalam segi kemampuannya film dapat menjangkau sekian banyak orang

28

Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter.FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapress), h.95.

29

Gatot Prakoso, Film Pinggiran-ontologi film pendek, Eksperimental dan Dokumenter.FFTV-IKJ dengan YLP,(Fatmapres100-101

30

(30)

dalam waktu yang cepat dan serentak dan kemampuan film mampu memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas. Karena film diangkat dari bayangan kenyataan hidup yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, itulah sebabnya selalu ada kecendrungan untuk mencari relevansi antara film dengan realitas kehidupan. Menurut Graenie Turner, film bentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi dan ideologi dari kebuyaan masyarakat.31

2. Jenis-jenis Film

a. Film Dokumenter (Documentary Films)

Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an.32 Tiga puluh enam tahun kemudian, kata „dokumenter‟ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas33. Sekalipun Grierson mendapat tentangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap relevan sampai saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dari film documenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dokudrama,

31

Harun Suwandi, Pengantar Sejarah Film, Sinematek, Jakarta, 1999, h.8

32

Suwardi, Sejarah Film Dunia, Sinematek, Jakarta, 2000, h.19

33

(31)

terjadi reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Sekalipun demikian, jarak antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, film dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup memuaskan. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap menasbih diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program documenter tentang keragaman alam dan budaya.

(32)

serentak oleh lima stasiun swasta dan TVRI adalah Anak Seribu Pulau (Miles Production, 1995). Dokudrama ini ternyata disukai oleh banyak kalangan sehingga sekitar enam tahun kemudian program yang hampir sama dengan judul Pustaka Anak Nusantara (Yayasan SET, 2001) diproduksi untuk konsumsi televisi. Dokudrama juga mengilhami para pembuat film di Hollywood. Beberapa film terkenal juga mengambil gaya dokudrama seperti JFK (tentang presiden Kenedy), Malcom X, dan Schindler‟s List.

b. Film Cerita Pendek (Short Films)

Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi.

c. Film Cerita Panjang (Feature-Length Films)

(33)

3. Unsur-unsur Film

Beberapa unsur yang terdapat dalam sebuah film. Unsur-unsur tesebut adalah: (a) Title (judul); (b) Crident title, meliputi : produser, karyawan, artis dan lain-lain; (c) Tema film; (d) Intrik, yaitu usaha pemeranan film untuk mencapai tujuan; (e) Klimaks, yaitu benturan antara kepentingan; (f) Plot (alur cerita); (g) Suspend (keterangan), masalah yang masih terkatung-katung; (h) Million setting, latar belakang terjadinya peristiwa, masa waktu, bagi kota, perlengkapan, aksesoris; (i) Sinopsis, yaitu untuk memberi ringkasan gamabar dengna cepat kepada orang ynag berkepentingan; (j) Trailer, yaitu bagian film yang menarik; (k) Character, yaitu karakteristik pelaku-pelaku.34

Sebagai salah satu jenis media massa, tayangan sebuah film memang memiliki keampuhan dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada penontonnya. Apalagi tayangan sebuah film telah dirancang sedemikian rupa, melalui sebuah proses yang panjang. Mulai dari perencanan skenario, shot-shot pengambilan gambar, pemilihan para pemain yang memikat sampai dengan proses editing yang baik agar menarik untuk ditonton. Oleh karena itu, sebagai sebuah media penyampai informasi, media film memiliki kelebihan dibandingkan jenis media massa yang lain seperti Televisi atau Radio, misalnya.

4. Film Islam

Tak mudah untuk membuat definisi mengenai hal ini. Problem ini bisa jadi hanya milik negeri dengan penduduk mayoritas muslim, serupa dengan pendefinisian film Kristen bagi masyarakat mayoritas Kristen. di Amerika, film

34

(34)

Kristen kerap identik dengan film dari lembaga dakwah dan kaum evenglist. isinya adalah pemindahan dogma-dogma agama dalam bentuk audiio visual, mirip dengan alat propaganda. Tak mungkin membatasi pengertian film islam di Indonesia hanya dengan penegertian macam ini saja. masyarakat Islam Amerika utara yang mengadakan festival film Islam menyatakan bahwa film Islam menggambarkan Islam dan kaum muslimin. Pengertian ini selalu terbuka, sehingga apabila diterapkan di Indonesia berarti seluruh film Indonesia adaah film Islam karena isinya mereprentasikan Islam (yang bisa jadi sangat terakulturasi) dan kehidupan kaum muslimin (yang mungkin tak menjalankan ajaran agamanya). Maka pengertian film Islam memerluakn ukuran yang lebih operasional ketika diterapkan bagi negara-negara Islam.

Festival ISNA sendiri menambahkan petunjuk seleksi film untuk festival tersebut adalah bahwa film-film yang semangat, nilai, moral dan etika Islam. Pengertian-pengertian ini sangat abstark dan sangat interpretatif, sehingga perilaku yang bersumber dari ajaran agama lain bisa saja mencerminkan semangat atau nilai moral dan etika Islam. Substansi ini bisa demikian cair seperti misalnya ketika Nurcholis Madjid mengungkapkan soal pentingnya menemukan common denominator atau kalimatun sawaa untuk mencari nilai Islam yang universal, ia sampai pada kesimpulan bahwa gagasan-gagasan filsuf Erich Fromm bisa dikategorikan sebagai “islami”35

35

(35)

BAB III

LEMBAGA SENSOR FILM

A. LEMBAGA SENSOR FILM 1. Sejarah Sensor Film di Indonesia

Sejarah Sensor Perfilman di Indonesia ternyata telah melewati jejak yang panjang. Bioskop atau gambar idoep karena gambarnya bisa bergerak seperti manusia yang hidup telah ada di Indonesia sejak tahun 1900.36 Awalnya memang diperuntukkan bagi konsumsi orang Belanda yang tinggal di kota besar di Indonesia. Film merupakan hiburan dan sekaligus menjadi kebutuhan bagi

‘meneer, mevrouw dan jevrouw’ Belanda yang ingin melampiaskan rasa kangen pada negerinya . Bioskop menjadi tempat reuni keluarga-keluarga Eropa dan pergi ke bioskop menjadi gaya hidup modern seperti pergi ke sociteit , dengan busana bagus dan sepatu mengkilat dan berbahasa Belanda.37 Hal ini juga ditiru oleh pribumi yang punya kedudukan dan kelompok yang disejajarkan kedudukannya dengan Belanda. 16 tahun kemudian sejak bioskop ada di Batavia dan kota besar lainnya yaitu pada tahun 1916, Pemerintah Jajahan Hindia Belanda mengeluarkan

Ordonantie Bioscoop yang tercatat dalam Staadsbad van Nederlands Indie, Nomor 276 tentang Pengawasan Pertunjukan dan Nomor 277 tentang Pengawasan Pertunjukan di Batavia (Jakarta) Semarang dan Surabaya dimana banyak toean

Belanda.38

36

Rosihan Anwar, Sensor Film, Sinematek Indonesia, Jakarta, 1992, h.12

37

Hasil wawancara dengan Akhlis Suryapati (salah satu anggota LSF&praktisi film)

38

(36)

Maka diadakanlah badan yang bertanggungjawab yaitu Komisi Sensor Film. Komisi ini ada di 4 kota yaitu Batavia , kini Jakarta, Semarang, Surabaya dan Medan. Pada tahun 1919 dikeluarkan Ordonansi Film nomor 377 tentang bioskop, dan memperluas Komisi Sensor di setiap daerah yang telah ada bioskopnya dan membentuk sub-sub komisi.. Tetapi pada tahun 1920 diubah lagi dengan aturan tentang penghapusan Komisi Sensor Film di 4 kota besar, sehingga pemerintah Hindia Belanda di daerah dapat memperketat sensornya sendiri sesuai dengan sikon daerah. Para pemilik dan importir film dan pemilik bioskop pun merasakan perlunya ada ikatan kebersamaan demi untuk keuntungan dan kelangsungan bisnis dan sepakat membentuk gabungan sehingga mempunyai nilai tawar dengan Komisi Sensor Film . Lebih sedikit potongan lebih baik dan berusaha jangan sampai ditolak, begitulah dunia bisnis. Untuk mengatasi perselisihan antara Pemilik Bioskop – Importir dan Komisi Sensor Film , dikeluarlah Ordonantie Film pada tahun 1925 yang membubarkan Komisi Sensor di daerah, dan membentuk Komisi Sensor Film di Batavia di bawah

(37)

tahun. Yang menjadi anggota komisi orang kulit putih. Barulah pada tahun 1930 ada seorang pribumi yang menjadi anggota komisi .39

Pada tahun 1940 dikeluarkan lagi Ordonansi Film Nomor 507 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Ordonansi Film yang berkaitan dengan Tugas Komisi Film dan Susunan KeanggotaanKomisi Film. Kenapa Pemerintah Jajahan Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Film, pada masa itu di Eropa sedang marak ide „pemberontakan‟ atau revolusi, seperti revolusi Perancis yang ingin menggulingkan raja. Tentu saja penjajah Belanda tak menginginkan ruhrevolusi merebak di negeri jajahannya. Apalagi pada tahun 1926 mulai diproduksi film dengan pemain anak negeri namun tetap diproduksi oleh orang Belanda. Pemerintah Jajahan khawatir lewat film bisa disusupi ide berontak pada Tuan Penjajah. Tak heran apabila Film Ordonantie bertambah dan berubah. Bahkan di tahun 1928 ada momen sejarah dengan Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan Indonesia yang meletupkan keinginan merdeka. Belanda takut, lewat film akan semakin menggetarkan semangat merdeka dan memberontak . Pada waktu itu mulai ada para mahasiswa pribumi yang sekolah di luar negeri, selain membawa ilmu juga cita-cita kemerdekaan. Adanya sensor dimaksudkan juga untuk menjaga citra orang Belanda, jangan sampai penduduk pribumi menyaksikan polah tingkah orang kulit putih yang miring, sebab ada yang jahat dan tak bermoral. Citra Belanda harus dijaga ketat supaya tetap terhormat di mata pribumi.

39

(38)

Dalam sejarah perfilman Indonesia, Loetoeng Kasarung yang diproduksi pada tahun 1926 oleh G Kroeger dan L.Heuveldrop, merupakan film pertama yang mengambil cerita asli Indonesia dari Jawa Barat. Karena yang membuat orang Belanda, di masa penjajahan lagi, tentu saja ruh film yang boleh dibuat harus sesuai dengan pandangan hidup mereka. Walau film bisu namun Loetoeng Kesaroeng menjadi tonggak sejarah sebab mengangkat cerita asli Indonesia dipandang dari kacamata asing. Legenda daerah ternyata digemari sampai masa kini . Berturut-turut tiap tahun diproduksi film-film bisu seperti Euis Atjih, Lily van Java, Resia Borobudur, Njai Dasima, Rampok Preanger, Si Comat, De Stem

Des Bloed, Karnadi Anemer Bangkong, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nancy

bikin Pembalesan, Njai Dasima ( ke 2 ) dan lainnya. Produsernya kalau tidak orang Belanda ya Tionghoa.40

2. Latar belakang berdirinya Lembaga Sensor Film

Kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan menyangkut pemeberlakuan sensor film di Indonesia mempunyai sejraha yang panjang. Yaitu pada tahun 1916, sekitar 16 tahun sejak pertama kali ada film dipertunjukan di Indonesia. Sebagai perbandingan, lembaga senosr muncul pertama di Inggris (1909), Swedia (1911) dan Amerika (1915). Di Indonesia yang waktu itu bernam Hindia Belanda dicetuskan tahun 1912, tetapi baru terwujud pada tahun 1918.41

Pada tahun 1916 itu Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonais Film: (a) No 276 tentang Pegawasan Pertunjukan, (b) No 277 tentang Pengawasan

40

JB.Kristanto,Katalog Film Indonesia.Jakarta:Penerbit Nalar,2005,h.55

41

(39)

Pertunjukan di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Medan. Di kota-kota tersebut dibentuk Komisi Sensor Film dengan tugas meneyeleksi film-film yang masuk ke wilayah Hindia Belanda, dengan tujuan agar menjaga citra orang Belanda dan tingkah laku burk yang ditampilkan dalam film. Sensor diberlakukan dengan cara menolak pemutaran atau melalui pengguntingan/pemotongan film.42

Motivasi yang menyebabkan munculnya kebijakan pemerintah mengenai Komisi Sensor Film tahun 1961 ini juga dikarenakan banyaknya film cerita bisu yang masuk ke Hindia Belanda yang isi dan gambarnya memperlihatkan prilaku hidup orang Barat yang penuh dengan perkelahian, pembunuhan perkosaan, dan kebebasan seks.43

Selanjutnya kronologis dasar hukum pemberlakuan sensor film semasa Pemerintahan Hindia Belanda bisa dirunut sebagai berikut:

Tahun 1919 dikeluarkan (a) Ordonansi Film No. 377 tentang Bioskop, (b) Ordonansi Film No. 378 tentang Hukum dan Meterai Bioskop, (c) Ordonansi Film No. 742 tentang Batasan Usia penonton. Pada masa ini ada tiga klasifikasi sensor yakni lolos sensor, lolos sementara, penolakan pemutaran. Tahun 1925 dikeluarkan Ordonansi Film 668 tentang Film-film yang boleh dipertunjukan di bioskop. Tahun 1926 dikeluarkan Ordonansi Film No 7 tentang Perubahan Ordonansi Film 1925, yang selanjutnya disempurnakan pada athun 1930 melalui

42

Bambang Irawanto, Menguak Peta Perfilman Indonesia, Kementriaan Kebudayaan dan Pariwisata,2004,hal 40-41.

43

(40)

dikeluarkannya Ordonansi Film No 447 tentang perubahan dan Penyempurnaan Ordonansi Film 1926.

Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu menjalankan Politik Etis terhadap bumi putera, berusaha mengangkat inlander, maka sensor menggunting adegan nyonya-nyonya dalam busana malam, ratu-ratu kencantikan di pantai, tangan dan betis yang telanjang, adegan ciuman, adegan kaum wanita melakukan senam. Selanjutnya tiap adegan yang ada pisau (kecuali pisau dapur) di gunting, tiappencurian rumah ditolak. Adegan-adegan pemberontakan digunting tanpa ampun. Jelaslah sensor Hindia Belanda terutama melihat bahaya dalam pelecehan gengsi orang Eropa dan terutama wanita Eropa. Yang pasti film tidka boleh menimbullkan dorongan dan kecendrungan memberontak dan melakukan tindakan kekerasan pada penduduk pribumi.44

Sejak saat itu lembaga sensor dianggap momok, soal judul juga disensor. Film lari ka arab (1930) tadinya berjudul Lari ka Mekah (ka=ke). Soalnya Mekah adalah kota suci orang Islam. Begitu pula dengan Kartinah (1940) dari The Teng Chun (1902-1977) semula adalah kartini.45

Tahun 1942 Pemerintah Militer jepang mengubah Komisi Film (de Film Commissie) menjadi Hodohan Nippon Sidosho (Pusat Kebudayaan dan Propaganda Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia). Lembaga ini anatarta lain berfungsi sebagai lembaga peneyensoran terhadap pemutaran film-film produksi Jepang. Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) sensor amat ketat. Perusahaan

44

Rosihan Anwar, Sensor Film di Zaman Penjajahan. Suara Karya, Sinematek Indonesia, 24 Agustus 1992.

45

(41)

film swasta ditutup, peralatannya disita. Pembikinan film (propaganda) dikuasai penuh oleh Jepang, biar sandiwara digalakan, dengan pemainnya kebanyakan orang-orang film tapi naskah harus tertulis dan diperiksakan dulu ke pihak yang berwajib.46

Pada 5 September 1946, setahun setelah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pemerintah republik Indonesia membentuk Komisi Pemeriksaan Film, sebulan kemudian dirumuskan garis-garis besar dan wewenang badan sensor dengan ketentuan Kewajiban Badan Sensor ialah menyensor segala macam penerbitan, siaran, percetakan, poster, plakat, semboyan, potret, klise, sandiwara, surat dengan perantaraan pos dan kawat, dan pembicaraan-pembicaraan dengan perantaraan telepon.47

Pada 21 Maret 1950 dibentuk Panitia Pengawas Film (PPF), dengan anggota sebanyak 32 orang, dan berada di bawah Kementriaan (Departemen) Dalam Negeri. Selanjutnya pada 28 November 1951 dipindahkan ke Kementriaan Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (PP dan K) lewat peraturan pemerintah (PP) No. 23/1951. Selanjutnya melalui Penpres No.1 (5 Maret) 1964, PPF berada di bawah Kementriaan (Departemen) Penerangan. Hal itu dipertegas melalui SK Menpen No.46 (21 Mei) 1965, dan diberi nama Badan Sensor Film (BSF).

Dalam Bab IX Tentang Ketentuan Peralihan, disebutkan pasal 17 hal-hal yang tidak diatur dengan tegas oleh peratutan ini diselesaikan dengan berpedoman

46

M Sarief Arief, Manimbang Kahariady, Yayan Hadiyat, Permasalahan Sensor dan Pertanggungjawaban Etika Produksi, BP2N, 1997, hal 95.

47

(42)

kepada film Ordonantie 1940 dan lain-lain peraturan tersendiri, sementara menunggu adanya Undang-undang Perfilman. Dengan begitu Ordonansi 1940 masih merupakan landasan hukum yang dipergunakan untuk kebijakan sensor film di Indonesia.48

BSF berada dalam lingkungan Departemen Penerangan sepanjang periode 1993-1995. Pada periode tersebut, lahir UU No.8/1992 tentang Perfilman dimana disebutkan lembaga sensor film tidak lagi BSF melainkan berubah menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) dengan anggota diangkat berdasar Keputusan Presiden yang mulai berlaku 1995. Pada tahun 1999 ketika Departemen Penerangan dibubarkan oleh pemerintahan pimpinan Presiden Abdurrachman Wahid. LSF ditempatkan dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, selanjutnya pada tahun 2000 ditempatkan di lingkungan Kementriaan Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005 sampai sekarang dan LSF tetap berada di lingkungannya.

Dasar hukum pemberlakuan sensor film di Indonesia yang sekarang ini, tertuang dalam Bab V tentang Sensor Film UU No. 8 tahun 1992 tentang perfilman, meliputi pasal 33 dan pasal 34. Lalu ada hasil revisi yang terbaru pada UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman. Sedangkan mengenai Lembaga Sensor Film sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyensoran, dasar hukumnya adalah peraturan pemerintah Nomor 7 tahun 1994. Diuraikan disana bahwa

48

(43)

Lembaga Sensor Film adalah lembaga non struktural yang dibentuk pemeintah yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.49

3. Visi dan Misi Lembaga Sensor Film

Lembaga Sensor Film memiliki visi "Meningkatkan daya saring informasi masyarakat Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan tata nilai budaya bangsa". Sedangkan misinya ialah (a) Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan penayangan film dan reklame film, (b) Bersama Lembaga dan Pihak Terkait menjadi "Garda Budaya Bangsa" memasuki era perubahan yang tetap menghargai nilai-nilai moral dan budaya, (c) Menjembatani keanekaragaman pandangan budaya untuk menciptakan persepsi yang sama demi kesatuan dan persatuan bangsa.

4. Fungsi,tugas,dan wewenang Lembaga Sensor Film

Lembaga Sensor Film mempunyai fungsi: (a) Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia, (b) Memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam perfilman di Indonesia, (c) Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukan, dan/atau ditayangkan dan menganalisis, (d) Hasil daripada pemantauan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya dan/atau

49

(44)

disampaikan kepada Menteri sebagai bahan pengambilan keputusan kearah pengembangan perfilman Indonesia.

Tugas Lembaga Sensor Film : (a)Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukan dan/atau ditayangkan kepada umum, (b) Meneliti tema,gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film yang akan diedarkan, dipertunjukan dan/atau ditayangkan, (c)Meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspoe, dipertunjukan dan/atau ditayangkan kepada umum.

(45)

5. Struktur organisasi Lembaga Sensor Film

Anggota Lembaga Sensor Film jumlahnya 45 orang, berasal dari wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil-wakil-wakil unsur masyarakat, dengan komposisi sekarang ini (periode 2008 s/d 2012) sebanyak 16 orang atau 35,5% adalah unsur pemerintah, sedangkan 29 orang atau 65,5% adalah unsur masyarakat. Mereka diusulkan oleh Menteri yang membawahi perfilman, sekarang ini adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Anggota Lembaga Sensor Film diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, mempunyai masa kerja tiga tahun dalam satu periode bisa diangkat kembali pada periode berikutnya.

Syarat-syarat untuk menjadi anggota Lembaga Sensor Film sesuai pasal 11 PP No 7 tahun 1994 adalah : (a) warga negara Indonesia yang telah berusia 25 tahun, (b) setia kepada Pancasila dan UUD 1945, (c) memahami sepenuhnya dasar,arah dan tujuan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No 8 tahun 1992 tentang Perfilman, (d) memiliki kecakapan dan pengalaman dalam ruang lingkup tugas unsur yang diwakilinya, serta mempunyai wawasan di bidang perfilman, (e) dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh rasa tanggung jawab, (f) tidak merangkap sebagai anggota Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

(46)

Ketua/Wakil Ketua), ketua dan wakil ketua Lembaga Sensor Film dipilih oleh seluruh anggota Lembaga Sensor Film di antara anggota Lembaga Sensor Film yang tidak menduduki jabatan di pemerintahan.

6. Program kerja Lembaga Sensor Film

Penyelengaaran program kerja sensor film oleh Lembaga Sensor Film selain didasarkna pada Undang-undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, saat ini juga mengacu pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM. 34/UM-001/MKP/05 tentang program kerja serta tata kerja Lembaga Sensor Film yang dilengkapi dengan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM. 46/OT.001/MKP/2004 tentang organisasi serta Sekretariat Lembaga Sensor Film.

7. Mekanisme Administrasi Penyensoran

(47)

8. Pedoman&Kriteria Penyensoran

LSF bekerja berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film, yang antara lain mencantumkan Pedoman Penyensoran dan Kriteria Penyensoran. Apabila kriteria ini diikuti pasti tidak akan ditolak dan dipotong. Dengan demikian insan film tak akan merasa dipasung kreatifitasnya. Para insan film diharapkan melakukan swa sensor sebagaimana masyarakat juga menumbuhkan swa sensor atau daya saring. Sebab apabila para pihak sudah mempunyai daya saring, tentu tak perlu lagi ada Lembaga Sensor Film, sebagaimana yang dimimpikan oleh sineas muda yang merasa kreatifitasnya terbelenggu. Semuanya menginginkan film Indonesia yang berbudaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, pedoman Penyensoran dan Kriteria Penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, dilaksanakan oleh para anggota LSF dengan penuh rasa tanggung jawab dan memperhatikan sifat kontekstual sebuah film, kemajuan teknologi serta perkembangan tata nilai di dalam masyarakat.

Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film terutama mengenai pedoman serta kriteria penyensoran. Penyensoran dilakukan dengan memeriksa dan meneliti film dan reklame film dari segi-segi : (a) Keagamaan,

(b) Pendidikan, (c) Sosial Budaya, (d) Politik dan Keamanan, (e) Ketertiban Umum.

Unsur-unsur film dan reklame film yang dinilai dari segi Keagamaan

(48)
(49)

timbulnya ketegangan sosial politik atau yang dapat melemahkan Ketahanan Nasional dan/atau merugikan kepentingan nasional, (e) yang mendiskreditkan Pemerintah dan/atau mendorong perlawanan terhadap Pemerintah sehingga dapat menimbulkan gangguan keamanan. Unsur-unsur film dan reklame film yang dinilai dari segi Ketertiban Umum, adalah : (a) yang mempertontonkan adegan-adegan kejahatan yang mengandung : modus operandi kejahatan secara rinci dan mudah menimbulkan rangsangan untuk menirunya, dorongan kepada penonton untuk bersimpati terhadap pelaku kejahatan dan kejahatan itu sendiri atau kemenangan kejahatan atas keadilan dan kebenaran, (b) yang memperlihatkan kekejaman dan kekerasan secara berlebih-lebihan, (c) yang menitik beratkan cerita dan/atau adegan sensual, erotis, senggama dan permasalahan seks semata-mata, (d) yang dapat mendorong sentimen kesukuan, keagamaan, asal keturunan dan antar-golongan (SARA), (e) yang menggambarkan dan membenarkan penyalahgunaan dan/atau kenikmatan narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, (f) yang mengandung hasutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Pedoman dan Kriteria Penyensoran diterapkan secara menyeluruh terhadap judul, tema, penyajian visual, penyajian audio dan materi reklame film.

9. Tata tertib dalam penyensoran

(50)

beranggotakan 22 orang dan Komisi B beranggotakan 21 orang, namum tugas komisi-komisi ini sebenarnya adalah tugas tambahan. Komisi A bertugas melakukan pematauan, regulasi dan advokasi. Komisi B bertugas melakukan pemantauan, sosialisasi dan evaluasi.

10.Tarif biaya penyensoran

No JENIS PENERIMAAN SATUAN TARIF

(51)

B. FILM-FILM ISLAM 1. Ayat-ayat Cinta

Judul Film : Ayat-Ayat Cinta (2007), Genre : Drama/Romance/Religious., Sutradara : Hanung Bramantyo, Skenario : Salman Aristo & Ginatri Noer, Produksi : MD Pictures, Pemain : Fedi Nuril, Rianty Cartwright, Carissa Putri, Zaskia Adya Mecca, Melanie Putria, Durasi : 119 min. Sinopsis : Ayat-Ayat Cinta merupakan drama cinta religius yang diadaptasi dari karya Habiburrahman El Shirazy ini merupakan novel fenomenal. Selanjutnya, novel yang bernuansa religius ini menjadi book seller lewat penjualan novelnya sebanyak 500.000 eksemplar. Dan, kisahnya sendiri banyak menginspirasi remaja muslim di Indonesia. MD Pictures pun memberi kepercayaan kepada sutradara muda, Hanung Bramantyo untuk mengadaptasi kisah novel ini ke layar lebar.

(52)

setengah dari agamanya. Selama ini perempuan yang lebih dikenal Fahri secara dekat, hanyalah ibu dan adik perempuannya. Namun untuk mencari tambatan hatinya itu Fahri belum dapat menyempatkan waktunya. Mengingat, kehidupan Fahri yang kerap diliputi perencanaan. Keluarganya telah banyak berkorban, nyaris segalanya. Agar dia bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan baik. Biaya selama kuliahnya di Al-Azhar, Kairo, diperoleh dari hasil menjual sawah warisan kakeknya. Selanjutnya, dikisahkan tentang pertemuannya dengan beberapa perempuan selama ia menempuh studinya di Al-Azhar Kairo, ada Maria Girgis (Carissa Putri) seorang gadis Mesir beragama Kristen Koptik dan berperilaku amat Islami, senang dan hafal membaca Al-Qur‟an, khususnya, Surat Maryam dan Al-Maidah. Lalu, ada Nurul (Melanie Putri), seorang mahasiswi Indonesia yang juga belajar di Al-Azhar. Pintar, baik hati, cantik, sibuk menjadi ketua Wihdah. Namun, masih mau mengajar anak-anak belajar membaca Al-Qur‟an, terlebih lagi Nurul adalah putri tunggal seorang Kyai pengasuh pesantren

(53)

Metro. Fahri berupaya menolongnya dari amukan warga Mesir lantaran gadis cantik berdarah Turki – Jerman yang bercadar ini, sekaligus pemilik mata lentik ini, tak tega dan memberikan kursinya kepada dua orang turis perempuan warga negara Amerika Serikat yang lelah dan kepanasan. Sedangkan penumpang lainnya, menganggap, sudah waktunya, mereka memberikan pelajaran bagi turis AS itu, atas apa yang dilakukan negaranya terhadap negara Islam seperti, Palestina, Irak dan Afghanistan.

Sejak awal rencana pembuatan film ini para penggemar fanatik novel AAC tidak yakin Hanung dapat membuat film ini sebagus novelnya. Bahkan Kang Abik tak berharap banyak atas hasil akhir film adaptasi dari novelnya, karena imajinasi tulisan jauh lebih luas daripada imajinasi visual. Banyak juga yang beranggapan Zaskia tidak cocok berperan sebagai Noura, tapi lebih sesuai sebagai Nurul.

(54)

Satu lagi yang paling mengganjal adalah kemampuan orang-orang Mesir dalam memahami dan berbicara bahasa Indonesia. Film yang bersetting di Mesir ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Saat menontonnya tak ayal ingatan jatuh ke film James Bond tahun 1970-an yang mana orang-orang Uni Soviet sangat fasih berbahasa Inggris.

Meski demikian, sekali lagi, Hanung menunjukkan kualitas tangan dinginnya dalam membesut film untuk kalangan anak muda. Meski ada beberapa yang berbeda dengan novelnya, namun penceritaan Hanung sangat baik, khas anak muda, serta mudah diikuti bagi yang belum pernah baca novelnya. Beberapa penambahan, seperti adegan pemukulan Fahri di Metro, kisah tabrak lari Maria, justru menambah greget dan menambal 'lubang' dari novel Kang Abik.

Prestasi film Ayat-Ayat Cinta yang di sutradarai sineas muda asal Yogyakarta, Hanung Bramantyo menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Penyerahan Rekor untuk film AAC diselenggarakan di Batam, dalam acara nonton bareng AAC bersama 1.000 orang pelancong asal Singapura dan Malaysia di Studio XXI, Mega Mall Batam Centre. Penyerahan rekor ini merupakan bagian dari penyelenggaraan event visit Indonesia 2008.50 Museum Rekor Indonesia memberikan penghargaan kepada fim yang ditulis Habiburahman El Sirazy dalam novelnya itu, karena dianggap sebagai karya sineas, Ayat-Ayat Cinta mampu menyedot penonton sampai bulan Mei 2008 sebanyak 3,8 juta orang di Indonesia. Angka tersebut belum termasuk angka penjualan CD dan VCD. Film

50

(55)

Ayat-ayat Cinta juga meraih penghargaan sebagai Film Terpuji versi Festival Film Bandung 2008. Selain sebagai Film dan Sutradara Terpuji, Film Ayat-ayat Cinta juga meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terpuji dan Penata Musik Terpuji. Penghargaan ini jatuh pada aktor Fedi Nuril yang bermain sebagai Fahri dan Tya Subiakto sebagai penata musik film Ayat-ayat Cinta.51

2. Ketika Cinta Bertasbih 1&2

Jenis Film : Drama, Produser :Mitzy Christina, Cindy Christina, Produksi : Sinemart Pictures, Cast & CrewPemain :Kholidi Asadil Alam, Oki Setiana Dewi, Alice Sofie Norin, Andi Arsyil Rahman, Meyda Safira, H. Deddy Mizwar, Niniek L Karim, Dude Harlino, Asmirandah, Aspar Paturusi, Neno Warisman, Nungki Kusumawati, Sutradara : Chaerul Umam, Penulis : Imam Tantowi

Cerita film ketika cinta bertasbih ini merupakan adopsi dari novel dengan judul yang sama karangan dari novelis Habibburahman El Shirazy, dimana proses audisi untuk film ketika cinta bertasbih ini sudah dilakukan sejak sekitar satu tahun yang lalu

Ketika Cinta Bertasbih berfokus pada perjalanan tokoh Khairul Azzam (M. Kholidi Asadil Alam), seorang mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al Azhar Kairo-Mesir. Kuliahnya tertunda selama 9 tahun setelah ayahnya meninggal dunia. Maka demi menghidupi dirinya dan keluarganya di Solo, Azzam berdagang bakso dan tempe di Kairo-Mesir. Dari pekerjaan yang dijalaninya, Azzam menjadi terkenal di kalangan KBRI di Kairo, dan

51

(56)

mempertemukannya dengan Eliana (Alice Sofie Norin), gadis cantik nan modern, putri Dubes RI di Mesir.

Kehidupan dan kisah cinta Azzam yang berliku tidak sekedar memberikan pencerahan jiwa, namun mengajak penonton untuk lebih mendalami rahasia Illahi dan memaknai cinta. Kehadiran Anna (Oki Setiana Dewi), seorang wanita Islami yang menggoda hati Azzam menjadi unsur yang mengikat keduanya dalam sebuah misteri cinta yang seolah tak berujung. Dikemas dengan manis dalam sudut pandang yang sangat berbeda dari film-film drama romantis pada umumnya. Peran adiknya bernama Husna (Meyda Sefira), serta Furqan (Andi Arsyil) teman kuliahnya yang juga berasal dari Indonesia dan terinfeksi AIDS merangkum perjalanan hidup Azzam menjadi sebuah cerita yang sangat bernilai.

Film ini juga didukung oleh belasan artis kawakan senior papan atas, seperti Deddy Mizwar, Didi Petet, Slamet Rahardjo, Ninik L Karim, Nungki Kusumastuti, bahkan sastrawan-Taufik Ismail pun muncul sebagai cameo. Ilustrasi musik dan soundtrack ditangani oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Tak ketinggalan Krisdayanti ikut tampil sebagai salah satu pengisi album soundtrack Mega Film Ketika Cinta Bertasbih.

Gambar

gambar dari lokasi sebenarnya di Kairo, Mesir. Syuting dilakukan sejak Oktober

Referensi

Dokumen terkait

Usaha budidaya kambing perah di wilayah Malang Raya saat ini, masih dilakukan secara tradisional yaitu mengandalkan hijauan ramban dengan berbagai kendala antara

Pendidikan kesehatan tentang faktor risiko DM tipe 2 dengan media audio visual efektif meningkatkan persepsi remaja yang ditunjukkan terdapat perbedaan peningkatan

Untuk menentukan tingkat kekuatan kayu berdasarkan pada kuat lentur, kuat tekan Untuk menentukan tingkat kekuatan kayu berdasarkan pada kuat lentur, kuat tekan dan berat jenis

Untuk mengetahui dan menganalisis kecerdasan emosional terhadap kinerja karyawan UPT Puskesmas Ponggok Kabupaten Blitar berpengaruh secara simultan sebagai

Kontak Kwalifikasi pemburu Tartihy Inf terpusat Tar Bintal TNI AD Suspa Jarah 02. Bati Urpam Tuud

Setelah mempelajari seluruh dokumen dan bukti-bukti secara mendalam, Majelis Komisi menemukan bahwa tidak ditemukannya hubungan secara langsung antara PKS dengan ditetapkannya PT

dilakukan penelitian yang menguji hubungan tingkat pengetahuan siswa tentang mangrove dan keterampilan proses sains siswa dalam pembelajaran ekosistem terhadap

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,