• Tidak ada hasil yang ditemukan

CEPU Analisis Hubungan Pemberlakuan Jasu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CEPU Analisis Hubungan Pemberlakuan Jasu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kriminalitas berkembang dengan sangat pesat, baik secara jumlah atau jenisnya. Kriminal adalah segala macam aktivitas / perbuatan yang ditentang masyarakat karena melanggar hukum, social dan agama serta merugikan baik secara psikologis maupun ekonomis (Kartono : 1999). Salah satu tindak kriminal yang marak terjadi adalah korupsi. Tidakan ini disebabkan oleh banyak factor. Salah satunya adalah tidak diterapkannya sikap jujur sejak masih di tingkat pendidikan formal (SD, SMP, SMA). Contohnya ketika ulangan, beberapa anak akan melakukan segala hal agar nilainya memuaskan, salah satu caranya adalah dengan mencontek. Secara sadar atau tidak, mencontek merupakan hal yang mengikis sikap kejujuran.

Dewasa ini, kasus korupsi semakin sulit terungkap karena ada oknum yang menutupi kasus ini. Oleh karena itu, sikap berani mengungkapkan kebenaran menjadi sangat penting sebagai pondasi awal pencegahan korupsi yang semakin marak terjadi. Penerapan sikap berani benar ini harus ditanamkan sejak masih di tingkat pendidikan formal ( SD, SMP, SMA). Salah satu cara penerapan sikap berani menyatakan kebenaran ini adalah dengan diberlakukannya sistem ‘jasus’ atau mata-mata. System ini bertujuan agar siswa menerapkan sikap berani menyatakan benar baik kepada diri sendiri, maupun teman.

Namun pada kenyataannya, dengan diberkalukannya system ‘jasus’ ini justru menimbulkan masalah baru yaitu rusaknya pertemanan antara Si ‘Jasus’ dengan temannya. Pasalnya, remaja acap kali menganggap pertemanan sebagai hal yang memiliki komitmen untuk saling setia dan tidak saling menipu.. Namun jika salah satu temannya menjadi ‘jasus’ maka rusaklah pertemanan tersebut di karenakan system kerja ‘jasus’ adalah mencari kesalahan orang-orang disekitarnya dan melaporkannya kepada pihak sekolah.

(3)

pertemanan menjadi semakin merenggang. Hal ini di karenakan sample merasa terkhianati dan tidak dapat menerima apabila pelaku membeberkan kesalahannya. Jika di tinjau berdasarkan sikap berani mengungkapkan kebenaran, pelaku tidaklah bersalah karena memang sikap itulah yang semestinya dilakukan apabila melihat kesalahan. Namun, sample tidak suka apabila setiap yang ia lakukan (meski kesalahan kecil sekalipun) di laporkan kepada pihak sekolah. Akibatnya, sample kerap kali menjauhi pelaku bahkan menggunjingnya dengan motif tidak terima atas perbuatan pelaku (jasus). Hal tersebutlah yang membuat pertemanan sample dengan pelaku yang awalnya behubungan baik menjadi merenggang.

Berdasarkan uraian diatas, pemberlakuan ‘jasus’ dinilai kurang efektif sebagai salah satu cara penerapan sikap berani mengungkapkan kebenaran karena system ini justru merusak pertemanan. Untuk mengungkap hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh diberlakukannya sistem jasus terhadap tingkat kedekatan pertemanan.

B. Rumusan Masalah

Pemasalah yang diangkat berdasarkan latar belakang diatas adalah:

1. Bagaimana tingkat kedekatan pertemanan antara pelaku ‘jasus’ dengan teman-temannya?

2. Bagaimana efektifitas pemberlakuan ‘jasus’ terhadap penanaman sikap berani mengungkapkan kebenaran?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui tingkat kedekatan pertemanan antara pelaku ‘jasus’ dengan teman-temannya.

(4)

D. Hipotesis

Ha : pemberlakuan ‘jasus’ berpengaruh terhadap tingkat kedekatan pertemanan antara pelaku ‘jasus’ dengan teman-temannya.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan teori.

2.1.1.Jasus

Definisi serta maksud dari kata Jasus menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yg bertugas menyelidiki keadaan musuh; mata-mata. Namun, dalam konteks penelitian yang penulis lakukan jasus disini memiliki makna seseorang (pelajar) yang diberikan mandat oleh pihak sekolah untuk memata-matai serta mengawasi pelanggaran yang dilakukaan oleh sesama pelajar lainnya. Adapun tujuan dari jasus sendiri ialah untuk menciptakan lingkungan sekolah yang disiplin dan membentuk jiwa berani mengungkapkan kebenaran disekolah.

2.1.2. Sistem Jasus Di sekolah

Sistematisasi teknik-teknik dan metode disiplin yang alat, sarana, dan medianya adalah siswa-siswi itu sendiri dinamakan sistem jasus. (Arifianto,2009). Jasus merupakan sebuah metode yang unik untuk menegakkan hukum dan disiplin. System jasus ini banyak digunakan oleh sekolah-sekolah yang berbasis boarding school, ataupun asrama. Adapun metode teknisnya ialah apabila ada seorang murid melakukan kesalahan maka dia akan mendapatkan hukuman, dan keesokan harinya dia akan mendapatkan tugas menjadi jasus. Orang yang ditugaskan menjadi jasus ini wajib melaporkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh temannya. Dan secara otomatis pula, teman yang diadukan oleh jasus ini akan mendapatkan hukuman sesuai dengan level pelanggaran yang dilakukan. Selanjutnya, Orang yang diadukan inipun nantinya akan menjadi jasus serta wajib melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh temannya yang lain, begitu seterusnya.

Jasus sendiri memiliki berbagai dampak positif dalam sistematikanya. Antaralain :

(6)

3. Mendewasakan mental para siswanya.

4. Menjadikan siswa lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan yang telah ia lakukan.

5. Berpengaruh untuk masyarakat, bangsa, dan Negara dalam prosfek kedepannya (memberantas korupsi dll.)

Namun, terlepas dari dampak positif yang dimiliki jasus, penulis mendapatkan sebuah fakta menarik bahwa dengan diberlakukannya system ‘jasus’ ini dapat menimbulkan suatu masalah baru yaitu rusaknya pertemanan antara Si ‘Jasus’ dengan temannya. Pasalnya, remaja acap kali menganggap pertemanan sebagai suatu hubungan yang mengharuskan komitmen untuk saling setia dan tidak saling menipu. Namun jika salah satu temannya menjadi ‘jasus’ maka secara otomatis hal ini dapat merusak pertemanan diantara keduanya. Hal ini dikarenakan system kerja ‘jasus’ ini mewajibkan jasus tersebut mencari kesalahan orang-orang disekitarnya dan melaporkannya kepada pihak sekolah.

2.1.3. pertemanan/persahabatan

Persahabatan adalah hubungan dimana dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi, dan menyediakan dukungan emosional. (Baron & Bryne, 2006).Teman dekat didefinisikan sebagai seseorang untuk berbicara, untuk bergantung, dan menyandarkan diri untuk mendapatkan pertolongan, dukungan, dan kepedulian, dan bersenang-senang dalam melakukan sesuatu (Rawlins, dalam Tillmann-Healy, 2003).

(7)

2.1.4. Perkembangan Persahabatan

Pada anak usia di bawah 8 tahun, prinsip dasar untuk persahabatan adalah common activity (aktivitas bersama), dimana anak-anak memandang teman adalah seseorang yang menyukai mereka dan senang dengan aktivitas bermain yang sama. Pada anak usia 8-10 tahun, sudah ada kemampuan role-taking skill (keahlian mengambil peran), mulai melihat teman sebagai individu yang mempunyai psikologis yang mirip dengannya, dapat dipercaya, setia, baik, kooperatif, dan sensitif terhadap perasaan dan kebutuhan satu sama lain (Berndt dalam Shaffer, 2005). Walaupun pemikiran mengenai kesetiaan dan atribut psikologis yang sama yang ditunjukkan kepada teman juga terdapat pada remaja, tapi konsepsi remaja mengenai persahabatan lebih fokus pada reciprocal emotional commitment (saling berkomitmen secara emosional). Teman dipandang sebagai teman karib yang benar-benar memahami kekuatan satu sama lain, dapat menerima kelemahan satu sama lain, dan bersedia berbagi pemikiran dan perasaan mereka (Hartup dalam Shaffer, 2005).

Pada remaja, yang ditekankan adalah kesetiaan mereka dalam persahabatan. Mereka percaya bahwa teman harus membela satu sama lain dan teman tidak boleh menipu atau meninggalkan satu sama lain. Penekanan pada kesetiaan dalam persahabatan remaja nampaknya juga sejalan dengan penekanan pada keakraban dimana jika teman tidak setia, remaja merasa takut akan terhina karena pemikiran dan perasaan karib mereka akan diketahui oleh banyak orang. Munculnya keakraban dalam persahabatan remaja menunjukkan bahwa teman adalah sumber dari dukungan sosial dan emosi (Kail & Cavanaugh, 2000).

2.1.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persahabatan

(8)

gambaran bahwa persahabatan mempunyai ciri- ciri positif dan negatif sekaligus (Bukowski, Newcomb, & Hartup)

Berikut ini adalah aspek dari kualitas persahabatan (Bukowski dalam Cillesses, Jiang, West, Laszkowski, 2005):

1. Companionship. Menghabiskan waktu bersama antar sahabat.

2. Conflict. Seseorang berselisih dan berargumen dengan temannya, mereka merasa jengkel satu sama lain dan ada ketidaksepakatan dalam hubungan persahabatan mereka.

3. Help/aid. Saling membantu, menolong dan melindungi.

4. Security. Kepercayaan bahwa mereka dapat mempercayai, bersandar pada temannya. 5. Closeness. Perasaan kasih sayang atau pengalaman spesial yang dialami olah

seseorang dengan temannya dan memperkuat ikatan orang tersebut dengan temannya.

2.2.Hasil Penelitian Terdahulu Yang Relevan.

2.2.1. Efektivitas Tata Tertib Sekolah dalam Rangka Penegakkan Disiplin Siswa.

Hasil penelitian Ardiani (2010) studi kasus siswa SMA Negri di kota Malang ini menunjukkan bahwa latar belakang dibentuknya tata tertib sekolah antara lain adalah untuk memberikan kenyamanan dalam lingkungan sekolah, agar siswa tidak bertindak semaunya sendiri, agar siswa disiplin terutama dilingkungan sekolah, dan mengatur ketertiban siswa terutama dalam proses belajar mengajar guna mencapai mutu pembelajaran yang optimal. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh siswa adalah aspek kerajinan, kerapian, dan kelakuan.

alasan mengapa siswa melanggar tata tertib antara lain adalah pengaruh dari teman, bangun kesiangan, macet, pengaruh dari media massa (televisi), masalah keluarga, kurang dukungan dari orang tua siswa, pemberian sanksi yang belum sesuai dengan ketentuan yang ada, sanksi pada pelanggaran ini dianggap kecil oleh siswa.

(9)

efektif untuk membentuk kedisiplinan siswa. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya jumlah siswa yang melangar tata tertib sekolah.

2.2.2. Penegakkan Kedisiplinan dalam Rangka Implementasi Pendidikan Karakter Siswa Di Sekolah.

Hasil penelitian Hastuti (2014) studi kasus SMP Negri Tawang Sari ini menunjukkan bahwa penegakkan kedisiplinan dalam rangka implementasi pendidikan karakter siswa di sekolah beraneka ragam bentukya. Bentuk pelanggaran kedisiplinan yang sering dilakukan siswa berupa pelanggaran terhadap peraturan tata tertib sekolah, siswa tidak memakai seragam sesuai ketentuan (44,8%), terlambat masuk sekolah (43,07%), tidak masuk tanpa keterangan (23,6%), terlambat masuk sekolah (36,5%), tidak mengumpulkan tugas mata pelajaran (25,7%), tidak membawa buku saku ((31,4%), membawa Hp kesekolah (26,9%). Adapun Upaya penegakan kedisiplinan dalam rangka implementasi pendidikan karakter siswa diantaranya memanggil wali murid kesekolah, dan mendapat teguran dan hukuman dari pihak sekolah.

Kendala dalam penegakan kedisiplinan dalam rangka pendidikan karakter siswa disekolah antara lain karena banyaknya siswa yang melanggar kedisiplinan dan peraturan sekolah, dalam penanganan belum ada prosedur yang tepat untuk menangani bentuk-bentuk pelanggaran kedisiplinan siswa, guru kurang memahami karakteristik siswanya, kurangnya komunikasi antara guru dan siswa, guru dalam menangani pelanggaran kedisiplin berbeda-beda.

Solusi yang dilakukan sekolah dalam rangka penegakan kedisiplinan siswa adalah Guru harus lebih tegas dalam menerapkan peraturan dan kedisiplinan. Apabila ada siswa yang melanggar peraturan harus dikenakan sanksi.Guru harus memahami karakteristik siswanya. Sosialisasi antara guru dan siswa harus terjalin dengan baik. Setiap hari senin sekolah mengadakan upacara rutin dengan tujuan agar siswa lebih disiplin. Diadakan razia setiap setengah bulan sekali.

2.2.3. Hubungan Antara Kualitas Persahabatan Dengan Privasi Pada Remaja Akhir.

(10)
(11)

BAB III

Metodologi 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitaif dengan model

One-Shot Case Study sebagai model eksperimennya. Kasus Pemberlakuan Jasus yang sudah diberlakukan sejak beberapa bulan terakhir di wilayah penelitian menjadi objek penelitian. Observasi dilakukan terhadap beberapa siswa yang dijadikan sampel.

(12)

3. Skema Penelitian

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/I SMAN CMBBS dengan jumlah keseluruhan 370 orang.

Sampel

Persia pa n Pe

Pengumpulan data Prapenelitian Penyebaran Angket

Penyusunan Makalah Kesimpulan

(13)

Sampel dalam penelitian ini adalah beberapa siswa dari tiap tingkatan kelas. Kelas yang dimaksud yaitu kelas 10 dengan jumlah 145 orang, kelas 11 dengan jumlah 124 orang, dan kelas 12 dengan jumlah 101 orang.

Teknik pengambilan sampel

Sampel diambil menggunakan teknik Proportionate Stratified Random Sampling. Sampel diambil Teknik ini dipilih dengan harapan agar dapat merepresentasikan fenomena yang sedang berlaku. Jumlah populasi yang diambil berjumlah 370, dengan menggunakan rumus slovin dan tingkat kesalah 5% maka jumlah sampel yang diambil adalah 192 orang.

Populasi dalam penelitian yang berstrata, maka perlu dihitung jumlah sampel tiap stratanya. Berikut adalah perhitungannya

Kelas 10 : 145/370 x 192 : 75 orang

Kelas 11 : 124/370 x 192 : 64 orang

Kelas 12 : 101/370 x 192 : 52 orang

5. Variabel

X : treatment yang diberikan (variabel independen)

O : Observasi (variabel dependen)

Variabel Independen

Penelitian ini berbentuk One-Shot Case Study maka untuk variabel independen adalah treatment/perlakuan yang diberikan. Dalam penelitian ini perlakuan yang diberikan adalah pemberlakuan jasus sebagai pelapor tindak kesalahan siswa.

(14)

Penelitian ini berbentuk One-Shot Case Study maka variabel dependen adalah observasi/pengamatan. Dalam penelitian ini, objek yang diamati adalah tingkat kedekatan pertemanan antar siswanya.

6. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia merespon (responden) sesuai dengan permintaan peneliti untuk mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah (Muhlisin Sidiq, 2012:62). Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup. Angket yang dibuat menggunakan skala Likert untuk pengukurannya. Diharapkan dengan model angket yang dibuat, responden dapat dengan leluasa mengisinya sehingga data yang didapat maksimal.

7. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode angket. Angket sebagai instrument penelitian yang telah disebar dan diisi oleh responden selanjutnya dikumpulkan untuk diolah. Pengumpulan data juga menggunakan obsrvasi tidak langsung yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Study of Literature), yaitu dengan mencari data-data dari sumber-sumber informasi, seperti buku bacaan, majalah, surat kabar, artikel ilmiah, maupun internet guna mencari data-data yang dibutuhkan dalam proses penelitian.

8. Teknik Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Untuk Desa Bori, terdapat 8 orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa

Berdasarkan hasil analisa dan standar baku air injeksi dengan parameter H 2 S, bakteri, dan scale index pada Outlet FWKO, Outlet Wash tank , Inlet Nusthell , dan

Teguh Budi Harsono, Prinsip Dan Strategi Pengajaran Bahasa , Surabaya: Lutfansyah Mediatama, 2004, p. Building English Skill , Evanston: Mc Dougales Little Company.. choice

go  public  yang  tergabung  dalam  JII  dengan  pendekatan  short 

Dari sisi analisis proportional shift atau pendekan pertumbuhan sektoral terdapat 12 sektro ekonomi yang memiliki pertumbuhan cepat yakni Sekor Pengadaan Listrik dan Gas,

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah rasio solvabilitas yang diproksikan oleh capital adequacy ratios ( CAR), dan rasio likuiditas

Data Dinperindagkop Kabupaten Banyumas (2014), menyebutkan bahwa Desa Rancamaya merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas yang sebagian

Sebelumnya pada pengumuman tersebut tertulis “ Kelompok Kerja Konsultan I ULP Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah mengundang Penyedia Barang/Jasa untuk