MAKALAH ILMU PENDIDIKAN
“SEJARAH PENDIDIKAN NASIONAL”
Disusun Oleh : KELOMPOK 2
Nur Aini (16304241018) Aniskya Risti Paramita (16304241023) Sonya Ambar Aji (16304241029) Imam Kusuma Dewi (16304244007) Linda Mierna (16304244025)
Pendidikan Biologi C
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan garis-hidup
bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditunjukan untuk keperluan
perkehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negeri dan
rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerja sama
dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh
dunia. ( Siswoyo, dkk, 2013 : 161 )
Pendidikan di Indonesia sudah berlangsung sebelum para penjajah
datang ke Indonesia. Baik pendidikan yang dilakukan dengan basis agama,
atau pendidikan yang dilakukan dengan basis kerajaan.Tetapi pendidikan
yang dilakukan belum seperti sistem pendidikan seperti sekarang ini yang
sudah terstruktur dan mempunyai landasan hukum yang jelas, yaitu UUD
RI 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003.
Masa penjajahan juga berpengaruh terhadap sejarah pendidikan di
Indonesia. Secara garis besar, sejarah pendidikan di Indonesia terbagi
atas sistem pendidikan di masa kerajaan, sistem pendidikan pra
kemerdekaan dan masa kemerdekaan. Sejarah Indonesia meliputi suatu
rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah
berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang
lalu. Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era,yaitu: Era
Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam
di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era
Kolonial, masuknya orangorang Eropa (terutama Belanda) yang
menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda
ke-20; Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32
tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta Era Reformasi yang berlangsung sampai sekarang. ( Hardiyanti, 2011)
B. Rumusan Masalah
Dibawah ini, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas,
antara lain:
1. Bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia pada masa kerajaan?
2. Bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia pada masa penjajahan
bangsa barat 350 tahun yang lalu ?
3. Bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia pada zaman penjajahan
jepang (1942-1945) ?
4. Bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia pada zaman pasca
kemerdekaan?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia pada masa
kerajaan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia pada masa
penjajahan bangsa barat 350 tahun yang lalu.
3. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia pada zaman
penjajahan jepang (1942-1945).
4. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan di Indonesia pada zaman pasca
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan Pada Masa Kerajaan
Sebelum Indonesia berkembang menjadi Nusantara, Indonesia diawali dengan adanya kerajaan-kerajaan. Baik kerajaan besar, maupun
kerajaan kecil. Kerajaan-kerajan tersebut tidak hanya memikirkan
bagaimana melakukan perluasan daerah dan bagaimana kerajaan
tersebut tetap berjaya. Akan tetapi, pendidikan dikalangan kawula
kerajaan khususnya dan rakyat biasa umumnya juga diperhatikan. Pada kerajaan Hindu dan Budha, pendidikan bisa dilihat dari berbagai
macam kitab, seperti kitab Negarakertagama yang menceritakan
sejarah Kerajaan Majapahit. Dengan adanya kitab ini artinya para
manusia pada zaman itu sudah mengenal huruf dan tulis menulis. Pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di nusantara
menunjukkan ke arah kemajuan yang cukup pesat karena hampir
disetiap daerah yang penduduknya beragama Islam berdiri masjid,
surau, langgar, rumah guru, rumah/perjamuan, pasar dan pesantren
yang berfungsi di samping sebagai tempat ibadah juga sebagai pusat
kegiatan Islam termasuk pendidikan.
Di kerajaan Islam, ada sesosok pemuka agama yang disebut Kyai, dalam pendidikan peran besar para kiyai yang telah banyak
meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan agama dan jiwa patriotisme
terhadap para murid-murid mereka serta pengaruh mereka yang luas
terhadap masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan pendidikan Islam di era ini tidak dapat dilepaskan dari peranan munculnya kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Seperti kerajaan
Samudera Pasai (1297), Kerajaan Aceh (1514), kerajaan Demak
kerajaan ini menurut Hasjimi dibuktikan ketika Iskandar Muda
berkuasa (1607 – 1636) di Aceh banyak didirikan lembaga pengajian. Dari fakta diatas, diketahui bahwa di Indonesia, pendidikan sudah
dijadikan keutamaan dan diperhatikan dengan baik sejak Nusantara
masih terbagi atas kerajaan kerajaan yang tersebar dari Sabang hingga
Merauke.
B. Pendidikan Pada Masa Penjajahan Bangsa Barat
Semasa zaman kolonial, menurut catatan sejarah di Nusantara ini telah
terdapat beragam sistem pendidikan, ada beberapa pendidikan pesantren
tradisional (pendidikan agama) juga sistem persekolahan yang dibawa
Belanda. Sampai awal abad ke-20 sistem persekolahan belum banyak
diminati di kalangan penduduk pribumi. Pemerintah kolonial Belanda
berusaha menata masyarakat penduduk pribumi untuk masuk dalam sistem
pendidikan barat.
Pada jaman kolonial barat, pendidikan hanya diberikan kepada para
penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk
memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan
hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro
tidak diragukan mutunya. Standar yang dipakai untuk mengukur kualitas
rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak
memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan
seperti pendidikan rakyat 3 tahun dan pendidikan rakyat 5 tahun.Model
pembelajaran yang digunakan pun juga model pembelajaran kolonial
Belanda. Model pembelajaran yang tidak melatih daya kritis peserta didik.
Model pembelajaran yang justru menjadikan peserta didik yang golongan
pribumi menjadi generasi inlander. Model pembelajaran yang digunakan
juga terjadi diskriminasi.
Penilaian pada masa kolonial hampir mirip seperti sekarang ini.
digunakan untuk apresiasi hasil yang diperolah adalah dari 0-10.
Instrumen tes tetap merupakan alat evaluasi yang utama. Dapat dikatakan
hanya pemberian tugas yang merupakan alat evaluasi tambahan. Memang
keadaan ini pun tidak berbeda dengan prinsipil dengan alat evaluasi yang
digunakan guru sekarang.Walaupun demikian guru belum mengenal
bentuk tes obyektif. Bentuk soal yang digunakan masih berupa uraian
(esai). Bentuk ini digunakan sampai pasca Indonesia merdeka dan terus
digunakan tanpa ada perubahan dalam bentuk sampai nantinya digunakan
bentuk tes obyektif.
Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa
tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan
memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa
mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa.
Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakana bahwa intelegensi bangsa
Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang
sama yang diberikan kepada semua anak bangsa.
Walaupun pendidikan sebelum kemerdekaan (masa kolonial
Belanda) begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di
Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme,
alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah
pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat
itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan
untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di
zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia
bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang
sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat
dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan
Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan
pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya
sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi
dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan
colonial. Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara
yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta
dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan
bangsanya.
Prinsip pendidikan di daerah kolonial sebagai berikut:
1. Pemerintah Kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2. Pendidikan diarahkan agar para tamatannya menjadi pencari kerja,
terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada
dalam masyarakat.
4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite-sosial Belanda.
5. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan Barat.
Bermula dari prinsip inilah pemerintah Hindia Belanda
menerapkan kebijakan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan
diutamakan pada anak- anak bangsawan bumi putera serta tokoh-tokoh
terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak mereka akan
menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda
untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa
Indonesia.
1. Zaman Portugis dan Spanyol.
Pada awal abad ke –16, negeri kita kedatangan bangsa Portugis, kemudian disusul oleh bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang
menyebarkan agama Katholik. Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang
pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik.
Demi kepentingan tersebut, tahun 1536 mereka mendirikan sekolah
(Seminarie) di Ternate, selain itu didirikan pula di Solor.
Kurikulum pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik, ditambah
pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan diberikan bagi
anak-anak masyarakat terkemuka. Pendidikan yang lebih tinggi
diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan Portugis di Asia.
Pemuda-pemuda yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik.
2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda.
Pendidikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali
dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC. VOC
menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan
(Protestan), bukan untuk misi intelektualitas. Adapun tujuan lainnya
adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di
pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di
daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah
disebarkan oleh bangsa Portugis. Sekolah pertama didirikan VOC di
Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah
berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah.
Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca
dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum
tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan
pasti. Murid-muridnya berasal dari anak- anak pegawai, sedangkan
anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk sekolah.
Pada awalnya yang menjadi guru pada masa ini adalah orang
Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka
yang sebelumnya telah dididik di Belanda. Selama kira-kira 200 tahun
berkuasa di negeri kita, pendidikan yang dilaksanakan VOC benar-benar
sangat sedikit sekali. Sampai tahun 1779 jumlah murid pada sekolah
orang, Makasar 50 orang, Timor 593 orang, Sumatera barat 37 orang,
Cirebon 6 orang, Banten 5 orang, Maluku 1057 orang, dan Ambon 3966
orang.
Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya
partisipasi pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya
hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari
golongan priyayi. kedua, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga
kerja murah atau pegawai rendahan. Lima ciri pendidikan zaman kolonial
Belanda, yaitu:
1. Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa Belanda
yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera;
2. Sistem Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan
dipolakan menurut pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di
satu pihak memberi efek menguntungkan, sebab penyelenggaran
pendidikan menjadi relatif sama, tetapi dipihak lain ada efek merugikan
dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera yang asing dengan
budaya dan bangsanya sendiri;
3. Sentralisasi pengelolaan pendidikan oleh pemerintahan kolonial
Belanda;
4. Menghambat gerakan nasional
5. Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional
(kemerdekaan).
Pada masa Pemerintahan Belanda Dalam politik pendidikannya,
Belanda tidak memperlihatkan demokratisasi di dalam pendidikan,
karena tidak semua orang diberi kesempatan mendapatkan pendidikan
yang sama. Sistemnya disebut Three tract system, yaitu:
1. Pendidikan untuk golongan bawahan atau rakyat jelata
2. Pendidikan untuk golongan atas yang disederajatkan dengan Belanda
3. Pendidikan untuk golongan bangsa Belanda, bangsa Eropa dan bangsa
Jadi Belanda tidak mendapatkan suatu sistem L‟ecole unique (suatu
sistem kesatuan/keseragama sekolah) dalam pendidikannya di
Indonesia. Bahkan menanamkan teori dichotomy atau trichotomi sosial,
yang terkenal dengan politik devide it impera pada rakyat Indonesia.
Dengan demikian nampaklah perbedaan yang tajam antara pekerja tangan
(biasanya rakyat jelata) sebagai pekerja rendahan dengan pekerja intelek,
dalam pekerja intelek (pegawai kantor) dianggap lebih tinggi dan dihargai
serta dianggap lebih mulia. Sistem “Oester LagerOnderwijs”(OLO)
memiliki jenis-jenis sekolah secara berturut-turut sebagai berikut:
1. Pada permulaan tahun 1850 didirikan sekolah kelas I yang
lamanya 5 tahun dan diperuntukkan bagi anak-anak dari
lingkungan pangreh praja dan ditempatkan di kota- kota
kerisidenan. Mata pelajaran yang dipelajari adalah membaca, menulis,
berhitung, dan lain-lain.
2. Pada akhir abad XIX didirikan sekolah kelas II yang lamanya 4 tahun dan
ditempatkan di kota-kota kabupaten. Pelajarannya yaitu, membaca,
menulis, dan bahasa pengantarnya yaitu bahasa daerah.
3. Pada tahun 1875 pemerintah Belanda mendirikan sekolah pamong praja
dan yang diterima menjadi murid-murid ialah lulusan sekolah kelas I.
4. Dalam permulaan abad ke XX (1900), ppemerintah Belanda
mulai menaruh perhatian yang lebih luas tentang pendidikan dan
pengajaran bagi rakyat Indonesia.
5. Maka pada tahun 1903, pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum atau
rakyat jelata diperluas dengan memperbanyak sekolah kelas II secara
perlahan-lahan. Kemudian diadakan peraturan mendirikan sekolah dasar
yang lamanya 3 tahun (kelas I, II, III).
6. Pada tahun 1907 sekolah kelas I dijadikan 6 tahun lamanya
dan diberikan pelajaran bahasa Belanda pada kelas III s/d VI
7. Sekolah kelas II yang dulunya hanya 4 tahun, dijadikan 5
8. Pada tahun 1914 juga didirikan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) yang merupakan sambungan dari HIS dan sekolah rendah
Belanda. 10. Pada tahun 1920 pemerintah menciptakan sekolah baru yang
disebut “Schake School”.
Dalam periode konsolidasi mengenai reaksi-reaksi terhadap
pendidikan dan pengajaran kolonial Belanda yaitu:
a. Pergerakan Budi Utomo
Beberapa orang terpelajar bangsa kita merasakan betul kemiskinan
bangsa kita baik lahir maupun batin, sehingga hal ini menyebabkan jiwa
mereka untuk berusaha mempertinggi derajat bangsanya. Pengambil
prakarsa ialah almarhum Dr.Wahidin Sudirohusudo. Almarhum
berkeliling di Pulau Jawa dan menemui orang-orang terkemuka untuk
membicarakan kemungkinan-kemungkinan mengadakan “studiefonds”, yang dapat memberi kesempatan kepada pemuda-pemuda untuk
melanjutkan pendidikan dan pengajaran yang lebih tinggi dan kelak
dapat bergerak untuk kemajuan bangsanya. Yayasan dan pergerakan
Dr.Wahidin Sudirohusudo ini diterima baik oleh siswa-siswa
STPOVIA (Sekolah Dokter Jawa), antara lain oleh; Dr.
Sutomo, Dr. Gunawan Mangunkusomo, Dr.Dr. Suradji, dll.
Perkumpulan ini ddirikan pada tanggal 20 Mei 1908 dalam lingkungan
STOVIA, dan diberi nama BUDI UTOMO. Dalam gerakannya BUDI
UTOMO selalu memperjuangkan perluasan pendidikan dan pengajaran
bagi masyarakat Indonesia. Tujuan didirikan sekolah-sekolah yaitu untuk
menghidupkan rasa kebangsaan, dan kecintaan kepada kebudayaan
sendiri, mempelajari kesenian sendiri, memelihara bahasa sendiri,
mempelajari kesusastraan sendiri, dan lain sebagainya.
b. Pergerakan Muhammadiyah
Bapak pimpinan Muhammadiyah ialah Bapak Kyai Ahmad Dahlan
ulama adalah tegas, ialah hendak memperbaiki masyarakat Indonesia
berlandaskan cita-cita agama Islam. Usaha- usahanya ditujukan kepada
perbaikan kehidupan rakyat dengan cara memperbaiki hidup beragama.
Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan cita-cita pendidikan dan
pengajarannya yang berdasarkan ajaran agama Islam dan Sunnah,
sehingga dapat membentuk manusia Muslim yang bermoral dari ajaran
Al-Quran dan Sunnah, dengan pemahaman secara luas, memiliki
individualitas yang bulat dalam arti adanya keseimbangan antara segi-segi
rohani dan jasmaninya dan bersikap positif terhadap persoalan
masyarakatnya.
c. Perguruan Nasional Taman Siswa
Bapak dari Perguruan Nasional Taman Siswa ini dilahirkan di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889, sebagai putra dari Pangeran Ario
Suryaningrat, atau sebagai cucu dari Pakualam III. Jadi Ki Hajar
Dewantoro yang nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat
adalah bangsawan dari Yogyakarta (Paku Alam). Meskipun putra seorang
bangsawan, tetapi selalu bergaul dengan-anak-anak rakyat jelata. Dasar
pendidikan didirikannya Taman Siswa pada tahun 1922, mempunyai
senjata ampuh yang terkenal dengan istilah “Non-Cooperation” dan “self
-help” atau Zelf-bedruipings System”. Non-Cooperation ialah sikap menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda. Self-help atau
Zelf-bedruipings System ialah sistem bersandar kepada kemampuan diri
sendiri, atau sistem membiayai diri sendiri dalam mengemudikan
Pendidikan Taman Siswa, yang menuju kepada pembangunan
perekonomian rakyat yang berdasarkan kooperasi serta pendidikan
rakyat yang berdasarkan kebangsaan. Selain mendirikan Taman siswa ini,
C. Pendidikan Pada Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945) 1. Landasan Idiil
Pada tahun 1940 rencana untuk mendirikan “Kemakmuran Bersama Asia Raya” telah dipublikasikan. Menurut rencana itu Jepang menjadi
pusat suatu lingkungan pengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, Daratan
Cina, Kepulauan Philipina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Indocina, dan
Asia (Rusia). Jepang akan menjadi pusat industri presisi. Mansyuria
dikembangkan menjadi daerah pertambangan industri berat, industri kimia,
sedangkan Cina dikembangkan menjadi industri ringan dan industri tekstil.
Rencana “Kemakmuran Bersama Asia Raya” dianggap sebagai suatu
keharusan, oleh kalangan militer diterima dan disambut dengan hangat
karena menjanjikan adanya prestise-prestise kepahlawanan dan
pengabdian.
Konkritnya landasan idiil pendidikan pada Jaman Pendudukan
Jepang yang disebut “Hakko Ichiu” adalah mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dengan bangsa Jepang dalam rangka mencapai “Kemakmuran Bersama Asia Raya”. Oleh karena itu setiap pelajar tiap hari harus
mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang. Kenyataannya bangsa
Indonesia menjadi miskin dan menderita demi untuk kepentingan perang
Jepang.
2. Tujuan Pendidikan
Dengan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia” Jepang menguasai
daerah yang berpenduduk 400 jiwa yang antara lain menghasilkan 50%
produksi karet dan 70% produksi timah dunia. Indonesia sebagai sumber
bahan mentah merupakan sasaran yang perlu dibina sebaik-baiknya untuk
kepentingan perang Jepang.
Tujuan pendidikan pada jaman pendudukan Jepang tidaklah banyak
dapat dikemukakan. Memenangkan perang adalah tujuan utama. Angkatan
Namun demikian hasilnya sangat luar biasa untuk Indonesia dikemudian
hari. Dalam hal ini ialah penggunaan bahasa Indonesia menjadi bahasa
pengantar resmi, baik di kantor maupun di sekolah. Bangsa Belanda diusir
dan ditawan sedangkan bahasa Belanda dilarang. Bahasa Jepang menjadi
bahasa kedua. Selama masa pendudukan inilah bahasa Indonesia
berkembang dan dipermodern sehingga menjadi bahasa pergaulan.
Konkritnya tujuan pendidikan pada jaman Jepang di Indonesia adalah
menyediakan tenaga-tenaga cuma-cuma “Romusha” dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu
pelajar-pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran, dan
indoktrinasi ketat. Pada akhir jaman Jepang terdapat tanda-tanda tujuan
pendidikan menjepangkan anak-anak Indonesia.
3. Sistem Persekolahan
Sistem persekolahan di jaman pendudukan Jepang banyak mengalami
perubahan karena sistem penggolongan baik menurut golongan bangsa
maupun status sosial dihapus. Dengan demikian terdapat integrasi terhadap
macam-macam sekolah yang sejenis. Waktu itu Sekolah Dasar
menggunakan istilah Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko), terbuka untuk
semua golongan penduduk. Lama pendidikannya 6 tahun. Sebagai
kelanjutannya adalah Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko)
dengan lama pendidikan 3 tahun dan Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu
Gakko) dengan lama pendidikan 3 tahun. Sekolah kejuruan menengah
yang ada ialah Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko) dan Sekolah Teknik
Menengah (Kogyo Semmon Gakko). Selain itu masih ada Sekolah
Pelayaran, Sekolah Pertanian di Tasikmalaya dan Malang. Lama
belajarnya 3 tahun. Untuk Perguruan Tinggi meliputi Sekolah Tinggi
Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Tehnik (Kogyo
Dai Gakko) di Bandung, Sekolah Tinggi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin)
di Jakarta, dan Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor. Jika
digambarkan, sistem pendidikan pada jaman pendudukan Jepang tidak
Untuk mendidik guru terdapat tiga jenis sekolah yaitu :
a. Sekolah Guru 2 tahun (Syoto Sihan Gakko)
b. Sekolah Guru 4 tahun (Guto Sihan Gakko)
c. Sekolah Guru 6 tahun ( Koto Sihan Gakko)
Kesempatan belajar terbuka bagi semua golongan penduduk Indonesia.
Jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolongan keturunan bangsa
atau sosial sudah dihapus. Maka semua penduduk Indonesia memiliki
kesempatan yang sama.
4. Faktor Utama Pengaruh Pendidikan
a. Guru-guru
Supaya terdapat keseragaman dalam pengertian dan
maksud-maksud pemerintah pendudukan Jepang, maka bagi guru diadakan
pelatihan di Jakarta. Tiap kabupaten/kota mengirimkan beberapa guru
untuk di latih. Setelah selesai mengikuti pelatihan, mereka kembali ke
daerah masing-masing untuk kemudian melatih guru-guru lain. Bahan
pelatihan tersebut meliputi :
1. Indoktrinasi mental ideology mengenai “Hakko I-Chiu” dalam
rangka kemakmuran bersama di “Asia Raya”.
2. Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon Seiysin)
3. Bahasa dan sejarah Jepang dengan adat istiadatnya.
4. Ilmu Bumi ditinjau dari segi geopolitics.
5. Olahraga, lagu-lagu, dan nyanyian Jepang.
b. Murid-murid
Siswa merupakan pengemban hari depan Indonesia dalam rangka
“Kemakmuran Bersama Asia Raya”, murid-murid dikenakan ketentuan dan indoktrinasi ketat. Berikut adalah kewajiban sebagai seorang murid
pada saat itu :
1. Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, mengibarkan bendera Jepang
“Hinomaru”, dan menghormat pada Kaisar Jepang “Tenno Heika” di
2. Mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka
“Asia Raya” (Dai Toa) dan senam (Taiso) dengan tujuan memelihara
semangat Jepang di pagi hari.
3. Melakukan latihan fisik dan militer.
4. Melakukan kerjabakti (Kinrohosyi) membersihkan asrama militer,
jalan raya, menanam pohon jarak, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk
keperluan militer.
5. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
D. Pendidikan pada zaman pasca kemerdekaan
Setelah merdeka, Indonesia menyatakan niat untuk menciptakan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi bangsa serta bukan
hanya mencontoh model praktik suatu negara dagang dan industri yang
sudah maju. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pertama mengakui
bahwa masalah pokok di bidang pendidikan adalah meningkatkan kualitas
dan aktivitas yang revelan di sekolah-sekolah dan lembaga perguruan
tinggi. Dalam usaha ini, Indonesia menghadapi hambatan yaitu kurangnya
biaya dan perlengkapan di bidang pendidikan serta hambatan yang bersifat
bukan material.
Selama dua warsa terakhir khususnya antara tahun 1956-1965
pertumbuhan sekolah dan universitas di Indonesia sangat pesat. Pada masa
kekuasaan Soekarno, ketika pertumbuhan pendidikan mencapai
puncaknya, tetapi inflansi rupiah serta tidak adanya perencanaan yang
efektif menyebabkan merosotnya mutu pendidikan. Pada tahun 1966
pemerintah menegaskan bahwa pendidikan yang baik adalah vital bagi
mencapai tujuan-tujuan dasar persatuan nasional, perkembangan sosial dan
ekonomi. Anatara tahun 1966-1971 walaupun tingkat pertambahan sekolah
masih tinggi, namun terlihat penurunan yang besar menyebabkan
pemerintah khawatir akan mutu pendidikan. Kekhawatiran lebih dari
pendidikan yang masih merupakan sistem belanda. Tidak ada kebijakan
pendidikan yang bercorak nasional terlihat jelas ketika pemerintah
menyusun Repelita I. Keuangan negara mulai membaik saat berakhirnya
pemerintahan Soekarno dan titik berat Repelita I dapat dimengerti pada
pembangunan ekonomi.
Pada tahun 1969 pemerintah meramalkan bahwa pada tahun 1974
akan memperoleh banyak uang untuk pendidikan, tetapi juga harga minyak
yang semakin tinggi menyebabkan pemerintah mendirikan Badan
Pengembang Pendidikan (BPP) untuk mengerjakan pendidikan di masa
depan, serta melakukan penelitian dan kerja sama dengan lembaga baru
dan metode baru di bidang pendidikan. Setelah itu, Pada tahun 1972 para
perencana pendidikan menghadapi berbagai masalah yang sangat asing
bagi mereka. Dalam meningkatkan taraf pendidikan, Indonesia
menghadapi tugas yang berat sehingga terjadi konflik antara kualitas dan
kuantitas. Para perencana dan administrator di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dengan susah payah dipersiapkan untuk memperbaiki mutu
pendidikan. Persoalan yang dihadapi umumnya merupakan persoalan yang
sama dengan lima tahun terakhir yaitu ruangan sekolah yang penuh dan
kekurangan peralatan belajar serta guru-guru yang kurang dipersiapkan
menyebabkan metode pembelajaran yang membosankan, kurikulum
akademis yang mengabaikan pengetahuan dan keterampilan praktis yang
diperlukan masyarakat, banyak pelajar yang putus sekolah dan tidak naik
kelas, para lulusan yang belum puas dan menganggur serta struktur
administrasi yang sukar untuk mempertahankan sistem yang ada apalagi
memperbaikinya. Perberbedaan yang mencolok hanyalah pengelolaan
keuangan yang lebih baik seperti pada tahun 1973 daripada saat awal
pelita I. untuk menghindari terulangnya kejadian ini dan untuk
memberikan landasan yang lebih baik bagi perencanaan dalam repelita II,
Menteri Pendidikan dibantu oleh Fond Foundation mendirikan Proyek
persoalan-persoalan khusus yang dihadapi pemerintah mengenai
menentukan cara yang efektif untuk memperbaiki bidang pendidikan.
Sistem pendidikan di Indonesia saat itu meskipun keadaannya
berantakan, sudah bisa disebut dengan sistem merupakan hal yang luar
biasa kompleksnya. Sekolah-sekolah saat itu didirikan dan dikelola oleh
berbagai badan baik pemerintah maupun swasta, tapi pada umumnya
mengikuti sekolah-sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Strukturnya adalah 6-3-3 : SD kelas I-VI : STLP kelas
VII-IX : SLTA X-XII dan akan lengkap jika melanjutkan 3 sampai 5 tahun
di Perguruan Tinggi atau 7 tahun untuk tingkat yang lebih tinggi.
1. Sekolah Dasar-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Anak-anak boleh masuk SD pada usia 6 tahun, tapi ada yang belum
sekolah sampai usia 8 tahun karena kekurangan tempat. Pada tahun 1972
jumlah SD sekitar 65.569 buah. Pada bulan November 1973 dikeluarkan
instruksi presiden untuk pembangunan SD yang dikenal dengan progam
SD Inpres secara besar-besaran yang setiap unit terdiri dari tiga ruang
kelas dengan dana sebesar Rp 15,8 milyar. Dibeberapa tempat, progam ini
berhasil dengan baik. Sistem pembelajaran yang dilakukan yaitu umumnya
murid belajar membaca dan mengerjakan hitungan sederhana sampai kelas
III atau IV, meskipun banyak murid yang memerlukan waktu lebih dari
tida atau empat tahun untuk mencapai kelas tersebut. Kurikulum juga
mengharuskan agar guru mengamati kebutuhan dan kemampuan
masing-masing kelas. Pada tahun ini, terjadi revisi terhadap kurikulum dan
pencetakan buku-buku serta menyalurkannya ke sekolah-sekolah berjalan
lancer meski terjadi keterlambatan beberapa bulan. Penyaluran berbagai
buku pelajasan terus dilakukan sampai tahun 1976. Setiap buku memiliki
mutu yang berbeda, oleh sebab itu pada akhir tahun 1975 seorang
konsultan luar negeri didatangkan untuk memberikan saran mengenai
evaluasi proyek hingga akhir tahun 1976. Sekolah dasar memiliki beberapa
1) Memberikan kesempatan kepada tiap murid untuk membuktikan bahwa
dirinya merupakan calon terbaik untuk meneruskan pendidikan ke tingakat
yang lebih tinngi
2) Menyiapkan jumlah lulusan SD untuk mengisi bangku sekolah lanjutan
sesuai dengan kebutuhan
3) Menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat dan lapangan kerja.
2. Sekolah Lanjutan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Sekolah ini merupakan kelanjutan dari Sekolah Dasar. Dibawah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ada 16 macam sekolah lanjutan.,
secara umum dimasukkan ada 4 tingkat SLTP dan 5 tingkat SLTA. Karena
kurangnya ahli dan peralatan, sekolah ini tidak bervariasi sesuai dengan
namanya. Sebagai pembaharuan kehidupan ekonomi, pada tahun 1960
pemerintah menyatakan menambah jumlah sekolah teknik dan kejuruan.
Setelah berjalannya waktu, jumlah sekolah lanjutan terus ditambah.
Repelita II menjanjikan sebuah Laboratorum Ilmu Pengetahuan Alam
untuk setiap SLTP dan dua laboratorium untuk SLTA untuk biologi dan
kimia. Proyek ini berjalan dengan pesat sampai akhir tahun 1975. Sekolah
lanjutan mempunyai struktur yaitu
1) Seergonimis mungkin memanfaatkan fasilitas dan tenaga pengajar yang
ada
2) Mampu menyiapkan sebagian murid untuk mengikuti pendidikan lanjut
dan sebagian lagi terjun ke lapangan.
3) Mampu memperbaiki mutu pendidikan yang ada
4) Struktur haru sesuai dengan keadaan sosial, ekonomi, geografis dan politik
di tempat tersebut.
3. Sekolah di Lingkungan Departemen Agama
Sekolah ini menyelenggarakan pendidikan mata pelajaran wajib di
sekolah umum dan pelajaran agama, ada juga sekolah yang hanya
memfokuskan memberikan pelajaran agama saja. Pada tahun 1972
terdapat sekitar 22.000 madrasah tingkat SD, 3000 madrasah tingkat SLTP
keputusan presiden yang menyatakan bahwa semua Sekolah Dasar dan
dan Menengah harus dibawah naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Namun, keputusan ini dalam pelaksanaannya sangat lambat
maju karena adanya perbedaan agama dan politik yang melatarbelakangi
pemisahan sekolah ini.
4. Perguruan Tinggi
Ada tiga jenis perguruan tinggi di Indonesia yaitu
1) Universitas
Unviversitas terdiri dari sejumlah fakultas dari umum sampai spesialis.
Pada saat itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dibantu Dirjen
Pendidikan Tinggi mempunyai 26 universitas negeri. Namun, universitas
negeri jumlahnya kalah dengan universitas swasta.
2) Institut
Institut negeri umumnya dibawah Departemen Pendidikan dan Budaya
atau Departemen Agama. Selain itu, terdapat juga beberapa institut swasta.
Departemen Pendidikan dan Budaya mempunyai 11 IKIP yang mendidik
calon guru dan beberapa institut teknologi dan pertanian.
3) Akademik
Akademik terdiri dari dari satu fakultas yang terbagi menjadi beberapa
departemen baik depantemen negara maupun pihak swasta.
KURIKULUM
Di dalam menjalankan pendidikan juga harus ada serangkaian
acuan atau tumpuan yang diikuti oleh para elemen dalam dunia
pendidikan, yaitu kurikulum. Berikut akan kami bahas sedikit mengenai
kurikulum.
a. Pengertian Kurikulum
Menurut pandangan lama (pandangan tradisional), kurikulum
adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk
memperoleh ijazah.Sedangkan pandangan baru (modern) seperti
dikemukakan oleh Romine,1954 dalam Oemar Hamalik, 1990 menyatakan
activities and experiences which pupils have under direction of the school,
wheter in the classroom or not.”
Kurikulum juga dapat berarti kumpulan silabus yang tercetak , uraian
mengenai satu demi satu mata pelajaran, disertai pengantar bersifat umum
mengenai tujuan pendidikan secara keseluruhan dan ikhtisar singkat
mengenai tujuan masing – masing mata pelajaran. (C. E. Beeby, 1981) b. Peranan Kurikulum
Jika menganalisa sifat dari masyarakat dan kebudayaan, di mana
sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya, bisa
ditentukan peranan kurikulum yang sangat penting, yaitu :
- Peranan konservatif : mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial
kepada generasi muda.Sekolah membina dan mempengaruhi tingkah laku
para siswa agar sesuai dengan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat sejalan dengan peran pendidikan sebagai proses sosial.
- Peranan kritis / evaluatif : Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan
yang ada, melainkan juga menilai dan memilih unsur – unsur kebudayaan yang akan diwariskan.
- Peranan kreatif : Guna membantu setiap individumengembangkan semua
potensi yang ada padanya.
c. Fungsi Kurikulum
- Fungsi Penyesuaian
- Fungsi Pengintegrasian
- Fungsi Deferensiasi
- Fungsi Persiapan
- Fungsi Pemilihan
- Fungsi Diagnostik
(Oemar Hamalik, 1990)
d. Kurikulum yang Pernah Berlaku di Indonesia
Kurikulum pertama yang lahir. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di
Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan
Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya.
Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu
masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan lebih
menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka
dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi
Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang
diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang kemudian diberi
nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah
pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan
sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran
harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum
ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat
pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga
pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004),
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilann,
dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan
dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis.
Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan kurikulum 1964, yakni
dilakukan perubahan struktur kulrikulum pendidikan dari pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan
khusus. Kurikulum ini merupakan perwujudan perubahan orientasi pada
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis yaitu mengganti Rencana Pendidikan 1964
yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan
manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan
dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum Periode 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal
saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah
“satuanpelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Setiap satuan pelajaran dirinci lagi dalam bentuk Tujuan Instruksional
Umum (TIU), Tujuan Instruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Guru harus trampil
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 1984, Kurikulum 1975 yang Disempurnakan
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
Kurikulum ini juga sering disebut Kurikulum 1975 yang disempurnakan.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr.
Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode
1980-1986.
Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di
sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di
ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar,
dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran
penolakan CBSA bermunculan.
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984
dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian
waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu
tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi
siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan
pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan
menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Kurikulum 1994 bergulir
lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Pada
kurikulum 1994 perpaduan tujuan dan proses belum berhasil karena beban
belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal.
Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil,
Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kehadiran
Suplemen Kurikulum 1999 lebih pada menambal sejumlah materi.
Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum 2004, disebut juga Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus
mengandung tiga unsur pokok, yaitu: pemilihan kompetensi yang sesuai;
spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan
pencapaian kompetensi; dan pengembangan pembelajaran.
Kurikulum Periode KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran) 2006 Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang selanjutnya
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional melalui Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006.
Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2006 pasal 1 ayat 15,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan. Jadi, penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan
dengan memperhatikan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang
dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Disamping itu, pengembangan KTSP harus disesuaikan dengan kondisi
satuan pendidikan, potensi dan karakteristik daerah, serta peserta didik.
Kurikulum Periode 2013
Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan, modivikasi dan
pemutakhiran dari kurikulum sebelumnya. Sampai saat ini pun saya belum
menerima wujud aslinya seperti apa. Namun berdasarkan informasi
Kurikulum 2013 sudah diimplementasikan pada tahun pelajaran
2013/2014 pada sekolah-sekolah tertentu (terbatas). Kurikulum 2013
diluncurkan secara resmi pada tanggal 15 Juli 2013.
Berhasilnya suatu kurikulum baru dalam beberapa hal tergantung
pada metode yang digunakan dalam penyusunannya. (C. E. Beeby, 1981)
Kerjasama yang baik antara semua elemen pendidik / pengajar,
pihak orangtua (keluarga) , obyek didik (siswa) pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya juga sangat mempengaruhi suksesnya
kurikulum sebagai acuan atau patokan yang digunakan dalam dunia
BAB III PENUTUP Kesimpulan
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 periode, yaitu :
1. Periode kerajaan
2. Periode penjajahan Bangsa Barat
3. Periode penjajahan Jepang
4. Periode pasca kemerdekan
Pada masa periode sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan sistem
pendidikan di Indonesia hampir sama, pebedaan hanya terletak pada sebutannya
saja. Intinya, sistem pendidikan di Indonesia dimulai dari Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama dan Atas/ Kejuruan dan dilanjutkan Perguruan Tinggi.
Di Indonesia juga diterapkan berbagai macam kurikulum dimulai dari tahun
1947 – sekarang, yaitu sebanyak sepuluh jenis kurikulum,dengan Kurikulum 1947 sebagai kurikulum tertua dan Kurikulum 2013 yang terbaru.
Saran
Diharapkan agar semua elemen masyarakat Indonesia dapat mengetahui
lebih dalam tentang pendidikan terutama sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan
demikian kita dapat merasakan perjuangan yang telah di perjuangkan dan kita
DAFTAR PUSTAKA
Beeby, C. E. , 1981. Pendidikan di Indonesia. Jakarta : PT Djaya Pirusa.
Hamalik, Oemar. 1990. Pengembangan Kurikulum. Bandung : CV Mandar Maju.
Mestoko, Sumaryono.1979. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman.
Jakarta : Badan Pendidikan dan Kebudayaan.
Nawawi, Hadari & Mimi Martini. 1994. Kebijakan Pendidikan di Indonesia.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Safei,Muhammad. 2015. Peranan Kerajaan Islam. Makassar : UIN Alauddin.
Siswoyo, Dwi, dkk. 2016. Ilmu Pendidikan. Yogykarta: UNY Press.
Sugiono, dkk.2014. Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Balitbang
Kemdikbud.
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.