• Tidak ada hasil yang ditemukan

SLAMETAN UPACARA DAUR HIDUP SIKLUS HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SLAMETAN UPACARA DAUR HIDUP SIKLUS HIDUP"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

UPACARA DAUR HIDUP (SIKLUS HIDUP) DALAM MASYARAKAT JAWA

Disusun sebagai Makalah untuk Tugas Kuliah

Mata Kuliah Sosiologi Keagamaan Dosen Pengampu: Dr. Yustinus Slamet Antono

Oleh:

Alb. Irawan Dwiatmaja NIM: 120510004

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT FAKULTAS FILSAFAT

(2)

PENGANTAR

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat sopan dan halus. Hal ini dapat kita lihat dari setiap tindak tanduknya dalam kehidupannya. Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi aspek keharmonisan yang memiliki dimensi vertikal (menjaga hubungan dengan Gusti=sebutan “Allah” orang Jawa) dan horizontal (menjaga hubungan dengan sesama dan alam). Untuk menjaga keharmonisan tersebut, masyarakat Jawa berbagai ritual. Ritual itu dibungkus dalam macam-macam upacara adat. Upacara adat itu adalah upacara daur hidup dalam komunitas Jawa yang masih lestari, sebagai wujud realisasi kompleks kelakuan berpola, kompleks ide, dan hasil karya manusia. Upacara adat yang ada dalam masyarakat Jawa pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Yang pertama, upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan. Yang kedua, mengyangkut hubungan masyarakat Jawa dengan siklus alam. Dan ketiga, mengenai upacara adat kelembagaan.

Upacara daur hidup pada masa sekarang ini cenderung mengalami penyederhanaan-penyederhanaan baik sarana maupun prosesinya. Kebanyakan pada masa kini sudah tidak lagi mengetahui prosesi lengkap dan tata cara serta sarana yang utuh dalam penyelenggaraan suatu upacara. Perlu juga kita ketahui bahwa budaya Jawa adalah budaya yang sangat terbuka. Maka, pengaruh dari budaya nasional dan budaya lainnya banyak sekali mempengaruhi upacara adat Jawa. Oleh karena intensitas pengaruh budaya luar antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, maka pelaksanaan upacara adat Jawa dapat berbeda di masing-masing daerah. Perbedaan ini terasa antara daerah Jawa di wilayah pesisir utara yang bayak sekali menerima penagruh luar dibandingkan dengan wilayah Jawa bagian selatan yang masih kuat memegang pengaruh kekuasaan raja-raja Jawa. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin mengglobal itu, upacara daur hidup juga mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan baik dari sisi substansi maupun fungsi. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan pola pikir yang semakin berorientasi praktis, perubahan pandangan, dan keyakinan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3)

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN SIKLUSKEHIDUPAN ORANG JAWA

Masyarakat Jawa mengenal istilah slametan. Slametan adalah salah satu cara merayakan atau memperingati siklus kehidupan Masyarakat Jawa.1 Maka, pada umumnya masyarakat Jawa memperingati siklus kehidupan dengan slametan. Upacara adat yang menyangkut siklus kehidupan orang Jawa dibagi menjadi enam periode atau masa.

Kelahiran hingga Kematian

Slametan yang diadakan dari proses kelahiran hingga kematian merupakan gambaran sebuah peralihan yang dialami oleh seorang Jawa, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur yang melingkungi kelahiran sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan (sunat) dan perkawinan dan pada akhirnya upacara kematian. Dalam keseluruhannya, slametan menyediakan kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati dan kompleksitas simbolisme khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase khusus yang dilewati.2

a. Tingkeban

Tingkeban merupakan upacara pertama yang diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan. Istilah lain dari tingkeban ini adalah mitoni.3 Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Menurut paham masyarakat Jawa bahwa usia kehamilan tujuh bulan merupakan masa kritis karena roh-roh halus bisa mengganggu si calon ibu dan bakal bayi. Oleh karena itu,

tingkeban merupakan wujud untuk menghindarkan jabang bayi dari gangguan makhluk-makhluk halus tersebut.4 Sejak diadakan mitoni, seorang calon ibu juga harus mematuhi berbagai sayarat dan pantangan. Hal ini dilakukan agar si jabang bayi yang akan dilahirkan nanti selamat. Jika secara tidak sengaja terjadi pelanggaran atas salah satu pantangan, maka calon ayah atau ibu bersangkutan harus segera mengucapkan “nyuwun sewu jabang bayi” untuk menghapus kesalahannya.5 Hidangan untuk selametan ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh

1 Cliffort Geerzt, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13.

2 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 48.

3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 350.

4 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 57.

(4)

macam lauk-pauk dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda. Hidangan yang disajikan itu mempunyai makna yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat.

Slametan ini selalu harus diadakan pada hari Setu Wage (Sabtu Wage) yang mengandung persamaan dengan istilah metu age yaitu lekas keluar.6

b. Kelahiran atau Babaran

Upacara ini dilaksanakan saat proses kelahiran. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang

dhukun bayi. Pada saat acara persalinan, seorang dhukun bayi melakukan berbagai ritual, baik yang praktis maupun yang yang hanya mempunyai arti lambang saja.7 Setelah bayi lahir, dhukun memotong tali pusar dengan sebilah pisau yang terbuat dari bambu (welat), sambil mengucapkan mantra-mantra (jaga mantra). Setelah pusar bayi diobati dengan ramuan yang terbuat dari kunyit dan jamu-jamuan lain, bayi dimandikan dan kemudian dibungkus dengan sehelai kain, selanjutnya diberi minum ramuan yang dibuat dari madu dari sunthi dan daun kelor. Upacara pemotongan tali pusar merupakan upacara yang sangat penting dalam proses kelahiran karena hal tersebut menjadi pelindung bayi saat di dalam kandungan.8

Sutrisno Sastro Utomo9 mendiskripsikan tentang masa kelahiran sebagai berikut:

- Borokohan

Ada beberapa tahapan dalam menangani proses kelahiran bayi. Yang pertama adalah pertolongan pada ibunya, kedua pertolongan pada bayinya, ketiga penanaman ari-ari dan yang keempat selamatan brokohan.

Zaman dahulu sebelum ada dokter atau bidan, proses kelahiran diserahkan kepada dukun bayi dan biasanya dukun tersebut adalah wanita. Setelah proses melahirkan selesai, tali pusar

6 Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 350. 7 Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 352.

8 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 58; bdk, Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 352-354.

(5)

bayi dipotong dengan welat beralaskan kunyit. Welat adalah bambu yang dibuat tajam sisinya. Keunggulan welat adalah tidak karatan, sehingga kecil kemungkinan kena tetanus.

Kain-kain kotor bekas persalinan dicuci bersih dan disetrika, lalu disimpan dan diberi pengharum. Kain-kain tersebut dinamakan kopohan. Kelak, jika sewaktu-waktu si bayi sakit, kain ini dapat dipakai untuk menyelimuti. Ada kepercayaan di kalangan orang Jawa bahwa menyelimuti dengan kopohan, bayi akan cepat sembuh dari sakitnya.

Setelah pertolongan pada ibunya selesai, dilanjutkan dengan menolong bayinya. Bayi dimandikan dengan air suam-suam (hangat), kemudian diselimuti menggunakan kain yang bersih dengan cara membalutkan ke seluruh tubuhnya termasuk tangannya (kecuali wajah dan kepalanya), hingga tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Menyelimuti bayi seperti ini namanya digedong.

Selesai pertolongan pada bayinya, berikutnya adalah tugas bapaknya untuk menanam ari-ari (plecenta). Lebih dulu ayah si bayi mencuci ari-ari. Setelah dicuci bersih kemudian dibungkus dengan daun pisang, lalu dimasukkan dalam kendhil (sejenis periuk dari tembikar). Selain ari-ari, kendil juga diisi dengan garam agar tidak bau. Sebab jika berbau mungkin akan dibongkar anjing atau kucing.

Di dalam kendhil tersebut, selain dimasukkan ari-ari juga dimasukkan beberapa benda-benda tertentu sebagai lambang pengaharapan orangtuanya. Misalnya, pensil dan buku agar anaknya menjadi orang yang pandai, cermin kecil agar anaknya kelak selalu menjaga kesehatan, uang logam agar anaknya kelak menjadi orang yang pandai mengelola uang dan lain-lain.

Sebelumnya juga disiapkan lubang untuk menanam kendhil tadi. Letaknya di depan atau di belakang rumah. Dalamnya kira-kira 40 cm. ada kepercayaan di kalangan orang Jawa, jika lubang terlalu dalam, kelak dewasanya sulit mendapatkan jodoh. Tetapi kalau terlalu dangkal risikonya nanti bisa dibongkar anjing atau kucing.

(6)

Kendhil digendong oleh ayah si bayi dengan menggunakan selendang dan membawa paying meunuju llubang yang telah disiapkan. Dengan berdoa, kendhil dimasukkan ke lubang lalu ditimbuni dengan tanah. Selama selapan (35 hari) tempat tersebut diterangi dengan senthir yaitu lampu yang bahan bakarnya dari minyak atau masih alamiah. Kemudian diberi kembang setaman, seperti kantil, kenanga, mawar, dan melati. Pemberian bunga itu maksudkan agar selalu wangi dan tidak dibongkar oleh hewan.

Acara berikutnya yaitu membuat selamatan yang merupakan ungkapan syukur sekaligus pemberitahuan kepada sanak keluarga dan para tetangga, bahwa bayi telah lahir dengan sehat dan selamat. Selamatan ini dinamakan brokohan. Brokoh atau tampah adalah nampan bulat yang dibuat dari anyaman bambu, tempat sesaji selamatan diletakkan. Karenanya, selamatan itu disebut brokohan. Ada juga yang mengatakan brokohan berasal dari bahasa Arab yaitu barokah. Selamatan brokohan ini jika belum, bisa dilakukan pada hari kelahiran, bisa juga pada hari kedua atau ketiga.

- Sepasaran merupakan salah satu poin dari Sutrisno Sastro Utomo. Jadi tidak usah dimasukkan lagi karena ada penjelasannya di bawah.

- Puputan

Biasanya, bayi antara umur sepuluh hari sampai dua minggu, tali pusarnya sudah putus. Setelah tali pusar putus lalu diadakan selametan puputan atau pupak puser. Puputan berasal dari puput yang artinya putus. Tujuan selamatan ini agar bayi selalu diberi kesehatan dan keselamatan dalam hidupnya.

- Selapanan

(7)

Sajen yang pelu disiapkan adalah nasi tumpeng dengan lauk-pauknya misalnya urap, daging ayam. Daging sapi atau kerbau, telur rebus, dan jajan pasar. Selain itu juga disediakan kembang telon kemenyan.

c. Sepasaran

Lima hari-pada saat tali pusar kering (puput) diselenggarakan sebuah slametan yang agak lebih besar yaitu pasaran.10 Istilah ini berasal dari sepasar yang berarti lima hari. Pada upacara

ini yang dilakukan adalah memberi nama untuk bayi. Menurut teori, ayah anak itulah yang memegang keputusan terakhir dalam penamaan anaknya dan biasanya ia mengumumkannya dalam sambutan ujub atau permohonan pada upacara slametan. Sampai suatu tingkatan yang luas, nama anka ditentukan oleh kategori sosial di mana keluarganya termasuk.11 Banyaknya jenis hidangan yang disediakan pada upacar selamatan sepasaran menandakan bahwa upacara ini dianggap penting. Orang Jawa yakin bahwa bila ada kekurangan dalam macam atau hidangan maka hal itu dapat berpengaruh buruk terhadap kepribadian anak yang bersangkutan kelak sehingga ia akan menjadi kirang jaranan (kekurangan sayuran) yang berarti bodoh atau tidak beradab.12

d. Tedak Siten

Upacara Tedak Siten dianggap penting oleh orang Jawa baik di desa maupun di kota dan hal ini merupakan perayaan peristiwa sentuhan pertama seorang anak dengan tanah.13 Hal tersebut nampak dari asal katanya yaitu “tedhak berarti turundan siti berarti tanah”. Jadi, tedhak siten berarti turun tanah. Slametan ini diadakan tatkala bayi berusia tujuh bulan. Maka dapat dimengerti bahwa bayi yang berusia tujuh bulan diturunkan dari pangkuan ibu ke pangkuan dunia.14 Dalam kehidupan berjuta-juta orang Jawa, tanah meupakan suatu hal yang teramat

10 Biasanya slametan ini diadakan sampai tali pusar menering dan hal tersebut bisa saja tidak tepat pada hari kelima setelah kelahiran)

11 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 60. 12 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 62. 13 Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 355.

(8)

penting dan kontak pertama dengan tanah itu merupakan langkah pertama ke dalam kebudayaan pertanian Jawa.15

Upacara ini dilaksanakan demi masa depan anak. Orangtua menaruh harapan dengan melihat bakat yang dimilki anak. Pengharapan ini terungkap dalam simbol yang ada pada acara

tedhak siten. Dengan acara ini juga, sang ibu dibebaskan dari pemali-pemali yang mengurungnya selama tujuh bulan sesudah melahirkan.16

e. Khitanan atau Sunatan

Setelah upacara tedhak siten, upacara penting berikutnya adalah upcara khitanan atau juga dikenal dengan sebutan sunatan. Pada umumnya, anak lelaki di Jawa disunat pada usia 10 sampai 16 tahun. Pada waktu sunatan juga diadakan slametan yang bertujuan agar anak yang disunat terhindar dari segala marabahaya dan upacara sunatan berjalan dengan lancar.17

Upacara sunatan ini diadakan sebagai suatu tonggak kehidupan seseorang yang merupakan batas antara masa kanak-kanak dengan masa remaja. Dengan demikian, anak yang sudah dikhitan kemudian dinamakan jaka yang berarti “pemuda yang belum menikah”. Dengan upacara ini maka seorang anak sudah masuk dalam lingkungan dewasa dan darinya akan dituntut tanggungjawab.18

Banyak yang menghubungkan tindakan sunatan sebagai tanda seorang anak resmi menjadi Islam karena dalam hukum ajaran Shafi, khitanan dianggap wajib dan karena itu upacara ini seringkali juga disebut dengan ngislamaken yang berarti “mengislamkan”.19

f. Pernikahan

Slametan pernikahan diadakan dua hari sebelum tanggal pernikahan. Hal tersebut dilakukan agar dalam upcara perkawinan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang diharapkan.20Upacara perkawinan dalam adat Jawa merupakan hal yang cukup rumit. dalam

(9)

perkawinan banyak hal yang harus dilakukan. Saat ini sudah banyak unsur-unsur yang ditingalkan untuk mempermudah walaupun unsur-unsur pokok yang ada dalam tata acara tersebut tetap ada misalnya: menentukan hari, lamaran dan slametan.21

Upacara perkawinan merupakan acara yang sangat penting dalam hidup orang Jawa. Apalagi bagi anak perempuan, acara perkawinan sama halnya dengan khitanan bagi anak lelaki. Pada anak lelaki, khitanan merupakan acara menyambut masa remaja. Sedangkan pada anak perempuan, perkawinan merupakan upacara menyambut masa remaja.22 Maka tak heran dalam acara-acara perkawinan banyak slametan-slametan yang menyertai perkawian. Upacara tersebut diadakan meliputi sebelum, selama dan sesudah pesta perkawinan. Hal itu dilakukan agar sebuah perkawinan berlangsung seumur hidup. Selain itu, perkawian juga merupakan penyatuan antara lelaki dan perempuan yang di dalamnya tidak lepas dari peran Yang Ilahi.23

Rangkaian Upacara Adat Secara Kronologis24

Rangkaian upacara adat dalam masyarakat Jawa dapat diuraikan secara kronologis sebagai berikut, upacara siraman pengantin putra-putri, upacara malam midodareni, upacara akad nikah atau ijab Kabul, upcara penyerahan pengantin, upacara panggih, upacara dalam resepsi.

I. Upacara Siraman Pengantin Laki-laki dan Wanita

Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah atau ijab Kabul. Akad nikah dilangsungkan menurut agama masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya upacara adat. Langkah-langkah yang dilakukan selama pada upacara siraman adalah:

- Siraman Pengantin Putri

Pengntin perempuan pada upacara siraman mengenakan kain dengan motif grompol yang dirangkapi denagn kain mori putih bersih sepanjang dua meter, dengan rambut terurai. Yang bertugas menyiram pengantin putri adalah ayah dan ibu pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan ayah dan ibu pengantin laki-laki dan dilanjutkan oleh orang-orang tua serta keluarga

21 P. Sukino, Slametan: Suatu… hlm. 26. 22 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 66. 23 P. Sukino, Slametan: Suatu… hlm. 25-27.

(10)

yang dianggap pantas sebagai teladan. Siraman ini dilanjutkan dan diakhiri oleh Juru Rias dan akhirnya dilakukan oleh pengantin sdendiri. Dalam siraman, sebaiknya menggunakan air hangat agar pengantin tidak kedinginan dan sakit.

-Siraman Pengantin Laki-laki

Urutan upacara siraman pengantin laki-laki sama seperti siraman pada pengan perempuan tetapi yang menyiram pertama adalah ayah dan ibu pengantin laki-laki. Setelah upacara siraman pengantin selesai, maka pengantin laki-laki kembali ke tempat pondokan yang tidak jauh dari tempat kediaman pengantin laki-laki. Dalam hal ini pengantin laki-laki belum diijinkan tinggal serumah dengan pengantin perempuan. Setelah siraman, pengantin perempuan berganti busana kerik. Kerik adalah saat pengantin perempaun dihilangkannya rambut bagian depan pada dahi secara merata dengan alat khusus.

II. Upacara malam Midodareni

(11)

setelah pukul 24.00 baru diperbolehkan tidur. Pada malam midodareni, para tamu biasanya berapasangan yaitu suami-isteri.

Keadaan malam midodareni harus cukup tenang dan dalam suasana khidmat. Tidak terdengar percakapan-percakapan yang terlalu keras. Para tamu yang bercakap-cakap dengan tamu yang lain diusahakan tidak keras-keras. Pada pukul 22.00-24.00, para tamu diberi makan, sedapat mungkin nasi dengan lauk-pauk yaitu opor ayam dan telur ayam kampung rebus, ditambah lalapan kaum kemangi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam malam midodareni:

- Empat kain sindur utuk dipakai oleh orangtua kedua belah pihak.

- Empat meter kain mori putih yang dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing dua meter.

- Dua lembar tikar yang akan digunakan untuk duduk pengantin perempuan pada waktu dirias.

- Dua buah kendi Wuntuk siraman pengantin laki-laki dan perempuan. - Dua butir kelapa gading yang masih utuh dan masih ada tangkainya. - Sebutir telur ayam kampung mentah dan baru.

- Sebungkus bunga setaman.

- Satu buah baskom atau pengaron yang telah berisi air beserta gayungnya untuk upacara tampa kaya atau kantungan yang terbuat dari kain apa saja. Pada upacara tampa kaya yang perlu disediakan ialah kantongan yang berisi uang logam, beras, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, jagung dan lain-lain.

- Dahar klimah yaitu upacara makan bersama (dulangan), pengantin saling menyuapi. Pada upacara dahar klimah, makanan yang perlu disiapkan adalah nasi kuning ditaburi bawang merah goring, telur dadar yang telah diiris kecil-kecil, ikan teri yang telah digoreng, dan opor ayam.

III. Upacara Pernikahan atau Ijab Kabul

(12)

IV. Upacara Penyerahan Pengantin Laki-laki

Menjelang upacara panggih, pengantin laki-laki secara resmi diserahkan kepada orangtua pengantin perempuan. Dalam upacara tersebut, pengantin laki-laki diiringi oleh para keluarga dan rekan-rekan terdekat. Dalam penyerahan ini, ditunjuk wakil dari pihak keluarga pengantin laki-laki untuk menyerahkan. Kakek saya adalah wakil dari keluarga kami dalam menyerahkan pengantin laki-laki. Dalm upacara penyerahan pengantin laki-laki, wakil dari keluarga pengantin laki-laki berdiri agak jauh dari depan pintu yang disambut oleh wakil dari keluarga pengantin perempuan. Sedangkan pengantin perempuan telah menantikan di dalam dan pengantin laki-laki berdiri di belakang wakilnya. Kata-kata yang disampaikan biasanya menggunakan bahasa Jawa sebagai berikut:

“Nuwun, Bapak… (diisi dengan nama orangtua pengantin perempuan), Sarimbit saha para rawuh ingkang minulya, kaparena kula matur wigatosing pisowan kula badhe amudhar gegayuhan wonten ing ngarsa panjenengan sadaya. Wiyosipun, awit saking kapernging Bapak… (diisi dengan nama orangtua pengantin laki-laki) sekaliyan, menggah pisowan kula sadaya adhapur duta ingkang tinanggenah masrahaken pengantin kakung ing upacara panggih punika kanthi reroncen kados makaten: Purwaning rembag, langkun rumiyin keparengan kula ngaturaken salam taklim saha suka sukuring penggalihipun Bapak… (nama orang tua pengantin lakki-laki) sarimbit mugi konjuk ing ngarsanipun Bapak… (nama orangtua pengantin perempuan) sagarwa putra saha sedaya para rawuh. Salajengipun, mergi saking sih parimirmaning Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, saha jinurung pangestunipun para pepundhen tuwin pinisepuh, keparengan kula nyowanaken ingkang putra penganten kakung inkanh peparab anakmas:… (nama pengantin laki-laki), wonten ing ngarsa panjenengan Bapak… (nama orangtua pengantin perempuan) sekaliyan, mugi tinampia kanthi tulusing wardaya sinartan sukarenaning penggalih. Wodene menggah lampahing tata cara dauping pinengaten sekaliyan kula semnaggakaken dhumateng kaparenging Bapak… (nama orangtua pengantin perempuan)

(13)

Setelah wakil dari pihak pengantin laki-laki selesai menyampaikan maksudnya seperti tersebut di atas, maka wakil pihak pengantin perempuan yang menerima penyerahan tersebut memberikan jawaban sebagai berikut:

“Nuwun, Sarawuh panjenengan acanthi ngirid penganten kakung, kula nyaosken atur pasugatan sugeng rawuh saha matur gunging panuwun dhumateng Gusti Ingkang Maha Agung, dene sampun ngetrepi ingkang dados pemundhutipun Bapak saha Ibu… (nama orangtua pengantin perempuan). Sadaya pengandikanipun panjenengan kala wau sampun kula tampi kanthi gumbiraning manah saha badhe kula aturaken dhumateng ngarsnipun Bapak saha Ibu… (nama orangtua pengantin perempuan). Mboten naming pangajab kula mugi-mugi sedaya karsanipun Bapak saha Ibu… (nama orangtua pengantin laki-laki), segeda kasembadan. Nuwun”.

V. Upacara Panggih

Upacara panggih dapat dibagi menjadi dua yaitu upacara panggih gaya Surakarta dan Upacara panggih gaya Yogyakarta. Karena kami berasal dari Yogyakarta, maka gaya yang dipakai adalah gaya Yogyakarta. Dalam upacara panggih, pengantin laki-laki sebelumnya sudah bersipa-siap di muka pintu gerbang/pintu utama dengan disertai pengiring. Pada waktu upaca panggih, bapak dan ibu pengantin lai-laki tidak boleh ikut rombongan. Pengiring dan pendamping pengantin laki-laki adalah keluarga bapak dan ibu terdekat atau kerabat terdekat. Posisi iring-iringan adalah pengantin laki-laki berada di tengah-tengah. Kedua orang sebagai pendamping harus orang yang lebih tua dariapda pengantin laki-laki sendiri. Upacara panggih dapat dilihat seperti bagian-bagian berikut:

(14)

- Sindur. Pelaksanaan: Kedua pengantin bergandengan tangan dan mengikuti ayah menuju pelaminan. Ibu menutup bahu kedua pengantin dengan kain sindur dan ikut mengantar ke pelaminan. Makanya, Ayah menunjukkan jalan yang baik untuk menuju ke kebahagiaan berumah tangga. Sedangkan ibu mengikuti memberi semangat (tut wuri handayani).

- Timbang. Pelaksanaan: Kedua pengantin duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan alas kain tumbal 1.000 (kain yang terdiri dari motif seribu). Atas pertanyaan ibu, “Siapakah di antara kedua pengantin yang lebih berat?” dan ayah pun menjawab, “Sama beratnya.” Makna dari upacara ini: Ayah mengatakan bahwa kasih sayangnya antara anak menantu sama seperti anaknya sendiri.

- Tanem. Pelaksanaan: Ayah pengantin perempuan mempersiapkan kedua pengantin duduk bersanding di pelaminan. Maknanya, ayah mengesahkan dan merestui kedua mempelai menjadi suami-istri.

- Tukar Kalpika. Pelaksanaan: Kedua pengantin saling memasang cincin (tukar cincin). Makna, tukar cincin adalah sebagai tanda terpadunya cinta dan kasih sayang antara kedua pengantin. - Kacar-Kucur (Tampakaya). Pelaksanaan: Pengantin laki-laki menuangkan beras dan kacang-kacangan ke pangkuan pengantin perempuan. Maknanya, pengantin laki-laki sebagai suami menyerahkan gunakaya yaitu segala penghasilan kepada pengantin perempuan kelak sebagai istri.

- Dhahar Kembul. Pelaksanaan: Dhahar kembul artinya makan bersama secara lahap saling suap menyuap. Maknanya, hasil rezeki dan kekayaan akan dirasakan bersama dengan keluarganya dan dimanfaatkan secara bersama.

- Mertui. Pelaksanaan: Ayah dan ibu pengantin laki-laki dijemput oleh orangtua, bapak dan ibu pengantin perempuan. Maknanya, bapak dan ibu pengantin laki-laki mengunjungi pengantin berdua yang telah melangsungkan perkawinan serta besan.

- Sungkem/Ngabekten. Pelaksanaan: Kedua pengantin berlutut untuk menyembah kepada kedua belah pihak orangtua. Maknanya, tanda kedua pengantin tetap berbakti dan hormat kepada orangtua dan menyampaikan rasa terimakasih serta mohon doa restu.

VI. Resepsi

(15)

perinikahan saudara saya, kami melaksanakannya di rumah. Adapun tata caranya sebagai upacara kirab, sementara para tamu menikmati hidangan yang telah tersedia.

Kirab pengantin ialah pengantin laki-laki dan perempuan diiringikan masuk ke kamar pengantin untuk mengganti pakaian/busana dari busana kebesaran ke busana “Ksatriaan”. Pada upacara kirab tersebut didahului seseorang sebagai petunjuk jalan yang biasa disebut cucuking lampah atau canthang balung. Cucukin lampah hanya berjalan biasa sesuai irama gendhing yang mengiringi, tetapi canthang balung diselingi dengan menari. Iring-iring pada waktu irab ialah: - Paling depan adalah cucuking lampah/canthang balung.

- Dua anak perempuan berpakaian kembar sebagai patah.

- Rombongan Putri Domas (Gadis Remaja) berbusana kembar berjumlah apling sedikit empat orang dan bila memungkinkan sebanyak 12 orang.

- Dua orang perjaka yang disebut Satria Kembar dan biasanya diambil dari adik pengantin perempuan atau laki-laki dan keluarga terdekat.

- Keluarga pengantin laki-laki dan perempuan yang masih remaja dan belum kawin. - Bapak dan ibu dari kedua pengantin.

- Pengiring biasa dari beberapa keluarga lainnya dan rekan terdekat.

Setelah selesai upacara resepsi semua tamu bubaran diiringi dengan gendhing ayak-ayak pamungkas yang bertanda bahwa upacara telah purna.

g. Kematian

Slametan kematian diselenggarakan setelah jenazah dikuburkan dan biasanya itu terjadi pada malam pertama setelah kematian.25 Ada banyak tata acara yang dilakukan pada slametan ini dan hal itu terlihat dari hidangan yang disediakan. Hidangan-hidangan itu memiliki maknanya sendiri.26 Denagn peristiwa kematian, orang Jawa dituntut untuk merelakan secara sadar kepergian orang yang meninggal dengan ikhlas.27

Masyarakat Jawa memiliki banyak konsep tentang kematian. Agama Islam mengatakan bahwa kematian merupakan balas jasa abadi mengenai hukum dan pahala di akhirat untuk

(16)

dosa dan amal saleh yang bersangkutan. Masyarakat Jawa abangan mengatakan bahwa kematian sebagai suatu yang sampurna, yang secara harafiah berarti “lengkap atau sempurna”, tetapi yang memberikan indikasi dalam konteks ini bahwa kerpibadian individual menghilang seluruhnya sesudah meninggal dan tidak ada lagi yang tinggal kecuali debu. Bagi masyarakat Jawa secara umum-pandangan ini lebih banyak dipegang- kematian merupakan sebagai reinkarnasi –bahwa ketika seseorang meninggal, jiwanya masuk segera sesudah itu ke dalam suatu embrio dalam rangka kelahirannya kembali. Dari tiga konsep tentang kematian di atas, boleh diambil suatu inti pokok bahwa orang Jawa memiliki pemahaman akan adanya kehidupan kekal setelah kematian walaupun konsepnya tidak jelas.28

Slametan sekitar kematian ini memiliki rentang waktu yang cukup panjang dari seluruh slametan yang ada. Setelah slametan satu hari setelah kematian, kemudiam dilanjutkan slametan

tiga hari setelah kematian lalu slametan 7 hari setelah kematian, slametan empat puluh hari setelah kematian, slametan 100 hari setelah dan slametan 1000 hari atau 3 tahun setelah kematian dan ini merupakan akhir dari rangkaian slametan kematian. Tujuan dari rangkaian

slametan ini yaitu mendoakan supaya arwah orang yang sudah meninggal mengalami ketenangan dan ketentraman serta diterima Yang Ilahi.29

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SIKLUS ALAM Perayaan Tahunan

Masyarakat Jawa memiliki banyak jenis peayaan tahunan. Jenis-jenis perayaan tahunan tersebut menyangkut baik upacara keagamaan maupun upacara tradisional. Dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan bentuk-bentuk perayaan tahunan tradisional masyarakat Jawa asli.30 a. Bersih Dhusun

28 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 101-102.

29Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 96; bdk. http://eprints.uny.ac.id/5091/1/Sinkritisme_dan_Simbolisasi.pdf

(10 Maret 2013).

(17)

Dalam upacara bersih dhusun, seluruh masyarakat terlibat untuk melakukannya. Bersih dhusun dilakukan sekali dalam setahun dan biasanya dilaksanakan dalam bulan Sela yakni bulan ke-11 dalam penanggalan Jawa. Meskipun demikian, tanggal dilakukannya upacara ini berbeda-beda pada setiap desa. Dalam melakukan bersih dhsusun, seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini tercermin dari berbagai aspek perayaan yang diselengarakan berkenaan dengan upacara itu, yang megandung unsur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Perayaan ini juga menandakan adanya penghormatan terhadap roh nenek moyang.31 Selain itu, upacara bersih

dhusun berfungsi untuk mempererat solidaritas masyarakat dhusun.32

Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara bersih dhusun biasanya berlangsung di suatu tempat dekat makam pendiri desa (dhanyang dusun) atau di rumah kepala desa, apabila tempat makam pendiri desa itu tidak cocok mengadakan upacara karena berbagai alasan. Dalam perayaan bersih dhusun diadakan suatu slametan yang dinamakan sedhekah bumi atau sedhekah legena dengan sebuah nasi tumpeng dan lauk-pauknya. 33

b. Ruwatan

Upacara ruwatan diadakan setahun sekali. Upacara ini merupakan upacara khas Agami Jawi dan upacara ini bertujuan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bathara Kala yaitu Dewa Kehancuran. Upacara ruwatan juga diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu pengiling rempah-rempah (gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi jatuh atau pecah.34

Dalam upacara ruwatan diperlukan suatu slametan. Dalam slametan itu, unsur pokok yang perlu ada yaitu pertunjukan wayang kulit dengan seorang dhalang yang sekaligus seorang

dhukun yang hafal ke-23 rumus untuk ngeruwat. Rumus-rumus itu konon dapat menghalau Bathara Kala karena jika ada orang mati tanpa sebab maka Bathara Kala-lah yang digadang

(18)

sebagai penyebab kematian tersebut dan ada juga indikasi bahwa semua roh jahat merupakan suruhan Bathara Kala.35

Hari Raya Agama

Masyarakat Jawa hidup dengan agama tertentu. Tetapi secara khusus masyarakat Jawa banyak memeluk agama Islam. Banyak dari perayaan Islam (Hari Raya Agama) diselenggarakan dengan slametan seperti slametan pada Maulud Nabi, Israj Miraj, Idul Fitri, Idul Adha.36 Melihat praktek keagamaan orang Jawa tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskpiun oaring Jawa telah menghayati agama tertentu, mereka tetap diengaruhi oleh keyakinan, konsep, pandangan, nilai budaya dan norma yang ada dalam pikirannya.37

Slametan Sela

Slametan sela diselenggarakan dalam waktu tidak tetap, tergantung pada suatu kejadian yang boleh dikatakan kejadian ‘luar biasa’ yang dialami seseorang misalnya: keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah rumah, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya.38 Pola slametan ini sebagai refleks defensif terhadap setiap kejadian yang tidak biasa –setelah rumah dicuri, anak jatuh dari pohon atau sebuah jamur payung yang besar tumbuh di halaman belakang rumah- adalah begitu umum dan barangkali biasa dilihat sebagai reaksi terhadap mimpi-mimpi yang mencemaskan.39

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN KELEMBAGAAN

Salah satu acara yang berkaitan dengan ini adalah garebeg. Penulis tidak memiliki pengalaman mengikuti secara langsung bagaimana garebeg. Penulis hanya menemukan literartur yang bisa sedikit menjelaskan apa itu garebeg secara khusus garebeg di kesultanan Yogyakarta.40

35 Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 377-378. 36 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 38.

37 Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 319. 38 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 38. 39 Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 114.

(19)

Garebeg, grebeg, gerbeg bermakna suara angin menderu. Kata bahasa Jawa (h)aggarebeg mengandung makna menggiring raja, pembesar atau pengantin.

Ada sejarah lisan yang mengatakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut rojowedo. Maknanya, kitab suci para raja atau kebajikan raja. Disebut jugam rojomedo yang bermakna hewan korban raja,

Tujuan slametan kerajaan yang hakikatnya upacara kurban itu ialah agar Tuhan Yang Mahakuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja, kerajaan serta rakyatnya. Dalam peristiwa itu, rakyat datang mengahadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana keemasaan (Dhampar Kencana) di Bangsal Ponconiti. Penampilan raja menerima sembah bakti rakyat yang datang menghadap (sowan) itu, diiring (ginarebeg) oleh putra dan segenap punggawa.

Begitulah kira-kira penjelasan mengenai garebeg yang penulis dapatkan dari literatur. Yang ditekankan dalam penjelasan di atas bahwa garebeg diadakan di kerajaan untuk menyelenggarakan upacara kurban setiap tahun baru. Dalam pelaksanaan garebeg saat ini sudah banyak dimodifikasi. Tetapi inti dari acara ini tidak hilang.

PENUTUP

Dalam uraian di atas, penulis tidak menuliskan semua ritual-ritual yang ada dalam masyarakat Jawa melainkan hanya beberapa ritual yang penulis tahu dan pernah alami. Penulis menggunakan beberapa literatur yang sudah ada sebelumnya sebagai pembanding dan pemandu dalam menjelaskan ritual-ritual di atas.

(20)

adalah usaha untuk menjaga keharmonisan tersebut. Menjaga keharmonisan dengan Pencipta (Gusti), sesama, dan alam ciptaan merupakan tindakan untuk mencapai kesempurnaan, “Ngudi Kasampurnaan.”

BIBLIOGRAFI

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985.

Geerzt, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya,1981.

http://eprints.uny.ac.id/5091/1/Sinkritisme_dan_Simbolisasi.pdf (diakses pada tanggal 05 Mei 2014).

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

(21)

Sukino, P. Slametan: Suatu Uraian Filosofis Atas Dimensi Komunitas Religius dalam Upacara Slametan. Pematangsiantar: UNIKA St. Thomas Sumatera Utara [SKRIPSI], 1998.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ KONSEP HIDUP DALAM MASYARAKAT RAMBATAN WETAN (KAJIAN ETNOLINGUISTIK PADA UPACARA DAUR HIDUP MANUSIA DI

Uji coba proyek tambak udang windu di Yogyakarta menunjukkan bahwa kawasan daerah pantai selatan Jawa yang selama ini dikenal sebagai tanah gersang dan dianggap tidak ekonomis

Alasan penulis memilih lokasi ini karena dalam sejarah hidup penulis baru pertama kali nya melihat pesta atau upacara perkawinan adat suku Jawa yang begitu lengkap dan istimewa

Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang tidak dapat