• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah - Studi Deskriptif Upacara Dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah - Studi Deskriptif Upacara Dan Musik Pada Perkawinan Adat Jawa Di Medan Selayang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar belakang Masalah

Di Indonesia berbagai bentuk penyajian upacara perkawinan sangat beragam, yang pastinya secara kuantitatif berdasarkan kepada keberadaan suku-suku di Indonesia saat ini. Suku Jawa misalnya, memiliki upacara perkawinan yang sangat khas, di antara berbagai suku-suku yang ada di Indonesia. Ritualisasi upacara perkawinan dikemas dengan berbagai simbol, tata rias, tuturan, pesan, dan nasehat yang sangat istimewa. Sehingga upacara yang dilakukan menjadi sebuah upacara tradisional. Upacara tradisional merupakan upacara yang dilakukan dan mengikuti aturan atau tata cara serta tradisi yang berlaku secara turun temurun pada suatu lingkungan budaya tersebut.

Dalam tradisi budaya Jawa, perkawinan selalu diwarnai dengan serangkai-an upacara yserangkai-ang mengserangkai-andung nilai-nilai luhur, yserangkai-ang mengajarkserangkai-an perlunya keseimbangan, keselarasan serta interaksi dengan alam semesta. Iringan gamelan

yang dramatis dan magis mewarnai suasana hingga terasa lebih istimewa. Upacar itu dilakukan baik oleh masyarakat jawa yang ada di pusat peradabannya yaitu pulau Jawa, maupun diasporanya di seluruh Nusantara (termasuk di Sumatera Utara).

(2)

juga di adopsi dalam ritual perkawinan adat Jawa ini. Misalnya penggunaan

tepung tawar yang berasal dari kebudayaan Melayu. Demikian pula ketika acara hiburan, tidak mutlak semua lagu-lagu Jawa yang di sajikan, bisa saja lagu Mandailing, Toba, Karo, Melayu, dan lainnya.1

Pada masa-masa akhir ini, Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh mayoritas

orang Jawa, bahkan ada catatan yang menyebutkan lebih dari 50%. Rinciannya

adalah suku Melayu 7.63%, Batak (Toba) tercatat 19.44%, Karo 6.64%, Mandailing

6.32%, Simalungun 2.72%, Nias, 0.40%, Pakpak 0.16. Sementara kelompok

pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63% (kelompok ini pernah mencapai jumlah

lebih dari 20% untuk Kota Medan dan sekitarnya), Minangkabau 3.30%, dan Aceh

1.26%. Dengan demikian, berarti Suku Jawa secara keseluruhan meliputi jumlah

lebih dari 36% (Siyo, 2008:88).

Namun pada umumnya upacara dan musik ritual dalam mengiringi upacara perkawinan adat Jawa ini masih menggunakan tradisi upacara dan tradisi musik (karawitan) Jawa.

Perpindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki upah yang relatif mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa

1

(3)

itu lebih senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih murah (Breman, 1997:53). Perpindahan orang Jawa sendiri di perkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan kemaun sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang di lakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara, sehingga lahirlah istilah Pujakesuma yaitu akronim dari Putra Jawa Kelahiran Sumatera [bukan sebatas Sumatera Utara] (Siyo, 2008:74).

Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan Jakon2

(Jawa Kontrak) ataupun Jadel (Jawa Deli).3

2Jawa Kontrak

dalam istilah ini adalah merujuk kepada pengertiannya sebagai kelompok buruh yang didatangkan dari Jawa oleh Belanda (terutama di masa awal pembukaan perkebunan-perkebunan oleh Nienhuys dan kawan-kawan di paruh akhir abad kesembilan belas). Sistem yang digunakan oleh para maskapai perusahaan Belanda ini adalah sistem kontrak, dan apabila telah habis masa kontraknya, mereka para buruh Jawa ini bisa kembali ke Jawa atau meneruskan kontraknya. Namun dalam catatan sejarah sebahagian besar buruh tersebut terus melanjutkan kontraknya, dan sebahagian yang telah bisa mandiri mendirikan kampung-kampung yang bersifat pertanian (agrikultural) di sleuruh wilayah Sumatera Timur (kini Sumatera Utara). Pengertian historis inilah yang ingin dimaknakan oleh penyebutan Jawa Kontrak.

Sebutan-sebutan itu adalah yang dahulu identik dengan orang Jawa sebagai pekerja perkebunan di Tanah Deli. Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera Utara, adalah sebagai kuli kontrak perkebunan. Jakon atau Jadel adalah sebutan yang mungkin sebuah streotip etnik yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (Putra Jawa

3

(4)

Kelahiran Sumatera). Sebagian orang yang bukan orang Jawa, atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa, atau karena lahir di Sumatera, beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status sosial yang rendah.

Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka di tempatkan di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali. Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli (dengan pusatnya di Medan). Mereka bakerja sebagai kuli (koeli) pada perkebunan tembakau di Sumatera Timur atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli. Biasanya, ketika masa kontrak mereka juga habis, mereka mamilih untuk tinggal di pedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang (Siyo, 2008:83),

(5)

orang Jawa yang ada di perantauan seakan semakin dekat dengan tanah kelahiran mereka.

Pada tahun 1980-an munculah perkumpulan etnik Jawa yang di kenal dengan Pujakesuma. Istilah ini memiliki pengertian sebagai budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat di katakan sebagai rasa etnikitas agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik.

Keberadaan perkumpulan atau paguyuban4

4Paguyuban

adalah kata bentukan dari kata dasar guyub. Istilah guyub dalam bahasa Jawa yang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, dapat dimaknai sebagai persatuan yang biasanya dilatarbelakangi oleh persamaan-persamaan etnik, kelompok profesi, kelompok agama, dan lain-lainnya dalam masyarakat. Paguyuban memiliki makna luhur dalam filsafat Jawa, sebagai sebuah persatuan yang memiliki cita-cita bersama, dan menekankan kepada kerja secara bersama-sama atau gotong royong, yang di dalamnya juga mengandung pengertian akan kewajiban dan hak setiap individu, serta pengertiannya sebagai ekspresi dari solidaritas dan integritas sosial. Dalam masyarakat Sumatera Utara, selain istilah paguyuban ini, terdapat juga istilah-istilah yang berakar dari kearifan lokal seperti parsadaan pada masyarakat Toba dan Mandailing-Angkola. Demikian pula dalam masyarakat Nias dikenal sebagai persatuan ori (yaitu masyarakat yang disatukan

(6)

Selain Pujakesuma, dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini, seterusnya bermunculan pula berbagai perkumpuan yang belatar belakang budaya etnik Jawa juga, seperti:

(a) Pajar (Paguyuban Jawa Rembug), paguyuban ini sama seperti Pujakesuma, hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih di arahkan pada PBR (Partai Bintang Reformasi);

(b) PJB (Paguyuban Jawa Bersatu), persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama Islam; (c) FKPPWJ (Forum Komunikasi Putra-Putri Warga Jawi), organisasi ini

didirikan sebagai wadah forum komunikasi menyatukan pendapat dan aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun di luar Jawa bahkan di luar negeri. Sedangkan organisasi untuk kaum mudanya adalah Generasi Muda Jawa (Gema Jawa);

(d) Ikatan Keluarga Solo, dan lain-lain.

(7)

golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan

santri (golongan alim ulama), priyayi (bangsawan), dan abangan ( rakyat biasa). Orang Jawa hampir sebagian menempati daerah Kota Medan, di antaranya adalah Medan Johor, Medan Tembung, Medan Timur, Helvetia, Tanjung Sari, Medan Tuntungan, Medan Marelan, dan sebagian kecamatan lain. Sebagian besar masyarakat Jawa tinggal di kawasan padat, kompleks perumahan dan kumuh di pinggiran kota, serta banyak memilih usaha sebagai buruh, pertukangan, pedagang kecil, pembantu rumah tangga, dan pegawai rendahan. Namun ada sebagian orang Jawa berstatus perantauan yang sementara tinggal di Medan untuk menyelesaikan tugas dinas, sebagai mahasiswa, dan pebisnis.

Di Sumatera Utara, orang Jawa menikahkan anaknya dengan tradisi Jawa yang di wujudkan dalam upacara perkawinan adat Jawa. Dan juga menghitung penanggalan pernikahan berdasarkan penanggalan pasaran suku Jawa sesuai dengan tanggal lahir anak yang akan menikah tersebut. Ini sangat berguna untuk keberlangsungan hidup seseorang yang mengadakan acara ataupun bagi sanak-saudara agar terhindar dari marabahaya, dan penanggalan ini telah di pakai selama bertahun-tahun dalam melangsungkan setiap acara-acara maupun dalam hajatan lainnya sehingga cara penanggalan ini menjadi suatu kepercayaan tersendiri di dalam masyarakat suku Jawa di manapun berada.

(8)

atau kalimat. Ungkapan tersebut memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi berupa nasihat, tuturan, petuah, dan saran yang di harapakan bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama bagi kedua pengantin.

Pada suku Jawa, prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling mencintai, meski ada juga perkawinan yang terjadi karena perjodohan oleh kedua orang tua. Hubungan cinta kasih antara pria dan wanita setelah melalui proses pertimbangan, biasanya dimantapkan dalam sebuah tali ikatan perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi dan halal selaku suami istri dari segi hukum, agama, dan adat.

Dalam masyarakat Jawa kehidupan kekeluargaan masih kuat, sehingga akan mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku, kedua insan yang berkasih-kasihan akan memberi tahu kepada keluarga atau sanak saudara masing-masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk di jadikan suami atau istri, dalam membina rumah tangga yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian, setelah kedua belah pihak orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan, maka di lakukan langkah-langkah selanjutnya, yang terbagi atas 5 (lima) babak yang dapat dipaparkan. Babak yang pertama, yaitu intinya mencakup tahap pembicaraan pertama sampai tingkat melamar, disebut sebagai pembicaraan, yang didalamnya terdapat beberapa prosesi yang penting dilakukan, di antaranya ialah: nontoni, ngelamar.

(9)

Babak ketiga disebut sebagai tahap siaga, prosesi yang terdapat pada babak ketiga yaitu pembentukan panitia dan pelaksana kegiatan yang melibatkan para sesepuh atau sanak saudara, prosesinya adalah: sedhahan, kumbakarnan, dan

jenggolan atau jonggolan.

Kemudian di lanjutkan dengan babak keempat, yaitu tahapan rangkaian upacara yang biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orang tua mempelai perempuan di hias dengan tarub (dekorasi tumbuhan), yang biasanya terdiri dari pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa, dan daun beringin yang memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia di mana saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka. Namun pada kenyataannya pada saat sekarang ini tarub tidak lagi menggunakan bahan-bahan tersebut melainkan menggunakan kain gorden yang memiliki berbagai warna sesuai selera serta rangkaian bunga-bungan tiruan yang di rangkai menjadi satu menggambarkan atau membentuk pintu gerbang. Dekorasi yang lain yang di siapkan adalah kembar mayang, yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohong pisang raja dan dauh pohon kelapa yang masih muda (masih kuncup), yang biasa disebut janur kuning. Prosesi yang terdapat pada babak keempat ialah mencakup: Pasang tratag lan tarub, kembar mayang, siraman, adol dhawet (jual dawet/cendol), paes, midodareni, selametan, dan nyantri atau nyatrik.

Masuk pada babak terkahir upacara perkawinan yaitu babak kelima, yaitu prosesi upacara pertama pada puncak acara. Prosesi yang dilakukan adalah ijab

(10)

sepasang suami istri. Di lanjutkan dengan prosesi kedua yaitu upacara panggih

yang meliputi liron kembang mayang, gantal (balangan), ngidak endhok (wiji dadi), masuk ke pasangan, dan sindur binayang. Setelah upacara panggih, kedua mempelai kemudian di arak dengan menggunakan sehelai kain berwarna merah bermotif putih (sindur) oleh ayah mempelai perempuan yang di lingkarkan di belakang ayah mempelai perempuan, pengantin pria dan pengantin perempuan berada dalam lingkaran kain sindur tersebut dan kemudian ibu mempelai perempuan memegang pundak kedua pengantin dari belakang untuk di antar duduk di sasana riengga (pelaminan).

Masuk prosesi yang ketiga adalah: timbangan, tanem, kacar-kucur, dan

dhahar kembul (dulangan). Prosesi keempat mapag besan (menerima besan). Prosesi kelima disebut sungkeman, dan yang terkahir adalah prosesi kirab. Dari penjabaran singkat upacara adat perkawinan suku Jawa (termasuk di Sumatera Utara) di atas akan dijelaskan lebih rinci mengenai simbol, bahasa, dan musik pada skripsi ini dalam bab tiga.

Musik yang di gunakan untuk mengiringi upacara perkawinan di atas yaitu pada prosesi ketiga yakni pada saat upacara panggih. Sejauh pengamatan penulis di Kota Medan umumnya menggunakan musik rekaman, yang di putar dengan

tape recorder atau VCD/MP3 player, atau lainnya. Biasaya di perkuat dengan

loudspeaker. Ini merupakan fenomena yang menarik dalam kebudayaan suku Jawa di Sumatera Utara. Kalau di Jawa menurut pendapat para informan, musik yang di sajikan cenderung live (langsung) dan menggunakan perangkat gamelan

(11)

termasuk Medan dan sekitarnya, orang Jawa yang melakukan upacara perkawinan biasanya cukup menggunakan musik rekaman saja, walau ada sedikit orang yang menggunakan gamelan secara live. Menurut keterangan para informan, keadaan ini di sebabkan oleh karena faktor efektivitas, dan tidak menjadi sanksi sosial jika tidak melaksanakan upacara memakai iringan gamelan secara live. Selain itu adalah mereka merasa sebagai orang Jawa kelahiran Sumatera yang lebih tepat mengadakan musik hiburan yang dapat mengakomodasi berbagai jenis budaya (lagu) di kawasan ini. Oleh karena itu mereka cenderung menampilkan musik

keyboard atau yang sejenis.

Gendhing rekaman yang berjudul Monggang, Ladrang Wilujeng, Kodok Ngorek, dan Ketawang Larasmaya ini di beli dari Solo melalui rekan dari Bapak Agus Wayan (informan kunci sekaligus pembawa acara panggih) yang kebetulan bepergian ke daerah Solo. Ini jugalah fenomena yang menarik musik dalam upacara perkawinan adat Jawa di Kota Medan dan Sumatera Utara secara umum yang telah berubah dalam penyajian musik dalam mengiringi upacara perkawinan adat suku Jawa.

(12)

prada keemasan ataupun tanpa prada. Kain batik di wiru, yakni dilipat-lipat bagian ujung lebarnya, sebanyak tujuh atau sembilan lipatan selebar masing-masing dua jari. Busana pengantin Solo putri menggunakan sanggul bangun tulak. Pada bagian atas kanan sanggul di sematkan ronce melati yang menjuntai hingga dada.

Perlengkapan lain yang di perlukan adalah selop (sandal) warna yang di anggap serasi dengan kebayanya. Pada busana mempelai pria Solo putri berupa jas beskap Jawa lengkap yang disebut baju sikepan warna hitam, merah maron,

biru, atau hijau daun sesuai selera yang terbuat dari kain beludru dengan bordir benang atau mote warna kuning keemasan, serasi dengan mempelai perempuan. Bagian dalam di lapis dengan rompi berwarna putih. Perhiasan mempelai pria berupa kalung ulur atau kalung karset yang ditahan dengan bros. Pada kepala memakai blangkon warna hitam atau senada dengan warna busana. Sebagai penyempurna, mempelai pria menggunakan keris berhias bunga kolong keris.

Yang menjadi objek penelitian penulis dalam rangka penulisan skripsi ini, adalah upacara perkawinan adat Jawa di Jalan Sei Batu Gingging, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Segala deskripsi dan analisis baik itu musikal, upacara, hiburan, dan lainnya adalah berdasarkan observasi penulis pada tanggal 4 sampai 5 Mei 2013, dimana penulis melakukan penelitian dalam status penulis sebagai asisten penyedia jasa foto wedding yang tergabung dalam Mamipapi Photowork.

(13)

dipandang lengkap (untuk ukuran orang Jawa di Sumatera Utara), mulai dari perlengkapan, prosesi sesuai adat perkawinan Jawa yang semestinya telah dijalankan turun-temurun dari generasi ke generasi dan berbeda dari apa yang pernah penulis lihat pada upacara perkawinan adat suku Jawa sebelum-sebelumnya yang hanya terkesan singkat dan dalam melaksanakan beberapa prosesi banyak yang telah ditingggalkan. Artinya pada setiap prosesi upacara perkawinan Jawa yang ada di Jalan Sei Gingging pada tanggal 4 sampai5 Mei 2013 yang dilakukan mulai dari tahap upacara sebelum pernikahan sampai upacara setelah pernikahan mulai dari simbol, keperluan upacara, perlengkapan upacara ritual, dan lain sebagainya sangat memenuhi syarat dari sebuah upacara perkawinan adat Jawa seperti yang telah dijelaskan babak demi babak secara ringkas di atas. Hal ini salah satu faktornya adalah disebabkan oleh adanya faktor maupun tingkatan ekonomi yang dimiliki oleh setiap keluarga dalam masyarakat Jawa.

Pada konteks penggunaan upacara perkawinan adat suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, sejauh penelitian penulis memiliki dua bentuk, yakni upacara perkawinan adat Yogyakarta dan upacara perkawinan adat Solo (Surakarta).5

5

Masyarakat Jawa pada masa kini, orientasi kebudayaannya adalah pada dua keraton besar di Jawa Tengah. Yang pertama adalah Kasunanan Surakarta yang pusatnya ada di kota Solo atau Surakarta, dengan sebutan rajanya Paku Buwana. Yang kedua adalah Kasultanan Yogyakarta yang berpusat di Kota Yogyakarta, dengan sebutan rajanya Hamengku Buwana. Kedua kesultanan Jawa Islam ini adalah peninggalan dan kontinuitas dari Kesultanan Mataram (Islam) Jawa Tengah. Keduanya berpisah dalam proses politik kekuasaan di Tanah Jawa di abad ke-17, terutama kartena politik adu domba (divide et impera) yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dengan tujuan menguasai Nusantara ini. Kedua kerajaan ini sepakat membagi wilayah mereka dalam Perjanjian Giyanti. Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya,

(14)

Wayan, yaitu beliau sebagai pembawa acara panggih temanten (pembawa upacara pada perkawinan adat Jawa yang mempertemukan kedua mempelai pengantin) serta pemilik Sanggar Cipto Budoyo di Jalan Istiqomah, Helvetia, Medan, pada acara resepsi pernikahan Yusrita Arini, S.H. dengan Boy Budiansyah, S.H., menjelaskan bahwa upacara perkawinan adat Jawa yang di selenggarakan pada tanggal 5 Mei 2013 tersebut dimana acara resepsinya sendiri di adakan di Hotel Danau Toba Internasional Medan adalah menggunakan tata upacara perkawinan adat Solo. Hal yang membedakan antara tata upacara perkawinan adat Yogyakarta dengan tata upacara perkawinan adat Solo yang terdapat pada ritual pecah telur dan busana yang di kenakan oleh kedua mempelai pengantin.

Telur yang di maksud adalah telur ayam kampung yang putih dan bersih yang melambangkan kesucian dalam membangun rumah tangga baru. Hal ini dapat di lihat pada adat Jogja yang ritual pecah telurnya di lakukan oleh mempelai wanita yang kemudian telur tersebut di usapkan ke kening mempelai pria kemudian di pecahkan di lantai. Sedangkan perkawinan adat Solo di kenal dengan istilah ngidhak endhok (wiji dadi) dimana ritual pecah telur tersebut di pecahkan dengan cara diinjak dengan kaki kanan oleh mempelai pria tanpa menggunakan alas kaki dan kemudian kaki mempelai pria di basuh dengan air yang telah di campur dengan bunga setaman oleh mempelai perempuan (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan 15 Mei 2013).

(15)

acara resepsi pernikahan tersebut. Tarian tersebut berupa Tari Gatot Kaca dan

Tari Golek Sirih.

Musik gendhing gamelan yang di gunakan dalam prosesi temu temanten

merupakan bagian yang cukup penting dari upacara perkawinan adat Jawa yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat ditinggalkan meski penggunaannya pada saat ini sangat praktis hanya dengan menggunakan rekaman maupun format mp3 yang telah menjadi data digital yang bisa di perbanyak secara praktis pula melalui komputer. Hal ini di sebabkan yang paling utama karena dari segi biaya yang sangat bisa di jangkau oleh masyarakat Jawa yang ada di Sumatera pada umumnya, apabila secara langsung menyediakan musik gamelan maka akan membutuhkan biaya yang besar. Musik gamelan tidak dapat di tinggalkan dalam upacara prosesi temu temanten maupun dalam acara upacara secara keseluruhan,

karena apabila musik tersebut tidak di sertakan, dalam jiwa Jawa merasa adanya kekurangan, yang membuat suasana terasa kurang sakral dan kurang semarak (hasil wawancara dengan Pak Agus Wayan). Gendhing-gendhing yang mengiringi selama upacara sudah di atur secara kronologis sesuai dengan makna bagian-bagian upacara tersebut.

Adapun gendhing-gendhing tersebut akan di jelaskan pada bab selanjutnya, namun gending yang menjadi kajian penulis disini adalah:

1. Gendhing Monggang, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat datangnya pengantin pria beserta rombongan untuk melaksanakan upacara panggih.

(16)

3. Gendhing Kodok Ngorek, yaitu gendhing yang dimainkan pada saat prosesi upacara panggih berlangsung, kemudiandilanjutkan dengan gendhing,

4. Ketawang Laramaya, dimana gendhing ini dipergunakan pada saat pengantin sindur binayang sampai didudukkan di pelamin oleh ayah pengantin perempuan.

Gending-gendhing tersebut di hasilkan oleh beberapa instrumen di antaranya ialah Kendang (membranofon), Kendang (membranofon), Gong, dan Saron (idiofon) dan lain-lainnya. Namun penulis mengalami kendala dalam mendengarkan gending-gendhng tersebut pada saat upacara berlangsung, dimana ada beberapa suara yang bersumber pada pengeras suara yang lebih dari suara musik yang terdengar, yaitu suara pembawa acara yang intensitasnya melebihi suara musik gendhing-gendhing yang diputar pada saat upacara panggih. Pada Akhirnya penulis tertarik untuk memutuskan lebih mendengarkan suara melodi musik gendhing yang dominan terdengar yang dihasilkan oleh dua atau tiga instruments musik seperti kendang, gong dan saron. Musik berfungsi sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara, pada saat prosesi upacara temu temanten

musik di percaya sebagai penambah khidmatnya upacara adat tersebut.

(17)

Etnomusikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang merupakan fusi dari musikologi dan antropologi (etnologi). Secara eksplisit apa itu etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan manusia, didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6

Apa yang di kemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfungsikan kedua disiplin ini, akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan

6

(18)

munculnya masalah besar dalam rangka menggabungkan kedua disiplin itu. Oleh karena itu setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Etnomusikologi seperti yang di uraikan oleh Merriam tersebut menekankan perhatian pada dua aspek. Yang pertama adalah fungsi musik dalam kebudayaan manusia yang mendukungnya. Ini berkaitan dengan konteks musik tersebut digunakan dalam masyarakat, dan bagaimana kontribusi tersebut dalam masyarakat pendukungnya. Yang kedua adalah struktur musik itu sendiri, yang memiliki hukum-hukum internalnya, yang bisa saja berbeda antara satu musik dengan musik lain, antara budaya musik etnik yang satu dengan yang lainnya.

Sesuai dengan penjelasan Merrtiam tentang etnomusikologi tersebut di atas, maka sangatlah relevan mengkaji upacara perkawinan adat Jawa dan musik yang digunakan serta berfungsi dalam upacara tersebut di Sumatera Utara. Bagaimanapun masyarakat Jawa di Sumatera Utara ini memiliki kebijakan adaptasi tersendiri dalam rangka melakukan kontinuitas dan perubahan kebudayaannya di lokasi baru, bukan lokasi induknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana terjadinya reduksi seni musik untuk iringan upacara perkawinan yang hanya menggunakan rekaman dan alat rekaman saja, tidak pertunjukan langsung (live). Ini juga sejauh perhatian penulis adalah fenomena yang umum di dalam kebudayaan masyarakat Jawa di Sumatera Utara. Hal yang menarik lainnya, masyarakat Jawa di Sumatera Utara umumnya dan Medan khususnya selalu menggunakan musik keyboard (bukan perangkat

(19)

trend (kecenderungan) gaya seni dalam berbagai budaya etnik yang ada di Sumatera Utara.

Hal-hal di atas tersebut yang menjadi dasar penulis sehingga memilihnya menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan demikian penulis memberi judul Studi Deskriptif Upacara dan Musik pada Perkawinan Adat Jawa di Medan Selayang.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari kajian lebih luas, maka penulis membatasi penelitian ini pada upacara Perkawinan adat Jawa yang ada di Jalan Sei Batugingging, Kecamatan Medan Selayang, Medan. Lokasi acara perkawinan tersebut terbagi dua, yaitu pada acara lamaran, siraman, serta akad nikah diselenggarakan di Jalan Sei Batu Gingging, tepatnya berada di kediaman mempelai perempuan dan upacara panggih serta acara resepsinya sendiri diselenggarakan di Hotel Danau Toba Medan.

1.3 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang seperti di atas, untuk memfokuskan kajian dan penelitian penulis dan penulisan skripsi maka penulis menentukan pokok permasalahan atau pertanyaan penelitian, adalah sebagai berikut:

(20)

2. Bagaimana struktur musik, yang mencakup melodi pada gendhing Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan

gendhing Ketawang Larasmaya pada alat musik saron demung, yang di putar secara rekaman pada ritual temu temanten dalam upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan dua pokok permasalahan diatas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan Prosesi upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

2. Untuk Mengetahui struktur musik melodi yang dominan terdengar pada rekaman gendhing gamelan dalam upacara perkawinan adat suku Jawa di Kecamatan Medan Selayang, Medan.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan refrensi penulis atau pihak-pihak tertentu atau

(21)

2. Menambah pengetahuan penulis dan peneliti lainnya tentang kekayaan budaya Suku Jawa yang ada di Sumatera Utara, khususnya Kota Medan.

3. Penulisan ini bermanfaat sebagai pengembangan teori dan metode dalam disiplin Etnomusikologi.

1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep

Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif ialah tindakan atau kegiatan menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang terdapat dalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadly (1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis akan mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang upacara perkawinan adat suku Jawa sebagai bahan informasi untuk para pembaca yang membutuhkan.

(22)

perkawinan adat Jawa meliputi beberapa tahapan prosesi, prosesi itu di antaranya proses sebelum perkawinan, persiapan menuju hari perkawinan, dan pelaksanaan upacara perkawinan yang di dalamnya terdapat beberapa ritual yang akan di bahas dalam skripsi nantinya.

Suku adalah kelompok etnik yang memiliki suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti Negara Menurut Abner Cohen yang di kutip oleh Zulyani Hidayah (1999). Menurut Koentjaraningrat (1989), suku bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki system kepemimpinan sendiri. Suku yang penulis maksud adalah suku Jawa.

(23)

1.5.2 Teori

Teori merupakan hal pokok dan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10).

Untuk mengkaji upacara perkawinan adat Jawa, dimulai dari persiapan hingga terselenggaranya prosesi upacara penulis menggunakan teori semiotika. Dalam melakukan pendekatan terhadap teori semiotika penulis menggunakan teori yang sesuai dengan penelitian ini, yaitu teori yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:234) yang menyatakan bahwa komponen upacara ada 4, yaitu: (1) tempat upacara, (2) saat upacara, (3) alat-alat perlengkapan upacara, dan (4) pendukung dan pemimpin upacara.

Untuk mengkaji struktur musik rekaman gamelan Jawa gendhing Monggang, gendhing Ladrang Wilujeng, gendhing Kodok Ngorek, dan gendhing Ketawang Larasmaya yang digunakan dalam mengiringi upacara pada ritual temu temanten menggunakan teori wighted scale (bobot tangga nada). Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya, teori weighted scale dari Malm (1977:8) mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yakni: (1) scale (tangga nada), (2) Nada dasar, (3) range (wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola kadensa), (7) melodic formulas

(24)

dalam prosesi ritual temu temanten penulis mendengarkan berulang kali terhadap rekaman musik gamelan tersebut untuk di transkripsikan nantinya.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata (bisa lisan untuk penelitian agama, social, budaya, filsafat), catatan-catatan yang berhubungan dengan makna, nilai serta pengertian. Penulis juga mengacu pada disiplin etnomusikologi seperti yang di sarankan Curt Sachs dan Nettl (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi di bagi dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (deks work).

Pada tahap pekerjaan lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin, pada waktu yang menguntungkan penulis sekaligus menjadi assisten dari penyedia jasa foto pernikahan yakni Mamipapi Photowork yang bertempat di Jalan Ismaliyah Nomor 134 Medan, dalam hal ini penulis menggunakan alat bantu berupa kamera Nikon D7000, kamera Canon 7D, kamera Canon 60D, video shooting. Pengamatan dan pemotretan secara langsung pada upacara perkawinan adat suku Jawa pada bulan Mei 2013.

(25)

Untuk mengetahui segala permasalahan penelitian dan penulisan serta mengaplikasikan metode penelitian kualitatif, penulis melakukan pengumpulan data melalui pemahaman kepustakaan, penulisan juga di lakukan dalam beberapa tahapan disamping pengumpulan data, yaitu pemilihan sampel, kerja laboratorium, dan bimbingan, diskusi serta konseling. Sebagai hasil akhir dari menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.

1.6.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung penulisan mengenai upacara perkawinan adat suku jawa penulis juga mencari, memahami serta menggunakan literatur-literatur yang berhubungan sehingga akan dapat membantu memecahkan permasalahan. Di antara berbagai buku yang telah penulis dapat yang berkaitan dengan judul yang telah di sebutkan bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat di gunakan sebagai acuan demi pembahasan dan penelitian, dan menambah wawasan penulis mengenai upacara perkawinan adat suku Jawa.

1.6.2 Penelitian Lapangan 1.6.2.1 Observasi

Satori (2009: 105) mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan langsung terhadapa objek untuk mengetahui keberadaan objek , situasi, kondisi, konteks, ruang beserta maknanya dalam upaya pengumpulan data penelitian.

(26)

sehingga dapat sekaligus mengumpulkan dengan cara memotret setiap ritual demi ritual prosesi upacara perkawinan, mulai dari jalannya upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku upacara, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan.

1.6.2.2 Wawancara

Wawancara yang penulis lakukan dalam penelitian terdiri dari dua kategori, yaitu wawancara terencana dan wawancara tak terencana. Wawancara terencana telah memiliki format pertanyaan yang di susun dengan sistematis sebelum melakukan wawancara, sedangkan wawancara tak terncana merupakan wawancara yang tidak memiliki format atau daftar pertanyaan yang telah di susun sebelumnya. Terkadang wawancara tak terencana bisa muncul dalam wawancara yang telah terencanakan, hal tersebut di sebabkan karena pengetahuan penulis maupun daya ingat penulis yang terganggu oleh situasi dan kondisi. Dalam kegiatan wawancara penulis menggunakan media rekam berupa handphone Blackberry 9300 untuk kemudian data yang didapat dalam wawancara disaring dalam proses kerja laboratorium.

1.6.2.3 Perekaman

Dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan dua cara:

(27)

yang di putar dalam ritual temu temanten pada upacara perkawinan adat suku Jawa.

2. Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar di gunakan kamera digital merk Nikon dan Canon serta aplikasi Snipping Tools untuk mendapatkan gambar yang di tangkap dari video.

1.6.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisaan data-data yang telah didapat di lapangan. Setelah semua data yang di peroleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul penulis melakukan proses penyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data yang kurang. Semua data yang di peroleh di lapangan di olah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan etnomusikologi.

1.7 Pemilihan Lokasi Penelitian

(28)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

1) Membentangkan tali sepanjang 50 meter di daerah tepi air. Lalu di buat jalur dari tepi air ke arah waduk dan berakhir pada bagian yang tidak ada sebaran

Senin kemarin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) meminta kelarifikasi ketua DPR Setya Novanto terkait dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla

Merupakan pompa yang berfungsi mengangkat (jack) poros turbin dengan tekanan minyak yang tujuannya adalah menghindari terjadinya gesekan statik ketika poros turbin

Secara umum komunikasi data dapat dikatakan sebagai proses pengiriman data (informasi) yang telah diubah ke dalam suatu kode-kode tertentu yang

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan pengelolaan objek Taman Hutan Raya Bung Hatta yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan

suasana dari adegan perang kera, rasa musikal dengan memakai pola. ritme, dan melodi

Masyarakat Kecamatan Kebakkramat dahulu menyukai pementasaan karawitan Gaya Surakarta, dan saat ini mengalami perubahan selera menjadi lebih menyukai Gaya