• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Membangunkan Raksasa Ekonomi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Upaya Membangunkan Raksasa Ekonomi yang"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Upaya Membangunkan Raksasa

Ekonomi yang Tertidur

KJA Untuk Indonesia

Fluktuasi Harga Barramundi Landai

"

Sciences Business Forum

" IPB

Bahas Usaha Udang Lobster

M

ARIKULTUR

E. MAGAZINE

(2)
(3)
(4)

E

DITORIAL

DEWAN REDAKSI

Rokhmin Dahuri Coco Kokarkin Sutrisno

PEMIMPIN REDAKSI

Muhibbuddin Koto

REDAKTUR

Nanang S. Sukarya

REPORTER

Diana Mohar Syarif

DESAIN & LAYOUT

Eka Fitriyani

MARKETING

Fitri Dahlia

Salam Marikultur,

Lega sekali rasanya, setelah melalui proses panjang E. M agazine M arikultur dapat hadir ke tengah-tengah pembaca. Majalah ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi untuk stakeholder bidang akuakultur, khususnya marikultur. Setiap edisi E. M agazine M arikultur akan memaparkan secara konprehensif komoditas perikanan laut yang hangat diperbincangkan dan menjadi peluang usaha yang perlu dikembangkan dalam peningkatan sumber ekonomi bangsa. Pilihan majalah elektronik agar kami dapat menyampaikan berita dengan sasaran pembaca lebih luas, serta dapat diperoleh secara gratis dan dinikmati kapan dan dimana saja oleh pembaca melalui gadget-nya.

Sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar dunia, Indonesia mempunyai potensi marikultur terbesar dunia diperkirakan mencapai 100 juta ton.Namun sayangnya produksi marikultur tahun 2017 baru mencapai 10,5 juta ton saja atau baru sekitar 10% dari potensi yang ada, ini pun masih didominasi oleh rumput laut sebesar 9,8 juta ton. Sisanya sekitar 700 ribu ton terdiri dari kerapu, barramundi, bawal bintang, kekerangan, bandeng dan kelompok crustacea (udang, lobster, kepiting dan rajungan).

Pada edisi perdana ini kami mengangkat Topik Utama "Budidaya Barramundi; Upaya Membangunkan Raksasa Ekonomi yang

Tertidur". Produksi barramundi dunia tahun 2017 sekitar 90 ribu ton, produksi Indonesia masih 2 ribu ton (2,2% produksi dunia). Ini angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan Malaysia yang sudah berproduksi sebesar 32 ribu ton (35,6% produksi dunia). Dari fakta ini mempertegas bahwa prospek marikultur sangat besar. Apabila dikelola secara professional, menggunakan sains dan teknologi serta manajemen yang inovatif, usaha marikultur dapat menjadi salah satu sektor unggulan yang dapat berkontribusi bagi kemajuan perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

E. M agazine M arikultur tampil untuk mendorong kemajuan sektor perikanan budidaya khususnya marikultur. Beragam rubrik dengan bermacam pembahasan terkait industri barramundi akan dipaparkan dan dibahas oleh para ahli dan praktisi yang kompeten dibidangnya.

Kemudian perkenankan kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan sehingga penerbitan E. M agazine M arikultur ini dapat terealisasi. Kami menyadari pada edisi perdana ini masih mempunyai banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat kami harapkan untuk perbaikan di edisi mendatang.

Akhir kata kami berharap semoga kehadiran majalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Selamat membaca,

Pemimpin Redaksi

MARIKULTUR

E. MAGAZINE

Informatif dan Aktual

ALAMAT REDAKSI

Wisma Iskandarsyah Blok A No. 10 Jl Iskandarsyah Raya Kav 12–14 Kebayoran Baru, Jakarta 12160 Tlp. 021-29641403 Fax. 021 29641499 Web: admin@indoagribiz.com

(5)

5

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

30

41

D

AFTAR

I

SI

20

laporan utama

6

Upaya Membangunkan Raksasa Ekonomi yang Tertidur

kata pakar

15

Menguak Potensi Marikultur Nasional

kebijakan

20

Menebar Barramundi di Keramba Ala Norwegia

23

Benih dan Pakan Pun Disiapkan

Profil

25

Hasanuddin Atjo: Dari Bisnis, Penemu Teknologi Supra Intensif, Hingga Konsultan FAO

peluang

27

Mengulik Bisnis Seksi Barramundi

teknologi

33

KJA Untuk Indonesia

32

Pemerintah Perlu Lakukan Selective Breeding Barramundi

advertorial

38

Catatan Kaum Marginal

39

Aquatec Perkuat Budidaya Offshore Nasional dengan KJA Offshore

MOmen

41

MAI Minta Permen-KP yang Kontraproduktif Dicabut

43

Dengan Beberapa Catatan, Cantrang Diizinkan Melaut Kembali

45

Mengupas Polemik Cantrang

47

"Sciences Business Forum" IPB Bahas Usaha Udang Lobster

49

Ri buan Nemo dan Kuda Laut Dilepas di Perairan Lampung

51

Pertemuan MAI-Dirjen PDSPKP Hasilkan Diskusi Akuakultur Bulanan

Konsultasi

54

Soal Lobster, Perlu Peningkatan Teknik Budidaya dan Peraturan Penangkapan Bukan Pelarangan

pasar

(6)

LAPORAN UTAMA

Upaya Membangunkan

Raksasa Ekonomi yang Tertidur

Jauh panggang dari api, cita-cita menjadi produsen barramundi

terbesar dunia masih sebatas mimpi

MARIKULTUR–– Seperti lirik dalam lagu Koes Plus;

“orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu

dan batu jadi tanaman฀. Itulah Indonesia. Kekayaan

alam yang melimpah ruah harusnya bisa menjadi

aset untuk membuat rakyatnya lebih sejahtera.

Namun sayangnya segala potensi yang ada masih banyak yang belum berkembang, tak terkecuali

sektor marikultur.

Ada salah satu sektor yang dapat menjadi raksasa

pembangunan yang saat ini masih tertidur. Raksasa

itu adalah marikultur, sektor yang selama ini tidak

pernah dilirik serius sebagai aset pembangunan

nasional. Diungkap Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, bahwa

sektor marikultur memiliki potensi produksi lestari sekitar 60 sampai 100 juta ton/tahun (terbesar

di dunia). Jika dikalkulasikan secara ekonomi

langsung (on farm) nilainya lebih dari 120 milyar AS

per tahun. Dikonversi dalam rupiah nilainya bisa mencapai 1.440 triliun rupiah setara dengan lebih

setengah APBN (Anggaran Belanja Negara Nasional)

(7)

7

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR Senada dengan Rokhmin, praktisi marikultur

Muhibbuddin Koto yang akrab disapa Budhy, mengatakan jika potensi marikultur Indonesia

sedikitnya mencapai 60 juta ton, yang terdiri dari 45 juta marine, dan 15 juta coastal aquaculture atau

secara keseluruhan bisa dianggap marikultur. ฀Kalau

rata-rata harga komoditas marikultur diasumsikan

Rp 50.000 per kg saja dikali 60 juta ton, maka hasilnya bisa Rp 3.000 triliun,฀ ungkap Budhy, angka ini bisa melebihi APBN kita saat ini.

Hitung-hitungan di atas kertas, memperlihatkan bagaimana sektor marikultur adalah raksasa

ekonomi yang masih tertidur sampai saat ini. Karena

kenyataannya, produksi marikultur (budidaya

laut) Indonesia masih jauh dari hitungan angka di atas kertas. Rokhmin mengungkapkan sampai saat ini baru 350 ribu hektar atau 1,5% wilayah yang sudah termanfaatkan. Hal ini juga diakui

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dalam

hal ini Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang

menyebut potensi pemanfaatan lahan yang ada

untuk sektor marikultur baru sekitar 325 ribu hektar. ฀Artinya peluang investasi dan bisnis untuk

menciptakan lapangan pekerjaan, memacu pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan

kesejahteraan rakyat di sub-sektor marikultur masih

luar biasa besarnya,฀ seru Rokhmin. Lalu langkahnya

ke mana?

Berkaca pada Norwegia yang berhasil

mengembangkan salmon, harusnya dengan

limpahan potensi yang ada, Indonesia mampu

membangun salah satu komoditas menjadi

kekuatan besar. Budhy meyakini barramundi

merupakan salah satu komoditi marikultur yang

bisa jadi prioritas. Para praktisi marikultur lainnya

rasanya juga sepakat, jika barramundi (kakap putih),

mampu menjadi ฀salmonnya Indonesia฀.

Alasannya kenapa barramundi di gadang ฀ gadang

menjadi raksasa marikultur, didasarkan pada aspek

pasar. Dalam hal ini barramundi memiliki pasar

yang luas misalnya untuk Australia, Singapura,

Hongkong, USA, Timur Tengah dan Eropa.

Bukti lainnya adalah ikan ini telah dibudidayakan

di beberapa negara seperti Australia, Iran, Perancis, Amerika, (Hawaii, Massachusetts) Israel. Bahkan

juga di Asia seperti Thailand, Vietnam, Filipina,

Malaysia, dan Indonesia.

Disebutkan thefishsite.com, barramundi sudah

mulai dibudidayakan sejak 1970-an di Thailand dan menyebar dengan cepat ke seluruh Asia Tenggara. Di antara atribut yang membuat barramundi calon

(8)

relatif kuat yang mentolerir kepadatan dan memiliki toleransi

fisiologis yang luas. Selain itu

fekunditas ikan betina spesies ini juga sangat tinggi, sehingga untuk ketersediaan produksi benih

harusnya tidak menjadi masalah. Dari sisi pasar maupun

aspek biologis tidak diragukan lagi komoditas barramundi patut diperhitungkan sebagai raksasa marikultur yang

harus dikembangkan. Namun

sayangnya produksi barramundi nasional masih harus digenjot agar dapat menjadi raksasa

ekonomi sungguhan.

Produksi Anjlok

Jauh panggang dari api,

cita-cita menjadi produsen barramundi terbesar dunia

masih sebatas mimipi. Budhy

memperkirakan, berdasarkan data yang ia himpun dari sumber terpercaya, menunjukan kalau

produksi barramundi tahun 2017 lalu kurang dari 2.000 ton.

Perhitungannya adalah saat ini tinggal 4 farm besar barramundi saja yang masih

beroperasi di Indonesia. Ia

menyebut 4 farm besar tersebut,

Philip Seafood, Indomarine, Bali Barramundi, dan PT Metok Arjasa. Diperkirakan masing- masing

farm produksinya tidak sampai 500 ton/tahun, berkisar antara

60–300 ton/tahun. Sehingga jika ditotal tidak sampai 1.800 ton/ tahun.

Ditambah dari gabungan

pembudidaya barramundi skala kecil yang masuk ke pasar lokal, dengan estimasi tidak lebih dari 20 ton per bulan atau 240

ton per tahun. Jumlah produksi barramundi 2017, hanya bergerak di angka 2.000 ton berdasarkan

hitungan real.

Sementara itu berdasarkan data yang dikeluarkan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), diakui produksi barramundi hasil budidaya

di Indonesia memang sangat kecil. Namun KKP dalam hal ini Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) mengklaim

dalam sepuluh tahun terakhir produksi barramundi trennya mengalami kenaikan rata-rata 4

persen.

KKP menyebut, dalam lima tahun terakhir, misalnya, produksi barramundi hasil budidaya

sebesar 6.198 ton. Pada 2013 naik menjadi 6.735 ton. Namun pada tahun 2014 turun menjadi 5.447 ton dan naik menjadi 6.558 ton pada 2015. Dan pada tahun 2016 turun kembali menjadi 5.545 ton (DJPB KKP).

Berbeda dengan KKP, mau tidak mau harus diakui, tahun

2017 angka produksi barramundi anjlok dari tahun ฀ tahun

sebelumnya. Bahkan ada dua

farm besar barramundi yang juga terpaksa harus tutup di tahun

sebelumnya. Sebut saja Fega Marikultura dan Suri Tani Pemuka (STP).

Agus Somamihardja praktisi marikultur dan perudangan nasional yang dulu sempat bergabung di PT Suri Tani Pemuka mengatakan, salah satu yang menyebabkan STP memilih menutup usaha budidaya barramundi karena

dinilai budidayanya terlalu lama. ฀Pihak owner juga menganggap barramundi bukan bisnis

yang tepat untuk dijalani STP,฀ ungkapnya.

Namun menurut Agus, sebetulnya prospek barramundi masih sangat baik, hanya saja diperlukan dedikasi,

kesabaran, dan kekuatan

finansial yang cukup untuk dapat

mengembangan bisnis ini.

Senada dengan Agus, saat

dimintai keterangan oleh Redaksi E-Magazine Marikultur, Radja

Pasaribu salah satu anggota

family owner Fega Marikultura

mengungkapkan, ฀Karena banyak investasi dalam bentuk

pioneering, yang mana very long term investment, akhirnya Fega mengalami gangguan cashflow

dan sementara menutup bisnis

barramundinya,฀ ungkap Radja.

Padahal saat itu angka produksi

Fega Marikultur telah mencapai

hampir 900 ton di tahun terakhir

(2015).

Poin masalahnya adalah karena bisnis ini memerlukan

investasi yang besar dan

memerlukan waktu lama (jangka

panjang) untuk menghasilkan, sokongan financial menjadi

sangat penting. Hal ini lah yang

perlu disadari pemerintah,

diperlukan insentif investasi bagi

pengusaha yang mau menggeluti

bisnis di sektor ini.

Radja mengungkapkan, bahwa kegiatan pioneering di bidang usaha marikultur sangat 'capital incentive'. “Sebagai

perbandingan yang sering diambil Muhibbuddin Koto, Praktisi Marikultur

(9)

9

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR sekarang ini adalah Norway,

yang mana pemerintah Norway

sangat mendukung baik dari sisi akademik maupun finansial untuk pengembangan industri

akuakulturnya,฀

Radja menceritakan, Fega Marikultura sebetulnya telah

merintis usaha budidaya barramundi sejak tahun 90

an awal. Dalam perjalanan

untuk merintis usaha ini, Fega mengambil langkah-langkah untuk membuat

usaha ini terintegrasi vertikal

secara menyeluruh dengan mengembangkan pembibitan (hatchery), budidaya off shore (farming/grow out) serta mengembangkan unit pengolahan (processing plant) dengan standar keamanan pangan internasional (BRC Certified).

Fega Marikultura melakukan

semua itu dengan biaya sendiri sehingga pada saat ekspansi

farming dimana pasar sudah mulai lebih terbentuk, terbentur dengan funding untuk investasi

pengembangan selanjutnya.

Hal ini menjadi pembelajaran bagi yang akan memulai

investasi untuk pengembangan barramundi.

Strategi Mengejar Produksi

Kata orang bijak, yang berlalu

biarlah berlalu. Produksi yang anjlok pada 2017, janganlah

menjatuhkan semangat untuk

terus maju di masa mendatang.

Semua pihak yang terlibat harus

bersama ฀ sama singsingkan

lengan baju, memasang strategi untuk mengejar produksi

barramundi.

Menurut Budhy, tidak

perlu muluk-muluk, idealnya Pemerintah mendorong setiap tahun produksi barramundi

bisa naik 5.000 ton, sehingga dalam 5-6 tahun Indonesia

mampu menjadi produsen

utama barramundi dunia.

Upaya untuk meningkatkan produksi sebetulnya juga telah dilakukan KKP, melalui project

KJA offshore untuk komoditas barramundi, yang diharapkan mampu mendongkrak produksi

barramundi tembus 5.000 ton

tahun ini.

Membaca peta produksi

barramundi saat ini, harus diakui

Indonesia masih tertinggal oleh negara ASEAN lainnya. Budhy

memaparkan, berdasarkan data Global Aquaculture Alliance

(GOAL) (lihat grafik), tampak bahwa produksi Indonesia masih

berada di peringkat ke-4 setelah

Malaysia, Taiwan, dan Vietnam. Mantan GM Marikultur Perum

Perindo ini mengungkapkan tidak ada perubahan yang berarti

dari tahun 1991 hingga 2018. ฀Berdasarkan grafik diperkirakan

produksi barramundi kita sekitar

7.000 ton tahun 2017, padahal real

produksinya tidak sampai segitu,฀ ungkapnya.

Saat ini, lanjutnya, produksi barramundi tertinggi masih

dipegang Malaysia, diangka 32 ribu ton, disusul Taiwan sekitar

28 ribu ton, dan Vietnam sekitar

18 ribu ton, baru Indonesia 7 ribu ton (berdasarkan grafik). ฀Lalu pertanyaannya, mampukah Indonesia memproduksi 50 ribu ton dalam 10 tahun ke depan?฀

Menjawab pertanyaan

Total Production by Major Producing Countries

(10)

tersebut, menurut Budhy, secara matematis dan melihat potensi lahan yang ada tentu

tidaklah sulit. ฀Namun secara

praktis, saya kira butuh upaya keras dari stakeholder, terutama

pemerintah.

Meskipun begitu, Budhy

masih yakin jika hal itu mungkin saja tercapai dengan semangat dan upaya dari semua pihak,

untuk bersama-sama bergerak.

Salah satu langkah mengejar

produksi, bisa diawali dengan memetakan lokasi. Menurut

Budhy, banyak sekali lokasi yang sesuai untuk barramundi

mulai dari Aceh hingga Papua. ฀Sebetulnya ada ratusan lokasi

yang dapat dijadikan lokasi potensial untuk budidaya barramundi, namun saya ingin

menunjuk 7 lokasi tersebut terlebih dahulu,฀ tandasnya.

Sambil menunjukan pada peta dan titik lokasi tersebut,

Budhy menyebutkan 7 lokasi tersebut. Antara lain Nusa Penida Bali, Sumbawa, Konawe Selatan,

Natuna, Karimun, Sumatera

Barat, dan Lampung. Saat ditanya

pertimbangan ia menyebut lokasi tersebut, ia pun menunjukkan

tabel-tabel beberapa parameter.

(Lihat Tabel Parameter Pemilihan Lokasi)

Lima parameter pertimbangan

pemilihan lokasi adalah rencana

tata ruang wilayah, akses,

infrastruktur dasar, kualitas perairan, dan dukungan sosial

masyarakat. ฀Tujuh lokasi tersebut

memiliki semua parameter yang diperlukan, sehingga pas kalau kita jadikan lokasi sentra

budidaya barramundi,฀ tegas Budhy.

Ia pun mengkalkulasi hitungan dari setiap lokasi tersebut.

Menurutnya, setiap lokasi bisa

di setting untuk produksi 10 ribu

ton, jadi jika ada 7 lokasi maka Indonesia bisa memperoleh produksi 70 ribu ton barramundi.

Hitungan sederhananya, adalah setiap lokasi untuk dapat memproduksi 10 ribu ton barramundi maka harus disiapkan paling tidak 200 hole

KJA (Keramba Jaring Apung). Jika

ada 50 ton produksi per hole-nya, maka dari 200 hole akan diperoleh

produksi sebanyak 10 ribu ton. ฀Tujuh lokasi ini dikembangkan sudah menjadikan Indonesia

sebagai produsen barramundi

terbesar,฀ tandas Budhy.

Tidak hanya bicara produksi, perlu diingat multiplier effect

dari peningkatan produksi barramundi akan memberikan

manfaat ekonomi yang luas. Misalnya saja dari potensi

tenaga kerja, jika satu hole dapat mempekerjakan 2 orang, berarti jika ada 200 hole di satu lokasi paling sedikit akan ada 400 orang

tenaga kerja yang dibutuhkan. ฀Ini

baru tenaga untuk usaha utama, belum termasuk tenaga di bidang lain yang terkait dengan usaha

utama tersebut,฀ ujar Budhy.

Belum lagi secara ekonomis berapa pendapatan yang bisa diperoleh dari produksi

Wajan Sudjja Ketua Abilindo, Asosiasi Pembudidaya Ikan Laut Indonesia

NO. URAIAN

Tabel Parameter Pemilihan Lokasi

Contoh Penentuan Prioritas Lokasi di 7 Daerah

1 (Nusa Penida, Bali) 2 (Sumbawa, NTB) 3 (Konawe Selatan,

Sulawesi Tenggara) 4 (Natuna, Kep. Riau) 5 (Karimun, Kep. Riau) 6 (Pesisir Selatan, Sumbar) 7 (Pesawaran, Lampung)

++++ (Sangat Baik)

+++ (Baik)

++ (Cukup)

(11)

11

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR barramundi sebanyak 70 ribu ton tersebut, jika

mengambil harga rata ฀ rata Rp 70.000 per kg saja, dikalikan 70 ribu ton, maka hasilnya bisa mencapai Rp 4,9 triliun.

Tantangan Produksi

Dari aspek lokasi untuk produksi bukanlah

masalah, namun sejumlah tantangan dalam

produksi barramundi masih menghinggapi. Budhy

menginformasikan, masalah budidaya barramundi

yang ada saat ini umumnya ada 3 hal, yakni

kestabilan biaya produksi, kualitas benih, dan

kualitas pakan.

Ia berharap pemerintah dapat membantu tiga permasalahan pokok tersebut.฀Harus dicari cara bagaimana menurunkan FCR/Feed Convertion Rate dari 1,8 menjadi 1,2, SR/Survival Rate dari 60% menjadi 80%, ini tugas pemerintah, untuk memikirkan hal tersebut,฀ pesan Budhy.

Lanjut dia, misalnya saja untuk masalah induk

saat ini menurut Budhy ketersediaan induk barramundi yang dimiliki pemerintah jumlahnya

masih sangat kecil. Dalam hal ini, Balai di Aceh, Batam, Situbondo, Lombok, Lampung, dan Ambon jumlah indukan diperkirakan tidak lebih dari 300 ekor. Padahal untuk meningkatan produksi tentunya

ketersediaan induk unggul, sangat diperlukan untuk memperoleh benih yang memiliki pertumbuhan

cepat.

Ikut angkat bicara, Wajan Sudja Ketua Abilindo (Asosiasi Budidaya Ikan Laut

Indonesia), untuk budidaya barramundi hingga

panen ukuran 2,5 kg saat ini dengan benih yang

ada, waktu budidayanya masih terlalu lama yakni sekitar 2 tahun. Kata Wajan, dari

pernyataan yang disampaikan di Grup

WA Marikultur Nasional, kalau

dihitung dari segi bisnis, hitungan

IRR (Internal Rate of Return) yang merupakan indikator untuk melihat tingkat efisiensi dari

suatu investasi masih di bawah 50% dengan payback period

(jangka pengembalian modal

investasi) juga cukup lama sekitar 6 tahun.

Begitupun dengan yang disampaikan Esther Satyono, Pemilik Ocean

Mitramas/Indomarine,

untuk mencapai size barramundi sesuai dengan

permintaan pasar memang diperlukan waktu budidaya yang lebih panjang mencapai 2,5 tahun. Ia berharap ada benih hasil selective breeding

seperti pada salmon. Jika dulu perlu waktu 8 tahun

budidaya untuk mencapai salmon ukuran 4,5 kg, kini dengan benih hasil selective breeding bisa

diperoleh salmon ukuran 4,5 kg dengan waktu budidaya hanya 2,5 tahun.

Selain masalah benih, masih banyak

tantangan produksi barramundi lain, mulai dari

permodalan dan juga infrastruktur. ฀KJA yang ada

tidak bisa dijadikan agunan ke bank, untuk masa pemeliharaan yang panjang pembudidaya harus punya modal yang besar dan ini sulit dilakukan untuk pembudidaya dalam skala kecil, karena

panennya memerlukan waktu tahunan,฀ ungkap Esther. Ditambahkan, hal ini belum lagi terkait

infrastruktur di lokasi-lokasi budidaya yang juga

masih jauh dari harapan.

Untuk menarik minat investor untuk terjun dan mau berinvestasi di budidaya barramundi tentunya harus ada kepastian usaha dari pemerintah.

Sehingga tanpa itu semua, bisa dikatakan mustahil untuk mencapai impian menjadi produsen

barramundi terbesar di dunia dalam 10 tahun ke

depan. Padahal dari aspek pasar terbuka

luas, namun lagi lagi juga ada tantangan

untuk menggapainya.

Aspek Pasar

Budhi Wibowo, Ketua Umum

Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan

Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan, kalau ingin

mengembangkan pasar ekspor marikultur dalam jumlah

yang besar maka harus bisa bersaing dengan negara

lain dalam bentuk frozen. ฀Memang harga jual

dalam bentuk frozen

akan lebih murah dibandingkan dengan ekspor dalam bentuk

live atau fresh, namun pasarnya sangat besar dibandingkan pasar untuk produk live. Selain

itu ekspor dalam bentuk

(12)

frozen lebih murah dan mudah dibandingkan dalam bentuk live atau fresh,฀ ungkap Budhi.

Menurutnya, untuk dapat meningkatkan ekspor komoditas marikultur, Indonesia harus bisa bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu menurut

Budhi, perlu upaya untuk menurunkan harga

pokok produksi. ฀Upaya untuk menurunkan harga

pokok produksi harus terus dilakukan terutama melalui upaya untuk menghasilkan benih unggul dan mencari formulasi pakan terbaik khusus

untuk spesies marikultur tersebut. Selain itu

perlu penelitian untuk menekan tingkat kematian

budidaya komoditas marikultur,฀ tandas Budhi. Ia optimis pasar marikultur masih sangat luas,

dan bisa sebagai pengganti ikan hasil tangkapan

yang dari waktu ke waktu suplainya menurun. ฀Produk marikultur diharapkan lebih disukai

daripada hasil tangkap, karena langsung diolah/ dibekukan dalam kondisi yang sangat segar, berbeda dengan hasil tangkapan yang sebagian

besar memerlukan waktu dari waktu penangkapan

sampai bisa dilakukan pembekuan yang umumnya dilakukan di daratan (land frozen),฀ ucap Budhi.

Strategi Barramundi

Ketua AP5I mengatakan perlu mempersiapkan hulu terlebih dahulu. Sebab jika hulu sudah siap,

maka ia siap mempertemukan antara pembudidaya,

pakan, dan pengolah untuk bersinergi. Tak hanya

Budhi Wibowo saja yang memiliki gagasan untuk marikultur nasional. Muhibbuddin Koto, sebagai Pengurus MAI (Koordinator Pengembangan Marikultur) dan juga pengagas dari grup WA

Marikultur Nasional, punya suara untuk menggenjot produksi barramundi.

Budhy berharap, pemerintah dapat melakukan

upaya-upaya berikut untuk mewujudkan

cita-cita menjadi produsen barramundi terbesar di

dunia. Pertama, Membentuk Komisi Barramundi Indonesia. Kedua, susun rencana strategis setiap 5 tahun. Ketiga, lakukan mapping lokasi yang lebih terencana, bekerjasama dengan Pemda

setempat menyesuaikan dengan RTRW. Keempat, rangkul investor melalui forum Komisi Barramundi Indonesia. Kelima, jalin komunikasi dengan negara tujuan pasar. Keenam, kembangkan induk

berkualitas dan teknologi pembenihan, pendederan, serta grow up. Ketujuh, kembangkan industri

pengolahan, pakan, logistik, vaksin dan aspek pendukung lainnya.

฀Tentunya ini semua harus didukung dengan regulasi yang baik serta insentif untuk para investor agar tertarik untuk berinvestasi di sektor marikultur,฀ seru Budhy. Upaya apapun yang dilakukan tentunya

tidak bisa dilakukan sendiri, perlu dukungan semua

pihak untuk mewujudkan cita-cita menjadikan

sektor marikultur besar dan menjadi raksasa dalam

perekonomian nasional. [dia]

(13)
(14)

KATA PAKAR

MARIKULTUR–– Lima pekerjaan

rumah utama yang belum kunjung terselesaikan dalam

mewujudkan cita-cita luhur Kemerdekaan NKRI adalah

pengangguran, kemiskinan, kesenjangan antara kelompok

penduduk kaya vs miskin

yang sangat lebar, disparitas

pembangunan antar wilayah (Jawa vs Luar Jawa, dan kota vs

desa) yang sangat njomplang, dan

rendahnya daya saing bangsa.

Pasalnya, bagaiamana pun baiknya kinerja makroekonomi seperti tingginya pertumbuhan ekonomi, rendahnya inflasi, dan relatif kecilnya rasio utang

terhadap PDB tidak akan ada artinya.

Jika kita kelola dengan menggunakan inovasi IPTEK

mutakhir, manajemen

profesional, dan akhlak mulia, sejatinya kelima permasalahan utama bangsa di atas sebagian besar bisa diselesaikan melalui pembangunan ekonomi kelautan yang meliputi sebelas sektor: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan

budidaya, (3) industri pengolahan

hasil perikanan dan seafood, (4) industri bioteknologi kelautan,

(5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan pesisir (coastal

forestry), (8) transportasi/ perhubungan laut, (9) sumber

daya wilayah pulau-pulau kecil,

(10) industri dan jasa maritim, dan (11) sumber daya kelautan

non-konvensional.

Total nilai ekonomi sebelas sektor kelautan itu diperkirakan

mencapai 1,33 trilyun dolar

AS per tahun atau 1,4 kali lipat

PDB 2016 atau 7 kali lipat APBN 2016. Lapangan kerja yang bisa

dibangkitkan dari sebelas sektor kelautan itu mencapai 45 juta

orang atau 35,2 % total angkatan kerja.

Dari total potensi nilai ekonomi kelautan sebesar 1,33

trilyun dolar AS/tahun itu,

potensi ekonomi sektor perikanan budidaya sekitar 200 milyar dolar

AS/tahun (15%). Sedangkan,

potensi ekonomi sektor perikanan tangkap hanya sekitar 15 milyar

dolar AS/tahun (1,1%). Sektor

perikanan budidaya mencakup: (1) perikanan budidaya di laut (mariculture), (2) perikanan budidaya di perairan payau/ tambak (coastal aquaculture),

dan (3) perikanan budidaya di perairan tawar atau darat seperti di danau, waduk, sungai, kolam, sawah (minapadi), akuarium, dan wadah lainnya.

Prospek dan Tantangan Marikultur

Apabila dikelola secara professional, menggunakan sains dan teknologi serta manajemen

yang inovatif, inklusif, dan

ramah lingkungan; sub-sektor marikultur bukan hanya bakal berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarkat, tetapi juga bisa menjadi salah satu sektor unggulan (leading sector)

yang dapat menghela Indonesia

menjadi negara maju, sejahtera,

dan berdaulat. Sebab, sebagai

negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat

wilayahnya berupa laut, Indonesia

memiliki potensi produksi marikultur terbesar di dunia,

sekitar 60 juta ton/tahun.

Usaha marikultur bukan hanya menghasilkan sumber pangan protein berupa berbagai jenis ikan, kekerangan (moluska), dan crustacean (udang, lobster,

kepiting, rajungan, dan lainnya).

Tetapi juga sumber bahan baku bagi industri farmasi, kosmetik, perhiasan (seperti kerang mutiara), cat, film, biofuel, dan ratusan jenis industri lainnya, yang berasal dari micro algae,

macro algae, avertebrata, dan biota (organisme) laut lainnya.

Bahkan, dalam dekade terakhir Tiongkok sudah berhasil membudidayakan

padi di perairan laut pesisir. Dengan perkataan lain, ke depan

usaha marikultur juga bisa menghasilkan sumber pangan

karbohidrat. Sementara itu,

permintaan (demand) manusia,

baik di Indonesia maupun pada

tataran global, terhadap ikan,

seafood, dan produk-produk marikultur lain seperti tersebut akan terus meningkat, seiring dengan terus bertambahnya

jumlah penduduk dunia.

Tidak hanya memiliki

Menguak Potensi

Marikultur Nasional

(15)

15

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

prospek cerah saja, namun sektor marikultur juga memiliki tantangan dan permasalahan yang penghambat kinerja pembangunan sub-sektor

marikultur.

Pertama, adalah bahwa

sub-sektor marikultur belum secara resmi dianggap sebagai salah satu sektor pengguna ruang pembangunan dalam sistem

RTRW nasional. Akibatnya,

ketika terjadi konflik penggunaan

ruang wilayah pesisir dan

lautan dengan sektor-sektor pembangunan lainnya (seperti industri, pertanian, pemukiman,

perkotaan, pariwisata, dan

pertambangan), sektor marikultur

pada umumnya yang terkalahkan. Dengan kata lain, kepastian

dan keberlanjutan berusaha

marikultur menjadi sangat riskan.

Kedua, sebagian besar (lebih

dari 65%) usaha marikultur

sampai sekarang masih bersifat

tradisional. Dalam pengertian,

usahanya masih mengandalkan benih atau bibit dari alam, tidak memenuhi skala ekonomi sehingga keuntungannya kecil (tidak mensejahterakan pelaku usaha), tidak menggunakan teknologi budidaya mutakhir, tidak menerapkan manajemen rantai pasok terpadu, dan tidak

taat pada azas pembangunan

berkelanjutan (sustainable

development).

Ketiga, infrastruktur,

aksesibilitas, dan konektivitas antara sentra kawasan marikultur

dengan daerah konsumen (pasar) dalam negeri maupun pelabuhan ekspor kurang

memadai. Keempat, ketersediaan

benih, bibit, peralatan dan

mesin marikultur (termasuk KJA berbahan HDPE), dan sarana

produksi lainnya yang berkualitas tinggi dan harganya relatif murah

masih kurang mencukupi.

Kelima, harga jual hasil panen usaha marikultur pada umumnya

masih fluktuatif, dan posisi tawar

pembudidaya marikultur lebih rendah dari pada pembeli (buyers) Keenam, pencemaran perairan laut, baik akibat buangan limbah dari aktiitas manusia di daratan

maupun di lautan.

Ketujuh, Perubahan Iklim

Global beserta segenap dampak negatifnya, seperti pemasaman laut (ocean acidification), suhu laut yang semakin meningkat,

dan anomali iklim. Kedelapan,

kebijakan KKP dalam tiga tahun terakhir kurang begitu kondusif

bagi kemajuan marikultur.

Agenda Pembangunan

Supaya sub-sektor marikultur mampu membuka lapangan kerja yang luas, menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas (inklusif), dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan (sustainable), kita mesti melaksanakan empat agenda

pembangunan berikut.

Pertama, revitalisasi seluruh

usaha marikultur yang ada (existing mariculture businesses).

Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan

produktivitas, efisieni, dan

(16)

yang ada. Sehingga, keuntungan usahanya dapat mensejahterakan pelaku usaha (termasuk karyawan) budidaya, yakni minimal 300 dolar AS (sekitar Rp 4 juta)/orang/bulan secara berkelanjutan. Angka ini

dihitung berdasarkan pada garis kemiskinan Bank

Dunia (2014). Yakni seseorang digolongkan sejahtera

(tidak miskin), bila pengeluarannya lebih besar dari

2 dolar AS per hari. Mengingat bahwa ukuran rata-rata keluarga Indonesia di pedesaan adalah 5 orang (ayah, ibu, dan 3 anak) dan yang bekerja hanya ayah atau ibunya saja. Maka, pendapatan minimal

sebuah keluarga sejahtera adalah 2 dolar AS/hari ×

30 hari/bulan × 5 orang = 300 dolar AS/orang/bulan.

Untuk dapat mencapai target tersebut, seluruh unit usaha marikultur harus memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni ukuran unit usaha yang dapat menghasilkan pendapatan bagi pelaku

usaha minimal Rp 4 juta/orang/bulan. Setiap unit

usaha harus menggunakan teknologi mutakhir yang ramah lingkungan dan menerapkan Best Aquaculture Practices (BAP). BAP meliputi: (1) pemilihan lokasi

usaha yang tepat, (2) penggunaan bibit atau benih unggul (bebas penyakit, tahan terhadap serangan

penyakit, dan cepat tumbuh), (3) pemberian pakan

berkualitas, (4) pengelolaan kualitas air, (5) tata letak, desain, dan konstruksi media budidaya (cage nets,

floating nets, line nets, sea ranching, dan lainnya) secara benar, (6) pengendalian hama dan penyakit,

(7) biosecurity, dan (8) luas areal dan intensitas teknologi budidaya tidak melampaui daya dukung

lingkungan wilayah setempat.

Selain itu, kita harus menerapkan pendekatan sistem rantai suplai (hatchery dan pabrik pakan – pembesaran – industri pasca panen – pasar) secara

terintegrasi. Pendekatan ini sangat penting untuk

menjamin stabilitas harga jual produk akuakultur

yang menguntungkan pembudidaya dan terjangkau oleh konsumen (sesuai nilai keekonomian), dan keberlanjutan usaha seluruh mata rantai sistem

bisnis marikultur.

Untuk menghindari ekses negatif dari usaha

marikultur, kita harus memastikan, bahwa pakan

tambahan (pelet) semaksimal mungkin dapat dikonsumsi oleh ikan atau organisme lainnya yang kita budidayakan, sehingga tidak menimbulkan limbah pakan yang acap kali mengakibatkan

pencemaran perairan sekitarnya. Selain itu, kita

harus hati-hati jangan sampai ikan atau organisme

lain yang kita budidaya lepas ke perairan sekitarnya.

Hal ini untuk menghindari dampak negatif dari

invasi spesies asing yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan setempat.

Kedua, berupa ekstensifikasi (perluasan) usaha

marikultur di wilayah perairan laut baru yang cocok untuk usaha marikultur. Untuk meratakan

pembangunan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, sebaiknya program ekstensifikasi ini diprioritaskan ke

luar Jawa. Sangat baik, bila wilayah-wilayah

perbatasan kita makmurkan dengan beragam usaha marikultur beserta segenap industri hulu

dan hilir nya. Sehingga, bersama pengembangan

sektor-sektor ekonomi lainnya (seperti perikanan tangkap, pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, industri industri

pengolahan berbasis SDA, manufakturing, pertambangan dan energi, dan pariwisata),

marikultur dapat membangun sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang melingkari wilayah NKRI, dari

Sabang hingga Merauke dan dari Miangas ke Rote.

Prosperity belt ini diyakini juga akan membantu terbangunnya security belt (sabuk hankam) yang

(17)

17

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR dapat memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI.

Ketiga, diversifikasi spesies atau komoditas budidaya. Sebagai negara dengan keanekaragaman

hayati perairan (aquatic biodiversity) tertinggi di

dunia mestinya Indonesia sudah membudidayakan banyak biota perairan. Namun, hingga 2014 kita

baru berhasil membudidayakan tidak lebih dari

25 spesies. Sementara, Tiongkok dengan potensi

keanekaragaman hayati perairan jauh lebih rendah

dari pada Indonesia telah mampu membudidayakan 125 spesies orgnisme perairan.

Keempat, pembangunan industri hilir (processing and packaging) yang dapat memproses dan

mengemas komoditas hasil marikultur menjadi beragam jenis produk hilir untuk memenuhi pasar

domestik maupun ekspor yang terus berkembang.

Budidaya Offshore

Sebagai antisipasi dan untuk kepentingan

jangka panjang, seruan Presiden Jokowi untuk

mengembangkan usaha budidaya perikanan di laut lepas di atas 12 mil dari garis pantai ke arah laut

lepas sangat bagus. Akan tetapi, karena letaknya

dan kondisi dinamika kelautan (oseanografis) yang lebih keras ketimbang usaha marikultur di peraian laut dangkal (coastal waters), maka biaya produksi, transportasi, logistik, dan pengamanan offshore aquaculture pasti lebih mahal dan memerlukan teknologi yang lebih canggih (sophisticated) ketimbang usaha marikultur di coastal waters.

Oleh karena itu, pengembangan offshore

aquaculture harus menggunakan pendekatan “a big-push development”, yakni: (1) unit usahanya harus besar supaya memenuhi economy of scale (skala ekonomi) nya; (2) menggunakan teknologi mutakhir (state of the art technology); (3) menerapkan

integrated supply chain management system

(sistem manajemen rantai pasok terpadu) yang dapat memastikan stabilitas pasokan dan harga; (4) menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan; dan (5) pengamanan dari gelombang, cuaca buruk, bencana

alam, pencurian, perampokan, dan bahaya lainnya.

Kakap putih (barramundi) sebagai komoditas usaha offshore aquaculture adalah pilihan yang tepat, meskipun komoditas (spesies) lain yang nilai ekonominya lebih tinggi (seperti lobster dan cobia)

bisa juga dikembangkan di wilayah perairan laut

yang secara bio-ekologis cocok (suitable) untuk

pertumbuhan spesies tersebut.

Mengingat, sampai sekarang kita baru

memanfaatkan perairan laut dangkal (coastal waters

= perairan laut pesisir) untuk usaha marikultur kurang dari 5% total wilayah laut pesisir yang cocok untuk usaha marikultur. Maka, prioritas utama

pengembangan marikultur dalam jangka pendek

haruslah di wilayah perairan laut pesisir. Mulai 2018

ini sampai 2024, kita bisa mengembangkan unit usaha offshore aquaculture dengan pendekatan “big-push development” seperti diatas sebanyak di

30 lokasi (unit usaha). Masing-masing 10 lokasi di Indonesia Bagian Barat, Bagian Tengah, dan Bagian

Timur.

Harus dicatat, bahwa

pengembangan usaha

offshore aquaculture harus menggunakan teknologi

dan SDM dalam negeri (nasional). Jangan, seperti

tahun lalu teknologinya

dari asing (Norwegia).

Sebab, kita bangsa

Indonesia sudah mampu

mengembangkan dan menggunakan teknologi

offshore aquaculture. Boleh

kerjasama dengan negara maju, asalkan dananya dari hibah (grant), bukan pinjaman (loan).

(18)

M

ARIKULTUR

E. MAGAZINE

Informatif dan Aktual

Supported by :

Show Your

Advertisement at

Menjangkau Lebih Luas,

Informatif, dan Terpercaya

M

ARIKULTUR

E. MAGAZINE

Informatif dan Aktual

E-Magazine Marikultur dapat di download

free di Playstore

dan diakses di http://www.indoagribiz.com

Wisma Iskandarsyah Blok A No. 10

Jl Iskandarsyah Raya Kav 12–14 Kebayoran Baru, Jakarta 12160 Tlp: 021-29641403, Fax: 021 29641499 Web: admin@indoagribiz.com

Majalah versi digital

E-Magazine Marikultur lahir

dari dukungan berbagai pihak

di sektor perikanan.

Mari bersama bergandengan tangan, dorong

(19)

19

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

Menebar Barramundi

di Keramba Ala Norwegia

KEBIJAKAN

MARIKULTUR–– Penebaran

perdana kakap putih di keramba

jaring apung (KJA) offshore

seyogyanya akan dilakukan oleh

Presiden Jokowi berbarengan

dengan pelaksanaan Sail Sabang,

pada 2 Desember 2017. Namun rupanya Presiden Jokowi batal

datang di acara sail tahunan

itu dan diwakilkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Entah

kenapa, penebaran kakap putih

pun batal dilaksanakan pula.

Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) beralasan

komponen KJA yang didatangkan langsung dari Norwegia itu belum selesai dirakit.

Walhasil proyek anggaran

tahun 2017 itu tertunda hingga habis tahun. Direktur Perbenihan, Ditjen Perikanan Budidaya,

Kementerian Kelautan dan Perikanan Coco Kokarkin menjelaskan, program ini tetap akan berlanjut pada

tahun 2018. Sementara keterlambatan pengerjaan

itu diakuinya karena berbagai faktor, salah satunya cuaca, karena ombak dan kecepatan arus sedang

tidak bersahabat. Di sisi lain, berbagai proses

perizinan pun harus diselesaikan. Semisal izin lokasi, izin bangunan dari Kementerian Perhubungan dan Dishidros (Dinas Hidrografi dan Oseanografi) TNI AL.

Terang saja, karena digolongkan sebagai bangunan di tengah laut maka perlu suar sebagai bagian dari keselamatan pelayaran oleh

Kementerian Perhubungan. Begitu juga dengan izin lokasi, sempat beberapa kali pindah lokasi karena berada di kawasan konservasi dan jalur pelayaran. Pihak Ditjen PRL (Penataan Ruang Laut) KKP saat dikonfirmasi terkait dengan izin lokasi

membenarkan terjadinya beberapa kali pindah titik

lokasi karena peruntukannya kurang tepat. “Di tiga lokasi itu, awalnya titik koordinatnya kurang pas.

Ada yang berada di kawasan konservasi ada juga

lantaran mengganggu di alur pelayaran, makanya

harus dipindah ke zona aman,” ujar sumber PRL itu. Namun Coco optimis awal Maret KJA offshore

ini sudah bisa ditebari benih. Meskipun, lagi-lagi, rupanya awal Maret pun, KKP tidak akan

mengisi 8 lubang sekaligus sebagaimana yang telah

direncanakan. Karena keterbatasan anggaran, dari tiga titik yakni di Sabang, Karimuan Jawa

dan Pangandaran, hanya baru akan diisi untuk

dua lobang di masing-masing titik. Sisanya akan dikerjasamakan kepada pihak lain, baik BUMN atau swasta. “Februari akhir sudah kita putuskan siapa yang akan menyewa sisa yang enam lubang di tiap-tiap titik. Tidak hanya BUMN, swasta pun

dipersilahkan dengan ketentuan harus tender,”

tambahnya.

Usaha budidaya keramba jaring apung memang bukanlah hal asing bagi dunia perikanan di

Indonesia. Selama ini sering dilalukan di danau, sungai atau pantai berteluk. Tetapi jika lokasi

usaha tersebut dilakukan di lepas pantai atau

offshore (sekira 12 mil laut dari pantai), baru kali ini

(20)

dikembangkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya, KKP. Pada tiap kesempatan Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebijakto mengungkapkan, teknologi KJA

super intensif secara keseluruhan mengadopsi

teknologi ala Norwegia. Karakteristik perairan Indonesia dinilai sangat cocok untuk pengembangan budidaya laut sistem ini. Sehingga diharapkan akan

mampu mendorong optimalisasi pemanfaatan

potensi budidaya laut Indonesia.

Di sisi lain, luas potensi pengembangan

budidaya laut di Indonesia mencapai 12 juta hektar,

di mana total luas pemanfaatannya hingga saat

ini baru mencapai ± 285.527 hektar atau sekitar 2,36%. Sehingga peluang pemanfaatan ekonomi

budidaya laut masih sangat besar dan berpotensi

mendongkrak perekonomian nasional. Maka

dibuatlah usaha percontohan budidaya lepas pantai di tiga lokasi, yakni di Kota Sabang-Propinsi Aceh,

Kabupaten Pangandaran-Propinsi Jawa Barat dan Kepulauan Karimunjawa-Propinsi Jawa Tengah.

Pemilihan tiga tempat tersebut pun menjadi

pertimbangan tersendiri bagi KKP. Di tiga tempat ini, Pemerintah Provinsi-nya telah memiliki zonasi dan

tata ruang laut, sehingga mudah dalam penempatan

ruangnya, tidak akan khawatir berbenturan dengan sektor lain. Termasuk, tentu, di dalamnya ada izin

lingkungan untuk usaha budidaya yang disebut

Upaya Pemantauan Lingkungan dan Pengendalian Lingkungan.

Teknologi tinggi

Norwegia merupakan eksportir produk perikanan

nomor dua terbesar dunia, di mana industri akuakultur memberikan

kontribusi paling besar. Upaya transfer

teknologi ini menjadi penting bagi

Indonesia sebagai acuan dalam

melakukan pengelolaan budidaya laut secara berkelanjutan dengan nilai

tambah ekonomi yang lebih besar.

Slamet menjelaskan, disebut teknologi tinggi karena seluruh teknologi yang digunakan didesain dengan baik, sehingga memungkinkan pengelolaan secara efisien, terukur

dan ramah lingkungan. Ia juga menilai

dari sekian banyak teknologi budidaya

lepas pantai, Indonesia dan Vietnam

merupakan negara di Asia Tenggara yang mengadopsi teknologi ala

Norwegia ini.

Sebagai gambaran, budidaya laut lepas pantai ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern antara lain, kapal kerja (working boat) yang dilengkapi dengan crane untuk membantu proses panen

dan pemeliharaan KJA, feeding barge dan feeding system yang memungkinkan pemberian dan kontrol

pakan secara otomatis, KJA sebanyak 8 lubang per unit dengan volume masing-masing 5.100 m3, dan

fasilitas penunjang lainnya.

Melalui pengelolaan sistem produksi yang memadai, katanya, produktivitas budidaya

diharapkan hingga mencapai 96 ton per lubang per

siklus. Dengan demikian, KKP menargetkan melalui pengembangan KJA offshore di tiga lokasi tersebut akan menghasilkan produksi ikan kakap putih

hingga mencapai 2.160 ton per tahun dengan nilai ekonomi mencapai 151,2 milyar rupiah per tahun.

Pengembangan KJA offshore ini akan

memberikan multiplier effect bagi masyarakat melalui usaha pada proses produksi pendederan di

tambak maupun KJA milik masyarakat. Dari proses

segmentasi ini akan membuka peluang kesempatan

usaha bagi setidaknya 1.450 orang petambak dan akan memicu tumbuhnya tambak-tambak.

Gengsi Baramundi

Pemilihan komoditas kakap putih atau

barramundi karena komoditas ini bersifat fleksibel

dibandingkan kerapu atau bawal bintang. Negara

tujuan ekspor kerapu, misalnya, terbatas sekitar

Hongkong dan China. Sementara jika kakap putih

(21)

21

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

atau barramundi bisa ke negara mana pun; ke Australia, Kanada, Eroupa, Timur Tengah dan

lainnya.

Kelebihan kakap putih lainnya adalah pada

ukuran siap konsumsi. Kakap putih diminat pasar untuk segala ukuran. Sementara jika kerapu atau bawal bintang dibatasi oleh size. Saat ini rerata

ukuran 500 gram sampai 1 kilogram kakap putih banyak diminati karena siap saji (plate size). Intinya,

kakap putih bisa dipanen tergantung kebutuhan

konsumen.

Harga barramundi pun cukup bagus di pasaran. Bahkan di Malaysia harga ikan baramundi hasil

budidaya dihargai lebih bagus ketimbang hasil

tangkapan. “Di supermarket, misalnya di Sydney Market, harga ukuran 1,5 kg ikan barramundi lebih mahal dari ikan salmon. Harga barramundi di sana 39 dolar Australia, sementara salmon hanya 30 dolar Asutralia,” ungkap Coco.

Produksi kakap putih hasil budidaya di

Indonesia memang sangat kecil. Namun

dalam sepuluh tahun terakhir produksi kakap putih trennya mengalami kenaikan

rerata 4 persen. Dalam lima tahun

terakhir, misalnya, produksi kakap putih

hasil budidaya sebesar 6.198 ton. Pada 2013 naik menjadi 6.735 ton. Namun

pada tahun 2014 turun menjadi 5.447 ton dan naik menjadi 6.558 ton pada 2015. Namun pada tahun 2016 turun kembali menjadi 5.545 ton (DJPB KKP).

Coco berkomitmen jika proyek percontohan

dengan anggaran Rp 120 milyar ini bisa

menguntungkan secara ekonomi, ke depan siapa pun dipersilahkan untuk menirunya dan

memodifikasi serupa dengan standar yang selevel pula. Terang saja, katanya, yang ditiru KKP bukan Norwegia-nya tetapi standar FAO yang secara kebetulan KJA ala Norwegia ini memenuhi standar yang dipersyaratkan itu.

“Norwegia telah mulai 40 tahun lamanya

mengembangkan ini. Norwegia sudah jatuh bangun mulai dari tradisional hingga yang sekarang.

Standar dan keamanannya ketat. Ke depan kita

akan mendorong pengusaha lokal dengan buatan lokal pula, asal sudah bisa mencontoh seperti

ini. Dan pihak Norwegia dengan senang hati siap mentransfer teknologi ini kepada kita,” ujarnya.

Coco mengakui kelemahan komoditas ikan

barramundi di Indonesia saat ini adalah belum memiliki induk unggul. Belum ada benih unggul

untuk barramundi yang pertumbuhannya melalui

selective breeding sehingga memotong pemeliharaan

budidaya. “Di balai milik KKP pemilihan induk memang sudah ada, tapi yang super belum ada. Mengawinkan yang unggul dengan yang unggul

sehingga menghasilkan super unggul ini belum kita

miliki,” jelasnya. [nak]

(22)

MARIKULTUR–– Program KJA offshore sudah

digulirkan. Jika saja nanti menjadi massal

dilakukan oleh masyarakat, itu artinya akan

membutuhkan benih dan pakan yang banyak.

Tentunya akan menjadi peluang usaha perbenihan dan pendederan baramundi bagi

masyarakat.

Untuk lokasi KJA offshore di Sabang saja diperkirakan akan membutuhkan 1,2 juta per tahun atau 200 ribu per siklus (per dua bulan

sekali). Kebutuhan ini tidak mungkin hanya dipasok oleh balai budidaya perikanan milik KKP. Butuh pasokan dari pihak swasta, apalagi untuk penebaran di KJA offshore, benih yang dibutuhkan minimum berukuran 19 cm atau setara dengan 1

ons (100 gram).

Namun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menjamin untuk pasokan benih tidak

ada masalah. Untuk tiga lokasi titik percontohan KJA ini KKP telah menyiapkan empat balai ikan laut seperti Balai Budidaya Perikanan Air Laut (BPBL) Batam, BBPBL Lampung, BPBL Lombok dan BPBL Ambon. Tidak itu saja, bahkan untuk

Balai Budidaya Perikanan Air Payau (BBAP) BPBAP Ujung Batee, Aceh, pun disiapkan untuk

mensuplai benih yang dibutuhkan. KKP juga akan menggandeng pihak swasta soal pasokan benih.

Meski fokus pada produk perikanan air payau

seperti udang, saat ini BPBAP Ujung Batee, misalnya, sudah memproduksi benih baramundi

sebanyak 250 ribu ekor per tahun. Benih-benih itu

diperuntukkan bagi usaha budidaya masyarakat

di sekitar Banda Aceh. Dengan adanya KJA

offshore, menurut Kepala Seksi Pengujian dan

Dukungan Teknik BPBAP Ujung Batee Jalaluddin,

akan menjadi tantangan untuk terus memacu produksi karena dipastikan permintaan benih

akan meningkat tinggi.

“Tidak saja balai yang akan tertantang, jika permintaan sampai 1,2 juta ekor, maka sekaligus akan menumbuhkan pembenihan dan pendederan di tingkat masyarakat di Banda

Aceh," ujar Jalaludin, di kantornya di BPBAP Ujung Batee, Aceh, beberapa waktu lalu (2/12/17).

Kata Jalal, Balai Budidaya Perikanan Air

Payau (BBAP) BPBAP Ujung Batee, Aceh, akan membina masyarakat kelompok pembenihan dan pendederan baramundi di sekitar pesisir

Aceh. Terang saja, saat ini BPBAP Ujung Batee yang lebih dekat ke lokasi KJA offshore di Sabang daripada harus mengambil benih dari Batam atau

balai lainnya.

Pasokan Pakan

Tidak kalah penting adalah soal pelet

atau pakan. Apalagi KKP menyatakan jika

barramundi sudah mendekati masa panen, akan membutuhkan pakan 1 ton per hari untuk satu

lobang sekitar 120 ribu ekor. Chairman Gabungan

Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Denny D. Indradjaja menjamin ketersediaan pakan tidak ada masalah. “Berapa pun permintaannya, kami sediakan. Tidak ada masalah bagi para pengusaha soal pakan,” ujar Denny saat ditemui redaksi E-Magazine Marikultur di bilangan Jakarta Pusat, awal Januari lalu.

Saat ini industri perikanan marikultur memang sedang mengalami masalah akibat kebijakan kapal angkut asing yang selama ini menjadi tulang punggung untuk angkutan produksi para

pembudidaya kerapu. Dari fakta ini, ada beberapa

pabrik pakan yang mengurangi produksi untuk

pakan budidaya ikan laut. Denny menyebut

penurunannya memang tidak signifikan karena sebelumnya pun produk pakan untuk budidaya

laut sangat kecil. Dari produksi 1,3 juta ton

produk pakan untuk akuakultur, hanya sekitar 1

persen pakan untuk marikultur.

“Dulu pernah mencapai 100 ribu ton untuk

pakan marikultur, tapi sekarang paling tersisa 10

ribu ton saja,” terang Denny. Ia menambahkan,

dari produksi sekitar 10 ribu ton pun lebih banyak

diekspor ke Malaysia, Brunai Darussalam dan beberapa negara di Afrika. Di dua negara itu (Malaysia dan Brunai) marikulturnya lebih maju dari Indonesia.

Menurut Denny, salah satu penyebab

rendahnya pemakaian pakan marikultur

Benih dan Pakan Disiapkan

(23)

23

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

karena mahalnya harga pakan, yakni bisa

mencapai Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per kilogramnya. Di sisi lain, protein untuk

pakan ikan laut minimum harus 40 persen,

jika di bawah itu pertumbuhan ikan tidak bagus. “Itulah kenapa harganya jadi mahal.

Pakan marikultur juga harus melayang,

kalau terapung terbawa ombak. Kecepetan

tenggelamnya pun harus pelan untuk bisa

disergap ikan,” tambah Denny.

Ikan laut memang tergolong ikan buas yang memerlukan protein tinggi. Dari sisi

pakannya pun harus pakan yang jatuhnya melayang, sehingga untuk membuat pakan seperti itu tingkat kesulitannya

tinggi. Biayanya pun lebih mahal karena kegagalannya pun lebih tinggi. Berbeda dengan

pakan lain yang kegagalannya hanya tidak lebih dari 5 persen, untuk membuat pakan marikultur, misalnya, dari satu ton bahan yang dibuat

rijeknya bisa mencapai 20 sampai 30 persen,

sehingga akan terbuang dan nilainya menjadi

rugi.

“Bagi industri pakan sebenarnya ya begitu saja, kalau ada permintaan kita buatkan, kalau

tidak ya tidak produksi. Dulu kita, sepuluh tahun lalu bikin banyak. Tapi sekarang tidak banyak permintaan ya tidak produksi. Mudah

bagi pengusaha untuk membuat produk pakan, yang susah kan di market-nya, ada tidak ada

konsumennya. Faktanya untuk konsumen pakan budidaya ikan laut memang sedang terpuruk. Jadi, kalau permintaan besar ya tinggal ngomong

saja maka kami buatkan,” tandasnya.

Untuk mengurangi kerugian ongkos produksi karena permintaan kecil, spesifikasi pakan

marikultur pun dibuat bersifat generik. Berbeda dengan ikan air tawar yang beragam, misalnya ada pakan gurame, nila, lele dan lainnya.

Namun meskipun secara generik, itu lebih baik

daripada ‘pakan mandiri’, di mana hasil survey menyebutkan 70 persen pakan mandiri di bawah SNI (Standar Nasional Indonesia). “Idealnya

memang untuk tiap komoditas harus berbeda,

misal untuk pakan ikan kerapu dan bawal atau barramundi harus berbeda,” jelasnya.

Keterpurukan di usaha budidaya laut

membuat pabrikan berkurang omzetnya,

meskipun tidak ada kerugian bagi pengusaha

pabrik pakan. Hal ini karena disokong adanya peningkatan produksi pakan untuk ikan (tawar

dan payau) dan udang, meskipun kenaikannya

tidak lebih dari 10 persen tiap tahunnya. [nak]

(24)

PROFIL

MARIKULTUR–– Menjadi seorang aparatur negara

alias pegawai negeri sipil (PNS) bukan berarti tak bisa berbisnis. Juga tak ada larangan bagi seorang

PNS untuk membuka usaha atau ingin memiliki

saham, mendirikan usaha, maupun menjadi Direksi/ Dewan Komisaris suatu perusahaan sepanjang telah mendapatkan izin dari atasannya.

Salah satu aparatur negara yang juga pelaku

usaha yaitu Dr. Ir H. Hasanuddin Atjo, MP. Dia adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah, yang juga pemilik CV. Dewi Windu, sebuah

perusahaan yang bergerak di bidang perbenihan dan pertambakan udang, yang berlokasi di Kelurahan Kuppa, Kabupaten Barru, sekitar 140 km utara Kota

Makassar. “Pejabat negara boleh berbisnis, di mana

ilmu yang sudah saya dapatkan bisa dipraktekkan secara langsung ke masyarakat dan dipraktekkan dalam aspek bisnis,” jelas Atjo membuka obrolannya

dengan E-Magazine Marikultur, pada Kamis (11/1/18).

Menurut Atjo, jika saja berbisnis itu dapat

berkontribusi maksimal kepada masyarakat, maka

menjadi aparatur negara sekaligus pebisnis adalah

hal yang sah-sah saja. Dan dirinya mengakui selama ini telah berkontribusi memberikan inovasi terhadap sektor perikanan budidaya. ”Namun hal yang

paling penting untuk menjadi pelaku usaha adalah mau bekerja keras, mempunyai bakat dan tidak boleh takut resiko rugi dalam berusaha,” ujarnya

meyakinkan.

Atjo juga menambahkan, pelaku usaha harus memiliki kompetensi, yaitu harus menguasai

technical skill atau kemampuan dalam hal teknis, serta managerial skill, agar mampu mengelola

usahanya dengan baik.

Pria kelahiran Poso, Sulawesi Tengah, 14 Mei

1960, ini berkarakter pantang menyerah, kerja keras,

cerdas, selalu berinovasi, ikhlas, dan jujur. Dalam

menjalani hidup, misalnya, ia tak mau bergantung

kepada orang lain. “Kita harus mandiri, agar tetap eksis dan produktif. Semuanya harus dibangun dan kita ciptakan,” ucap anak pasangan H. Atjo Abdul Fattah (alm) dan HJ. Andi Dewi Balana (alm) ini.

Sebagai pegawai pemerintah, ia berprinsip harus

Hasanuddin Atjo: Dari Bisnis,

Penemu Teknologi Supra Intensif,

(25)

25

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR memberi contoh nyata kepada rekan sejawat dan

bawahan serta warga masyarakat. Jika tidak, lanjut

pria yang suka googling ini, masyarakat tidak ada

memercayainya.

Budidaya Supra Intensif

Terobosan nyata di jagat perikanan Indonesia yang ditemukan Hasnuddin Atjo adalah inovasi teknologi budidaya supra intensif. Teknologi dan inovasi ini berawal dari disertasinya untuk meraih gelar doktor (S3) di Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar pada 2004. "Dalam disertasi itu saya membuat hipotesis bahwa penyakit

(udang) tidak akan muncul kalau limbah ditangani

dengan baik," terang Atjo.

Teknologi budidaya udang vaname supra intensif Indonesia diluncurkan Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri pada 2013 di tambak CV. Dewi Windu Kabupaten Barru, Sulteng,

tempat teknologi itu direkayasa dan diujicoba

selama beberapa tahun.

Model supra intensif tersebut, diakui Atjo,

terinspirasi dari rasa penasaran karena teknologi

yang ada belum bisa mendongkrak produksi.

Pengalaman sebelumnya di hatchery udang lantas menjadi referensi mengutak-atik teknologi agar bisa

dikembangkan di lahan lebih luas.

Kunci utama teknologi ini adalah pengelolaan limbah menggunakan teknologi 'central drain' sehingga kualitas lingkungan udang terjamin

kebersihannya sehingga bebas dari penyakit.

Teknologi central drain sebagai cara penanganan limbah dalam tambak udang yang kemudian

terbukti sangat efektif. Central drain adalah sebuah teknologi pembuangan limbah yang diletakkan

di tengah-tengah dan di dasar tambak. Alat ini

berfungsi membuang limbah berupa kotoran udang, sisa makanan dan limbah lainnya setiap enam jam

secara mekanis.

Sistem budidaya supra intensif ini tak hanya soal central drain saja, tetapi menyangkut lima subsistem budidaya, yakni penggunaan benih bermutu, pengendalian kesehatan dan lingkungan, standarisasi sarana dan prasarana yang digunakan, penggunaan teknologi serta manajemen usaha yang

baik. "Kelima subsistem ini diimplementasikan

secara simultan, konsisten dan intensif," ujar

alumnus S1 Fakultas Perikanan IPB Bogor 1983 ini.

Ciri pokok keunggulan teknologi supra intensif

adalah pengendalian Iingkungan yang intensif dan

efektif menggunakan central drain, dibarengi dengan penggunaan sarana produksi yang terstandar tinggi

seperti benih, pakan, kincir, suplai oksigen, dan pola panen secara parsial tiga sampai empat kali per

siklus budidaya.

“Sistem budidaya ini mengupayakan patogen tidak berkembang di kolom air tambak dengan memisahkan kotoran dan limbah pakan secara

gravitasi pada pembuangan central drain. Dengan

berkurangnya limbah di kolom air tambak, maka kandungan oksigen cukup melimpah untuk udang karena tidak digunakan lagi untuk mengurai bahan

organik. Selain itu limbah sudah kurang meracuni

udang karena telah terbuang dengan cepat,” papar

Atjo.

Untuk menguji coba teknologi supra intensif, Hasanuddin Atjo yang menekuni usaha tambak udang sejak 1994, ini menjadikan tambak udang

miliknya di Desa Kuppa, Kabupaten Barru, sebagai lokasi riset. Langkah pertama yang ia lakukan adalah

membenahi konstruksi tambak seluas 1000 meter persegi dengan melapisinya dengan beton sekeliling dan juga dasar tambak serta memasang central drain.

Jadi Konsultan FAO

Kiprahnya di dunia perikanan membuat Hasanuddin Atjo dipercaya FAO sebagai konsultan internasional Organisasi Pangan dan Pertanian PBB

itu, yang bertugas di Kamboja sejak 7 Juli 2017 lalu. Misi sebagai konsultan internasional adalah

melakukan transformasi teknologi shrimp

farming biofloc system; seed production and health management implementation kepada staf/teknisi

di lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya

Kementrian Pertanian Kamboja, para pelaku usaha

dan masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya

selama 8 hari di negeri Norodom Sihanouk itu, Hasanuddin Atjo didampingi oleh tiga orang

counterpart lokal yaitu Chan Dara KHAN (membantu

implementasi shrimp farming biofloc system), Em Thearith (seed production), dan Phen Buntheoun (Health Management).

Tugas di Kamboja, bagi sang penemu teknologi

budidaya udang supra intensif Indonesia ini, ialah

terbagi dalam beberapa misi kunjungan atau sebanyak 40-50 hari kerja dalam durasi kontrak dua

tahun yakni Juli 2017 sampai Desember 2018.

Proses rekruitmen berlangsung cukup lama yaitu

dimulai April sampai Juli 2017. Hal ini disebabkan doktor perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

tahun 2005 itu masih terikat kontrak sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yang tentunya harus

mendapat izin atasan yang prosesnya harus melalui mekanisme yang sudah ditentukan. [moh]

(26)

MENGULIK

BISNIS SEKSI

BARRAMUNDI

PELUANG

MARIKULTUR–– Bicara bisnis tentunya tak lepas

dari profit. Seperti kata pepatah ada gula ada semut, di mana ada peluang disitu ada uang.

Tidak hanya sekedar uang saja, dalam bisnis juga harus mengedepankan nilai-nilai manfaat dan

nasionalisme.

Seperti pada komoditas barramundi, tidak hanya

soal bisnis saja. Tapi komoditas perikanan budidaya

laut yang satu ini, juga digadang-gadang akan jadi

salmon-nya Indonesia. Diungkap Muhibbuddin

Koto, Praktisi Marikultur, kenapa pilihan jatuh pada barramundi. Salah satunya karena ikan ini

mudah dibudidayakan dan memiliki pangsa pasar

ekspor yang luas. “Ikan kakap putih relatif mudah dibudidayakan dan tahan penyakit. Jenis ikan ini

yang paling direkomendasikan untuk dibudidayakan

dalam skala industri di Indonesia (Salmon-nya Indonesia),” ucap Budhy meyakinkan.

Seperti yang ia sebut bahwa barramundi memiliki

pasar yang luas, Budhy menyebut beberapa negara yang bisa menjadi tujuan ekspor komoditas ini, sebut saja, Australia, USA, Eropa, Timur Tengah dan,

China. "Belum lagi jenis ikan ini dapat dipasarkan

dalam bentuk fresh, frozen dan fillet,” kata Budhy. Jika peluang pasar sudah menganga di luar sana,

bagaimana tidak barramundi dikatakan bisnis yang

seksi. Dan harusnya ini dimanfaatkan para pelaku

usaha untuk mulai melirik kembali potensi bisnis

barramundi. Terlebih saat ini produksinya masih amat kecil.

Menurut dia, produksi barramundi nasional 2016 lalu tidak sampai 2.000 ton, padahal potensi yang dimiliki Indonesia berada di kisaran juta ton. Tidak

bergeming dari produksi 2016, produksi barramundi

di 2017 juga masih di kisaran 2.000 ton perkiraan Budhy. Padahal kalau bicara ketersediaan lahan budidaya untuk barramundi, masih terbentang luas.

Perkiraan Budhy baru 2% lahan yang telah dimanfaatkan dari 11 juta hektar perairan Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Harusnya ini semua menjadi motivasi bagi kita

semua untuk terus mengembangkan potensi yang

ada.

Budhy meyakini ketersediaan lahan yang ada, dapat menggenjot produksi barramundi di masa

(27)

27

EDISI I 2018 ||

M

ARIKULTUR

barramundi terbesar dunia, yang saat ini masih

dipegang Malaysia. “Jadi tunggu apalagi, kalau tidak

dimulai untuk berbudidaya dari sekarang kapan lagi

impian itu bisa terpenuhi,” tegasnya.

Kembali pada aspek teknis, sebelum kegiatan budidaya dilakukan terlebih dahulu diadakan

pemilihan lokasi. "Pemilihan lokasi yang tepat akan

menentukan keberhasilan usaha budidaya ikan

kakap putih. Secara umum lokasi yang baik untuk

kegiatan usaha budidya ikan kakap putih ini adalah di laut perairan teluk, lagoon dan perairan pantai yang terletak di antara dua buah pulau (selat),” jelas

dia.

Analisa Usaha Barramundi

Setelah memperoleh lokasi ideal, tentu akan

beranjak pada hitung-hitungan investasi dari bisnis ini. Seseksi apa bisnis barramundi untuk dijalankan. Budhy sudah punya hitungannya.

Lelaki asal Minang ini memang sudah hafal betul

analisa usaha yang dulunya pernah ia buat semasa

masih menjabat GM Marikultur Perum Perindo.

Budhy menganalisa untuk bisnis barramundi terpadu hulu hilir dengan target produksi mencapai

5.100 ton per siklus.

Hitungan Budhy, target produksi 5.100 ton

itu bisa dilakukan pada satu perusahaan dengan

modal investasi mencapai Rp 133,28 miliar (lihat analisa usaha pada tabel). Investasi Rp 133, 28 miliar

tersebut belum termasuk biaya operasional yang ia

perkirakan mencapai Rp 204 miliar, hitungan Budhy

total modal yang harus dikeluarkan bisa mencapai

Rp 337,28 miliar.

Angka yang sangat besar ini merupakan proyeksi membangun bisnis barramundi dari hulu hingga

hilir. Lihat saja komponen yang sudah ia alokasikan untuk usaha ini, mulai dari pembelian KJA 4×4 mencapai Rp 5,9 Miliar, KJA bundar diameter 10 meter mencapai Rp 9,3 miliar, dan KJA diameter 20 meter dialokasikan Rp 40, 4 miliar. "ini untuk

produksi 100 hole KJA, targetnya rata-rata satu hole

bisa sekitar 5,1 ton," ungkap Budhy.

Ia juga merinci biaya untuk hatchery perlu

disiapkan hingga Rp 51 miliar, untuk memastikan

pasokan benih berkualitas untuk budidaya

barramundi skala industri ini. Selain hatchery dia juga sudah menghitung biaya untuk pembuatan UPI (Unit Pengolahan Ikan) yang ia prediksi sekitar Rp 7,5

miliar tak lupa juga untuk sarana pendukung yang

mencapai Rp 9 miliar. Total untuk biaya investasi saja

mencapai Rp 133 miliar di luar operasional. Lalu bagaimana dengan hitungan

pendapatannya? Budhy juga telah menghitung, dari sarana yang ada bisa diperoleh hasil panen sekitar

5.100 ton dari 100 hole KJA. Ia mengestimasi jika

harga rata-rata barramundi Rp 67.500 per kg, maka hitungan Budhy jika dikalikan dengan 5.100 ton atau 5.100.000 kg maka hasilnya senilai Rp 344,25 miliar.

“Operasional tadi kan sekitar Rp 204 miliar, hasil penjualan ikan Rp 344 miliar artinya margin

keuntungan yang dapat diperoleh per siklus

mencapai Rp 140 miliar atau setara dengan 70% dari biaya operasional yang dikeluarkan,” terang Budhy. Artinya dalam satu siklus saja biaya investasi Rp 133, 28 miliar sudah bisa kembali. Sungguh sangat menggiurkan bisnis barramundi skala industri ini.

Budhy mengingatkan, untuk bisa menjalankan bisnis barramundi skala industri ini perlu

memastikan semua aspek dari mulai infrastruktur,

regulasi, dan pasar, menjadi sangat penting. Jika

tidak akan sangat sulit membangun bisnis seksi

barramundi berskala industri. Pesannya adalah bisnis barramundi masih seksi untuk dilakoni. Jadi

jika ingin meningkatkan produksi maka tunggu apa

lagi, untuk memulai.

KJA Offshore

Tidak hanya dari pihak swasta saja, pemerintah

pun sudah melihat nilai ekonomi yang besar dari

bisnis barramundi. Ini dibuktikan dengan pilot project KJA Offshore yang dibuat oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memilih

barramundi sebagai komoditas yang dibudidayakan.

Tidak berbeda jauh dengan hitungan dari Budhy

yang angkanya fantastis menembus ratusan miliar. Coco Kokarkin, Direktur Perbenihan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya mengatakan, KKP

juga memulai program budidaya offshore dengan

nilai investasi mencapai Rp 120 miliar di luar biaya operasional. Seperti Budhy, KKP juga memilih

kakap putih karena termasuk ikan yang mudah

dibudidayakan. Selain itu, kakap putih dinilai bisa

diolah menjadi berbagai produk ketimbang jenis

ikan budidaya lainnya, misalnya kerapu. Kata Coco, pasar kakap putih pun dilihat lebih luas. Berbeda

dengan kerapu yang cenderung diminati pasar dalam bentuk ikan hidup, permintaan terhadap

kakap putih lebih beragam, yakni bisa dalam wujud

ikan hidup, ikan segar, maupun fillet.

Gambar

Tabel Parameter Pemilihan Lokasi
Tabel 2 Modal Kerja
Tabel Harga Barramundi/Kakap Putih dari Berbagai Wilayah

Referensi

Dokumen terkait

Jika kedekatan Prediksi Uji korelasi (rxy) 2 x 100 = 11.56% maka variable X, yakni strategi komunikasi pemasaran Brodo Footwear mempunyai nilai rendah untuk

Rekonfigurasi penyulang untuk mengurangi kehilangan daya pertama kali diperkenalkan oleh Merlin dan Back (1975). Mereka menggabungkan teknik optimisasi konvensional

Selain itu penulisan ini juga dimaksudkan supaya pembaca bisa memahami bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi dan juga dampak psikologis anak SD yang menonton

Penilaian Tes Wawancara minimal 40 dan maksimal 80 Nilai hasil Wawancara dari setiap calon adalah nilai angka rerata dari 6 (enam) aspek penilaian (pertanyaan) yang diajukan

- bentuk ekspresi musikal (sikap badan, sikap tangan, serta ungkapan wajah seseorang atau beberapa penampil dalam sebuah penyajian musik akan melengkapi secara visual

Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas. Berdasarkan asumsi itu, ada tiga faktor

Meski secara triwulanan mengalami peningkatan, defisit transaksi berjalan triwulan II 2017 tersebut lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan yang sama

menyusun Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan.Hari ini 17 Agustus 1950 berdirilah kita sudah atas bumi Negara Kesatuan itu, yang tidak mengenal negara- bagian dan