• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA DALAM DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INDONESIA DALAM DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

#Tulisan pendek sebagai pengantar diskusi/seminar di UMS, 8 Januari 2015. Page 1

Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM

1.

Belum lama berselang, di LIPI, diselenggarakan seminar dalam rangka mencari rumusan bagaimana menguji dan mengindeks posisi dan kesiapan orang Indonesia memasuki dunia global. Variabel dan indikator yang diuji antara lain kesehatan, keterdidikan, kenasionalitasan, kedemokrasian, kemandirian, dan keberdaulatan.

Tentu setiap lokal-lokal masyarakat Indonesia memiliki kinerja kemampuan yang berbeda-beda dalam kesiapannya menghadapi dan memasuki dunia global. Kita bisa membayangkan perbedaan kesiapan itu antara masyarakat kota terdidik dibanding masyarakat pada sebuah pelosok yang jauh dari berbagai kemungkinan akses dengan dunia luar.

Artinya, dalam konteks menghadapi dan memasuki dunia global/regional (termasuk MEA), perlu dikalkulasi sedemikian rupa bagaimana kinerja kita bisa ikut “bermain” di dalamnya. Saya khawatir, mempertimbangkan variabel dan indikator tersebut, dalam beberapa hal kita belum siap bahkan bertentangan. Sebagai misal, kenasionalitasan (nasionalisme) sedikit bertentangan dengan semangat internsionalisme.

2.

Akan tetapi, dalam sejarahnya, ketika masyarakat/bangsa tertentu bersentuhan dengan bangsa yang berbeda, telah terjadi proses regionalisasi, atau globalisasi. Artinya, dari dulu sesungguhnya masyarakat/bangsa Indonesia sudah bersentuhan dengan dunia luar, terutama kerja sama-kerja sama ekonomi untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan material yang berbeda-beda. Kerja sama itu mengalami pasang surut, pada masa Sriwijawa dan Majapahit, kita yang “keluar”. Akan tetapi, pada masa setelah itu kita yang “dimasuki”, bahkan mungkin hingga sekarang.

Kita tahu, misalnya, bahasa Indonesia hampir 60% berasal dari bahasa Arab. Hampir sebagian besar agama resmi kita hari ini adalah agama impor. Tradisi menulis (dan menulis novel) juga dari Eropa. Dalam proses dan efek lebih jauh, tentu berpengaruh terhadap pengembangan dan keberadaan budaya pada umumnya.

(2)

kita pakai sekarang pernah menjadi lingua fraca untuk beberapa daerah di ASEAN.

Dalam perkembangannya, setiap bangsa/negara mengembangkan dan mematenkan bahasa nasionalnya masing-masing, sebagai identitas kenasionalannya. Kita sekarang menjadi sedikit geli mendengar dan membaca tulisan/pembicaraan orang Malaysia. Padahal, bahasa itu jelas-jelas satu rumpun. Di beberapa negara Eropa, bahasa Melayu Malaysia lebih dipelajari daripada bahasa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kinerja bangsa tersebut sehingga orang Eropa merasa lebih berkepentingan memperlajari bahasa Melayu Malaysia daripada bahasa Indonesia.

Dibandingkan dengan sekarang, tentu derajat dan intensitasnya berbeda. Akan tetapi, akar terhadap proses itu adalah jumlah penduduk yang bertambah, kemampuan iptek, dan kehendak untuk mengamankan sumber-sumber ekonomi untuk mengatasi persoalan jumlah penduduk yang semakin besar.

Berdasarkan tuntutan historisnya, Indonesia memadukan begitu banyak hal-hal dari luar, menjadi sesuatu yang otentik Indonesia. Secara historis, dalam pespektif Anderson misalnya, kita membayangkan sebagai satu bangsa dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Kita pun mulai membangun identitas kebangsaan kita, meningkatkan nasionalitas, dan mempertahankan kepribadian atau karakter nasional. Kini bahasa Indonesia telah sampai pada titik kematangannya, dan terus berkembang terutama dai segi kosa kata.

Di tingkat regional, ASEAN, saat ini disepakati apa yang disebut MEA. Kesepakatan kerja sama ekonomi negara-negara AEAN yang memungkinan orang se-ASEAN bisa berkeja secara di daerah tersebut dengan lebih mudah. Akan tetapi, menurut saya, hal itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap perkembangan bahasa dan sastra di bangsa dan negaranya masing-masing. Orang Indonesia bukan pembaca sastra, dan malas membaca karya sastra negara lain.

Karya sastra Indonesia juga berkembang, walaupun pembacanya sangat sedikit dan terbatas orang Indonesia. Beberapa karya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, terutama Inggris dan Jerman. Selebihnya, tidak ada yang tahu tentang karya satra Indonesia.

(3)

3.

Membicarakan individu, atau masyarakat, tentu sulit jika digeneralisasikan. Orang Minang, beda dengan Orang Jawa, beda dengan Orang Papua, dan beda dengan Orang Makasar, begitu seterusnya. Artinya, tulisan ini dengan sadar mengakui perbedaan tersebut, dan dengan demikian, ketika saya mengatakan individu atau masyarakat, adalah masyarakat yang paling saya kenal, khususnya Jawa.

Orang Jawa, misalnya, ada sedikit “narsis” terhadap budayanya sehingga kita merasa kebudayaan kita paling adiluhung, paling “canggih”, sehingga ada

perasaan tidak merasa perlu tahu dengan kebudayaan orang lain, juga sastranya. Akan tetapi, saya kira, saya ingin “berprasangka buruk” bahwa ini kecenderungan umum setiap lokal masyarakat.

Beberapa sastrawan, pengarang novel, yang kebetulan saya kenal, pernah bercerita dalam novelnya dengan setting Timur Tengah, atau beberapa kota lain di Eropa, dengan sangat rinci. Padahal, saya tahu, mereka belum pernah ke Timur Tengah, atau ke kota-kota Eropa. Artinya, mengaitkan persoalan kerja sama ekonomi regional dan global dan mempertanyakan posisi bahasa dan sastra, mungkin dua hal yang berbeda dimensinya.

Dalam perspektif ini, masalah regionalisasi dan/atau globalisasi bukan sekadar soal ekonomi, tetapi masalah bagaimana memaknai ke-ruang-an. Kita tahu bahwa ada ruang yang disebut ruang fisik, ruang ekonomi, ruang politik, ruang simbolik, atau bahkan ruang maya (cyber). Hal-hal itu berjalan secara serempak, tumpang-tindih, dan berjalan ke depan sesuai dengan kebutuhan individu atau masyarakatnya.

Sesuai dengan perkembangan zaman, dan kerepotan menjadi urban, kita semakin terkondisi untuk bekerja dalam ruang-ruang yang memberikan kemudahan terhadap berbagai akses. Kondisi ini, didukung oleh nilai-nilai budaya (Jawa, misalnya), tidak ada keharusan untuk melakukan migrasi. Fenomena untuk menjadi TKW/TKI, tidak bisa dijadikan sebagai representasi pilihan demokratis. Tidak ada orang yang mau bekerja sebagai TKI/TKW jika bukan karena terpaksa.

4.

Saya tidak bermaksud menyorot banyak hal dari kemungkinan yang digagas LIPI dalam mempersoalkan bagaimana kinerja dan kesiapan masyarakat Indonesia di dalam arena regional dan global. Hal yang perlu dipahami bagaimana kondisi kita dalam lima tahun terakhir ini.

(4)

dunia, kekayaan Indonesia dipegang oleh sekitar 5% para elit dan penguasa ekonomi, di sejumlah daerah masih ada beberapa kelaparan, index pembangunan SDM ada di posisi 113-115 (dari sekitar 140 negara yang diindek), birokrasi kita masih berbelit-belit dan menyebalkan, konsumtivisme masih merajalela, orang memilih berobat ke Singapura daripada di rumah sakit Indonesia, jalan-jalan semakin padat dan macet, kriminalitas meningkat, membeli pakaian yang penting mahal, dan kita adalah orang yang memiliki sejumlah gejet yang hanya dipakai untuk selfie, dan bernarsis-ria di Face Book, Instagram, dan

Path, dan seterusnya.

Hal tersebut belum kalkulasi tentang indeks kesehatan, indeks keterdidikan, dan indeks kemandiran atau keberdaulatan yang secara umum masih di bawah beberapa negara ASEAN. Dari hal tersebut, kesiapan masyarakat Indonesia berhadapan dan dalam masyarakat regional dan internasional terlihat cukup rendah.

Hal lain dari sisi ini terlihat di bidang kompetisi olahraga. Selain bulutangkis dan silat, di puluhan olahraga lain kita kalah berhadapan dengan beberapa negara ASEAN. Namun, mengingat jumlah penduduk yang sangat besar, selalu saja ada beberapa orang yang unggul, sehingga untuk kompetisi yang “bersifat individual”, dalam bidang sastra misalnya, ada saja yang melahirkan karya sastra yang unggul.

5.

Saat ini, di era telekomunikasi dan digital (dan cyber), masyarakat terbelah dalam beberapa dimensi kehidupan. Secara individual kita merupakan bagian dari masyarakat internasional. Hal itu dimungkinkan karena kita bisa berkomunikasi dan “bersentuhan” dengan dunia lain manapun. Bahkan dalam batas tertentu, kita menjadi masyarakat well informed terhadap banyak hal.

Pada aras bangsa/negara, kita terikat untuk menjaga identitas dan nasionalitas keindonesiaan. Dalam aras kebangsaan/kenegaraan, kita hidup dan bermain dalam berbagai kekuatan, bahkan kuasa, antara kuasa negara dengan berbagai aturan mainnya. Namun, dalam waktu yang bersamaan kita pun terikat dengan kuasa lokal (dalam berbagai levelnya pula), yang secara langsung bersentuhan dengan kehidupan kita sehari-hari.

Hal-hal lain yang mengatur kehidupan kita, selain aturan negara dan nilai-norma lokal, bertumpang tindih dengan apa yang kemudian disebut praktik/kehidupan beragama dan berbagai keyakinan lainnya. Dalam posisi ini, ada agama/keyakinan yang berdimensi internasional, tetapi ada juga agama/keyakinan yang berdimensi lokal.

(5)

internasional, regional, nasional, atau lokal? Atau lebih sebagai makhluk yang melakukan praktik-praktik ritual keyakinan tertentu? Atau secara serempak dipraktikkan?

6.

Masalahnya, dunia dengan (cepat) terus berjalan. Terjadi atau tidak terjadinya kerja sama internasional/rregional, jumlah penduduk bertambah besar dan menuntut penanganan dan antisipasi yang serius karena kemampuan alam mengakomodasi kebutuhan manusia semakin terbatas. Dalam berbagai kendala dan keterbatasan, tentu “revolusi kebudayaan” sangat dibutuhkan, untuk dan justru ketika dunia memasuki suatu keruwetan kontestasi terhadap penguasaan dan pengamanan sumber-sumber ekonomi dan alam.

Beberapa kecencerungan mengembirakan tak pelak harus terus menerus didorong, yakni ketika munculnya kesadaran, bahwa ke depan berbagai bentuk kerja sama dunia memang semakin didambakan. Negara-negara kuat dan maju semakin sadar bahwa negara berkembang tidak bisa secara terus menerus dijadikan pasar. Negara-negara maju dan kuat juga mulai menempatkan negara lain sebagai mitra untuk sejahtera secara internasional.

Proses-proses demokrasi yang semakin menyebar ke segala lini, ketika kekuasan tidak lagi terkesan angker, hal ini membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan berbagai proses transformasi diri, baik dalam konteks revolusi kebudayaan, ataupun sesuatu yang lebih bersifat kreativitas yang menuju ke arah universalitas. Dengan demikian, negara juga berkewajiban untuk menjaga demokrasi agar peluang transformasi diri bermuara pada tujuan-tujuan mulia berkebudayaan.

Referensi

Dokumen terkait

humas untuk merumuskan strategi media relations yang lebih baik, melalui pembentukan hubungan antarpribadi dengan jurnalis yang didasari atas.

Yakup, MS dengan judul “Pengelolaan Hara dan Pemupukan Pada Budidaya Tanaman Jagung (Zea mays L.) Di Lahan Kering” telah diterima dan untuk dapat dipresentasikan pada Seminar

Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga dari Efek (saham, obligasi, dan surat berharga lainnya) yang masuk dalam portfolio Reksa Dana tersebut. •

Sebab setelah dikenakan pajak, produsen akan berusaha mengalihkan (sebagian) beban pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan jalan menawarkan harga jual yang lebih tinggi6.

 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penulis, maka kompos yang diberikan pada tanaman sangat berpengaruh sebagai pemberi nutrisi sehingga tanaman dapat tumbuh

Berdasarkan pada analisa pasar dapat disimpulkan bahwa proyek ini layak untuk dijalankan, mengingat belum adanya pesaing langsung dalam bisnis ini walaupun pesaing

Pada Tabel di atas juga terdapat atribut dengan nilai NKP negatif sebanyak 14 atribut yaitu, kualitas pencucian sesuai standar perusahaan (RE 1), sepatu menjadi

Dorongan internal yang cukup menonjol dalam mempengaruhi pilihan karier kaum gay adalah kebutuhan akan rasa aman dari lingkungan.. Sedangkan yang eksternal adanya