• Tidak ada hasil yang ditemukan

Thullab Pada Masa Al Makmun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Thullab Pada Masa Al Makmun"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

THULLAB PADA MASA Al MA’MUN

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Sejarah merupakan hal yang tidak boleh dilupakan sepanjang perjalanan hidup manusia, karena keberadaan sejarah dapat membuat manusia belajar untuk dapat hidup lebih baik. Salah satu sejarah Islam yang cukup menarik perhatian adalah sejarah Daulah Abbasiyah. Tidak seperti daulah sebelumnya yang lebih mengutamakan kekuatan militer dalam pemerintahannya, pada masa daulah Abbasiyah lebih mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang sangat diperhatikan terutama pada masa pemerintahan beberapa khalifah. Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M).

Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta akan ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Kemajuan dalam bidang ilmu, merupakan kemajuan dalam bidang pendidikan. Artinya, pada masa Al-Ma’mun pendidikan Islam mengalami kemajuan mencakup berbagai bidang ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Kemajuan dalam hal pendidikan tentu tidak datang begitu saja, melainkan hasil upaya kerja keras khalifah dan kaum muslimin pada saat itu. Khalifah turut aktif ambil peranan dalam ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ahli sesuai bidangnya masing-masing untuk terlibat dalam keilmuan tanpa membedakan dari golongan agama dan bangsa apa pun. Kaum muslimin penuh antusias dan bersikap terbuka mempelajari macam-macam ilmu walaupun dari bangsa luar Arab. Kondisi demikian, melahirkan pusat-pusat belajar mulai dari istana sampai ke rumah-rumah ulama. Akhirnya, asimilasi berbagai situasi dan kondisi yang menopang pranata keilmuan telah menghasilkan sosok ilmuwan-ilmuwan besar pada zamannya.1

(2)

Berkaitan dengan itu, kemajuan pendidikan Islam pada zaman khalifah Al-Ma’mun tidak lepas dari sisi kehidupan murid dan mahasiswa pada saat itu. Karena kemajuan suatu bangsa dan negara salah satunya disebabkan karena kualitas manusia yang hidup dalam bangsa dan negara tersebut. Kualitas manusia itu dihasilkan dari kualitas proses pendidikan yang dijalaninya. Oleh karena itu, kehidupan murid dan mahasiswa (tullab) sebagai bagian penting dalam proses pendidikan perlu dikaji untuk menemukan hukum-hukum kemajuan tersebut.

Maka dalam pembahasan makalah ini di dalamnya akan membahas secara lebih mendalam tentang perkembangan pendidikan Islam pada masa khalifah Al-Ma’mun dan bagaimana kehidupan para murid dan mahasiswa (tullab) pada masa Al-Ma’mun.

2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana perkembangan pendidikan Islam pada masa Al-Ma’mun?

2) Bagaimana kehidupan murid dan mahasiswa (tullab) pada masa Al-Ma’mun?

3. Tujuan Pembahasan

1) Untuk mengetahui dan memahami perkembangan pendidikan Islam pada masa Al-Ma’mun.

2) Untuk mengetahui dan memahami kehidupan murid dan mahasiswa (tullab)

pada masa Al-Ma’mun.

B. Thullab Pada Masa Al-Ma’mun 1. Biografi Khalifah Al-Ma’mun

Ma’mun nama lengkapnya adalah Muhammad Abu-Abbas bin al-Rasyid. Al-Ma’mun lahir pada hari Jum’at pertengahan bulan Rabi’ul Awwal tahun 170 H.2 Al-Ma’mun lahir enam bulan lebih dahulu dari saudara sebapaknya al-Amin. Ibunya merupakan hamba sahaya yang bernama Marajil. Akan tetapi Al-Amin secara silsilah dari garis ibu berkedudukan lebih baik dari Al-Ma’mun, disebabkan oleh ibunya yang bernama Zubaidah, seorang keturunan Arab. Oleh karena itu Al-Amin dilantik sebagai putra mahkota yang pertama. Sementara itu

(3)

Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua 6 bulan dibanding dengan Al-Amin, ia memiliki kecerdasan yang lebih dalam mengurus segala perkara.3

Secara silsilah, Al-Ma’mun adalah saudara seayah dengan Al-Amin, putra dari Al-Rasyid. Sementara kakek-kakek mereka berdua berujung kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad saw. Khalifah Abdullah bin Harun Al-Rasyid naik menjabat sebagai khalifah yang ke tujuh di dalam daulat Abbasiyah dengan panggilan Khalifah Al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.), menggantikan saudaranya seayah lain ibu, yaitu Al-Amin (193-198 H./809-813 M.), yang hanya memerintah selama kurang lebih 4 tahun 8 bulan4, sementara Al-Ma’mun memerintah lebih kurang 20 tahun lamanya. Ia menjabat tampuk kekuasaan pada usia 28 tahun dan wafat dalam usia 48 tahun.5 Usia yang relatif muda ini telah membawa dirinya ke dalam posisi orang-orang besar dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Pada masa inilah “secara politis” Negara Islam sudah menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi.6

Al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.7

Al-Ma’mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama keilmuan, keberanian, kehebatan, kesabaran, dan kecerdasannya. Khalifah ini dikenal karena keintelektualan dan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Dia banyak mengoleksi buku-buku

3 A. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), hlm. 129. 4 M. Masyhur Amin, Dinasti Islam, hlm. 99.

5 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 145. 6 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 53.

(4)

untuk disimpan di perpustakaan Bait Al-Hikmah. Kegemaran Al-Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan mendorong dirinya untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat, kebudayaan, dan peradaban.8

Al-Ma’mun menguasai beragam ilmu pengetahuan. Ia dinilai sebagai salah satu khalifah terbesar di Dinasti Abbasiyah. Pemerintahannya disebut masa keemasan Islam. Dia mempromosikan berbagai studi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Ia selalu berusaha mendorong masyarakat untuk menyukai diadakannya berbagai diskusi keilmuan yang akan menambah khazanah keilmuan dan kematangan dalam mengemukakan pendapat. Untuk mempromosikan ilmu pengetahuan, ia mendirikan perpustakaan, observatorium dan lembaga lainnya guna memajukan perkembangan keilmuan di Negara yang berada di bawah kekuasaannya. Al-Ma’mun wafat sewaktu sedang berperang di Tarsus tahun 218 H. Usianya saat itu 48 tahun.9

2. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Al-Ma’mun

Tidak diragukan lagi bahwa sejarah telah membuktikan, perkembangan pendidikan Islam pada masa Al-Ma’mun berkembang sangat pesat. Bahkan pada masa Al-Ma’mun inilah dikatakan bahwa kemajuan Islam zaman klasik dalam keilmuan mencapai puncaknya. Pada masa Al-Ma’mun pendidikan Islam mengalami kemajuan mencakup berbagai bidang ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Masa kejayaan pendidikan Islam merupakan satu periode dimana pendidikan Islam berkembang pesat yang ditandai dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam dan madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan sangat dominan pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan pola budaya umat Islam. Berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan pembentukan dan pengembangan berbagai macam aspek budaya umat Islam.

Al-Ma’mun sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Hal yang paling menonjol dalam bidang pendidikan pada masa Al-Ma’mun adalah

8 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 150.

(5)

menterjemahkan kitab yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, karena beliau sangat mendukung gerakan penerjemahan tersebut dan beliau juga menggaji mahal golongan penerjemah dengan setara bobot emas supaya keinginan beliau tercapai yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai super power

dunia pada saat itu.

Dari gerakan penerjemahan inilah mulai banyak bermunculan hasil karya para ilmuwan yang karyanya diberi imbalan dengan gaji atau emas setara dengan berat karya mereka. Minat membaca masyarakat yang juga cukup tinggi turut membuat perkembangan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya. Perhatiannya yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuanlah yang kemudian memunculkan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada zaman Al-Ma’mun, kemauan usaha penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya “Sekolah Tinggi Terjemah” di Baghdad, dilengkapi dengan lembaga ilmu yang dilengkapi dengan observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemah.10

Konsep dasar pendidikan multikultural telah dikenal sejak zaman Al-Ma’mun pada institusi pendidikan Islam Bait Al-Hikmah, Masjid, Halaqah,

Kuttab/Maktab, Ribath, dan Majelis.11

Bait al-Hikmah merupakan lembaga ilmu pengetahuan yang didirikan oleh al-Ma’mun sekitar tahun 815 M12. Yang dipercayai menjadi sebuah percontohan dari akademi kuno Jundishapur, aktivitas utamanya menterjemahkan filsafat Yunani dan karya-karya ilmu pengetahuan yang dibawa dari Romawi. Pemimpin pertama lembaga ini adalah Yuhanna (Yahya) ibnu Masawayh13. Pimpinan berikutnya Sahl ibnu Harun14 dan Salm, orang yang ditugaskan oleh Said ibnu Harun. Di sana ada juga sejumlah besar pengawai penterjemah, dan yang paling

10 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam), (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004), hlm. 79.

11 Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 33.

12 Mohsen Zakeri, ‘ Sahl b. Harun b. Rahawayh, “ El 2, III h. 839-840; lihat juga Watt, The Influence, Op.cit, hlm. 31

13 On the Barmakids see D. Sourdel, “al-Barmakids” El 2, I, hlm. 1033-1036

(6)

terkenal di antara mereka adalah Banu al-Munajjim, selain itu ada pegawai penyalin dan penjilid.

Bait al Hikmah merupakan sebuah pengembangan dari perpustakaan yang dibangun oleh Harun al-Rasyid yang disebut Khizanat al-Hikma (Perbendaharaan Kebijaksanaan), di mana keturunan al-Barmaky15 telah memulai penerjemahan bermacam risalah Yunani. Al-Ma’mun kemudian memberikan sebuah perintah resmi untuk gerakan penerjemahan, yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikiran Islam dan budaya seutuhnya. Untuk lembaga ini al-Ma’mun mempekerjakan seorang ahli observatorium astronomi di Bagdad di bawah kendali seorang muallaf Yahudi yaitu; Sind ibnu Ali kemudian dilanjutkan Yahya ibnu Abi Manshur. Lebih lanjut, al-Ma’mun kemudian menambah observatorium lainnya di Mt. Qasiyun Palmyra (Damaskus). di mana para sajana Muslim menemukan sebuah tabel astronomi baru dengan memperbaiki satu-satunya tabel astronomi kuno peninggalan Ptolemy16. Sehingga, Bait al-Hikmah menjadi sebuah gabungan dari perpustakaan, pendidikan dan biro penerjemahan, dan yang paling penting sekali adalah lembaga pendidikannya, yakni, semenjak museum Aleksandria siap dibangun17. Dalam pada itu, bahasa Syiria, pemikiran Yunani, sain dan karya-karya teknik telah diterjemahkan ke dalam bahasan Arab. Tidak perlu diperbincangkan lagi, bahwa itu telah memainkan peranan amat penting dalam memindahkan hasil karya klasik Yunani ke dalam dunia Islam, dan dari itu, telah mendorong lahirnya sebuah, ‘ledakan aktifitas intelektual’ di dunia Islam. Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai sebuah perpustakaan yang amat penting yang kemudian diperkaya dengan sejumlah sumber-sember terjemahan. Kemudian daripada itu, telah memberikan banyak inspirasi kepada beberapa orang untuk mendirikan model perpustakaan yang serupa, dan membangun perpustakaan-perpustakaan lainnya. Beberapa orang sarjana menyakini bahwa lembaga ini dirancang dalam usaha untuk pengembangan adat kebiasaan Persia sebelum Islam. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada fakta bahwa kedua

15Ibid, h. 310; lihat juga Qadir, Pilosophy, Op.cit, h. 36; Stanton, Higher, Op.cit, h. 131; George Sarton, Introduction the History of Science from Homer to Omar Kayyam, (Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company Baltimore, 1953), h. 557-558

(7)

kegiatan seperti Universitas Jundishapur dan para penterjemah awal lebih memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan praktis ketimbang teori ilmu pengetahuan murni18.

Bait al-Hikmah sebagian besarnya telah mengabdikan diri kepada perkembangan ilmu pengetahuan dengan penelitian para sarjana serta proses pendidikan yang diberikan kepada para pelajar yang sebagian besar masih belum matang. Para sarjana yang dipekerjakan diberikan fasilitas tempat tinggal gratis oleh kerajaan di lembaga tersebut19. Banu Musa (anak Musa ibnu Shakir seorang ahli astronomi terkenal), seperti Muhammad, Ahmad dan Hasan, sebagai contoh telah mendapatkan dukungan yang besar dari al-Ma’mun dan telah mampu menjadi sarjana yang terpelajar sebagai sebuah hasil perhatian pribadi yang telah ditunjukkan oleh direktur utama Bait al- Hikmah, yakni Yunus ibnu Mansur20. Sarjana terkenal lain di lembaga ini yang bekerja sebagai penerjemah dan pengulas filsafat Yunani juga sebagai perumus dasar filsafat Islam adalah al-Kindi21. Selanjutnya, menjelang berakhirnya rezim al-Ma’mun, Bait al-Hikmah telah memulai menerjemahkan karya-karya non logika; sebuah tahap yang menunjukan berkurangnya pengaruh pemikiran Aristoteles. Seorang perintis penerjemahan karya non logika adalah Jabir ibnu Hayyan Azdi Thusi al-Sufi (721-815) yang telah memulai penerjemahan naskah ilmu kimia semenjak kekuasaan Harun al-Rasyid. Dan bahkan perhatian utamanya adalah ilmu kimia, Jabir juga mempelajari; ilmu logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu klenik, ketabiban, mekanik, dan hampir setiap bidang ilmu pengatahuan lainnya22.

Bagaimanapun, sejak kekuasaan al-Mutawakkil, Bait al-Hikmah telah menunjukan periode kemerosotan yang terus-menerus. Khalifah al-Mutawakkil yang berkuasa merupakan seorang penyokong para ulama arthodok, yang

18Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, (Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962), hlm. 16 & 19

19 N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989), h. 211; Sir William cecir Dampier, A History of Science and Relations with Philosophy and Region, (Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan Company, 1942), hlm. 77

(8)

kemudian menghacurkan orang-orang Mu’tazilah dan pusat ilmu pengetahuan mereka, Bait al-Hikmah. Meskipun begitu, satu hal yang mesti tidak terlupakan bahwa pembangunan Bait al-Hikmah telah menginspirasi banyak orang, sebagaimana juga para penguasa lainnya untuk mendirikan lembaga-lembaga yang serupa. Salah seorang dari mereka adalah Dinasty Fatimah Mesir yang selama kekuasaan Hakim, telah membangun Dar-el-Hikma di tahun 1005 M. Bait al-Hikmah kemudian digabungkan ke dalam tempat sekolah hingga penyerangan tentara Mongol, yang telah membakarnya selama penghacuran Bagdad pada tahun 1258 M23.

Kebudayaan bangsa, kondisi sosial-politik, ekonomi, dan pendidikan yang berbasis multikultural pada zaman Al-Ma’mun membawa pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban bangsa, sebagaimana yang dipaparkan berikut ini:24

1) Terjalinnya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Gerakan terjemah yang dikelola dalam suasana keberagaman, kesederajatan, perbedaan-perbedaan kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan agama khususnya agama Kristen membawa pengaruh pada kemajuan ilmu pengetahuan umum juga ilmu pengetahuan agama.

3) Kebebasan dalam memilih materi dan guru bagi murid dalam proses belajar mengajar dan hubungan yang harmonis antara guru dan murid serta nilai-nilai toleransi antara keduanya mempercepat berkembangnya ilmu pengetahuan dan lahirnya imam-imam mazhab, seperti Imam Mazhab ketiga yaitu Muhammad ibn Idris As-Syafi’i (767-820 M) dan Imam Mazhab keempat yaitu Ahmad ibn Hambal (780-855 M). Demikian pula proses rekrutmen murid yang dilakukan dengan kebebasan, keterbukaan dan kesetaraan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada murid yang tidak mampu dan yatim piatu serta beasiswa dari para

23 D. Sourdel, “Bayt al Hikma,” El 2, h. 1141; lihat juga Goodman, “The Translation,” in Young et al. (ed.), Religion, Op.cit, hlm. 484

(9)

dermawan, para ulama, dan penguasa kepada mereka berdampak positif terhadap pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.

Secara politik, struktur pemerintahan Al-Ma’mun digerakkan oleh orang-orang Persia yang telah meguasai filsafat dan ilmu pengetahuan. Kehendak politik

(political will) membuka pintu lebar untuk masuknya berbagai macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan negara. Khalifah menjadikan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang ahli dalam ilmu masing-masing diundang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk berdiskusi.25

Secara sosial, Al-Ma’mun selain memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan, juga telah mewariskan budaya pembauran antara keturunan Arab dan non-Arab. Pembauran ini pada gilirannya dapat memberikan kontribusi dan kekuatan tersendiri untuk membangun kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang menjadi harapan khalifah Al-Ma’mun. Sedangkan kondisi keilmuan pada masa Al-Ma’mun berkembang pesat. Para ulama berlomba dalam menulis buku-buku ilmu pengetahuan, baik ilmu umum maupun ilmu agama. Dalam situasi demikian, muncullah tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu di kalangan kaum muslimin.

3. Kehidupan Murid Dan Mahasiswa (Tullab) Pada Masa Al-Ma’mun a. Definisi Murid dan Mahasiswa (tullab)

Anak didik merupakan salah satu dari komponen pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak didik, pengajaran tidak akan ada dan pendidikan tidak akan terjadi. Sebagai salah satu komponen pendidikan, anak didik mendapat perhatian yang serius dari para ahli pendidikan. Untuk keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran khususnya, dan pendidikan pada umumnya, anak didik harus diperlakukan sebagai subjek dan objek.26

Istilah lain dari anak didik yaitu siswa atau murid. Kata murid berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘arada, yu’ridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang

25 Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 72.

(10)

menginginkan (the willer), dan menjadi salah satu sifat Allah swt. yang berarti Maha Menghendaki. Hal ini dapat dipahami karena seorang murid adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.27

Selain kata murid, dijumpai pula kata al-tilmidz yang juga berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti pelajar. Selanjutnya terdapat pula kata

al-mudarris, berasal dari bahasa Arab, yaitu orang yang mempelajari sesuatu. Kata

ini dekat dengan kata madrasah, sehingga lebih tepat digunakan untuk arti pelajar pada suatu madrasah. Ketiga kata tersebut di atas, tampaknya digunakan untuk menunjukkan pada pelajar tingkat dasar dan lanjutan yang disebut murid. Istilah-istilah tersebut, menggambarkan sebagai orang yang masih memerlukan bimbingan dan masih bergantung kepada guru, belum menggambarkan kemandirian.

Istilah lain, berkaitan dengan murid adalah al-thalib. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu thalaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti orang yang mencari sesuatu. Pengertian ini terkait dengan orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan pembentukan kepribadian untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia dunia dan akhirat. Kata

al-thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang

disebut mahasiswa. Penggunaan kata al-thalib untuk mahasiswa dapat dipahami karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal untuk mencari, menggali, dan mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan untuk ditelaah, selanjutnya dituangkan dalam berbagai karya ilmiah. Dengan demikian, pengertian murid dalam istilah al-thalib

lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif, dan sedikit bergantung kepada guru. Al-thalib

dalam beberapa hal dapat mengkritik dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru atau dikenal dosen, sehingga dapat menghasilkan rumusan ilmu baru yang berbeda dengan gurunya.28

(11)

Selanjutnya istilah yang memiliki hubungan erat dengan pengertian murid yaitu al-Muta’allim. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘allama, yu’allimu,

ta’liman yang berarti orang yang mencari ilmu pengetahuan. Istilah al-Muta’allim

yang menunjukkan pengertian murid sebagai orang yang menggali ilmu pengetahuan merupakan istilah yang populer dalam karya-karya ilmiah para ahli pedidikan muslim. Istilah al-muta’allim lebih bersifat universal, mencakup semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan. Istilah al-muta’allim mencakup pengertian istilah-istilah murid, tilmidz, mudarris, dan thalib. Berdasarkan pengertian disini, murid dan mahasiswa dapat dicirikan sebagai orang yang tengah mempelajari ilmu.29

b. Kehidupan Tullab Pada Masa Al-Ma’mun

Kehidupan murid dan mahasiswa dapat dilihat dari segi aktivitas sehari-hari mereka dalam proses mendapatkan ilmu. Kehidupan mereka dalam mendapatkan ilmu dialami dengan berbagai aktivitas, antara lain:30

1. Aktivitas belajar langsung dengan Syekh

Pada masa Al-Ma’mun, pengajaran diberikan langsung kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau didiktekan oleh guru dan ditulis oleh murid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah ditulis guru dengan tangan. Kehidupan demikian, berlangsung dalam halaqah-halaqah yang diselenggarakan oleh ulama.

Murid atau mahasiswa duduk berkeliling, berhadapan dengan seorang

Syaikh (guru). Guru memberikan pelajaran kepada semua murid yang hadir. Guru

memulai dengan membaca bismillah dan memuji Allah serta bershalawat kepada Rasul Allah, baru kemudian memulai pelajaran. Jika guru menghafal pelajaran atau dituliskannya diktat, maka dibacakan pelajaran itu dengan perlahan-lahan, lalu murid menulis apa yang dibacakan guru. Setelah selesai dibacakan, lalu guru menerangkan hal-hal yang sulit dalam pelajaran yang didiktekan tersebut. Pada akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya seorang

(12)

pelajar membacakannya untuk membetulkan kalau ada pelajar yang salah menuliskannya.

Jika pelajar telah tamat ilmu yang diajarkan guru, lalu guru menandatangani satu naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh pelajar-pelajar itu, serta menerangkan bahwa guru telah membacakan naskah itu kepada pelajar yang menuliskannya. Kemudian guru memberikan ijazah kepada pelajar bahwa ia berhak mengajarkan atau meriwayatkan kepada pelajar yang lain. Jadi dalam halaqah, ijazah tidak diberikan oleh sekolah, melainkan oleh guru sendiri.31 Contoh murid yang belajar langsung kepada gurunya yaitu Muhammad Ibn Sa’ad (168-230 H/784-845 M), seorang ahli hadits dan sejarah. Ia belajar berbagai ilmu pengetahuan keagamaan kepada banyak guru, yang kemudian belajar khusus kepada al-Waqidi. Sehingga ia menjadi seorang yang kuat hafalan ilmu hadits dan sejarah dengan mendalam.

Pelajar itu tidak memilih sekolah yang baik melainkan memilih guru

(Syaikh) yang termasyhur kealimannya dan kesalehannya. Murid bebas memilih

guru. Kalau pengajaran guru tidak memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah

guru yang lain.

Dari kegiatan ini dapat dilihat bagaimana nikmatnya kegiatan menuntut ilmu pada masa itu, dimana seorang murid memiliki kebebasan untuk memilih guru dan pelajaran yang ingin diambil tanpa harus merasa dipaksa sehingga kegiatan belajar akan lebih optimal. Seorang murid pada masa itu dapat menyalurkan minat dan keinginannya kepada suatu ilmu dengan guru yang sesuai dengan keinginannya sehingga murid tersebut akan bersungguh-sungguh dan senang hati dalam mendalami suatu ilmu.

2. Aktivitas berdebat sebagai latihan intelektual

Tokoh-tokoh yang muncul dalam sejarah adalah mereka yang kritis, berani dan tegas dalam ilmu yang diyakininya benar. Mereka yang menjalani pendidikan tinggi di lembaga-lembaga formal yang melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap kehidupan intelektual.

(13)

Umumnya mahasiswa diberi waktu tiga hari (Selasa, Jum’at, dan Sabtu) untuk belajar sendiri dan melakukan aktivitas pribadi. Hari Jum’at dan hari besar Islam sering kali diisi dengan debat khusus antara staf pengajar dengan mahasiswa, ditambah dengan ceramah-ceramah ilmiah. Seorang Syaikh memulai pelajaran formal ceramah dari silabusnya, menyajikan materi baru dan mendiskusikan kembali topik-topik sulit. Waktu berikutnya digunakan untuk debat. Pada saat debat, mahasiswa terlibat secara aktif dalam pendidikan dan melatih kecerdasan dengan sesama mahasiswa dan Syaikh-nya sendiri. Situasi ini dipimpin langsung oleh guru yang berakhir pada tengah hari, kemudian ditutup dengan do’a bersama.32

Kegiatan ini sangat menunjang optimalisasi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping seorang murid menerima ilmu pengetahuan yang diberikan guru, murid tersebut pun diberi kesempatan untuk dapat mengeluarkan pendapat dan pandangan yang berbeda mengenai suatu ilmu pengetahuan.

Ketika seorang mahasiswa merasa telah siap dalam bidang studi tertentu, ia maju untuk menjalani ujian lisan. Jika telah memenuhi syarat, ia akan menerima sebuah ijazah yang menyatakan kelayakan untuk mengajarkan bidang studi tersebut. Ijazah tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan karier baik dalam sektor pemerintahan maupun maupun non pemerintahan.

3. Aktivitas rihlah ilmiah

Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa klasik adalah sistem rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu.33 Dengan adanya sistem rihlah ilmiah, pendidikan Islam di masa klasik tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Pendidikan Islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Selain murid-murid, guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan

32 Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 63.

(14)

demikian, sistem rihlah ilmiah disebut dengan learning society (masyarakat belajar).34

Tradisi rihlah ilmiah tampaknya berjalan sudah sejak lama. Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak khalifah Harun Al-Rasyid, misalnya murid muslim mengadakan perjalanan sejauh India, Srilanka, Semenanjung Malaysia dan Cina, bahkan sejauh Korea melalui laut. Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai ke luar negeri untuk menuntut ilmu pengetahuan. Mereka merantau meninggalkan keluarga dan tanah tumpah darahnya meskipun harus berjalan kaki.35

Contohnya seperti Ahmad bin Hambal (w. 780 M) ketika masih kecil ia belajar kepada guru-guru yang ada di Baghdad. Namun setelah umur 16 tahun, barulah ia berangkat menuntut ilmu keluar kota dan ke luar negeri, seperti Kufah, Bashrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Pada tiap-tiap kota yang didatangi, tidak segan-segan beliau belajar kepada para syaikh, terutama dalam bidang hadits.

Contoh lainnya seperti Imam Bukhari (w. 870 M.) ahli hadits termasyhur untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih, mula-mula ia mengumpulkan hadits yang ditemui dalam negerinya sendiri. Kemudian ia pergi ke Balkh untuk mendengarkan hadits-hadits dari ahlinya. Sesudah itu pergi ke Marw, Naisapur, al-Rai, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Damaskus, Qisariyah, ‘Asqalan, dan Hims. Pada tiap-tiap negeri itu dikumpulkan beberapa hadits.

Rihlah tersebut memakan waktu sekitar 16 tahun, kemudian ia kembali ke tanah

airnya. Menurut pengakuannya sendiri, Al-Bukhari pernah berguru kepada 1080 guru atau syeikh, yang terdiri dari berbagai generasi/thabaqah.36 Mereka itu antara lain Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah, Qutaibah bin Sa’id, Makki bin

34Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 88. 35 Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 63-64.

36 Ibnu Hajar al-‘Asqalany telah membagi guru-guru al-Bukhari dalam 5 thabaqah, yaitu

(15)

Ibrahim, Abdullah bin Musa, Sa’id bin Abi Maryam, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain.

Aktivitas keilmuan pada masa Al-Ma’mun bisa mencapai masa keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, tentu tidak bisa lepas dari bagaimana khalifah memandang pentingnya suatu pengetahuan. Al-Ma’mun tidak hanya sebagai seorang khalifah, namun juga seorang yang haus akan ilmu pengetahuan yang selalu berusaha untuk belajar. Majelis Al-Ma’mun penuh oleh para ahli ilmu, ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka diundang oleh Al-Ma’mun dari segala penjuru dunia yang telah maju. Terkadang, Al-Ma’mun sendiri berperan aktif dalam berdiskusi dan berdebat dengan para ahli tersebut.37

Para pelajar melakukan rihlah ke luar negeri bukan hanya untuk mendengarkan ilmu pengetahuan dari guru-guru, melainkan juga ada yang hendak mengadakan penyelidikan sendiri. Mereka mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka mencatat apa yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi sumber yang asli yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan pada masa ini kegiatan tersebut dilakukan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Kegiatan ini memang menjadi salah satu kegiatan yang juga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Aktivitas menerjemahkan buku dan manuskrip

Proyek penterjemahan ilmu pengetahuan asing telah dimulai sejak periode Dinasty Umayyah tepatnya di waktu Pangeran Khalid, anak Khalifah Yazid (680-683 M) berkuasa, di mana dia telah memerintahkan beberapa orang sarjana untuk menterjemahkan buku-buku kimia Yunani ke dalam bahasa Arab38. Kemudian, dilanjutkan oleh Dinasty/kekaisaran/kerajaan ‘Abbasiyah, yang mana gerakan penterjemahan dilakukan lebih serius dan tersistematis di bawah sebuah pengawasan. Karenanya, hampir semua ilmu pengetahuan Yunani, yang ada dalam perlindungan Gereja dan para Rajanya, diambil dan dipindahkan ke dalam bahasa Arab serta dipersembahkan untuk masyarakat khususnya kaum Muslim39.

37Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, hlm. 66.

(16)

Jibril ibnu Bakhtishu (830 M), sebagai contoh, yang telah berkonstribusi dalam pengembangan ilmu sains, khususnya dalam bidang fisika. Meskipun demikian, usaha yang paling serius untuk mendapatkan ilmu pengetahuan asing hanya dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah al- Ma’mun.

Pada masa al-Ma’mun telah dimulai sebuah proyek untuk pengembangan intelektual dunia Islam dengan mengirimkan banyak sarjana ke Yunani guna meneliti manuskrip-manuskrip (naskah) Yunani40. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Gagasan untuk memilih bahasa Syria sebagai target bahasa pertama karena pada kenyataannya para penterjemah kebanyakan sarjana-sarjana Kristen Syiria yang telah terbiasa menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Aramaik. Akibatnya, ketika al-Ma’mun memulai gerakan penterjemahan, mereka menjadi personil utama untuk melakukan tugas itu dan mereka telah lama melakukan pekerjaan yang sama, dalam pendekatan demikian hanya mereka yang tahu bagaimana caranya41. Penterjemahan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab hanya dimulai oleh Hunayn ibnu Ishaq (808-873 M),42 seorang sarjana Kristen Hirah ahli bahasa Syiria yang mengimplementasikan metode baru ini dalam usaha penterjemahan. Para penterjemah menggunakan semua metode yang ada untuk melaksanakan proyek terjemahan itu, seperti membandingkan berbagai macam manuskrip/naskah; sebuah pendekatan yang memaksa mereka untuk mendapatkan naskah berbahasa Yunani sebanyak mungkin. Mereka juga membandingkan naskah Yunani dengan terjemahan bahasa Syiria secara cermat, sebagai usaha guna memahami naskah tersebut secara lebih baik43. Selanjutnya, di Baghdad, Khalifah al-Ma’mun membentuk sebuah tim penterjemah yang terdiri dari Hunayn ibnu Ishaq dan kemenakan lelakinya Hubais, Ya’kub Qusta ibnu Luqa,

40 Majid Fakry, A History of Islamic Philosophy, (New York and London: Columbia University Press, 1970), hlm. 24

41 Hitti, History, h. 310; Charles Michael Staton, Higher Learning in Islam, the Classical

Period A.D.700-1300, (New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990), hlm. 63

42 W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, (Edinburg: Press, 1972), hlm. 32

(17)

orang-orang Kristen Nestoria seperti Abu Bishr Matta ibnu Yunus, Ibnu ‘Adi, Yahya ibnu Bitriq dan lainnya44.

Metode-metode penterjermahan juga sudah mulai dikembangkan dalam rangka mengatasi berbagai macam kesulitan yang ditemui saat proses penerjemahan. Salah satu kesulitan yang sangat mendasar adalah bahasa Yunani yang digunakan dalam naskah tua tidak hanya telah mati, tetapi sangat berbeda dari logat/penuturan orang-orang Yunani saat itu. Lebih jauh, dalam rangka untuk memahami barbagai macam naskah-naskah tersebut, para penterjemah harus memiliki pengetahuan tentang materi yang sedang ia terjemahkan. Ditambah lagi, naskah tersebut harus didiskusikan terlebih dahulu dan terkadang naskah asli yang ada merupakan satu-satunya naskah yang tersisa. Sehingga proses penterjemahan tersebut harus menyandarkan pada naskah tunggal saja. Langkah ini dilakukan agar maksud teks asli tidak melenceng dengan terjemahannya. Demikian juga, naskah asli Yunani yang orisinil terkadang tidak tersedia dan para penterjemah harus menyandarkan pula pada versi bahasa Syiria. Yang mana biasanya hasilnya tidak begitu baik dan jauh berbeda dari makna naskah asli. Kesulitan lain adalah untuk bahasa Arab itu sendiri, di mana gaya bahasanya berbeda dengan dialek percakapan sehari-hari. Bagaimanapun, fleksibelitas bahasa Arab juga memberikan sumbangan yang berarti dalam proses penterjemahan. Louis Massignon mengatakan bahwa bahasa Arab sangat membantu dan menghasilkan eksplorasi pemikiran internal kaum muslimin. Terutama sekali cocok untuk bahasa pengantar ilmu pasti dan untuk perkembangan selanjutnya terlihat progresnya dalam sejarah ilmu matematika. Peralihan dari llmu hitung dan ilmu ukur yang berdasarkan intuitif dan sering bersifat perenungan kepada sebuah ilmu hitung yang menggunakan rational/akal, yang pada akhirnya kedua ilmu tersebut karena dari akar yang sama telah satukan oleh para sarjana muslim45.

Jadi, pada abad ke sembilan, ada dua metode penterjemahan yang termahsyur. Yang pertama dikembangkan oleh Yuhanna ibnu Bitriq, Ibnu

al-44 George Sarton, A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of

Greece, (Cambridge: Harvard University Press, 1952), hlm. 351-352

(18)

Naima al-Himsi dan yang lainnya. Mereka mendukung metode penterjemahan secara harfiah melalui penerjemahan kata-per-kata. Sesuai dengan itu, para penterjemah harus mempelajari setiap kosa kata Yunani sekaligus maknanya kemudian dipilih sebuah kosa kata Arab dan mencocokan makna dari kedua kosa kata tersebut kemudian menggunakannya dalam proses penerjemahan naskah. Bagaimanapun, cara ini tidak cukup terbukti ampuh karena kenyataanya tidak semua kosa kata Yunani dapat diterjemahkan dengan mencocokan dengan kosa kata Arab. Sebagaimana hasilnya banyak kosa kata tersisa yang tidak bisa diterjemahkan. Gabungan kalimat pada sebuah bahasa tidak selalu dapat disamakan untuk setiap gabungan bahasa lainnya. Di samping bahasa kiasan yang umumnya ada di dalam setiap bahasa tentu tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Metode penterjemahan kedua yang dikembangkan oleh Hunayn ibnu Ishaq, al-Jawhari dan lainnya, serta dianggap lebih unggul dari metode sebelumnya. Dasar keunggulan tersebut terletak dari segi metodologinya, yang mengharuskan para penterjemah untuk membaca dan memahami semua kalimat bahasa Yunani terlebih dahulu, kemudian menterjemahkan maksudnya ke dalam bahasa Arab. Menggunakan metode ini berarti akan memberikan arti yang sama dalam maksud tetapi tidak secara struktur bahasa46. Hunayn juga telah meningkatkan kualitas penerjemahan dengan menciptakan sebuah “peristilahan”/terminology sebagai sebuah standar baru.

Terjemahan ilmu pengetahuan asing/Yunani ke dalam bahasa Arab paling awal baru fokus pada tiga bidang ilmu pengetahuan, yakni, ilmu perbintangan, kimia dan kedokteran. Kecenderungan ini berakhir hingga paruh kedua abad ke Sembilan, ketika dua orang penerjemah terkenal, yaitu, Yahya ibnu ‘Adi (w.974) dan Abu ‘Ali ibnu Ishaq ibnu Zera (w.1008) telah tampil pada waktu itu. Yahya ibnu ‘Adi dalam hal ini, tidak hanya memperbaiki banyak hasil terjemahan tetapi juga menulis ulasan pada hasil karya Aristoteles, yaitu, pembagian, Sophistic, Puisi, dan Metafisika, ia juga mengulas karangan Plato, seperti, Timeus dan Hukum. Dia juga seorang ahliilmu logika terkenal yang telah menterjemahkan buku Prolegomena Ammonius dan pengantar untuk karya Porphyry yang berjudul,

(19)

Isagoge”. Di sisi lain, Bin Zera, telah pula memperbaiki terjemahan untuk buku kedokteran dan filsafat47. Karena itu, setelah dua ratus tahun (hingga abad sebelas). semua dasar-dasar karya Aristoteles dan juga banyak risalah yang tidak terkenalnya, dan sejumlah ulasan bahasa Yunani, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab48. Banyak karya Plato dan ragam teksnya, atau sejenisnya juga telah diterjemahkan sebagaimana juga beberapa karya Proclus dan tentunya naskah Plato baru lainnya. Selain itu, sejumlah literature ilmu pengetahuan, yang masuk di dalamnya, naskah teknik juga diterjemahkan. Bagaimanapun seperti, puisi Yunani, drama, dan literatur fiksi lainnya sebagaimana juga sejarah Yunani sangat jarang diterjemahkan49. Pemikiran seperti ini mungkin karena kaum muslimin telah merasa puas dengan sejarah yang mereka miliki dan kesusteraan serta tidak merasa butuh untuk memepelajari yang lainnya. Dengan penuh penyelasan, setelah mencapai puncaknya pada abad kesembilan, gerakan penerjemahan telah mulai secara terus-menerus merosot di abad ke sepuluh50.

Pada waktu itu keemasan perekembangan Ilmu pengetahuan Islam, penerjemahan menjadi lebih kurang sebagai sebuah pekerjaan professional dan upah para penterjemah lebih kurang sama sebagaimana para tabib, dan bahkan lebih tinggi lagi dibanding para ulama/qadhi. Al-Ma’mun bahkan menggaji Hunayn sama dengan berat emas untuk setiap lembaran yang diserahkan dalam bahasa Arab51. Sebagaimana hasilnya, status para penterjemah benar-benar terhormat. Sebagian besar buku-buku terjemahan tersebut masih bersifat sekuler. Sungguh jika dilihat sepintas lalu pada karya-karya tersebut, banyak sekali risalah yang berbau ilmu pengetahuan sekuler. Dengan begitu, langkah ini mengarah kepada sekulerisasi yang dikhawatirkan ulama tradisonal (sarjana Muslim), orang yang khawatir bahwa diterjemahkannya ilmu pengetahuan asing akan membahayakan kepercayaan orang Islam yang masih awam. Proyek yang tengah

47 C.A. Qadir, Philosophy dan Science in the Islamic World, (London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968), hlm. 37

48 Holt et al, (eds), The Cambridge, hlm. 438-582-781-2

49 Staton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, the Classical Period

A.D.700-1300, (New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990), hlm. 66 50 Holt et al, (eds), The Cambridge, hlm. 783

(20)

dilakukan ini menurut ulama artodok tidak dapat membantu penguatan Islam, yang mana pada kenyataanya bahwa penerjemahan itu tidak dilakukan demi kepentingan mempertahankan Agama Islam52. Bahwa adalah kenapa setelah ulama arthodok yang mempengaruhi pusat kepemimpinan Abbasiyah, sebuah usaha telah dibuat untuk mengekang pengaruh ilmu pengetahuan asing dengan menolak dan mengehentikan semua gerakan penerjemahan tersebut.

5. Aktivitas menulis buku

Aktivitas para pelajar yang tidak kalah menariknya adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi bukti penguasaan ilmu yang diperoleh dari syaikh. Mereka bukan hanya belajar, namun juga sambil menulis. Walaupun pada awalnya tulisan berupa manuskrip-manuskrip, namun berikutnya menjadi buku yang dicetak dan memiliki bobot kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.53

Contohnya seperti Al-Jahizh (776-869 M) seorang sastrawan terkenal pada masa Al-Ma’mun ketika menulis berani melepaskan diri dari ikatan tradisi. Ketika Al-Jahizh mulai mengarang, mula-mula mengesampingkan gaya lama yang dipakai oleh para ahli bahasa. Dia memakai gaya bahasa yang mampu mengungkapkan kenyataan dan hal-hal yang bersifat ilmiah dengan teliti. Karya yang paling penting adalah Kitab al-Hayawan terdiri atas tujuh jilid; pembahasan mengenai hewan-hewan. Selain itu Imam Bukhari juga oleh gurunya, Ishaq bin Rahawaih, didorong dan disarankan agar menulis kitab yang singkat yang hanya memuat hadits-hadits shahih. Saran tersebut telah mendorong ia untuk menulis kitab al-Jami’ al-Shahih.

Seperti dalam deskripsi di atas, kehidupan ilmiah telah melahirkan sosok murid dan mahasiswa yang sukses dalam belajar sehingga menjadi ilmuwan besar pada zamannya, termasuk sekarang pun orang mengenalnya. Kehidupan murid dan mahasiswa pada masa Al-Ma’mun ditandai dengan integrasi dimensi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual didorong oleh kehidupan yang tekun, kritis,

52 Rene Taton (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, transled by A.J. Pomeran B.S.c (New York: Basic Book Inc., 1963), h. 387; lihat juga Fakhry, A History, Op.cit. h. 16

(21)

kreatif, dan imajinatif. Adapun kepopuleran seorang tokoh disebabkan oleh karya nyata dan jasa para murid berikutnya yang mencintai karya-karya guru.

C. Penutup 1. Kesimpulan

(22)

pusat kebudayaan yang dibangun kekaisaran Umayyah II di Spanyol dan Romawi. Selanjutnya, proses penerjemahan itu telah melahirkan kebangkitan sarjana-sarjana Muslim dalam menciptakan ilmu pengetahuan melalui proses analisis dan kritik terhadap karya-karya ilmu pengetahuan yang telah diterjemahkan sebelumnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Dinasty Abbasiyah telah didorong oleh keterbukaan kekaisaran, yang mana pada gilirannya sikap inclusive

tersebut sebenarnya diilhami oleh sifat keterbukaan Islam itu sendiri. Ini sangat jelas sekali jika melihat fakta bahwa para Penguasa Islam telah menerima sarjana-sarjana non Muslim sebagai abdi kekaisaran untuk bersama mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagai contoh, Hunayn ibnu Ishaq seorang Kristen Syiria, yang mana ia telah secara aktif berpartisipasi dalam aktifitas tersebut. Para sarjana tersebut, bahkan menjadi inisiotor utama dari aktifitas itu, khususnya selama periode awal. Selain itu, Islam itu sendiri telah mendorong kaum Muslimin untuk mencari ilmu pengetahuan dan hikmah di manapun berada. Jadi, usaha untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan ilmu asing tersebut berdasarkan semangat ajaran Islam. Dan, bahkan beberapa sarjana Muslim telah dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Yunani dan Persia, sebagian lainnya, telah sukses pula menciptakan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan dasar ajaran Islam yang monolistik. Selanjutnya, bahkan Islam telah banyak menghilangkan karakter aslinya, yang mana telah didasarkan dari kehidupan padang pasir, banyak dari perkembangan intelektual tersebut tidak bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Karenanya, semua aspek-aspek itu telah menciptakan batasan kebudayaan dan kebangkitan aliran rasionalistik, yang mana pada gilirannya, menggiring kepada masa keemasan Islam. Masa keemasan tersebut telah berhasil menjembatani antara ilmu pengetahuan klasik dan kebangkitan bangsa Eropa, yang kemudian menggiring kepada masa industrialisasi dan modernisasi bangsa Eropa dan Dunia.

2. Kritik dan Saran

(23)

lebih baik lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam.

DAFTAR PUSTAKA

A. Shalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993.

Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1991

Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.

……….., Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

(24)

Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times, Washington, D.C., The Middle East Institute, 1962.

C.A. Qadir, Philosophy dan Science in the Islamic World, London, New York, Sydney: Croom Helm, 1968.

Charles Michael Staton, Higher Learning in Islam, the Classical Period

A.D.700-1300, New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990.

Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, London: Routledge, 1992. George Sarton, Introduction the History of Science from Homer to Omar

Kayyam, Washington, D.C.: the Williams & Wilkins Company Baltimore,

1953.

..., A History of Science, Ancient Science through the Golden Age of

Greece, Cambridge: Harvard University Press, 1952.

Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Holt et al, (eds), The Cambridge, Tt Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Hadyu al-Sariy.

Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge: University Press, 1994. Jalaluddin al-Suyuthi, Tharikh al-Khulafa, Beirut: Dar al-Kutub, 1975.

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. M. Masyhur Amin, Dinasti Islam, Yogyakarta: LKPSM, 1995.

Majid Fakry, A History of Islamic Philosophy, New York and London: Columbia University Press, 1970.

Massignon and R. Arnaldez, La Science antique et Medieval, Paris: n.p., 1957. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Islam), Jakarta Timur: Prenada Media, 2004.

N.A Baloch, Great Books of Islamic Civilization, Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1989.

Rene Taton (ed.), Ancient and Medieval Science from Beginnings to 1450, translated by A.J. Pomeran B.S.c, New York: Basic Book Inc., 1963. Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam, London: Routledge, 1992. Staton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, the Classical Period

A.D.700-1300, New York: Rowman & Littlefield, Inc., 1990.

Sayyed Hoseein Nasr, Science and Civilization in Islam, Cambridge, Massachusett: University Press, 1968.

Sir William cecir Dampier, A History of Science and Relations with Philosophy

and Region, Cambridge: the University Press; New York: the MacMillan

Company, 1942.

Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005. W. Montgomery Watt, The Influence of Islamic on Medieval Europa, Edinburg:

(25)

Referensi

Dokumen terkait

Pada kegiatan pra siklus ini peneliti melaku- kan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan rencana pe-laksanaan pembelajaran yang telah dirancang yaitu dengan

Penelitian yang dilakukan Pallauf & Rimbach (1997) pada babi menunjukkan bahwa ransum yang mengandung asam fi tat yang sama namun disuplementasi dengan fi tase yang

Pekerjaan yang biasa dilakukan penduduk di daerah dataran tinggi adalah ..... Menjadi pembuat kerajinan

[r]

Jenis industri dapat berperan dalam pengungkapan sukarela menggunakan media internet dikarenakan perusahaan yang menggunakan teknologi informasi sebagai sarana utama dalam

ANALISIS KUALITAS PELAYANAN UNTUK MENINGKATKAN JUMLAH ANGGOTA PADA BMT-UGT SIDOGIRI CABANG MALANG KOTA.. adalah hasil karya saya sendiri, bukan “duplikasi” dari karya

Target produksi yang tercapai tepat waktu dan sesuai dengan standar yang ditetapkan akan membantu pemasok bahan mentah perusahaan untuk merencanakan jadwal produksi mereka

Tulang merupakan kerangka tubuh yang menyebabkan tubuh dapat berdiri tegak, Tempat melekatnya otot-otot sehingga memungkinkan jalannya pembuluh darah, tempat sumsum tulang dan