KEMISKINAN STRUKTURAL DALAM PERSPEKTIF FUNGSIONALISME STRUKTURAL; AKANKAH KEMISKINAN INI TERUS TERJADI?
Secara umum kemiskinan banyak di derita oleh negara-negara yang sedang berkembang, hal itu dapat terjadi karena negara belum mampu memberikan akses pelayanan publik kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk pada golongan orang miskin. Akses dan kebijakan yang tidak memihak ini dinilai menjadi salah satu penyebabnya. Beberapa ahli mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan terus terjadi seperti terdapatnya budaya
miskin, dan juga kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial atau biasa dikenal dengan istilah “kemiskinan struktural”. Kemiskinan struktural merupakan suatu bentuk justifikasi bagi mereka yang miskin karena golongan ini tidak mampu memanfaatkan sumber daya ekonomi dan akses pelayanan publik yang sebenarnya telah disediakan oleh negara. Negara secara hukum wajib membantu mereka yang miskin untuk berusaha keluar dari perangkap kemiskinan struktural ini. Perangkap kemiskinan struktural yang dimaksud disini ialah kurangnya akses untuk menempuh pendidikan yang memadai, distribusi bantuan sosial yang
tidak merata, struktural politik yang tidak
seimbang, minimnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh golongan miskin serta kebiasaan buruk menerima kenyataan bahwa mereka miskin karena sebuah keniscayaan yang beranggapan miskin dan dirinya adalah satu kesatuan yang tidak terpisah. Hal tersebut juga diamini oleh salah satu pendekatan struktural fungsional dalam melihat permasalahan kemiskinan struktural. Menurut pendekatan ini, kemiskinan ini
sifatnya fungsional bagi sistem sosial dan bisa menjaga tatanan struktural sosial tetap berada pada titik keseimbangan yang diperlukan. Dikatakan fungsional sebab orang miskin diperlukan untuk “mengerjakan” pekerjaan-pekerjaan kotor yang tidak dapat dikerjakan oleh sebagian masyarakat. Misalnya saja pekerja bangunan, asisten rumah tangga, dan lainnya. Dalam rangka mempertahankan status quo dalam perspektif struktural fungsional diharuskan hadirnya pelapisan sosial yang akan secara tegas memisahkan dan mengelompokkan status dan kedudukan serta peranan sesuai dengan kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat.
dianggap memiliki strata sosial paling rendah tapi secara kuantitas cukup banyak terlihat. Kuantitas yang relatif besar inilah menjadi kelemahan sekaligus kelebihan bagi golongan miskin. Posisinya yang lemah dari berbagai hal sangat mudah dijadikan bahan percobaan untuk menaikkan image seseorang atau kelompok untuk menduduki struktur kekuasaan yang diinginkan. Sedangkan posisi nilai lebih golongan miskin, memiliki ikatan in-group yang kuat sehingga memengaruhi hubungan sosial dan relasi sosialnya. Ikatan kelompok yang dibangun di antara mereka tercermin
dari interaksi sosial yang terpolarisasi sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan. Pendapatan yang tidak merata menyebabkan tumbuh dan berkembangnya jenis kemiskinan yang lain seperti kemiskinan absolut yang dinilai dari indikator tingkat pendapatan. Akan tetapi, masalah tadi bukan masalah pokok, karena semua yang terjadi merupakan dampak dari tidak adanya kebijakan-kebijakan yang adil dan memihak kepada masyarakat miskin. Selama peraturan dan kebijakan yang berupa bantuan sosial masih dilakukan secara kuratif dan tanpa perencanaan yang tepat sasaran justru akan meningkatkan ketergantungan orang
miskin terhadap negara (pemerintah) ditambah kebijakan yang cenderung hanya berpihak kepada kelompok tertentu.
Kelompok marginal seringkali tidak mendapatkan akses informasi dan modal usaha, karena kebijakan yang ada berpihak kepada sekolompok orang saja. Polarisasi kemiskinan terlihat pada perasaan kelompok sosial in-group yang relatif tinggi dibanding kelompok sosial out group-nya. Polarisasi yang tidak terkontrol bisa berupa penyebaran virus negatif (stigma) terhadap golongan miskin memperparah jurang kesenjangan sosial. Stigma yang melekat pada masyarakat miskin dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tempat tinggal mereka yang kumuh, kotor, dan terpisah serta cenderung
terpinggirkan secara turun temurun. Peminggiran secara biologis dan sosial bertalian erat dengan kurang optimalnya institusi sosial yang secara penuh membela hak-hak masyarakat miskin tanpa adanya unsur politik praksis dalam menjalankan praktek peran dan fungsi institusi sosial itu sendiri. Namun dewasa ini, peranan institusi sosial dalam rangka mengurangi beban orang miskin, dengan cara pemberian intensif sosial dalam penguatan mobilitas sosial masyarakat miskin untuk mengurangi aksesbilitas mereka yang sempit. Aksesbilitas orang miskin kadang-kala terhambat oleh situasi socio-cultural yang tidak mengijinkan orang miskin
kurang adaptif terhadap perubahan yang ada ternyata bagi sebagian masyarakat miskin adalah suatu keharusan guna mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat yang secara biologis maupun sosial tetap dipelihara. Disamping golongan miskin menganggap bahwa strata sosial yang lama masih bersifat fungsional bagi tatanan sosial mereka. Namun di sisi lain, sebagian mereka percaya bahwa struktur sosial yang baru dan relatif terbuka justru akan sedikit banyak melahirkan “kepincangan” sosial dan penyimpangan dalam segala ruang-ruang sosial berpotensi mengurangi mekanisme
kontrol sosial yang ada di dalam struktur sosial. Struktur sosial yang baru dianggap mengalami disfungsional apabila struktur ini tidak bermanfaat bagi orang miskin. Jika benar dualitas tersebut benar-benar terjadi pada masyarakat miskin, maka kemiskinan struktural akan terus terjadi walaupun masyarakat mengalami kemajuan sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin hari semakin kompleks. Kompleksitas kemiskinan struktural dapat dilihat dari bebarapa hal berikut; terkait kebijakan, aksesbilitas, institusi sosial, struktur sosial, serta sistem nilai dan norma. Penyediaan sumber-sumber ekonomi seperti ketersediaan
pekerjaan dan modal usaha dsb oleh negara kepada golongan miskin harus dilakukan secara cermat dan tepat sasaran
bagi orang yang membutuhkan. Diagnosa kebutuhan masyarakat miskin bisa dilaksanakan melalui cara pengenalan maupun pendekatan stuktur sosial yang lebih adaptif serta berkelanjutan. Pendekatan struktur sosial memudahkan kita untuk memahami sebuah tatanan sistem nilai dan norma yang ada di masyarakat itu sehingga kebijakannya memihak kepada golongan orang miskin. Salah satu fokus pendekatan struktural fungsional ialah memaksimalkan peran dan fungsi keberadaan lembaga atau institusi sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, misalnya memutus mata
rantai institusi birokasi yang berbelit-belit. Ketepatan dalam melakukan pelayanan sosial kepada orang miskin tidak hanya memerlukan aspek ekonomis belaka, lebih dari itu dimensi sosial juga diperlukan sebagai penguatan bagi orang miskin. Jika pendekatan struktur sosial dan penguatan dari segi kelembagaan dilaksanakan secara seimbang dan optimal dibarengi dengan identifikasi dan pemetaan penyebab kemiskinan struktural, saya percaya kemiskinan jenis ini akan berkurang signifikan bahkan dapat dikatakan akan hilang dengan sendirinya di Negeri ini.
Makassar, 01 Oktober 2016
Author: