• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antara Manusia dan Interdisiplin Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Antara Manusia dan Interdisiplin Ilmu"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kedaulatan manusia terhadap ilmu memengaruhi kesejahteraannya sebagai mak

Kompleksitas persoalan yang dihadapi manusia secara tak sadar mengembangk

akalnya untuk berpikir multidimensi.

Ilmu pengetahuan masih dipegang sebagai jembatan penghubung menuju kebenaran ilmiah. Tanpanya ma terseok oleh kredo imajiner yang acap kali mengantarkan pada pengkultusan mitos. Dorongan pencarian

Antara Manusia dan Interdisiplin Ilmu

21 Oktober 2017 KONTRIBUSI OPINI

©Rusmul/BAL

MELIHAT REALITAS MELALUI SKETSA BATARA LUBIS

õ ö

POS TERATAS

(2)

dimiliki manusia pada puncaknya mampu mentransformasi khayalan sebagai wujud abstrak dari mitos me dimensi empiris ilmu pengetahuan. Pandangan demikian, disadari atau tidak, membuktikan bahwa manus sebagai subjek pembangunan mampu mengelola lingkungan yang disediakan kosmos melalui kreativitas t batas yang dimilikinya.

Perspektif kontemporer semacam itu menguat di benak para ilmuan dunia. Revolusi Industri menjadi ton gerakan pembangunan yang berorientasi pada pendidikan, kebudayaan, politik, dan ekonomi di Eropa pa paruh abad ke-19. Hal ini berdampak luas hingga ke kawasan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indone Secara implisit, fenomena peradaban tersebut berakibat pada dibaginya ilmu pengetahuan menjadi fragm dikotomis.[1] Kualitatif dan kuantitatif pun dipisahkan oleh tembok kepentingan politik; naturalistik bero dengan positivistik.

Konsekuensi logis dari pengotakan ilmu tersebut menjalar tidak hanya di ranah akademis, tapi juga tingka praktis di lapangan. Pengambil kebijakan di jajaran birokrasi, baik di tingkat lokal hingga internasional, memosisikan masing-masing ilmu sebagai tatal yang berdiri independen satu sama lain. Sebagai contoh, pembangunan sik suatu tempat sekadar ditempuh dengan satu disiplin ilmu semata. Ilmu-ilmu lain yang seharusnya mampu menyokong demi terlaksananya hasil yang komprehensif cenderung ditampik atas da efektivitas pembangunan.

Kasus relokasi yang kerap diperbincangkan di forum jejaring sosial hingga bangku perkuliahan menjadi p yang menarik diulas lebih lanjut. Birokrat yang merencanakan agenda tersebut barangkali hanya memikir aspek ekonomi dan arsitektur—bagaimana menyusun anggaran dan merekonstruksi wilayah secara sang mangkus. Mereka lupa, di balik relokasi, anak-anak hingga orang tua menjerit kehilangan tempat tinggal d depan. Kendatipun sudah disiapkan tempat berteduh yang baru, luka psikologis mereka masih menganga

Realitas kon k batin sebagai efek kebijakan pemerintah tersebut dapat direduksi melalui pengembalian h ilmu yang saling berpaut. Asumsi awal di tahap perencanaan pembangunan sik seyogianya melibatkan il seperti pendidikan atau psikologi sehingga keduanya berperan dalam pembangunan mental masyarakat, khususnya aspek emotif yang terabaikan oleh geliat pembangunan sik.

Tak terbantahkan lagi betapa peran pendidik dalam menyalakan lentera pengetahuan kognitif anak-anak menjadi korban relokasi sedemikian signi kan. Pemerintah dapat bekerja sama (baca: menginstruksikan) departemen lain yang membina urusan pedagogik. Puluhan pendidik atau guru yang bekerja di institusi pemerintah diharapkan bahu-membahu untuk turun angan dan tangan bersama di lapangan. Mereka tak mengajar semata, tetapi juga dikoordinasi supaya menyusun kerangka pembelajaran selama relokasi berlangsung.

(3)

Terobosan tersebut memungkinkan peran kreativitas tanpa batas: apa dan bagaimana bentuk pengajaran tergantung oleh pendidik sebagai inisiator, konseptor, dan eksekutor.

Sementara itu, urgensi psikolog di tengah masyarakat tergusur begitu relevan. Ia hadir bersama warga un membesarkan hati warga yang tersayat. Pendekatan kultural-personal pun diperlukan demi menjaga kon psikis penduduk sekitar agar stabil sehingga mereka tak teralienasikan, baik secara individu maupun kelo Tantangan psikolog dalam menangani keadaan tersebut tak semudah seperti membalik telapak tangan. Ia memahami situasi-kondisi masyarakat secara langsung, bukan sekadar melakukan perlakuan psiko siolo berdasarkan teori buatan Barat.[2]

Gejala kejiwaan manusia Indonesia tentu berbeda dengan orang Barat. Sementara itu, teori boleh dikatak sebagai representasi realitas yang telah diuji dengan metode tertentu dan memiliki substansi yang bersif universal. Namun, ia harus dikontekstualisasikan ke dalam latar sosial-budaya subjek yang dituju. Oleh se tanpa pengetahuan umum tentang suatu masyarakat yang hendak dituju—meliputi latar belakang pekerj pendidikan, dan ekonomi warga—kontribusi psikolog dalam menangani masyarakat akan terkendala, bah terseok; atau malah justru mengalami penolakan.

Menimbang Probabilitas

Proyeksi dua disiplin ilmu di atas sebetulnya hanya menunjukan beberapa variabel yang memungkinkan pengambil kebijakan melakukan terobosan. Di lain pihak, ia juga dapat menjadi strategi futorologi[3] dala mengantisipasi kemungkinan buruk di masa depan. Pendekatan futorologi bukan termasuk dalam katego ramalan yang irasional, tetapi ia berbasis rasional-empiris sehingga implementasinya harus diuji melalui metodologi tertentu.

Tendensi ilmu demi menunjang kemaslahatan manusia menjadi tak terelakan lagi tatkala ia dikaitkan ke perencanaan di masa depan (forward linkage). Oleh karenanya, pengambil kebijakan di level mana pun bisa menggunakannya sebagai jalan dalam melakukan antisipasi pelbagai kemungkinan tak terduga. Kendati demikian, boleh jadi ia berimplikasi negatif atau positif. Dua sisi tersebut sudah barang tentu di luar kapas manusia sebagai perencana.

Interdisiplin ilmu sebagai strategi futorologi mampu menjembatani birokrasi dan masyarakat—seperti ga di awal soal relokasi. Kontradiksi yang acap kali merenggangkan keduanya tak lagi terjadi bila birokrasi melakukan pendekatan yang holistik. Meskipun demikian, bukan berarti alternatif yang diajukan berdasa asumsi tesebut akan berjalan baik secara instan. Masa lead time (meminjam istilah Soedjatmoko) akan membuktikan apakah strategi tersebut berhasil atau tidak, sebab ‘waktu’ merupakan katalis penentu keb ilmiah.

(4)

menggunakan pendekatan survei lapangan demi menjaring opini publik. Data yang didapatkan, selanjutn dianalisis oleh tim khusus sehingga menghasilkan perbaikan konstruktif.

Sekilas konsep yang diajukan di atas terkesan rumit, karena ia harus melibatkan pelbagai pihak dengan po komunikasi koordinatif dan instruktif. Akan tetapi, sepanjang direncanakan dengan matang, pendekatan interdisiplin ilmu akan berjalan baik. Substansi dari kerangka ilmiah ini tiada lain mengkolaborasikan kem ilmu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam perjalanannya, ilmu boleh dipotong menjadi fragmen fragmen mikro (spesialisasi)—sebab tanpa demikian, ia akan sukar dikembangkan secara mendalam. Nam dalam penerapannya, seperti pada isu pembangunan tadi, ia harus dikolaborasikan secara utuh.

Begitu pula untuk memosisikan ilmu di tataran praktis, ia harus dikaitkan dengan disiplin lain untuk turut menjawab persoalan yang dihadapi. Karena itu, pendekatan pembangunan yang paling efektif bukan memparsialkan ilmu, melainkan menyatukan ilmu adalah komponen yang absolut, sehingga komprehensi itu, posisi manusia sebagai subjek perubahan turut memengaruhi keberhasilan di belakangnya. Bukankah manusia merupakan makhluk sentral di alam semesta yang dianugerahi akal untuk berpikir oleh Tuhan?

Kendati manusia dibekali alat berpikir yang canggih bernama otak, ia tak semata-mata mampu menjawab pelbagai persoalan sekali selesai. Pergulatan panjang intelektualitas manusia—sehebat apa pun—dalam menyikapi problem yang melanda, baik di tataran praktis maupun teoretis, akan terus menghadapi komp masalah yang muncul dari kepelikan sebelumnya. Kenyataan tersebut merupakan keniscayaan yang tak l ditemui sepanjang masalah itu berkelindan dengan ruang dan waktu. Dalam kata lain, masalah apa pun bentuknya, pasti terikat oleh realitas temporal.

Goethe, penyair terkenal Jerman, menyatakan “wir tasten ewig an problemen”.[4] Ini mengindikasikan beta persoalan di satu sisi mencerminkan ketidakberdayaan manusia sebagai makhluk yang mustahil terlepas masalah, namun di sisi lain ia justru akan memicu kesadaran manusia untuk terus memecahkannya. Mesk demikian, bila pemegang regulasi pemerintahan yang direpresentasikan oleh birokrasi maupun pengamb kebijakan tak mengindahkan tantangan “penggunaan akal” secara maksimal demi terlaksananya konsep interdisipliner, maka yang terjadi ialah kenihilan perubahan.

Nihilnya dorongan internal birokrasi yang enggan melakukan terobosan kreatif pada akhirnya berakibat bagi kualitas pembangunan. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menghambat perkembangan zaman ya seharusnya dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Semampang kenyataan ini terjadi di tubuh biro agaknya ia harus mengingat kembali moto Aufklärung[5] yang terkenal itu: sapere aude! (beranilah memak budimu sendiri). Isyarat tersebut masih relevan bagi zaman tatkala ilmu masih dipegang sebagai panglima pembangunan.

Rony K.

Peneliti di Pendidikan Literasi Yog

REDAKSI ø NALAR ø REHAT ø BINGKAI ø KONTRIBUSI ø

(5)

 

[1] Lebih lanjut bisa dibaca karya: Lange, Oskar. 1957. Some Problems Relating to the Polish Road to Socialism Warsawa: Foreign Affairs.

[2] Lihat Luckman, Thomas. 1967. The Social Construction of Reality. New York: Double-day Anchor Books.

[3] Ikhtiar peramalan hari depan melalui pendekatan ilmiah telah diinisiai oleh C.C. Furnas (1936). Bersam koleganya, ilmuan berkebangsaan Amerika itu meneliti probabilitas yang akan dihadapi suatu bangsa. Fu menganalisis gejala ilmu dan realitas yang berpaut-erat oleh perilaku manusia di zamannya. Ulasan lebih baca Soedjatmoko. 1985. Futurologi dan Kita: Suatu Uraian Pengantar. Jakarta: LP3ES.

[4] Bait ini diterjemahkan dengan indah oleh Ignas Kleden ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Tak habis-kita dihadang masalah”. Khalayak lazim mengutipnya sebagai representasi subjek yang sarau tatkala hend menerjemahkan kosmos. Ignas juga menambahkan, bahwa latar belakang kenapa stanza tersebut ditulis tidak lain karena ia menemui kesukaran teoretis dalam menjelaskan gejala alam. Lebih lengkap, lihat Ludw Emil. 1931. Goethe, Geschiechte Eines MenschenI. Berlin: Verlag. Uraian Ignas juga bisa diperdalam di kata pengantar Ignas Kleden: Soedjatmoko. 1985. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.

[5] Kant, Imanuel. 1963. On History. New York: Meeril Comp.

 

6  ž  É Æ

Sebuah Cerita yang Dibawakan Hujan Nol Koma Nol Sekian Persen Mahasiswa Kampus Biasa...

Segregasi Kekuatan Mahasisw

ILMU KEILMUAN OPINI PEMBANGUNAN

ARTIKEL LAINNYA

(6)

Nama* Surel* Situs Komentar Anda

KIRIM

©2018 BPPM BALAIRUNG UGM

TENTANG KAMI PEDOMAN MEDIA SIBER MAST

BERIKAN KOMENTAR

Referensi

Dokumen terkait

Types of Chemical Engineering Problems Listed by Area Types of Chemical Engineering Problems Listed by Area Types of Chemical Engineering Problems Listed by Area Types of

Sedangkan pendapatan rumah tangga yaitu penghasilan yang didapat oleh seseorang atas prestasi kerjanya terhadap suatu perusahaan atau lembaga lainnya yang bertujuan

Perkembangan e-commerce di Indonesia semakin pesat dan semakin popular dikalangan masyarakat. Hal ini didorong dengan meningkatnya pengguna internet di Indonesia. E-commerce

Secara mekanika, material kayu ini memiliki massa yang relatif ringan sehingga memperkecil beban yang diterima oleh tiang penyangga, memiliki nilai inersia yang rendah, mudah

Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang

Hal ini berarti hipotesis penelitian (Ha) yang diajukan yaitu bahwa ada kontribusi yang signifikan antara moral kerja, motivasi kerja, dan iklim kerja secara

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas maka memang budaya selalu dijadikan sebuah dasar untuk terjadinya sebuah interaksi antar manusia, suatu budaya bisa